MAKALAH مشكلة الفظ و المعنى فى الدراسات الدلالة




























BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bahasa secara sedehana adalah sekumpulan bunyi yang mengandung makna. Oleh karena itu, hal utama dari kajian bahasa pada dasarnya adalah hubungan antara lafaz dan maknanya. Mengetahui hubungan lafadz dan makna menjadi kebutuhan dasar, karena hubungan lafaz dan makna adalah bagian dari problematika pemikiran manusia paling dasar dan tidak dapat dimonopoli oleh ilmu bahasa saja.
Tema tentang hubungan lafaz dan makna berada pada posisi dimana berbagai disiplin ilmu membutuhkannya sehingga kajian ini dalam banyak aspeknya bersentuhan dengan para pakar dari berbagai disiplin ilmu seperti pakar bahasa, budaya, fuqaha, filosof, sosial, psikologi, antroplogi, hingga praktisi hukum dan politisi. Disamping itu kajian tentang hubungan lafaz dan makna merupakan dasar dari proses interaksi antar manusia.
Demikian pentingnya mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan lafaz dan makna serta mengingat luasnya cakupan kedua kajian itu, maka dalam tulisan ini penulis mencoba membatasi permasalahan terkait hanya pada hubungan antara lafaz dan makna. Namun, sebelum sampai pada pembahasan sentral tulisan ini, hubungan lafaz dan makna, tentunya penulis juga memuat bahasan-bahasan lain yang berkaitan dengan lafaz dan makna.

B.     Rumusan Masalah
Apa Problematika terhadap Lafadz dan Makna dalam Kajian Dilalah?

C.    Tujuan
Untuk mengetahui Problematika terhadap Lafadz dan Makna dalam Kajian Dilalah


BAB II
PEMBAHASAN
A.  PROBLEMATIKA LAFADZ DAN MAKNA DALAM KAJIAN DILALAH
Bahasa,terdiri dari dua unsur penting yaitu lafadz dan makna. Lafadz ditinjau dari sisi kebahasaan dapat didefinisikan sebagai apa-apa yang dilafalkan dari kalimat,[1]dan sesuatu yang terlontar dari mulut atau lisan,[2] dan bunyi yang mengandung sebagian huruf hijaiyah. Sementara lafaz menurut istilah para linguis adalah :
واللفظ في الاصطلاح هو ما يتلفظ به
الإنسان أو في حكمه، مهملا كان، أو مستعمل
Spesifiknya, lafadz adalah sesuatu yang terlahir dari lisan manusia berupa ucapan yang mengandung bunyi dan kebermaknaan. Sementara makna dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang terkandung dalam ucapan, isyarat, dan tanda. Makna dalam konteks pemakaiannya sering disejajarkan pengertiannya dengan arti, gagasan, pikiran, konsep, pesan, pernyataan maksud, informasi, dan isi.[3] Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda mengemukakan bahwa istilah makna merupakan istilah yang membingungkan, menurutnya makna selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.[4] Dalam hal ini Ferdinand de Saussure dalam Abdul Chaer mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.[5]
Menurut Ferdinand de Saussure, setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian “yang mengartikan” yang wujudnya berupa runtutan bunyi, dan komponen signifie “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep. Dengan demikian, berdasarkan teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand tersebut dapat dipahami bahwa makna adalah “pengertian” atau “konsep” yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Kala tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan kata atau leksem, maka berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem.
Selain itu ada banyak pakar yang menyatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah ada dalam konteks kalimat. Selanjutnya makna kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada dalam konteks wacananya atau konteks situasinya, seperti contoh berikut: “Sudah hampir pukul dua belas!”
Apabila kalimat tersebut diucapkan oleh seorang ibu asrama putri terhadap seorang pemuda yang masih bertandang di asrama itu. Maka makna kalimat tersebut adalah “pengusiran secara halus”. Lain halnya bila kalimat tersebut diucapkan oleh seorang guru agama ditujukan pada para santri di siang hari maka makna kalimat tersebut adalah “pemberitahuan bahwa akan masuk waktu shalat zuhur. Satu hal yang harus diingat mengenai makna ini, karena bahasa bersifat arbitrer maka hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbitrer. Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :
1.    Maksud pembicara
2.    Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
3.    Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya,dan
4.    Cara menggunakan lambang-lambang bahasa.
Bloomfied dalam Abdul Wahab mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahsa sehingga dapat saling dimengerti.
Perhatian terhadap dalalah lafaz dari segi kajian untuk menelusuri makna pada dunia Barat telah dimulai semenjak akhir-akhir abad 19 M, mulai berkembang secara bertahap pada awal abad 20 M hingga sekarang. Pada era Filosfof Yunani sebenarnya telah ada pemikiran-pemikiran mengenai dalalah, namun pemikiran tersebut adalah dalam konteks filsafat bukan bahasa. Seperti Aristoteles yang membedakan antara bunyi dan makna. Makna menurut Aristoteles harus sesuai dengan gambaran dan terletak pada pikiran sementara bunyi hanyalah lambang.[6]
Pada dunia Arab-Islam kajian tentang dalalah telah mendapat perhatian jauh sebelum yang dilakukan pakar-pakar Barat pada akhir abad 19 M. Perhatian terhadap berbagai permasalahan dalalah telah dimulai semenjak munculnya bahasan tentang problematika ayat-ayat al Quran, kei’jazannya, tafsiran kata-kata sulitya (al-gharib) dan penetapan hukum-hukum syariat berdasarkan al Quran itu sendiri. Para Fuqaha’ dan Ushuliyyin adalah kelompok pertama yang disibukkan dengan urusan dalalah.[7]
Secara lebih rinci, perhatian pakar-pakar Arab-Islam mengenai dalalah dapat dijelaskan melalui deskripsi berikut:[8]
1.    Perhatian para pakar bahasa.
a.    Ibn Faris dalam Mu’jam al-Maqayis yang mencoba mengikat makna parsial dan makna umum.
b.    Al Zamakhsyary dalam Mu’jam Asas al-Balaghah yang mencoba membedakan antara makna hakiki dan majazi.
c.    Ibnu Jinni yang mencoba mencari hubungan sebuah kata yang posisi hurufnya berbolak balik. Seperti kata Ibn Jinni bahwa ك ل م memiliki keterkaitan makna walau dalam berbagai susunan.
d.    Kajian-kajian seputar makna yang menjadi bahasan utama sejumlah buku sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
2.    Perhatian para Ushuliyyin dan Ulama kalam serta Filosof Muslim:
a.    Para ushulyyin dalam kitab-kitab mereka menyinggung berbagai persoalan makna kata seperti tema dalalah lafaz, dalalah manthuq, dalalah mafhum, al- taraduf, al isytirak, al-takhshish dan al taqyid.
b.    Terdapat kajian dan banyak isyarat mengenai dalalah dalam uraian-urain al- Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Ghazali, al-Qadhi Abd Jabbar dan para filosof mu’tazilah.
c.    Para ahli balaghah juga banyak menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan dalah seperti kajian hakikat dan majaz, dan kajian-kajian lainnya seputar uslub a- istifham, al-amr, dan al-nahi.
Pakar linguis Arab mulai memberikan perhatian yang serius pada hal seputar permasalahan lafaz dan makna dengan motifasi untuk menjaga al-Qur’an dan kemurnian bahasa Arab. Ada dua sisi yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kajian dalalah yang ada pada kalangan pakar bahasa Arab, yaitu:[9]
1.    Sisi Teoritis
Yaitu kajian teoritis mengenai hubungan kemaknawian antar mufradat. Bahasan ini adalah seputar al- Tudhad, al-Taraduf, al-Isytirak, al-haqiqh, al-Majaz, al-Khash wa al-‘Am fi Ma’ani al-Alfazh, dan Isytiqaq yang merupakan sarana untuk melahirkan lafaz dalam bahasa Arab. Jika ditelusuri pada kitab-kitab induk kajian bahasa Arab seperti al-Khashaish karya Ibn Jinni, al Shahibiy fi Fiqh al-Lughah karya Ibn Faris, Fiqh al-Lughah wa Sir al-‘Arabiyyah karya al-Tsa’laby dan al-Muzhir fi Ulum al-Lughah karya al- Suyuthi akan ditemukan pembahasan yang sangat luas seputar berbagai permasalahan diatas.
Problematika yang telah dibahas oleh pakar-pakar klasik diatas, juga menjadi sesuatu yang sangat penting hingga zaman modern sekarang. Kebanyakan bahasan dan kajian bahasa kontemporer berjalan berdasarkan dasar-dasar yang telah ada pada kajian klasik dengan tujuan keterjagaan nilai-nilainya, mengcounter pihak-pihak yang berusaha menyerang kajian ini pada dunia pemikiran bahasa kontemporer dan mempertahankan warisan-warisan kajian klasik. Kajian klasik yang disebutkan di atas turut mengiring kajian bahasa kontemporer yang menaruh perhatian besar pada berbagai permasalahan yang telah disebutkan di atas. Dapat dikatakan bahwa kajian seputar lafaz dan makna baik dari sisi kebahasaan maupun balaghah (al- lugahwiyyah wa al-balaghiyyah) pada bahasa Arab telah ada sejak zaman klasik dan tetap ada pada zaman modern (qadiman wa haditsan).



2.    Sisi Praktis
Yang dimaksud dengan hal ini adalah aplikasi praktis dari kajian dilalah seperti aktivitas perkamusan yang merupakan hal yang dominan dalam kajian-kajian kebahasaan. Hal ini dapat berupa kajian mengenai gahrib a- Quran wa al-hadits, tafsir kebahasaan atas lafaz-lafaznya, buku-buku mengenai hewan-hewan, tumbuhan, bahasa berbagai lahjah, buku-buku yang berisi penjelasan mengenai lafaz-lafaz fiqh secara kebahasaan, dan buku-buku al-dakhil dan mu’rab.
Adapun yang menjadi inspirasi dari perekmbangan hal-hal di atas adalah al Khalil bin Ahmad al Farahidy yang telah memaparkan makna-makna lafaz dengan baik dalam karyanya Mu’jam al‘Ain. Kemunculan Mu’jam al-Ain diikuti oleh beberapa karya serupa lainnya seperti al-Tahzib oleh al Azhary, al Jamhirah oleh Ibn Duraid, al-Maqayis oleh Ibn Faris, al-Shahah oleh al Jauhary, Lisan al-Arab oleh Ibn Manzur, dan al-Muhith oleh Fairuz Abadi.
Dalalah kemudian dibahas oleh banyak pakar non bahasa seperti Ogden dan Richard yang melahirkan karya berjudul The Meaning of Meaning. Dalam karya tersebut mereka mengungkap keadaan alamiah makna dan kaitan-kaitannya.
Pendekatan paling mutakhir dalam menganalisis makna adalah pendekatan yang diperkenalkan oleh Chomsky. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan analisa kebahasaan. Makna adalah unsur dasar dalam menganalisa dan mendeskripsikan bahasa. Para penganut pendekatan ini melakukan analisa unsur-unsur bahasa melalui analisa terhadap system bunyi dan tata bahasa.

B.  Hubungan Lafaz dan Makna
Sebagaimana telah disinggung di atas bahasa terdiri dari dua unsur penting yaitu lafaz dan makna. lafaz adalah wadah dari makna, karena itulah, lafal yang baik adalah lafal yang digunakan untuk makna yang sesuai dan tepat. Bahasa Arab sebagai suatu bahasa juga terdiri dari lafaz dan makna, dan orang arab sangatlah teliti dalam memilih lafaz untuk suatu makna.
Kajian tentang lafaz dan makna dapat ditelusuri dengan memahami gagasan Plato, Aristoteles, Reisig, dan Breal yang selanjutnya dikembangkan oleh D. Saussure, Ogden, Bloomfield, Hocket, Pateda dan linguis-linguis kontemporer lainnya.
Plato (yang hidup pada 429-347 SM) sudah menyinggung makna bahasa dalam Cratylus. Plato menjelaskan bahwa bunyi bahasa mengandung makna tertentu. Aristoteles (384-322) juga membahas makna satuan bahasa yang terkecil yang bermakna. Lebih jauh lagi, Aristoteles menjelaskan bahwa makna kata itu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1.    Makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom (bersifat inheren)
2.    Makna yang timbul karena proses gramatika.
Abdul Chaer menilai makna yang pertama itu adalah sama dengan makna leksikal dan makna yang kedua adalah sama dengan makna gramatikal. Lalu muncul perbedaan pandangan di antara para linguis berkisar pada hubungan lambang dan yang dilambanginya. Plato, dalam hal ini berpendapat bahwa ada hubungan yang sistematis antara lambang bahasa dengan sesuatu yang dilambanginya. Sebaliknya, Aristoteles berpendapat bahwa tidak ada hubungan yang sistematis antara lambang bahasa dengan sesuatu yang dilambanginya.
Pendapat Plato yang menyatakan bahwa ada hubungan antara lambang dengan yang dilambanginya didukung data bahasa yang berupa kata-kata yang bersifat anomatope, yaitu kata-kata yang hampir sama dengan sesuatu yang dilambanginya. Contoh, bunyi binatang kecil pemakan serangga yang merayap di dinding adalah cek…cek…cek... lalu binatang itu diberi nama cecak atau cicak. Contoh lain binatang reptil yang yang hidup di batang kayu yang bersuara tokek...tokek…tokek diberi nama tokek. Berdasarkan dua contoh ini kita memahami bahwa memang terdapat kemiripan antara lambang bahasa dengan sesuatu yang dilambanginya.
Pendapat Aristoteles yang menyatakan tidak ada hubungan sistematis antara lambang dengan sesuatu yang dilambanginya juga didukung oleh data-data bahasa. Contoh, binatang berkaki empat yang berlari cepat, yang lazim digunakan sebagai tunggangan atau untuk menarik bendi dinamakan kuda (oleh orang melayu), kudo (oleh orang Kerinci dan Minang), Jaran (oleh orang Jawa), horse (oleh orang Inggris), dan farasun (oleh orang Arab). Pandangan Aristoteles di atas tanpaknya dipengaruhi oleh pendapat yang menyatakan bahwa bahasa itu Arbitrer (bebas/manasuka) sehingga seseorang atau sekelompok masyarakat boleh saja menamakan sessuatu secara bebas tergantung pada kesepakatan yang mereka inginkan.
Pada perkembangan selanjutnya ternyata perbedaan-perbedaan pemikiran tidak hanya berkutat pada lambang dan sesuatu yang dilambanginya, namun juga bergeser pada aspek utama bahasa, yaitu hubungan antara lafaz dan makna.
Sesungguhnya para linguis, baik yang ada di Barat maupun yang ada di Timur, baik yang termasuk linguis klasik maupun modern, telah melakukan banyak pengkajian tentang bahasa terutama hal-hal yang berkaitan dengan lafal dan makna, yang keduanya merupakan bagian terpenting dalam bahasa. Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa lafal dan makna itu memiliki hubungan yang kuat, karena sesungguhnya setiap sesuatu itu menurut kelompok ini tergambar beserta kata yang menunjukkan maknanya, bahwa setiap lafal itu diiringi dan atau selalu ada maknanya, tidak mungkin suatu lafal terpisah dari makna atau makna terpisah dari lafalnya, dengan kata lain tidak ada hubungan. Sementara sebagian yang lain juga berpendapat bahwa antara lafal dan makna itu memiliki hubungan hanya saja tidak bersifat alamiyah dan kuat seperti dikatakan oleh kelompok pertama.
Para filosuf Yunani yang terkenal dengan pemikiran dan daya nalarnya yang tajam serta mendalam melakukan kajian tentang bahasa, yaitu apakah ada hubungan yang erat antara lafal dan makna.[10] Mereka merasa kagum dan heran dengan bunyi-bunyi yang diucapkan seseorang. Bunyi-bunyi itu dikeluarkan dari kerongkongan seseorang dan dijadikan sarana menyampaikan maksudnya dalam interaksi kehidupan bermasyarakat untuk saling tolong menolong serta memahami satu sama lain.
Setelah banyak melakukan penelitian dan diskusi-diskusi akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa antara lafal dan makna terdapat hubungan yang sangat erat sebagaimana hubungan api dengan membakar. Kuatnya hubungan lafaz dengan makna tergambar dalam tulisan Idris Maimun, seorang guru besar ilmu bahasa Arab di Jamiah al-Sulthan Maulaya Sulaiman, bahwa hubungan antara lafaz dan makna adalah seperti hubungan jasad dengan ruh.
Hal ini mengarahkan kepada pemahaman bahwa hubungan antara lafal dan makna memberikan solusi untuk mendapatkan pemahaman atas sesuatu. Dengan demikian lafaz dan makna itu mempunyai ikatan yang kuat, makna tidak terwujud tanpa adanya lafaz, sesuatu bentuk dalam pikiran (idea) tidak terbentuk kecuali ketika dilafazkan dengan lafal-lafal tertentu. Berdasarkan ini para pemikir Yunani menamakan hubungan ini dengan “al-shilah al-Tabi’iyyah atau al-shilah al-zatiyah” (naturalism-subyektivisme).
Diantara para pemikir atau filosof Yunani yang berpendapat dengan pendapat ini adalah Plato, Socrates dan Aristoteles. Plato cenderung pada hubungan yang disebut dengan al-‘alaqah al-thabi’iyyah al-zatiyyah.[11] Socrates menyimpulkan bahwa antara lafaz dan makna mempunyai ikatan yang alamiah-subektiv, yaitu adanya hubungan yang kuat antara lafaz dan makna. Makna tidak akan ada tanpa ada lafaz, karena makna hanya akan terbentuk ketika dilafazkan dengan lafaz-lafaz tertentu.
Pemikiran yang dipopulerkan oleh linguis Yunani ini juga diikuti oleh Linguis Arab, yaitu ‘Ubbad ibn al-Shaimariy, seorang linguis yang beraliran Mu’tazilah. Dia berpendapat bahwa hubungan antara lafal dan makna merupakan sesuatu yang natural dan bukan merupakan sesuatu yang ditetapkan.[12] Namun sebagian besar linguis Arab tidak sepenuhnya berpegang pada pendapat yang diadopsi oleh al-Shaimariy dari linguis Yunani. Pembicaraan tentang hubungan antara lafal dan makna banyak dikaji dalam tulisan dan karya mereka. Mereka mencoba mengaitkan antara lafaz dan maknanya dengan hubungan yang kuat, namun tidak sampai pada tataran al-shilah al-thabi’iyyah atau al-zatiyah.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa para linguis Arab ini mengatakan bahwa antara lafaz dan makna memiliki keterkaitan atau hubungan yang kuat, tetapi bukan seperti yang digambarkan dalam arti hubungan thabi’iyyah. Sedang hubungan yang dimaksud mereka itu adalah hubungan biasa (bersifat sementara) antara lafaz dengan makna. Keberagaman pendapat para linguis sekitar lafaz dan makna selanjutnya disikapi oleh al-Suyuthi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Muhammad Qadur, dengan membagi pendapat para linguis kepada empat bagian:
a.    Makna dari lafaz melihat kepada zatnya, atau di antara keduanya memiliki hubungan yang alamiah. Pendapat ini didukung oleh ‘Ubbad ibn al-Shaimariy.
b.    Segala sesuatu yang menyangkut dengan makna kata telah ditentukan oleh Allah. Pendapat ini dipegang oleh sebagian besar muslim.
c.    Makna segala sesuatu tergantung kepada manusia itu sendiri. Pendapat ini dipegang oleh kelompok Mu’tazilin.
d.    Pendapat terakhir menyatakan bahwa sebagian ditentukan Allah dan sebagian lagi atas prakarsa manusia.[13]
Secara umum hubungan antara lafaz dan makna dapat dilihat kepada 3 bagian berikut ini, yaitu:
1.    Dua kata yang berbeda dengan makna yang berbeda pula
2.    Dua kata yang berbeda namun memiliki arti yang sama
3.    Satu kata yang sama dan memiliki arti yang berbeda
Hubungan ini disebut juga dengan hubungan makna.[14] Cakupannya adalah hubungan antara kata dengan sisi yang bermacam-macam. Kajian-kajian seperti ini tidak serta merta muncul pada abad modern saja, karena linguis linguis klasik Arab pun sudah mengkajinya sejak lama.
Selain sinonim, antonim, dan homonim, mereka juga menambahkan perbedaan kata-kata yang umum kepada yang khusus dan sebaliknya. Namun demikian pada abad modern kajian kebahasaan terus dikembangkan dengan banyak objek seputar lafaz dan makna, seperti monosemi (الدال ذو المدلول الواحد ), hiponim (الإستمال أو التضمن ), sinonim (الترادف ), antonim (التضاد ), polisemi (تعدد المعنى ), homonim ( المشترك اللفظ ).
1.    Sinonim
Sinonim atau yang diistilahkan dengan al-taraduf menurut Amil Badi’ Yakub adalah beberapa kata yang berbeda tapi mempunyai makna yang sama atau sejumlah kata yang memiliki kesatuan dalam makna.
Menurut Fromkin dan Rodman sinonim adalah beberapa kata yang mempunyai kemiripan makna tapi bunyi pelafalannya (sound) berbeda. Moeliono menyebutkan gejala kemiripan makna (sinonim) disebabkan oleh sekurang-kurangnya tiga hal berikut. Pertama, kemiripan makna yang disebabkan oleh perbedaan dialek. Kedua, kemiripan makna yang muncul dengan laras bahasa yang berbeda. Ketiga, sinonim yang berasal dari jangka dan masa yang berbeda. Berikut akan disajikan beberapa contoh sinonim dalam bahasa Arab:[15]
1.    Kemiripan makna yang disebabkan oleh perbedaan dialek
a.    Khalaqa (menciptakan) bersinonim dengan shana‘a (membuat)
b.    Dukkân (kedai) yang bersinonim dengan hânût (warung)
c.    Badan (badan) yang bersinonim dengan jasad (jasad)
2.    Kemiripan makna yang muncul dengan bahasa yang berbeda
a.    Zaujah (istri) yang bersinonim dengan tsawiyyah (bini)
b.    Jimâ‘ (bersetubuh) yang bersinonim dengan mulâmasah (berhubungan badan)
c.    Mâta (mati) yang bersinonim dengan tuwuffiya (wafat)
3.    Kemiripan makna berasal dari jangka dan masa yang berbeda
a.    Maqhâ (tempat minum kopi) yang bersinonim dengan qahfii (kafe) - Bilâth (keraton) yang bersinonim dengan qashr (istana)
b.    Kâtib (pencatat) yang bersinonim dengan sikirtîr (sekretaris)
2.    Antonim
Antonim adalah relasi antar makna yang wujud logisnya sangat berbeda atau bertentangan. Contoh, benci-cinta, panas-dingin, timur-barat, suami-istri, dan sebagainya. Bila dibandingkan dengan sinonim, maka antonim merupakan gejala yang wajar dalam bahasa.[16]
Muhammad Ghalim menyebutkan dalam bukunya pendapat Ibn al-Anbariy tentang perluasan makna dalam tadhad. Seperti kata صريم yang berarti sebagian malam dengan berkembangnya waktu menjadi sebagian waktu siang. Perluasan makna ini juga terjadi dalam al-Qur’an, pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hatim al-Sajastaniy, penulis buku al-Dhad, yaitu kata ظن yang berarti يقينا kemudian شكا :
...)انها لكبيرة إلا على الخاشعين الذين يظنون(
ayat ini bermakna pujian orang yang ragu-ragu (الشاكين) ketika bertemu dengan rabb-Nya dan makna sebenarnya adalah yakin (يستيقنون).

3.    Homonim ( المشترك اللّفظى )
Menurut Ramadhan Abdul Tawwab, homonim adalah satu kata sama yang mempunyai makna yang berbeda-beda. Menurut Matthews Homonim berasal dari kata homo dan kata nim, homo sedikitnya mempunyai dua makna. Pertama, homo yang berasal dari bahasa latin yang bermakna ‘manusia’. Kedua, homo yang berasal dari bahasa Yunani yang bermakna ‘sama’. Dalam kasus ini, homo yang terdapat dalam homonim berasal dari bahasa Yunani. Sementara nim (-nym) sendiri merupakan combining form yang mempunyai makna ‘nama’ atau ‘kata’. Jadi, homonim adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan tetapi maknanya berbeda. Homonim dalam bahasa Arab banyak sekali dapat ditemukan. Ambil contoh kata إستوى yang dalam bahasa Arab mempunyai makna lebih dari 15 arti. Berikut contoh homonim dalam bahasa Arab:
a.    Kata ضرب mempunyai artî (1) berdenyut; (2) mengepung; (3) memikat; (4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8) menentukan; (9) mengetuk. Semua kata dharaba yang mempunyai sedikitnya 9 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
b.    Kata تولّ mempunyai artî (1) berkuasa; (2) menaruh perhatian; (3) mengendalikan diri; (4) mengerjakan; (5) mengemudikan; (6) memimpin. Semua kata تولّ yang mempunyai sedikitnya 6 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
c.    Kata رشد mempunyai artî (1) dewasa; (2) sadar; (3) petunjuk; (4) rasio. Semua kata رشد yang mempunyai sedikitnya 4 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama. d) Kata قبض mempunyai artî (1) menekan; (2) mengembalikan; (3) mengerutkan: (4) menyempitkan; (5) melepaskan; (6) meninggalkan; (7) bersegera. Semua kata qabadha yang mempunyai sedikitnya 7 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Lafaz adalah sesuatu yang terlahir dari lisan manusia berupa ucapan yang mengandung bunyi dan kebermaknaan.
2.    Makna adalah sesuatu yang terkandung dalam ucapan, isyarat, dan tanda. Makna dalam konteks pemakaiannya sering disejajarkan pengertiannya dengan arti, gagasan, pikiran, konsep, pesan, pernyataan maksud, informasi, dan isi. Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan.
3.    Terkait dengan hubungan lafaz dan makna, para linguis berbeda pendapat yang dapat dibagi ke dalam dua kelompok:
a.       Kelompok yang menyatakan bahwa antara lafaz dan makna memiliki hubungan yang kuat dan erat seperti halnya hubungan jasad dan ruh serta hubungan api dan asap. Kelompok ini memandang bahwa lafaz dan makna itu bersifat natural/alami (thabi’iyah)
b.      Kelompok yang menyatakan bahwa antara lafaz dan makna memang memiliki hubungan, namun bukan hubungan yang kuat seperti apa yang dipahami kelompok pertama. Alasan kelompok ini adalah karena bahasa itu bersifat arbitrer (bebas), maka lafaz dan makna semestinya juga bersifa arbitrer.
4.    Secara garis besar hubungan lafaz dan makna juga dibagi ke dalam 2 bentuk, yaitu:
a.       Hubungan sistematis yang bersifat Inheren, makna tidak terwujud tanpa adanya lafaz, sesuatu bentuk dalam pikiran (idea) tidak terbentuk kecuali ketika dilafazkan dengan lafal-lafal tertentu. Sebagai contoh adalah kata-kata anomatope, yaitu kata yang mirip dengan rupa yang digambarkan. Seperti kata cecak/cicak untuk menggambarkan binatang merayap yang berbunyi cek…cek…cek…
b.      Hubungan non-sistemik yang bersifat arbitrer. Dalam hal ini, siapa pun boleh memaknai suatu lafaz dengan makna apapun selama itu tidak keluar dari prinsip bahasa sebagai sesuatu yang konvensional.





























DAFTAR KEPUSTAKAAN
Louis Ma’luf,  al-Munjid fi al-Lughah wa  al-A’lam,  Beirut:  Dar  al-Masriq,  1997
Fayiz  al-Dayah,  Ilmu  al-Dalalah  alArabiy  al-Nazariyah  wa  al-Tathbiq, Dimasqa: Dar al-Fikri al-Ma’asir,  1996
Sarwiji  Suwandi,  Semantik Pengantar  Kajian  Makna, Media  Perkasa:Yogyakarta, 2008
Mansoer Pateda, Linguistik; Sebuah Pengantar, Bandung : Angkasa. 1998
Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003
Ahmad Mukhtar Umar, Ilmu al-Dilalah, Kuwait: Maktabah Dar al-Arabiyyah, 1982
Abdul Karim Mujahid, al-Dalalah al Lughawiyyah ‘Inda al ’Arab
Ibrahim Anis, Dalalah al-Alfaz, Kairo: Maktabah al-Anjelo al-Mishriyyah, 1991
Ahmad  Muhammad  Qadur, Mabadi’  al-Lisaniyyat, Damaskus:  Dar  alFikr, 1996
http://kampusislam.com, diakses 25/11/2017, 1.00
http://kampusislam.com, diakses 25/11/2017, 1.00





[1] Louis Ma’luf,  al-Munjid fi al-Lughah wa  al-A’lam,  (Beirut:  Dar  al-Masriq,  1997), hal. 727
[2] Fayiz  al-Dayah,  Ilmu  al-Dalalah  alArabiy  al-Nazariyah  wa  al-Tathbiq, (Dimasqa: Dar al-Fikri al-Ma’asir,  1996),  hal. 41
[3] Sarwiji  Suwandi,  Semantik Pengantar  Kajian  Makna,  (Media  Perkasa:Yogyakarta, 2008), hal. 43
[4] Mansoer Pateda, Linguistik; Sebuah Pengantar, (Bandung : Angkasa. 1998), hal. 79
[5] Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hal. 286
[6] Ahmad Mukhtar Umar, Ilmu al-Dilalah, (Kuwait: Maktabah Dar al-Arabiyyah, 1982) hal 17.
[7] Ahmad Mukhtar Umar, Ibid, hal 9.
[8] Ahmad Mukhtar Umar, Ibid, hal 20-21.
[9] Abdul Karim Mujahid, al-Dalalah al Lughawiyyah ‘Inda al ’Arab, hal 9-11.
[10] Ibrahim Anis, Dalalah al-Alfaz, (Kairo: Maktabah al-Anjelo al-Mishriyyah, 1991), hal. 62
[11] Ahmad Mukhtar Umar, Op.Cit, hal.18
[12] Ibrahim Anis, Op.Cit,hal. 64
[13] Ahmad  Muhammad  Qadur, Mabadi’  al-Lisaniyyat,  (Damaskus:  Dar  alFikr, 1996), hal. 286
[14] Ahmad Muhammad Qadur, Ibid, hal. 309
[15] http://kampusislam.com, diakses 25/11/2017, 1.00
[16] http://kampusislam.com, diakses 25/11/2017, 1.00


Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment