BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Berbeda dengan
alqur’an, hadis yang menjadi sumber ajaran islam yang kedua, keasliannya tidak
seluruhnya dapat di percaya. Hal itu disebabkan karena hadis nabi baru di
bukukan secara resmi pada awal abad ke-2 hijriyah pada khalifah Umar bin Abdul
‘Aziz, khalifah bani umayyah. pembukuan pada masa itupun masih bercampur antara
hadis nabi, fatwa sahabat dan tabi’in. Walaupun sejak masa nabi sudah ada
penulisan hadi, namun masih bersifat koleksi. kecuali itu, pertikaian politik
antar ummat islam besar, fanatic mazhab dan motivasi lainnya telah melahirkan
hadis palsu (maudhu’) yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga sangat sulit
membedakan mana hadis yang benar-benar dari nabi dan mana yang tidak.
Para ulama hadis
telah membuat pembagian hadis (klasifikasi hadis) di tinjau dari
beberapa sudut tinjauan. Diantaranya, di tinjau dari jumlah orang yang meriwayatkannya sanadnya)
dan ditinjau dari dapat diterima (maqbulnya) suatu hadis atau di tolak
(mardud).
B.
Rumusan masalah:
1.
Untuk mengetahui klasifikasi hadis di tinjau dari
perawinyaPembagian Hadis Ditinjau Dari Segi Kuantitasnya
2.
Untuk mengetahui Klasifikasi hadis berdasarkan kualitas rawinya
3.
Untuk mengetahui Klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas rawi
4.
Untuk mengetahui Kutubus sittah
BAB II
Pembahasan
Klasifikasi
Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad
A.
Pembagian Hadis Ditinjau Dari Segi Kuantitasnya
Maksud dari segi
kuantitas disini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi
sumber adanya suatu hadis. Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga
bagian, yakni hadis mutawatir, masyhur dan ahad, dan ada juga yang membaginya
hanya menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan ahad.[1]
Pendapat pertama,
yang menjadikan hadis masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian dari hadis
ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, di antaranya Abu Bakar Al-Jassa
(305-370H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul
dan ulama kalam. menurut mereka, hadis masyhur bukan merupakan hadis yang
berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadis ahad. Mereka membagi hadis
menjadi dua bagian, yaitu hadis mutawatir dan ahad.[2]
Jadi, dapat kita
simpulkan bahwa klasifikasi hadis di bagi menjadi dua bagian yaitu, hadis
mutawatir dan hadis ahad. Adapun klasifikasi hadis ini antara lain:
1.
Hadis Mutawatir
a)
Pengertian Hadis Mutawatir
Secara bahasa,
mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan. Sedangkan
mutawatir menurut istilah adalah apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak
orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari
awal hingga akhir sanad, atau hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak
pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut
sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadis, dan mereka bersandarkan dalam
meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengaran dan semacamnya.[3]
Adapun hadis
mutawatir secara istilah menurut Nur Ad-Din ‘Atar yang di kutip oleh Munzier
Suparta dalam buku ilmu hadis adalah :
اَلَّذِيْ رَوَاهُ جَمْعٌ كَثِيْرٌ
لاَيُمْكنُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ إِلَى انْتِهَاءِ
السَّنَدِ وَكَانَ مُسْتَنَدُهُمْ الْحِسُّ
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar
dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad
dengan didasarkan pada panca indera.[4]
Dari pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa hadis muatawatir adalah hadis yang diriwayatkan
oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta
sejak awal sanad sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indera. Jadi
untuk mengetahui hadis mutawatir, maka dari itu kita akan membahas
syarat-syarat hadis mutawatir yaitu:
b)
Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Menurut ulama
mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai hadis mutawatir,
bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1)
Diriwatkan oleh sejumlah besar perawi
Hadis mutawatir
harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa kepada keyakinan
bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini
para ulama berpendapat, ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak
menentukan jumlah tertentu. Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah
tertentu, yang penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan
keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk
berdusta. Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih
berselisih mengenai jumlah tertentu itu.[5]
Al-Qadhi
Al-Baqillani dalam buku ilmu hadis karangan Munzier Suparta menetapkan bahwa
jumlah perawi hadis agar bisa disebut hadis mutawatir tidak boleh berjumlah
empat. Lebih dari itu lebih baik. Ia menetapkan sekurang-kurangnya berjumlah
lima orang, dengan mengqiyaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul
‘Azmi.
Sedangkan
Al-Isthakhary dalam buku yang sama menetapkan yang paling baik minimal sepeluh
orang, sebab jumlah 10 itu merupakan awal bilangan banyak.[6]
Ulama lain menentukan 12 orang, berdasarkan firman Allah SWT :
وَبَعَثْنَا
مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيْبًا (المائدة/ 5: 12)
…..Dan telah kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin
(Al-Maidah:5:12)
Sebagian ulama
menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang sesuai dengan firman Allah SWT:
إِنْ
يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُوْنَ صَابِرُوْنَ يَغْلِبُوْا مِائَتَيْنِ (الانفال/8: 65).
Jika ada 20 orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka dapat
mengalahkan 200 orang musuh..(QS.
Al-Anfal/8:65).
Ayat ini memberikan sugesti kepada
orang-orang mukmin seabagai lahan uji, yang hanya dengan jumlah 20 orang saja
mampu mengalahkan 200 orang kafir.
Ada juga yang mengatakan bahwa
jumlah perawi yang dibutuhkan dalam hadis mutawatir minimal 40 orang,
berdasarkan firman Allah SWT:
يَايُّهَا
النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللهُ وَمِنَ اتَّبَعَكَ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ (الأنفال/8: 64)
Wahai Nabi, cukuplah Allah dan
orang-orang mukmin yang mengikutimu. (QS.Al-Anfal/8:64)
Dikutip oleh Munzier Suparta, saat
ayat ini diturunkan jumlah umat Islam baru mencapai 40 orang. Hal ini sesuai
dengan hadis riwayat Al-Thabrany dan Ibn Abbas, ia berkata “telah masuk Islam
bersama Rasulullah sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang perempuan. Kemudian Umar
masuk Islam, maka jadilah 40 orang Islam.[7]
Selain pendapat tersebut, ada juga
yang menetapkan jumlah perawi dalam hadis mutawatir sebanyak 70 orang, sesuai
dengan firman Allah SWT:
وَاخْتَارَ مُوْسَ قَوْمَهُ سَبْعِيْنَ
رَجُلاً لِمِيْقَاتِنَا (الأعراف /7: 155)
Dan Nabi Musa memilih 70 orang
dari kaumnya untuk (memohon taubat dari Kami) pada waktu yang telah kami
tentukan..(Al-A’raf/ 7: 155).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa jumlah
perawi hadis mutawatir tidak ditentukan jumlah, tetapi melebihi batas minimal 5
orang asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu
bukanlah suatu kebohongan, sudah dapat dimasukkan sebagai hadis mutawatir.
2)
Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dengan
thabaqat berikutnya.
Jumlah perawi hadis mutawatir antara
thabaqat (lapisan atau tingkatan) dengan thabaqat lainnya harus seimbang.
3)
Berdasarkan tanggapan panca indera
Berita yang disampaikan oleh
perawinya tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indera. Artinya bahwa
berita mereka yang disampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau
penglihatannya sendiri.
c)
Pembagian Hadis Mutawatir
Menurut sebagian ulama dikutip oleh
munzier surparta dalam taisir mushthalah Al Hadis, hadis mutawatir itu terbagi
menjadi dua, yaitu mutawatir lafhzi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada juga yang
membaginya menjadi tiga, yakni ditambah dengan hadis mutawatir ‘amali.[8]
1)
Hadis Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang
banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu
dan lainnya, yakni:
مَاإِتَّفَقَتْ
أَلْفَاظُ الرُّوَاةِ فِيْهِ وَلَوْ حُكْمًا / هُوَ مَا تَوَاتَرَ لَفْظُهُ وَفِيْ
مَعْنَاهُ
Hadis yang sama bunyi lafazh,
hukum dan maknanya.
Contoh hadis mutawatir lafzhi adalah
:
مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مُقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه البخارى)
Barang siapa yang sengaja
berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di
neraka. (HR.Bukhari)
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar dikutip
oleh soetari dalam buku ilmu hadis, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang
sahabat, dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh
62 orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadis tersebut terdapat
pada 10 kitab hadis, Al-Bukhari, muslim, AL-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah,
Al-Turmudzi, Al-Thayalisi, Abu Hanifah, Al-Thabrani, Al-Hikam.[9]
2)
Hadis mutawatir ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi ialah hadis
yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dengan riwayat yang
lain, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kulli). Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis.[10]
مَاإِخْتَلَفُوْا
فِيْ لَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ مَعَ رُجُوعِهِ لِمَعْنًى كُلِّيٍّ.
Hadis yang berlainan bunyi dan
maknanya, tetapi dapat diambil makna umum.
Contoh: hadis
tentang mengangkat tangan dikala berdo’a
مَارَفَعَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ حَتَّى رُؤِيَ بَيَاضُ ابْطَيْهِ فِى
شَيْئٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي الْإِسْتِسْفَاءِ (متفق عليه)
Nabi SAW tidak mengangkat kedua
tangannya dalam berdo’a selain dalam do’a shalat istisqa dan beliau mengangkat
tangannya hingga tampak putih kedua ketiaknya.
3)
Hadis mutawatir ‘amali
Yang di maksud dengan Hadis
mutawatir ‘amali ialah :
مَا
عُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ وَتَوَاتَرَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهُ أَوْأَمَرَبِهِ أَوْ غَيْرُ
ذَالِكَ وَهُوَ الَّذِي يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ تَعْرِيْفُ الإِجْمَاعِ إِنْطِبَاقًا
صَحِيْحًا.
Sesuatu yang diketahui dengan
mudah, bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat islam, bahwa
nabi Saw mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah
disepakati.
Contoh : berita-berita yang
menerangkan waktu raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘ied, hijab perempuan
yang bukan mahram, kadar zakat dan segala rupa amal yang telah menjadi
kesepakatan, ijma’.[11]
d)
Nilai hadis mutawatir
Hadis mutawatir
mempunyai nilai ‘ilmu dharuri (yufid ila ‘ilmi al-dharuri), yakni keharusan
untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadis
mutawatir tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’I (pasti).[12]
2.
Hadis Ahad
Menurut Al-Qasimi
dikutip oleh munzier suparta, Al-Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti
al-wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang
disampaikan oleh satu orang.[13]
Hadis Ahad adalah
hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi
syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Hal ini
dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis berikut ini.[14]
هُوَ مَالَا يَنْتَهِي إِلَى
التَّوَاتُرِ
Hadis
yang tidak mencapai derajat mutawatir
a.
Pembagian Hadis Ahad
Jumlah rawi dari
masing-masing thabaqah, mungkin satu orang, dua orang, tiga orang, atau malah
lebih banyak, namun tidak sampai tingkat mutawatir. Berdasarkan thabaqah
masing-masing rawi tersebut, hadis ahad ini dapat dibagi dalam tiga macam,
yaitu masyhur, ‘aziz, dan gharib.[15]
1) Hadis Masyhur
a) pengertian hadis masyhur
Menurut
Ash-shidieqy dikutip oleh sholahudin, masyhur secara bahasa adalah muntasyir,
yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah popular. adapun menurut istilah, hadis
masyhur adalah:
مَارَوَاهُ
ثَلاَثَةٌ فَأَكْثَرَ فِي كُلِّ طَبَقَةٍ مَالَمْ يَبْلُغْ حَدَّ التَّوَاتُرِ
Hadis yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap thabaqah tidak mencapai
derajat mutawatir.[16]
Hadis ini
dinamakan hadis masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. ulama
Hanafiyah mengatakan bahwa hadis masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat
kepada keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak
dikatakan kafir.[17]
Menurut Nur Al-Din dikutip oleh munzier, hadis masyhur ini yang berstatus
shahih, hasan, dan dhaif. Yang dimaksud dengan hadis masyhur shahih adalah
hadis masyur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis shahih baik pada
sanad maupun matannya, seperti hadis ibnu umar:
إِذَا
جَاءَ أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ (رواه البخاري)
Bagi siapa yang
hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi. (HR.Bukhari).
Sedangkan yang
dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah hadis masyhur yang telah memenuhi
ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya, seperti sabda
Rasulullah Saw.[18]
لاَضَرَارَ وَلاَضِرَارَ
Jangan melakukan
perbuatan yang berbahaya (bagi diri dan orang).
Adapun yang dimaksud dengan hadis masyhur dha’if adalah hadis
masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadis shahih dan hasan, baik pada sanad
maupun ada matannya, seperti hadis :
طَلَبُ
العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
Menuntut ilmu
wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan.
Dari tujuan inilah
menyebabkan ada suatu hadis bila dilihat dari bilangan rawinya tidak dapat
dikatakan hadis masyhur, tetapi bila dilihat dari kepopulerannya tergolong
hadis masyhur. Dari segi ini, maka hadis ahad masyhur tersebut terbagi pada :[19]
a) Masyhur dikalangan muhaddisin dan lainnya, seperti hadis :
الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (البخاري مسلم )
Seorang muslim itu ialah orang
yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya
(HR.Bukhari dan Muslim).
b) Masyhur dikalangan ahli ilmu tertentu (ahli fiqih, nahwu, ushul
fiqih, tasawuf dan lain-lain), seperti hadis yang masyhur dikalangan ulama
fiqih saja :
لاَصَلاَةَ
لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ (الدار قطنى عن أبي هريرة)
Tidaklah sah shalat bagi orang yang
berdekatan dengan masjid, selain shalat didalam mesjid (HR.al-Daruquthni)
Masyhur dikalangan ulama ushul fiqih
:
رُفِعَ
عَنْ أُمَّتِي الْخطَاءُ وَالنِّسْيَانُ وَمَااسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ (رواه
طبراني عن أبي عباس)
Terangkat (dosa) dari ummatku:
kekeliruan, lupa dan perbuatan yang mereka lakukan karena terpaksa
(HR.Thabrany)
لِلسَّائِلِ
حَقٌّ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ (احمد والنسائي عن أبي هريرة)
Bagi sipeminta-minta itu ada hak,
walaupun datang dengan kuda (HR.Ahmad dan An-Nasa’i)
2) Hadis ‘Aziz
Menurut Ash-shidieqy dikutip oleh
solahudin bahwa, ‘Aziz menurut bahasa adalah Asy-syafief (yang mulia), An-nadir
(yang sedikit wujudnya), Ash-shab’bul ladzi yakadu la yuqwa ‘alaih (yang sukar
diperoleh), dan Al-Qowiyu (yang kuat).[20]
Adapun menurut istilah, dari Rahman
dikutip oleh solahuddin, bahwa hadis ‘Aziz adalah:
مَارَوَاهُ
إِثْنَانِ وَلَوْكَانَ فِي طَبَقَةٍ وَاحِدَةٍ، ثُمَّ رَوَاهُ بَعْدَ ذَالِكَ
جَمَاعَةٌ.
Hadis yang diriwayatkan oleh dua
orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja,
kemudian orang-orang meriwayatkannya.
a) Berikut ini contoh hadis ‘aziz
pada thabaqah pertama :
نَحْنُ
الأَخِرُوْنَ السّابِقُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه احمد والنسائي)
Kami adalah orang-orang terakhir di
dunia yang terdahulu pada hari kiamat.(HR.Ahmad dan Nasa’i).
Hadis tersebut diriwayatkan oleh dua
orang sahabat (thabaqah) prtama, yakni Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Abu Hurairah.
b) Contoh hadis ‘aziz pada thabaqat
kedua, yaitu:
لاَيُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ مِنْ وَلَدِهِ
وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ (متفق عليه)
Tidak sempurna iman seseorang darimu
sehingga aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya,
anak-anaknya, dan manusia seluruhnya. (mutafaq’alaih).
Hadis tersebut diterima oleh anas
bin malik (thabaqah pertama), kemudian diterima oleh Qatadah dan ‘Abd. Al-Aziz
(thabaqah kedua).[21]
3.
Hadis Gharib
1). Pengertian Hadis Gharib
Menurut As-Shidiqie dikutip oleh
solahudin, bahwa gharib menurut bahasa adalah : 1). ba’idul ‘amil wathani (yang
jauh dari tanah), dan 2) kalimat yang sukar dipahami. Adapun menurut istilah :[22]
هُوَ
مَايَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ رَاوٍ وَاحِدٌ
Hadis gharib adalah hadis yang
diriwayatkan oleh seorang rawi.
2). Klasifikasi Hadis Gharib
Ditinjau dari segi bentuk
penyendirian rawi, hadis gharib terbagi pada dua macam, yaitu gharib mutlaq dan
gharib nisby.
-
Hadis Gharib muthlaq
Menurut Rahman dikutip oleh
solahudin bahwa, Gharib muthaq adalah hadis yang rawinya menyendiri dalam
meriwayatkan hadis itu. Penyendirian rawi hadis muthlaq itu berpangkal ada
tempat ashlus sanad, yakni tabi’in bukan sahabat.[23]
-
Gharib Nisby
Gharib Nisby adalah apabila
penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi.
Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi
mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain :
1)
Sifat keadilan dank kedhabitan (ketsiqatan) rawi
2)
Kota atau tempat tinggal tertentu
3)Meriwayatkannya
dari orang tertentu.
B.
Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitas Rawinya
Menurut
As-Shidieqy dikutip oleh soetari bahwa, pemabahasan tentang kehujahan hadis
meliputi nilai atau kualitas hadis dan pengalaman hadis. Kualitas hadis ada
yang maqbul dan ada yang mardud. Yang dimaksud dengan maqbul menurut lughat,
adalah مَأْخُوْذٌ atau مُصَدَّقٌ artinya yang diambil atau yang dibenarkan, atau yang diterima.[24]
Menurut istilah muhaditsin maqbul berarti :
مَادَلَّ
دَلِيْلٌ عَلَى رَجْحَانِ ثُبُوْتِهِ
Yang ditunjuki
oleh suatu keterangan, bahwa nabi Saw ada menyabdakannya, yakni adanya lebih
berat dari tidak adanya.
Yang dimaksud
dengan mardud menurut lughat adalah yang di tolak, yang tidak terima. menurut
istilah muhaditsin mardud berarti:
مَالَمْ
يَدُلُّ دَلِيْلٌ عَلَى رَجْحَانِ ثُبُوتِهِ وَلاَ عَدَمِ ثُبُوْتِهِ بَلْ
يَتَسَاوَى الأَمْرَانِ فِيْهِ
Sesuatu hadis yang
tidak ditunjuki oleh sesuatu keterangan atas berat adanya dan tiada ditunjuki
berat ketiadaannya, adanya dengan tidak adanya bersamaan.[25]
Ditinjau dari segi
maqbul dan mardud diatas, hadis ahad terbagi kepada: hadis shahih, hadis hasan,
hadis dhaif. Hadis shahih dan hasan nilainya maqbul, sedangkan hadis dhaif
nilainya mardud.
Menurut Rahman dikutip oleh
solahudin bahwa, Hadis ditinjau dari segi kualitas rawi yang meriwayatkannya, terbagi
dalam tiga macam, yaitu shahih, hasan, dhaif.[26]
1. Hadis Shahih
a. Pengertian Hadis Shahih
Menurut As-Shidiqie dikutip oleh
solahudin bahwa, Shahih menurut lughah adalah lawan dari “saqim”, artinya sehat
lawannya sakit, hak lawan batil.[27]
Menurut ahli hadis, hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip
oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada
Rasulullah Saw., atau sahabat atau tabi’in, bukan hadis yang syadz
(kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.[28]
Sedangkan menurut Soetari bahwa, defenisi hadis shahih adalah
مَا
نَقَلَهُ عَدْلٌ تَامٌّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ
وَلاَشَاذٍ
Hadis yang dinukil atau diriwayatkan
oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak
ber’illat dan tidak janggal.
b. Syarat-syarat Hadis shahih
Menurut muhaddisin, suatu hadis
dapat dinilai shahih, apabila memenuhi syarat berikut.[29]
1). Rawinya bersifat adil
2). Rawinya bersifat dhabit
3). Sanadnya bersambung
4). Tidak ber’illat
5). Tidak syadz
c. Klasifikasi Hadis Shahih
Hadis shahih terbagi menjadi dua,
yaitu shahih li dzatih dan shahih li ghairih. Shahih li dzatihi adalah hadis
shahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, seperti yang telah
disebutkan di atas. Adapun hadis shahih li ghairih adalah hadis shahih yang
tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Misalnya, rawinya yang adil
tidak sempurna kedhabitannya (kapasitas intelektualnya rendah).
2. Hadis Hasan.
a. Pengertia Hadis Hasan
Menurut Ath-Thahhhan dikutip ole
solahudin bahwa, hasan menurut lughat adalah sifat musybahah dari “Al-Husna”,
artinya bagus.[30]
Menurut Ibn Hajar dikutip oleh
solahudin, hadis hasan adalah :
خَبَرُ
الأَحَادِ بِنَقْلِ عَدْلٍ تَامِّ الضَّبْطِ مُتَّصِلِ السَّنَدِ غَيْرِ مُعَلَّلٍ
وَلاَ شَاذٍ.
Khabar ahad yang dinukilkan oleh
orang yang adil, kurang sempurna hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat,
dan tidak ada syadz.[31]
Untuk membedakan antara hadis shahih
dan hadis hasan, kita harus mengetahui batasan dari kedua hadis tersebut.
Batasannya adalah keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang tidak
begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadis shahih terdapat rawi-rawi yang
benar-benar kuat ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan
penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujjah dan kandungannya dapat
dijadikan penguat.
b. klasifikasi hadis hasan
Sebagaimana hadis shahih, hadis
hasan pun terbagi atas hasan li dzatih dan hasan li ghairih. Hadis yang memenuhi
segala syarat-syarat hadis hasan disebut hadis hasan li dzatih. sedangkan hasan
li ghairih adalah hadis dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak
salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid.
Dikutip oleh Al-Qaththan, Contohnya:
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari hadis Muhammad bin Amru, dari Abi Salamah,
dari Abi Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:[32]
لَوْلاَ
أَنْ أَشَقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
Seandainya tidak memberatkan umatku,
niscaya aku perintah mereka untuk bersiwak di waktu tiap-tiap hendak sholat.
Disini kita dapatkan, Muhammad bin
amru bukanlah orang mutqin. sebagian ulama menganggapnya dhaif karena buruk
hafalannya. Sebagian yang lain menganggapnya tsiqah karena kejujuran dan
kemuliannya. maka haditsnya adalah hasan.
3. Hadis Dhaif
a. Pengertian Hadis Dhaif
Hadis Dhaif, menurut lughat adalah
yang lemah, lawan “qawi” yang kuat. sedangkan menurut istilah muhaditsin
adalah:[33]
مَالَمْ
يَبْلُغْ مَرْتَبَةَ دَرَجَةِ الْحَسَنِ
Hadis yang tidak sampai pada derajat
hasan.
b. Klasifikasi Hadits Dhaif
Para ulama muhaditsin mengemukakan
sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua jurusan, yakni jurusan sanad dan jurusan
matan. sebab-sebab tertolaknya hadis dari jurusan sanad adalah :
a.
Terwujudnya cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke
dhabitannya.
b.
Ketidak bersambungannya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau
lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Adapun cacat pada keadilan dan
kedhabitan rawi itu ada 10 macam yaitu sebagai berikut:[34]
1.
Dusta
2. Tertuduh dusta
3. Fasik
4. Banyak salah
5. Lengah dalam menghapal
6. Menyalahi riwayat orang kepercayaan
7. Banyak waham (purbasangka)
8. Tidak diketahui identitasnya
9. Penganut bid’ah
10. Tidak baik hafalannya.
c. Klasifikasi Hadis Dha’if Berdasarkan Cacat Pada Keadilan Dan
Kedhabitannya
1.
Hadits maudhu’i
a. Pengertian hadis maudhu’
Hadis maudhu’ adalah [35]
هُوَالْمُخْتَلَعُ الْمَصْنُوْعُ
الْمَنْسُوْبُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زُوْرًا
وَبُهْتَانًا سَوَاءٌ كَانَ ذَالِكَ عَمْددًا أَمْ خَطَأً
Hadits yang dicipta serta dibuat
oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbahkan kepada rasulullah Saw
secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.
-
Ciri-ciri hadis maudhu’
Para ulama menentukan bahwa
cirri-ciri ke maudhu’an suatu hadis terdapat pada sanad dan matan hadis.
Ciri-ciri yang terdapat pada sanad
hadis yaitu adanya pengakuan dari sipembuat sendiri, qarinah-qarinah yang
memperkuat adanya pengakuan membuat hadis maudhu’, dan qarinah-qarinah yang
berpautan dengan tingkahlakunya.
Adapun cirri-ciri yang terdapat pada
matan, dapat ditinjau dari dua segi yaitu, segi ma’na dan segi lafaz. Dari segi
ma’na yaitu, bahwa hadis itu bertentangan dengan Alqur’an, hadis mutawatir,
ijma’ dan logika yang sehat. Dari segi lafazh, yaitu bila susunan kalimatnya
tidak baik dan tidak fasih.
2. Hadis Matruk
Menurut Ath-Tthahhan, bahwa Hadis
matruk adalah
هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ فِيْ
إِسْنَادِهِ رَاوٍ مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ
Hadis yang pada sanadnya ada seorang
rawi yang tertuduh dusta.
Rawi yang tertuduh dusta adalah
seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum
dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadis. Seorang
rawi yang tertuduh dusta, bila ia bertobat dengan sunggu-sungguh, dapat
diterima periwayatan hadisnya.
3.
Hadis munkar
Menurut
Ath-Tthahhan dikutip oleh solahudin, Hadis munkar adalah hadis yang pada
sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahannya, banyak kelengahannya atau
tampak kefasikannya. [36]
4. Hadis Syadz
Hadis syadz adalah hadis yang
diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi riwayat orang yang
lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak
ataupun lebih tinggi daya hapalnya.
d. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Gugurnya Rawi.
a.
Hadis Mu’allaq
Mu’allaq menurut bahasa adalah isim
maf’ul yang berarti terkait dan tergantung. sementara menurut istilah, hadis
mu’allaq adalah hadis yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad
secara berurutan. Contohnya : Bukhari meriwayatkan dari Al-majisyun dari
Abdullah bin Fadhl dari Abu Salamah dari abu hurairah r.a, dari Nabi Saw
bersabda :
لاَتُقَاضِلُوْا بَيْنَ الأَنْبِيَاءِ
b.
Hadis Mu’dhal
Mud’dhal secara bahasa adalah
sesuatu yang dibuat lemah dan lebih. Sedangkan menurut istilah muhaditsin,
hadis mu’dhal adalah hadis yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara
berurutan.
c.
Hadis Mursal
Menurut Al-Khatib dikutip oleh
solahudin, Mursal menurut bahasa, sim maf’ul, yang berarti “yang dilepaskan.
Adapun hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur rawi dari sanadnya
setelah tabiin, baik tabiin besar maupun tabiin kecil.
d.
Hadis Munqhathi
Menurut Rahman dikutip oleh
solahudin, hadis munqhati’ adalah hadis yang gugur seorang rawinya sebelum
sahabat di satu tempat, atau gugur dua
orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
-
Macam-macam pangguguran (inqhita’) sebagai berikut :
1) Inqhita’ dilakukan dengan jelas sekali.
2) Inqhita’ dilakukan dengan samar-samar
3) Diketahui dari jurusan lain
e.
Hadis Mudallas
Menurut Rahman dikutip oleh
solahudin Hadis Mudallas adalah hadis yang diriwayatkan menurut cara yang
diperkirakan bahwa hadis itu tidak bernoda.
-
Macam-macam tadlis sebagai berikut:
1. Tadlis Isnad
2. Tadlis syuyukh
3. Tadlis taswiyah (tajwid)
e. Klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas rawi
a.
Hadits Marfu’
Hadits marfu’
adalah perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, baik sanad hadits tersebut bersambung-sambung atau terputus, baik yang
menyandarkan hadits itu sahabat maupun yang lainnya.
Definisi ini
memungkinkan hadits muttashil, mu’allaq, mursal, munqathi’ dan mudhlal menjadi
marfu’. Adapun hadits mauquf dan maqthu’ tidak dapat menjadi marfu’ bila tidak
ada qarinah yang memarfu’kannya. Dengan demikian, dapat diambil ketetapan bahwa
tiap-tiap hadits marfu’ itu tidak selamnya bernilai shahih atau hasan, tetapi
setiap hadits shahih atau hasan, tentu marfu’ atau dihukumkan marfu’.
b.
Hadits Mauquf
Hadits mauquf
adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrir. Adapun hokum hadits mauquf pada prinsipnya tidak dapat
dibuat hujjah, Kecuali ada qarinah yang menunjukkan (yang menjadi marfu’).
c.
Hadits Maqthu’
Hadits maqthu’
adalah hadits yang disandarkan kepada tabiin atau orang yang sebawahnya, baik
perkataan atau perbuatan.[37]
KUTUBUS SITTAH
a.
Imam Bukhari
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah
Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Almughirah ibn Bardizbah, adalah ulama
hadits yang sangat masyhur kelahiran Bukhara suatu kota di Uzbekistan, wilayah
Uni Soviet, yang merupakan simpang jalan antara Rusia, Persia, Hindia dan
Tiongkok. Beliau lebih dikenal dengan Bukhari (putera daerah Bukhara). Beliau
dilahirkan setelah shalat jum’at, tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M).
Nenek moyang beliau bernama Almughirah ibn Bardizbah, konon adalah seorang
majusi yang menyatakan keislamannya di hadapan walikota yang bernama Al Yaman
ibn Ahnas Al Ju’fy, yang karena itulah kemudian beliau dinasabkan dengan Al
Ju’fy atas dasar Wala’ Al islam. Bapaknya, Ismail adalah seorang ulama
hadits juga yang mempelajari materi ini dibawah bimbingan sejumlah tokoh ulama
termasyhur yaitu Malik ibn Anas, Hammad ibn Zayd, dan ibnu Mubarak. Karya-karyanya
:
1.
Al-jami’
Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtashar min Umur Rasulillah wa Sunanih wa Ayyamihi atau biasa
disebut “Shahih Al-Bukhari’. Yakni kumpulan hadits-hadits shahih yang
beliau persiapkan selama 16 tahun.
2.
Qadhaya
Al-Shahabah wa Al-Tabi’in. Kitab ini dikarang ketika berusia 18 tahun,
dan sekarang tidak ada berita tentang kitab tersebut.
3.
Al-Tarikh
Al-Kabir
(8 jilid) telah terbit 3 kali dengan tiga kali revisi, dan revisi yang terakhir
yang paling akurat.
4.
Al-Tarikhu
Al-Ausath
5.
Al-’Adabu
Al-Munfarid
6.
Birru
Al-Walidain
7.
Karya lainnya
adalah Qira’at Khalf Al-Imam, Al-Tafsir Al-Kabir, Al-Musnad Al-Kabir,
Al-Adab Al-Mufrad, Raf’ Al-Yadain, Al-Dhu’afa, Al-jami’ Al-Kabir, Al-Asyribah,
Al-Hibah, Asami’ Al-Shahabah, Al-Wuhdan, Al-Mabsuth, Al-‘Illal, Al-Kuna,
Al-Fawa’id.
Imam Bukhari meninggal dunia pada
hari Jum’at malam Sabtu selesai shalat Isya’, tepat pada malam ‘Idul Fitri 1
Syawal 256 H (31 Agustus 870 M), dan dikebumikan sehabis sembahyang Zhuhur pada
hari Sabtu, di Khirtank, suatu kampung tidak jauh dari Samarkand.
b.
Imam Muslim
Nama lengkap
imam muslim adalah Abu Al-Husain Muslim ibn Al-Hajjaj Al-Qusyairy.
Beliau dinisbatkan kepada Naisabury karena beliau adalah putera kelahiran
Naisabur, pada tahun 204 H (820 M), yakni kota kecil di Iran bagian Timur Laut.
Beliau juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya Qusyair ibn Ka’ab ibn Rabi’ah
ibn Sha-Sha’ah suatu keluarga bangsawan besar.
Imam Muslim
adalah seorang Muhadditsin, hafidh lagi terpercaya terkenal sebagai ulama yang
gemar berpergian mencari hadits. Ia mulai belajar hadits pada tahun 218 H saat
berusia kurang lebih 15 tahun. Beliau kunjungi kota Khurasan untuk berguru
hadits kepada Yahya ibn Yahya dan Ishaq ibn Rahawaih, didatanginya kota Rey
untuk belajar hadits pada Muhammad ibn Mahran, Abu Hassan dan lainnya, di Irak
ditemuinya Ibnu Hanbal, Abdullah ibn Masalamah dan selainnya, di Hijaz
ditemuinya Yazid ibn Mansur dan Abu Mas’ad, dan di Mesir beliau berguru kepada
‘Amir ibn Sawad, Harmalah ibn Yahya dan kepada ulama hadits yang lainnya.
Karya-karyanya
:
1.
Shahih Muslim yang judul
aslinya, Al-musnad al-shahih al-mukhtashar min al sunan bi naql al-‘adl’an
al-‘adli ‘an rasul allah.
2.
Al-musnad
Al-kabir.
Kitab yang menerangkan tentang nama-nama rijal al-hadits.
3.
Al-Jami’
Al-Kabir
4.
Kitab I’lal wa
Kitabu Auhamil Muhadditsin.
5.
Kitab Al-Tamyiz
6.
Kitabu man
Laisa Lahu Illa Rawin Wahidun
7.
Kitab
Al-Thabaqat Al-Tabi’in
8.
Kitab
Muhadlramin
9.
Kitab lannya
adalah Al-Asma’ wa Al-Kuna, Irfad Al-Syamiyyin, Al-Aqran, Al-Intifa’ bi
Julus Al-Shiba’, Aulad Al-Shahabah, Al-Tarikh, Hadits Amr ibn Syu’aib, Rijal
‘Urwah, Shalawatuh Ahmad ibn Hanbal, Masyayikh Al-Tsauri, Masyayikh Malik dan
Al-Wuhdan.
Dari sekian banyak karangan Imam
Muslim, Shahih Muslim lah yang paling terkenal. Ada sejumlah kitab syarah yang
mengomentari kitab hadits tersebut. Diantara sekian banyak kitab yang memberi
syarah, yang paling popular adalah kitab Imam Nawawi (wafat 676 H), yang diberi
judul Al-Manhaj fi Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj.
Imam Muslim wafat pada hari ahad
bulan Rajab 261 H (875 M), dan dikebumikan pada hari Senin di Naisabur.
c.
Imam Abu Daud
Nama lengkapnya adalah Imam Abu
Daud Sulaiman ibn Al-Asy’ats ibn Ishaq Al-Sijistany. Beliau dinisbatkan
kepada tempat kelahirannya, yaitu di Sijistan (terletak antara Iran dan
Afghanistan). Beliau di lahirkan di kota tersebut, pada tahun 202 H (817 M). Beliau
juga senang merantau dan (rihlah) mengelilingi negari-negeri tetangga yaitu
Khurasan, Ravy, Harat, Kuffah, Baghdad, Tarsus, Damaskus, Mesir dan Bashrah,
untuk mencari hadits dan ilmu-ilmu yang lainnya. Kemudian dikumpulkan, disusun
dan ditulisnya hadits-hadits yang telah diterima dari ulama-ulama Irak,
Khurasan, Syam dan Mesir. Beliau sampai menghabiskan waktu 20 tahun di kota
Tarsus. Karya-karyanya :
1.
Al-Marasil
2.
Masa’il Al-Imam
Ahmad
3.
Al-Nasikh wa
Al-Mansukh
4.
Risalah fi Wash
Kitab Al-Sunan
5.
Al-Zuhd
6.
Ijabat ’an
Sawalat Al-’Ajuri
7.
As’ilah ’an
Ahmad ibn Hanbal
8.
Tasmiyat
Al-Ikhwan
9.
Qaul Qadr
10.
Al-Ba’ts wa
Al-Nusyur
11.
Al-Masa’il
allati Halafa Al-Anshar
12.
Dala’il
An-Nubuwat
13.
Fadha’il
Al-Anshar
14.
Musnad Malik
15.
Al-Du’a
16.
Ibtida’
Al-Wahyu
17.
Al-Tafarrud fi Al-Sunan
18.
Akhbar
Al-Khawarij
19.
A’lam
Al-Nubuwwat
20.
Sunan Abu Daud.
Sunan Abu Daud
ini merupakan karyanya yang terbesar. Beliau mengaku telah mendengar hadits
Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Abu Daud meninggal pada hari Jum’at 15
Syawal 275 H (889 M) di Bashrah.
d.
Imam
Al-Tirmidzi
Imam
Al-Tirmidzi nama lengkapnya adalah Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Tsurah ibn
Musa ibn Dhahak Al-Salami Al-Bughi. Al-Tirmidzi adalah seorang muhaddits
yang dilahirkan di kota Turmudz, sebuah kota kecil dipinggir Utara Sungai Amuderiya,
sebelah Utara Iran. Beliau dilahirkan dikota tersebut pada bulan Dzulhijjah 200
H (atau tepatnya pada 824 M). Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi, keduanaya
sedaerah, sebab Bukhara dan Tirmidz itu adalah satu daerah dari daerah Ma
Wara’un Nahr. Karya-karyanya :
1.
Al-Jami’
Al-Mukhtashar min Al-Sunan ‘an Rasulillah
2.
Tawarikh
3.
Al-‘Illal
4.
Al-‘Illal
Al-Kabir
5.
Syama’il
6.
Asma’
Al-Shahabah
7.
Al-Asma’ wal
Kuna
8.
Al-Atsar
Al-Mawqufah
Karya beliau
yang terkenal adalah Al-Jami’ atau Sunan Al-Tirmidzi. Penulisan kitab
ini diselesaikan pada tanggal 10 Dzulhijjah 270 H. salah satu buku syarah yang
mengomentari kitab Sunan Al-Tirmidzi ini adalah
karangan Abdurrahman Mubarakpuri dengan judul Tuhfat Al-Ahwadzi
(4 jilid). Imam Tirmidzi wafat di
Turmudz pada malam Senin tanggal 13 Rajab 279 H (829 M).
e.
Imam Al-Nasa’i
Nama lengkap
Imam Nasa’I adalah Abu Abd Al-Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn
Bahar Al-Khurasani Al-Nasa’i. nama beliau dinisbatkan kepada kota tempat
beliau dilahirkan. Beliau dilahirkan pada tahun 215 H di kota Nasa’ yang
masih termasuk wilayah Khurasan. Ia mulai menjalani pengembaraan untuk
mempelajari hadits ini ketika beliau berumur 15 tahun. Karya-karyanya :
1.
Al-Sunan
Al-Kubra
2.
Al-Sunan
Al-Mujtaba’
3.
Kitab Tamyiz
4.
Kitab
Al-Dhu’afa
5.
Khasha’ish ‘Ali
6.
Musnad ‘Ali
7.
Musnad Malik
8.
Manasik Al-Hajj
9.
Tafsir
Dari
sekian banyak karyanya tersebut, yang utama ialah sunan Al-Kubra yang
akhirnya terkenal dengan Sunan Al-Nasa’i. Beliau wafat pada hari Senin
13 Shafar 303 H (915 M) di Al-Ramlah. Menurut satu pendapat, ia meninggal di
Mekkah, yakni saat belliau mendapat
percobaan di Damsyik meminta supaya dibawa ke Mekkah, sampai beliau meninggal
dan kemudian dikebumikan disuatu tempat antara Shafa dan Marwa.
f.
Imam Ibnu Majah
Ibnu Majah adalah nama nenek moyang
yang berasal dari kota Qazwin, salah satu kota di Iran. Nama lengkap Imam Ibnu
Majah adalah Abu Abdillah ibn
Yazid Ibnu Majah. Beliau lahir pada
tahun 207 H (824 M). beliau juga berkeliling ke beberapa negeri untuk menemui
dan berguru hadits kepada para ulama hadits, Ali ibn Muhammad Al-Tanafasi
(w.233 H) adalah gurunya yang paling pertama. Karya-karyanya :
1.
Tafsir
2.
Al-Tarikh (sejarah para
perawi hadits). Tafsir dan tarikh ini,sampai saat ini tidak ada kabarnya.
Tampaknya telah hilang.
3.
Sunan
Kitab
Sunan ini yang kemudian terkenal dengan Sunan Ibnu Majah. Beliau
meninggal pada hari Senin, 21 Ramadhan 273 H (887 M).
g.
Imam Malik Ibn
Anas
Nama lengkap
dari Imam Malik ibn Anas adalah Imam Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik
ibn Abu Amir ibn Amir ibn Al-Harits, beliau adalah seorang imam Dar
Al-Hijrah dan seorang faqih, pemuka madzhab Malikiyyah. Silsilah beliau
berakhir pada Ya’rub ibn Al-Qanthan Al-Ashbahy. Nenek moyangnya adalah Abu Amir
seorang sahabat nabi yang selalu mengikuti seluruh perperangan yang terjadi
pada zaman nabi, kecuali perang badar. Sedangkan kakeknya adalah Malik seorang
tabi’in yang besar dan fuqaha kenamaan dan salah seorang dari 4 orang tabi’in
yang jenazahnya diusung sendiri oleh khalifah Utsman ke tempat pemakamannya. Karya-karyanya
:
1.
Al-Muwaththa’
2.
Risalah ila ibn
Wahab fi Al-Qadr
3.
Kitab Al-Nujum
4.
Risalah fi
Al-‘Aqdhiyah
5.
Tafsir li
Gharib Al-Qur’an
6.
Risalah ila
Al-Laits ibn Sa’ad
7.
Risalah ila Abu
Ghassan
8.
Kitab Al-Syiar
9.
Kitab Manasik
Imam Malik
wafat pada hari ahad, tanggal 14 Rabiul Awal 169 H (menurut sebagian pendapat
tahun 179 H) di Madinah dan dimakamkan di Baqi’, dengan meninggalkan tiga orang
putra yaitu Yahya, Muhammad dan Hammad. [38]
baca juga
MAKALAH METODOLOGI TAFSIR; pengertian metode dan metodologi, sumber-sumber tafsir dan urgensi tafsir al-qur’an
MAKALAH PENAFSIRAN AL-QUR’AN; pengertian, ilmu tafsir, perbedaan ilmu tafsir dan ilmu al-qur’an, peran bahasa arab dalam penafsiran al-qur’an
MAKALAH AL-QUR’AN; pengertian, nuzul al-qur’an, ayat-ayat pertama dan terakhir, kodefikasi al-qur’an pada zaman nabi, mushaf utsmani
MAKALAH PENAFSIRAN AL-QUR’AN; pengertian, ilmu tafsir, perbedaan ilmu tafsir dan ilmu al-qur’an, peran bahasa arab dalam penafsiran al-qur’an
MAKALAH AL-QUR’AN; pengertian, nuzul al-qur’an, ayat-ayat pertama dan terakhir, kodefikasi al-qur’an pada zaman nabi, mushaf utsmani
BAB III
Kesimpulan
C.
Pembagian Hadis Ditinjau Dari Segi Kuantitasnya
4.
Hadis Mutawatir
Pengertian Hadis
Mutawatir. Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang
artinya berurutan.
2. Hadis Ahad
Menurut Al-Qasimi dikutip oleh
munzier suparta, Al-Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau
satu.
3. Hadis Gharib
Pengertian Hadis
Gharib. Menurut As-Shidiqie dikutip oleh solahudin, bahwa gharib menurut bahasa
adalah : 1). ba’idul ‘amil wathani (yang jauh dari tanah), dan 2) kalimat yang
sukar dipahami.
D.
Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitas Rawinya
1.
Hadis Shahih
2.
Hadis Hasan.
3.
Hadis Dhaif
E.
Klasifikasi
Hadits Berdasarkan Kuantitas Rawi
d.
Hadits Marfu’
e.
Hadits Mauquf
f.
Hadits Maqthu’
F.
Kutubus Sittah
a.
Imam Muslim
b.
Imam Abu Daud
c.
Imam Abu Daud
Saran dan Kritikan : Kami pemakalah
menginginkan saran dan masukan dari pembaca untuk membangun makalah kedepannya
DAPATAR PUSTAKA
Munzier suparta,
Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo Persada 2006.
Syaikh manna’, Pengantar
Studi Ilmu Hadis, Katalog Dalam Terbitan (KDT), Pustaka Al-Kautsar 2005.
Endang Sutari, Ilmu
Hadis, Amal Bakti Press: Bandung 1994.
Solahudin, Ulumul
Hadis, CV Pustaka Setia 2009.
0 komentar:
Post a Comment