MAKALAH KLASIFIKASI HADIS MUTAWATIR, AHAD DAN ISTILAH HADIS SERTA KUTUBU SITTAH








BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
            Berbeda dengan alqur’an, hadis yang menjadi sumber ajaran islam yang kedua, keasliannya tidak seluruhnya dapat di percaya. Hal itu disebabkan karena hadis nabi baru di bukukan secara resmi pada awal abad ke-2 hijriyah pada khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz, khalifah bani umayyah. pembukuan pada masa itupun masih bercampur antara hadis nabi, fatwa sahabat dan tabi’in. Walaupun sejak masa nabi sudah ada penulisan hadi, namun masih bersifat koleksi. kecuali itu, pertikaian politik antar ummat islam besar, fanatic mazhab dan motivasi lainnya telah melahirkan hadis palsu (maudhu’) yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga sangat sulit membedakan mana hadis yang benar-benar dari nabi dan mana yang tidak.
            Para ulama hadis telah membuat pembagian hadis (klasifikasi hadis) di tinjau dari beberapa sudut tinjauan. Diantaranya, di tinjau dari jumlah orang yang meriwayatkannya sanadnya) dan ditinjau dari dapat diterima (maqbulnya) suatu hadis atau di tolak (mardud).
B.     Rumusan masalah:
         1.         Untuk mengetahui klasifikasi hadis di tinjau dari perawinyaPembagian Hadis Ditinjau Dari Segi Kuantitasnya
         2.         Untuk mengetahui Klasifikasi hadis berdasarkan kualitas rawinya
         3.         Untuk mengetahui Klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas rawi
         4.         Untuk mengetahui Kutubus sittah






BAB II
Pembahasan
Klasifikasi Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad

A.    Pembagian Hadis Ditinjau Dari Segi Kuantitasnya
            Maksud dari segi kuantitas disini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadis. Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadis mutawatir, masyhur dan ahad, dan ada juga yang membaginya hanya menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan ahad.[1]
            Pendapat pertama, yang menjadikan hadis masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian dari hadis ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, di antaranya Abu Bakar Al-Jassa (305-370H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. menurut mereka, hadis masyhur bukan merupakan hadis yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadis ahad. Mereka membagi hadis menjadi dua bagian, yaitu hadis mutawatir dan ahad.[2]
            Jadi, dapat kita simpulkan bahwa klasifikasi hadis di bagi menjadi dua bagian yaitu, hadis mutawatir dan hadis ahad. Adapun klasifikasi hadis ini antara lain:
1.      Hadis Mutawatir
a)      Pengertian Hadis Mutawatir
            Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad, atau hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadis, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti  pendengaran dan semacamnya.[3]
            Adapun hadis mutawatir secara istilah menurut Nur Ad-Din ‘Atar yang di kutip oleh Munzier Suparta dalam buku ilmu hadis adalah :
اَلَّذِيْ رَوَاهُ جَمْعٌ كَثِيْرٌ لاَيُمْكنُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ إِلَى انْتِهَاءِ السَّنَدِ وَكَانَ مُسْتَنَدُهُمْ الْحِسُّ
            Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indera.[4]
            Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hadis muatawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indera. Jadi untuk mengetahui  hadis mutawatir,  maka dari itu kita akan membahas syarat-syarat hadis mutawatir yaitu:
b)      Syarat-syarat Hadis Mutawatir
            Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai hadis mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1)      Diriwatkan oleh sejumlah besar perawi
            Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini para ulama berpendapat, ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menentukan jumlah tertentu. Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlah tertentu itu.[5]
            Al-Qadhi Al-Baqillani dalam buku ilmu hadis karangan Munzier Suparta menetapkan bahwa jumlah perawi hadis agar bisa disebut hadis mutawatir tidak boleh berjumlah empat. Lebih dari itu lebih baik. Ia menetapkan sekurang-kurangnya berjumlah lima orang, dengan mengqiyaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul ‘Azmi.
            Sedangkan Al-Isthakhary dalam buku yang sama menetapkan yang paling baik minimal sepeluh orang, sebab jumlah 10 itu merupakan awal bilangan banyak.[6] Ulama lain menentukan 12 orang, berdasarkan firman Allah SWT :
        وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيْبًا (المائدة/ 5: 12)
…..Dan telah kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin (Al-Maidah:5:12)
            Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang sesuai dengan firman Allah SWT:
        إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُوْنَ صَابِرُوْنَ يَغْلِبُوْا مِائَتَيْنِ (الانفال/8: 65).
            Jika ada 20 orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang musuh..(QS. Al-Anfal/8:65).
            Ayat ini memberikan sugesti kepada orang-orang mukmin seabagai lahan uji, yang hanya dengan jumlah 20 orang saja mampu mengalahkan 200 orang kafir.
            Ada juga yang mengatakan bahwa jumlah perawi yang dibutuhkan dalam hadis mutawatir minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah SWT:
        يَايُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللهُ وَمِنَ اتَّبَعَكَ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ (الأنفال/8: 64)
            Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu. (QS.Al-Anfal/8:64)
            Dikutip oleh Munzier Suparta, saat ayat ini diturunkan jumlah umat Islam baru mencapai 40 orang. Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Al-Thabrany dan Ibn Abbas, ia berkata “telah masuk Islam bersama Rasulullah sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang perempuan. Kemudian Umar masuk Islam, maka jadilah 40 orang Islam.[7]
            Selain pendapat tersebut, ada juga yang menetapkan jumlah perawi dalam hadis mutawatir sebanyak 70 orang, sesuai dengan firman Allah SWT:
وَاخْتَارَ مُوْسَ قَوْمَهُ سَبْعِيْنَ رَجُلاً لِمِيْقَاتِنَا (الأعراف /7: 155)
            Dan Nabi Musa memilih 70 orang dari kaumnya untuk (memohon taubat dari Kami) pada waktu yang telah kami tentukan..(Al-A’raf/ 7: 155).

            Jadi, dapat disimpulkan bahwa jumlah perawi hadis mutawatir tidak ditentukan jumlah, tetapi melebihi batas minimal 5 orang asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu bukanlah suatu kebohongan, sudah dapat dimasukkan sebagai hadis mutawatir.
2)      Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat berikutnya.
            Jumlah perawi hadis mutawatir antara thabaqat (lapisan atau tingkatan) dengan thabaqat lainnya harus seimbang.
3)      Berdasarkan tanggapan panca indera
            Berita yang disampaikan oleh perawinya tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indera. Artinya bahwa berita mereka yang disampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri.
c)      Pembagian Hadis Mutawatir
            Menurut sebagian ulama dikutip oleh munzier surparta dalam taisir mushthalah Al Hadis, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir lafhzi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada juga yang membaginya menjadi tiga, yakni ditambah dengan hadis mutawatir ‘amali.[8]
1) Hadis Mutawatir Lafzhi
            Hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dan lainnya, yakni:
        مَاإِتَّفَقَتْ أَلْفَاظُ الرُّوَاةِ فِيْهِ وَلَوْ حُكْمًا / هُوَ مَا تَوَاتَرَ لَفْظُهُ وَفِيْ مَعْنَاهُ
            Hadis yang sama bunyi lafazh, hukum dan maknanya.
            Contoh hadis mutawatir lafzhi adalah :
        مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مُقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه البخارى)
            Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka. (HR.Bukhari)   
            Menurut Abu Bakar Al-Bazzar dikutip oleh soetari dalam buku ilmu hadis, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadis tersebut terdapat pada 10 kitab hadis, Al-Bukhari, muslim, AL-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah, Al-Turmudzi, Al-Thayalisi, Abu Hanifah, Al-Thabrani, Al-Hikam.[9]
2) Hadis mutawatir ma’nawi
            Hadis mutawatir ma’nawi ialah hadis yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dengan riwayat yang lain, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kulli). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis.[10]
        مَاإِخْتَلَفُوْا فِيْ لَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ مَعَ رُجُوعِهِ لِمَعْنًى كُلِّيٍّ.
            Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umum.
Contoh: hadis tentang mengangkat tangan dikala berdo’a
        مَارَفَعَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ حَتَّى رُؤِيَ بَيَاضُ ابْطَيْهِ فِى شَيْئٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي الْإِسْتِسْفَاءِ (متفق عليه)
            Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a selain dalam do’a shalat istisqa dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih kedua ketiaknya.
3) Hadis mutawatir ‘amali
            Yang di maksud dengan Hadis mutawatir ‘amali ialah :
        مَا عُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ وَتَوَاتَرَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهُ أَوْأَمَرَبِهِ أَوْ غَيْرُ ذَالِكَ وَهُوَ الَّذِي يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ تَعْرِيْفُ الإِجْمَاعِ إِنْطِبَاقًا صَحِيْحًا.
            Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat islam, bahwa nabi Saw mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain dari itu.    Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.
            Contoh : berita-berita yang menerangkan waktu raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat dan segala rupa amal yang telah menjadi kesepakatan, ijma’.[11]
d)      Nilai hadis mutawatir
            Hadis mutawatir mempunyai nilai ‘ilmu dharuri (yufid ila ‘ilmi al-dharuri), yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’I (pasti).[12]
2.      Hadis Ahad
            Menurut Al-Qasimi dikutip oleh munzier suparta, Al-Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.[13]
            Hadis Ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis berikut ini.[14]
هُوَ مَالَا يَنْتَهِي إِلَى التَّوَاتُرِ
                        Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir
a.       Pembagian Hadis Ahad
            Jumlah rawi dari masing-masing thabaqah, mungkin satu orang, dua orang, tiga orang, atau malah lebih banyak, namun tidak sampai tingkat mutawatir. Berdasarkan thabaqah masing-masing rawi tersebut, hadis ahad ini dapat dibagi dalam tiga macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan gharib.[15]
1) Hadis Masyhur
a) pengertian hadis masyhur
            Menurut Ash-shidieqy dikutip oleh sholahudin, masyhur secara bahasa adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah popular. adapun menurut istilah, hadis masyhur adalah:
        مَارَوَاهُ ثَلاَثَةٌ فَأَكْثَرَ فِي كُلِّ طَبَقَةٍ مَالَمْ يَبْلُغْ حَدَّ التَّوَاتُرِ
            Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap thabaqah tidak mencapai derajat mutawatir.[16]
            Hadis ini dinamakan hadis masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. ulama Hanafiyah mengatakan bahwa hadis masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.[17] Menurut Nur Al-Din dikutip oleh munzier, hadis masyhur ini yang berstatus shahih, hasan, dan dhaif. Yang dimaksud dengan hadis masyhur shahih adalah hadis masyur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis shahih baik pada sanad maupun matannya, seperti hadis ibnu umar:
        إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ (رواه البخاري)
            Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi. (HR.Bukhari).

            Sedangkan yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya, seperti sabda Rasulullah Saw.[18]
        لاَضَرَارَ وَلاَضِرَارَ
            Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri dan orang).
            Adapun yang dimaksud dengan hadis masyhur dha’if adalah hadis masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadis shahih dan hasan, baik pada sanad maupun ada matannya, seperti hadis :
        طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
            Menuntut ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan.
            Dari tujuan inilah menyebabkan ada suatu hadis bila dilihat dari bilangan rawinya tidak dapat dikatakan hadis masyhur, tetapi bila dilihat dari kepopulerannya tergolong hadis masyhur. Dari segi ini, maka hadis ahad masyhur tersebut terbagi pada :[19]
a) Masyhur dikalangan muhaddisin dan lainnya, seperti hadis :
            الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (البخاري مسلم )
            Seorang muslim itu ialah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya (HR.Bukhari dan Muslim).
b) Masyhur dikalangan ahli ilmu tertentu (ahli fiqih, nahwu, ushul fiqih, tasawuf dan lain-lain), seperti hadis yang masyhur dikalangan ulama fiqih saja :
        لاَصَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ (الدار قطنى عن أبي هريرة)
            Tidaklah sah shalat bagi orang yang berdekatan dengan masjid, selain shalat didalam mesjid (HR.al-Daruquthni)
            Masyhur dikalangan ulama ushul fiqih :
        رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخطَاءُ وَالنِّسْيَانُ وَمَااسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ (رواه طبراني عن أبي عباس)
            Terangkat (dosa) dari ummatku: kekeliruan, lupa dan perbuatan yang mereka lakukan karena terpaksa (HR.Thabrany)
لِلسَّائِلِ حَقٌّ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ (احمد والنسائي عن أبي هريرة)
            Bagi sipeminta-minta itu ada hak, walaupun datang dengan kuda (HR.Ahmad dan An-Nasa’i)
2) Hadis ‘Aziz
            Menurut Ash-shidieqy dikutip oleh solahudin bahwa, ‘Aziz menurut bahasa adalah Asy-syafief (yang mulia), An-nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-shab’bul ladzi yakadu la yuqwa ‘alaih (yang sukar diperoleh), dan Al-Qowiyu (yang kuat).[20]
            Adapun menurut istilah, dari Rahman dikutip oleh solahuddin, bahwa hadis ‘Aziz adalah:
        مَارَوَاهُ إِثْنَانِ وَلَوْكَانَ فِي طَبَقَةٍ وَاحِدَةٍ، ثُمَّ رَوَاهُ بَعْدَ ذَالِكَ جَمَاعَةٌ.
            Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya.
            a) Berikut ini contoh hadis ‘aziz pada thabaqah pertama :
        نَحْنُ الأَخِرُوْنَ السّابِقُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه احمد والنسائي)
            Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu pada hari kiamat.(HR.Ahmad dan Nasa’i).
            Hadis tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat (thabaqah) prtama, yakni Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Abu Hurairah.
            b) Contoh hadis ‘aziz pada thabaqat kedua, yaitu:
        لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ (متفق عليه)
            Tidak sempurna iman seseorang darimu sehingga aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya. (mutafaq’alaih).
            Hadis tersebut diterima oleh anas bin malik (thabaqah pertama), kemudian diterima oleh Qatadah dan ‘Abd. Al-Aziz (thabaqah kedua).[21]
3.      Hadis Gharib
1). Pengertian Hadis Gharib
            Menurut As-Shidiqie dikutip oleh solahudin, bahwa gharib menurut bahasa adalah : 1). ba’idul ‘amil wathani (yang jauh dari tanah), dan 2) kalimat yang sukar dipahami. Adapun menurut istilah :[22]
        هُوَ مَايَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ رَاوٍ وَاحِدٌ
            Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi.
2). Klasifikasi Hadis Gharib
            Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi, hadis gharib terbagi pada dua macam, yaitu gharib mutlaq dan gharib nisby.
-          Hadis Gharib muthlaq
            Menurut Rahman dikutip oleh solahudin bahwa, Gharib muthaq adalah hadis yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadis itu. Penyendirian rawi hadis muthlaq itu berpangkal ada tempat ashlus sanad, yakni tabi’in bukan sahabat.[23]
-          Gharib Nisby
            Gharib Nisby adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain :
1) Sifat keadilan dank kedhabitan (ketsiqatan) rawi
2) Kota atau tempat tinggal tertentu
3)Meriwayatkannya dari orang tertentu.
B.     Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitas Rawinya
                 Menurut As-Shidieqy dikutip oleh soetari bahwa, pemabahasan tentang kehujahan hadis meliputi nilai atau kualitas hadis dan pengalaman hadis. Kualitas hadis ada yang maqbul dan ada yang mardud. Yang dimaksud dengan maqbul menurut lughat, adalah مَأْخُوْذٌ atau مُصَدَّقٌ artinya yang diambil atau yang dibenarkan, atau yang diterima.[24] Menurut istilah muhaditsin maqbul berarti :
        مَادَلَّ دَلِيْلٌ عَلَى رَجْحَانِ ثُبُوْتِهِ
            Yang ditunjuki oleh suatu keterangan, bahwa nabi Saw ada menyabdakannya, yakni adanya lebih berat dari tidak adanya.
            Yang dimaksud dengan mardud menurut lughat adalah yang di tolak, yang tidak terima. menurut istilah muhaditsin mardud berarti:
        مَالَمْ يَدُلُّ دَلِيْلٌ عَلَى رَجْحَانِ ثُبُوتِهِ وَلاَ عَدَمِ ثُبُوْتِهِ بَلْ يَتَسَاوَى الأَمْرَانِ فِيْهِ
            Sesuatu hadis yang tidak ditunjuki oleh sesuatu keterangan atas berat adanya dan tiada ditunjuki berat ketiadaannya, adanya dengan tidak adanya bersamaan.[25]
            Ditinjau dari segi maqbul dan mardud diatas, hadis ahad terbagi kepada: hadis shahih, hadis hasan, hadis dhaif. Hadis shahih dan hasan nilainya maqbul, sedangkan hadis dhaif nilainya mardud.
            Menurut Rahman dikutip oleh solahudin bahwa, Hadis ditinjau dari segi kualitas rawi yang meriwayatkannya, terbagi dalam tiga macam, yaitu shahih, hasan, dhaif.[26]
1. Hadis Shahih
a. Pengertian Hadis Shahih
            Menurut As-Shidiqie dikutip oleh solahudin bahwa, Shahih menurut lughah adalah lawan dari “saqim”, artinya sehat lawannya sakit, hak lawan batil.[27] Menurut ahli hadis, hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah Saw., atau sahabat atau tabi’in, bukan hadis yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.[28] Sedangkan menurut Soetari bahwa, defenisi hadis shahih adalah
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ تَامٌّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَشَاذٍ
            Hadis yang dinukil atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.
b. Syarat-syarat Hadis shahih
            Menurut muhaddisin, suatu hadis dapat dinilai shahih, apabila memenuhi syarat berikut.[29]
1). Rawinya bersifat adil
2). Rawinya bersifat dhabit
3). Sanadnya bersambung
4). Tidak ber’illat
5). Tidak syadz
c. Klasifikasi Hadis Shahih
            Hadis shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih li dzatih dan shahih li ghairih. Shahih li dzatihi adalah hadis shahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, seperti yang telah disebutkan di atas. Adapun hadis shahih li ghairih adalah hadis shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Misalnya, rawinya yang adil tidak sempurna kedhabitannya (kapasitas intelektualnya rendah).
2. Hadis Hasan.
a. Pengertia Hadis Hasan
            Menurut Ath-Thahhhan dikutip ole solahudin bahwa, hasan menurut lughat adalah sifat musybahah dari “Al-Husna”, artinya bagus.[30]
            Menurut Ibn Hajar dikutip oleh solahudin, hadis hasan adalah :
خَبَرُ الأَحَادِ بِنَقْلِ عَدْلٍ تَامِّ الضَّبْطِ مُتَّصِلِ السَّنَدِ غَيْرِ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍ.
            Khabar ahad yang dinukilkan oleh orang yang adil, kurang sempurna hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak ada syadz.[31]
            Untuk membedakan antara hadis shahih dan hadis hasan, kita harus mengetahui batasan dari kedua hadis tersebut. Batasannya adalah keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadis shahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar kuat ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujjah dan kandungannya dapat dijadikan penguat.
b. klasifikasi hadis hasan
            Sebagaimana hadis shahih, hadis hasan pun terbagi atas hasan li dzatih dan hasan li ghairih. Hadis yang memenuhi segala syarat-syarat hadis hasan disebut hadis hasan li dzatih. sedangkan hasan li ghairih adalah hadis dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid.
            Dikutip oleh Al-Qaththan, Contohnya: diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari hadis Muhammad bin Amru, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:[32]
لَوْلاَ أَنْ أَشَقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
            Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintah mereka untuk bersiwak di waktu tiap-tiap hendak sholat.
            Disini kita dapatkan, Muhammad bin amru bukanlah orang mutqin. sebagian ulama menganggapnya dhaif karena buruk hafalannya. Sebagian yang lain menganggapnya tsiqah karena kejujuran dan kemuliannya. maka haditsnya adalah hasan.
3. Hadis Dhaif
a. Pengertian Hadis Dhaif
            Hadis Dhaif, menurut lughat adalah yang lemah, lawan “qawi” yang kuat. sedangkan menurut istilah muhaditsin adalah:[33]
مَالَمْ يَبْلُغْ مَرْتَبَةَ دَرَجَةِ الْحَسَنِ
            Hadis yang tidak sampai pada derajat hasan.
b. Klasifikasi Hadits Dhaif
            Para ulama muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua jurusan, yakni jurusan sanad dan jurusan matan. sebab-sebab tertolaknya hadis dari jurusan sanad adalah :
a.       Terwujudnya cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke dhabitannya.
b.      Ketidak bersambungannya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
            Adapun cacat pada keadilan dan kedhabitan rawi itu ada 10 macam yaitu sebagai berikut:[34]
           1.       Dusta
         2.    Tertuduh dusta
         3.    Fasik
         4.    Banyak salah
         5.    Lengah dalam menghapal
         6.    Menyalahi riwayat orang kepercayaan
         7.    Banyak waham (purbasangka)
         8.    Tidak diketahui identitasnya
         9.    Penganut bid’ah
       10.  Tidak baik hafalannya.
c. Klasifikasi Hadis Dha’if Berdasarkan Cacat Pada Keadilan Dan Kedhabitannya
         1.         Hadits maudhu’i
a. Pengertian hadis maudhu’
            Hadis maudhu’ adalah [35]
        هُوَالْمُخْتَلَعُ الْمَصْنُوْعُ الْمَنْسُوْبُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زُوْرًا وَبُهْتَانًا سَوَاءٌ كَانَ ذَالِكَ عَمْددًا أَمْ خَطَأً
            Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbahkan kepada rasulullah Saw secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.
-          Ciri-ciri hadis maudhu’
            Para ulama menentukan bahwa cirri-ciri ke maudhu’an suatu hadis terdapat pada sanad dan matan hadis.
            Ciri-ciri yang terdapat pada sanad hadis yaitu adanya pengakuan dari sipembuat sendiri, qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadis maudhu’, dan qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkahlakunya.
            Adapun cirri-ciri yang terdapat pada matan, dapat ditinjau dari dua segi yaitu, segi ma’na dan segi lafaz. Dari segi ma’na yaitu, bahwa hadis itu bertentangan dengan Alqur’an, hadis mutawatir, ijma’ dan logika yang sehat. Dari segi lafazh, yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik dan tidak fasih.
2. Hadis Matruk
            Menurut Ath-Tthahhan, bahwa Hadis matruk adalah
        هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ فِيْ إِسْنَادِهِ رَاوٍ مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ
            Hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta.
            Rawi yang tertuduh dusta adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadis. Seorang rawi yang tertuduh dusta, bila ia bertobat dengan sunggu-sungguh, dapat diterima periwayatan hadisnya.
      3. Hadis munkar
            Menurut Ath-Tthahhan dikutip oleh solahudin, Hadis munkar adalah hadis yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahannya, banyak kelengahannya atau tampak kefasikannya. [36]
4. Hadis Syadz
            Hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun lebih tinggi daya hapalnya.
d. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Gugurnya Rawi.
a.       Hadis Mu’allaq
            Mu’allaq menurut bahasa adalah isim maf’ul yang berarti terkait dan tergantung. sementara menurut istilah, hadis mu’allaq adalah hadis yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan. Contohnya : Bukhari meriwayatkan dari Al-majisyun dari Abdullah bin Fadhl dari Abu Salamah dari abu hurairah r.a, dari Nabi Saw bersabda :
        لاَتُقَاضِلُوْا بَيْنَ الأَنْبِيَاءِ
b.      Hadis Mu’dhal
            Mud’dhal secara bahasa adalah sesuatu yang dibuat lemah dan lebih. Sedangkan menurut istilah muhaditsin, hadis mu’dhal adalah hadis yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan.
c.       Hadis Mursal
            Menurut Al-Khatib dikutip oleh solahudin, Mursal menurut bahasa, sim maf’ul, yang berarti “yang dilepaskan. Adapun hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabiin, baik tabiin besar maupun tabiin kecil.
d.      Hadis Munqhathi
            Menurut Rahman dikutip oleh solahudin, hadis munqhati’ adalah hadis yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu  tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
-          Macam-macam pangguguran (inqhita’) sebagai berikut :
1) Inqhita’ dilakukan dengan jelas sekali.
2) Inqhita’ dilakukan dengan samar-samar
3) Diketahui dari jurusan lain
e.       Hadis Mudallas
            Menurut Rahman dikutip oleh solahudin Hadis Mudallas adalah hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak bernoda.
-          Macam-macam tadlis sebagai berikut:
1. Tadlis Isnad
2. Tadlis syuyukh
3. Tadlis taswiyah (tajwid)
e. Klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas rawi
a.      Hadits Marfu’
            Hadits marfu’ adalah perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik sanad hadits tersebut bersambung-sambung atau terputus, baik yang menyandarkan hadits itu sahabat maupun yang lainnya.
            Definisi ini memungkinkan hadits muttashil, mu’allaq, mursal, munqathi’ dan mudhlal menjadi marfu’. Adapun hadits mauquf dan maqthu’ tidak dapat menjadi marfu’ bila tidak ada qarinah yang memarfu’kannya. Dengan demikian, dapat diambil ketetapan bahwa tiap-tiap hadits marfu’ itu tidak selamnya bernilai shahih atau hasan, tetapi setiap hadits shahih atau hasan, tentu marfu’ atau dihukumkan marfu’.
b.      Hadits Mauquf
            Hadits mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir. Adapun hokum hadits mauquf pada prinsipnya tidak dapat dibuat hujjah, Kecuali ada qarinah yang menunjukkan (yang menjadi marfu’).
c.       Hadits Maqthu’
            Hadits maqthu’ adalah hadits yang disandarkan kepada tabiin atau orang yang sebawahnya, baik perkataan atau perbuatan.[37]
KUTUBUS SITTAH
a.      Imam Bukhari
            Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Almughirah ibn Bardizbah, adalah ulama hadits yang sangat masyhur kelahiran Bukhara suatu kota di Uzbekistan, wilayah Uni Soviet, yang merupakan simpang jalan antara Rusia, Persia, Hindia dan Tiongkok. Beliau lebih dikenal dengan Bukhari (putera daerah Bukhara). Beliau dilahirkan setelah shalat jum’at, tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Nenek moyang beliau bernama Almughirah ibn Bardizbah, konon adalah seorang majusi yang menyatakan keislamannya di hadapan walikota yang bernama Al Yaman ibn Ahnas Al Ju’fy, yang karena itulah kemudian beliau dinasabkan dengan Al Ju’fy atas dasar Wala’ Al islam. Bapaknya, Ismail adalah seorang ulama hadits juga yang mempelajari materi ini dibawah bimbingan sejumlah tokoh ulama termasyhur yaitu Malik ibn Anas, Hammad ibn Zayd, dan ibnu Mubarak. Karya-karyanya :
1.      Al-jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtashar min Umur Rasulillah wa Sunanih wa Ayyamihi atau biasa disebut “Shahih Al-Bukhari’. Yakni kumpulan hadits-hadits shahih yang beliau persiapkan selama 16 tahun.
2.      Qadhaya Al-Shahabah wa Al-Tabi’in. Kitab ini dikarang ketika berusia 18 tahun, dan sekarang tidak ada berita tentang kitab tersebut.
3.      Al-Tarikh Al-Kabir (8 jilid) telah terbit 3 kali dengan tiga kali revisi, dan revisi yang terakhir yang paling akurat.
4.      Al-Tarikhu Al-Ausath
5.      Al-’Adabu Al-Munfarid
6.      Birru Al-Walidain
7.      Karya lainnya adalah Qira’at Khalf Al-Imam, Al-Tafsir Al-Kabir, Al-Musnad Al-Kabir, Al-Adab Al-Mufrad, Raf’ Al-Yadain, Al-Dhu’afa, Al-jami’ Al-Kabir, Al-Asyribah, Al-Hibah, Asami’ Al-Shahabah, Al-Wuhdan, Al-Mabsuth, Al-‘Illal, Al-Kuna, Al-Fawa’id.
            Imam Bukhari meninggal dunia pada hari Jum’at malam Sabtu selesai shalat Isya’, tepat pada malam ‘Idul Fitri 1 Syawal 256 H (31 Agustus 870 M), dan dikebumikan sehabis sembahyang Zhuhur pada hari Sabtu, di Khirtank, suatu kampung tidak jauh dari Samarkand.
b.      Imam Muslim
            Nama lengkap imam muslim adalah Abu Al-Husain Muslim ibn Al-Hajjaj Al-Qusyairy. Beliau dinisbatkan kepada Naisabury karena beliau adalah putera kelahiran Naisabur, pada tahun 204 H (820 M), yakni kota kecil di Iran bagian Timur Laut. Beliau juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya Qusyair ibn Ka’ab ibn Rabi’ah ibn Sha-Sha’ah suatu keluarga bangsawan besar.
            Imam Muslim adalah seorang Muhadditsin, hafidh lagi terpercaya terkenal sebagai ulama yang gemar berpergian mencari hadits. Ia mulai belajar hadits pada tahun 218 H saat berusia kurang lebih 15 tahun. Beliau kunjungi kota Khurasan untuk berguru hadits kepada Yahya ibn Yahya dan Ishaq ibn Rahawaih, didatanginya kota Rey untuk belajar hadits pada Muhammad ibn Mahran, Abu Hassan dan lainnya, di Irak ditemuinya Ibnu Hanbal, Abdullah ibn Masalamah dan selainnya, di Hijaz ditemuinya Yazid ibn Mansur dan Abu Mas’ad, dan di Mesir beliau berguru kepada ‘Amir ibn Sawad, Harmalah ibn Yahya dan kepada ulama hadits yang lainnya.
Karya-karyanya :
1.      Shahih Muslim yang judul aslinya, Al-musnad al-shahih al-mukhtashar min al sunan bi naql al-‘adl’an al-‘adli ‘an rasul allah.
2.      Al-musnad Al-kabir. Kitab yang menerangkan tentang nama-nama rijal al-hadits.
3.      Al-Jami’ Al-Kabir
4.      Kitab I’lal wa Kitabu Auhamil Muhadditsin.
5.      Kitab Al-Tamyiz
6.      Kitabu man Laisa Lahu Illa Rawin Wahidun
7.      Kitab Al-Thabaqat Al-Tabi’in
8.      Kitab Muhadlramin
9.      Kitab lannya adalah Al-Asma’ wa Al-Kuna, Irfad Al-Syamiyyin, Al-Aqran, Al-Intifa’ bi Julus Al-Shiba’, Aulad Al-Shahabah, Al-Tarikh, Hadits Amr ibn Syu’aib, Rijal ‘Urwah, Shalawatuh Ahmad ibn Hanbal, Masyayikh Al-Tsauri, Masyayikh Malik dan Al-Wuhdan.
            Dari sekian banyak karangan Imam Muslim, Shahih Muslim lah yang paling terkenal. Ada sejumlah kitab syarah yang mengomentari kitab hadits tersebut. Diantara sekian banyak kitab yang memberi syarah, yang paling popular adalah kitab Imam Nawawi (wafat 676 H), yang diberi judul Al-Manhaj fi Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj.
            Imam Muslim wafat pada hari ahad bulan Rajab 261 H (875 M), dan dikebumikan pada hari Senin di Naisabur.
c.       Imam Abu Daud
            Nama lengkapnya adalah Imam Abu Daud Sulaiman ibn Al-Asy’ats ibn Ishaq Al-Sijistany. Beliau dinisbatkan kepada tempat kelahirannya, yaitu di Sijistan (terletak antara Iran dan Afghanistan). Beliau di lahirkan di kota tersebut, pada tahun 202 H (817 M). Beliau juga senang merantau dan (rihlah) mengelilingi negari-negeri tetangga yaitu Khurasan, Ravy, Harat, Kuffah, Baghdad, Tarsus, Damaskus, Mesir dan Bashrah, untuk mencari hadits dan ilmu-ilmu yang lainnya. Kemudian dikumpulkan, disusun dan ditulisnya hadits-hadits yang telah diterima dari ulama-ulama Irak, Khurasan, Syam dan Mesir. Beliau sampai menghabiskan waktu 20 tahun di kota Tarsus. Karya-karyanya :
1.      Al-Marasil
2.      Masa’il Al-Imam Ahmad
3.      Al-Nasikh wa Al-Mansukh
4.      Risalah fi Wash Kitab Al-Sunan
5.      Al-Zuhd
6.      Ijabat ’an Sawalat Al-’Ajuri
7.      As’ilah ’an Ahmad ibn Hanbal
8.      Tasmiyat Al-Ikhwan
9.      Qaul Qadr
10.  Al-Ba’ts wa Al-Nusyur
11.  Al-Masa’il allati Halafa Al-Anshar
12.  Dala’il An-Nubuwat
13.  Fadha’il Al-Anshar
14.  Musnad Malik
15.  Al-Du’a
16.  Ibtida’ Al-Wahyu
17.  Al-Tafarrud fi Al-Sunan
18.  Akhbar Al-Khawarij
19.  A’lam Al-Nubuwwat
20.  Sunan Abu Daud.
            Sunan Abu Daud ini merupakan karyanya yang terbesar. Beliau mengaku telah mendengar hadits Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Abu Daud meninggal pada hari Jum’at 15 Syawal 275 H (889 M) di Bashrah.
d.      Imam Al-Tirmidzi
            Imam Al-Tirmidzi nama lengkapnya adalah Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Tsurah ibn Musa ibn Dhahak Al-Salami Al-Bughi. Al-Tirmidzi adalah seorang muhaddits yang dilahirkan di kota Turmudz, sebuah kota kecil dipinggir Utara Sungai Amuderiya, sebelah Utara Iran. Beliau dilahirkan dikota tersebut pada bulan Dzulhijjah 200 H (atau tepatnya pada 824 M). Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi, keduanaya sedaerah, sebab Bukhara dan Tirmidz itu adalah satu daerah dari daerah Ma Wara’un Nahr. Karya-karyanya :
1.      Al-Jami’ Al-Mukhtashar min Al-Sunan ‘an Rasulillah
2.      Tawarikh
3.      Al-‘Illal
4.      Al-‘Illal Al-Kabir
5.      Syama’il
6.      Asma’ Al-Shahabah
7.      Al-Asma’ wal Kuna
8.      Al-Atsar Al-Mawqufah
            Karya beliau yang terkenal adalah Al-Jami’ atau Sunan Al-Tirmidzi. Penulisan kitab ini diselesaikan pada tanggal 10 Dzulhijjah 270 H. salah satu buku syarah yang mengomentari kitab Sunan Al-Tirmidzi ini adalah  karangan Abdurrahman Mubarakpuri dengan judul Tuhfat Al-Ahwadzi (4 jilid).  Imam Tirmidzi wafat di Turmudz pada malam Senin tanggal 13 Rajab 279 H (829 M).
e.       Imam Al-Nasa’i
            Nama lengkap Imam Nasa’I adalah Abu Abd Al-Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahar Al-Khurasani Al-Nasa’i. nama beliau dinisbatkan kepada kota tempat beliau dilahirkan. Beliau dilahirkan pada tahun 215 H di kota Nasa’ yang masih termasuk wilayah Khurasan. Ia mulai menjalani pengembaraan untuk mempelajari hadits ini ketika beliau berumur 15 tahun. Karya-karyanya :
1.      Al-Sunan Al-Kubra
2.      Al-Sunan Al-Mujtaba’
3.      Kitab Tamyiz
4.      Kitab Al-Dhu’afa
5.      Khasha’ish ‘Ali
6.      Musnad ‘Ali
7.      Musnad Malik
8.      Manasik Al-Hajj
9.      Tafsir
            Dari sekian banyak karyanya tersebut, yang utama ialah sunan Al-Kubra yang akhirnya terkenal dengan Sunan Al-Nasa’i. Beliau wafat pada hari Senin 13 Shafar 303 H (915 M) di Al-Ramlah. Menurut satu pendapat, ia meninggal di Mekkah, yakni  saat belliau mendapat percobaan di Damsyik meminta supaya dibawa ke Mekkah, sampai beliau meninggal dan kemudian dikebumikan disuatu tempat antara Shafa dan Marwa.
f.        Imam Ibnu Majah
            Ibnu Majah adalah nama nenek moyang yang berasal dari kota Qazwin, salah satu kota di Iran. Nama lengkap Imam Ibnu Majah adalah Abu Abdillah  ibn Yazid  Ibnu Majah. Beliau lahir pada tahun 207 H (824 M). beliau juga berkeliling ke beberapa negeri untuk menemui dan berguru hadits kepada para ulama hadits, Ali ibn Muhammad Al-Tanafasi (w.233 H) adalah gurunya yang paling pertama. Karya-karyanya :
1.      Tafsir
2.      Al-Tarikh (sejarah para perawi hadits). Tafsir dan tarikh ini,sampai saat ini tidak ada kabarnya. Tampaknya telah hilang.
3.      Sunan
            Kitab Sunan ini yang kemudian terkenal dengan Sunan Ibnu Majah. Beliau meninggal pada hari Senin, 21 Ramadhan 273 H (887 M).
g.      Imam Malik Ibn Anas
            Nama lengkap dari Imam Malik ibn Anas adalah Imam Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abu Amir ibn Amir ibn Al-Harits, beliau adalah seorang imam Dar Al-Hijrah dan seorang faqih, pemuka madzhab Malikiyyah. Silsilah beliau berakhir pada Ya’rub ibn Al-Qanthan Al-Ashbahy. Nenek moyangnya adalah Abu Amir seorang sahabat nabi yang selalu mengikuti seluruh perperangan yang terjadi pada zaman nabi, kecuali perang badar. Sedangkan kakeknya adalah Malik seorang tabi’in yang besar dan fuqaha kenamaan dan salah seorang dari 4 orang tabi’in yang jenazahnya diusung sendiri oleh khalifah Utsman ke tempat pemakamannya. Karya-karyanya :
1.      Al-Muwaththa’
2.      Risalah ila ibn Wahab fi Al-Qadr
3.      Kitab Al-Nujum
4.      Risalah fi Al-‘Aqdhiyah
5.      Tafsir li Gharib Al-Qur’an
6.      Risalah ila Al-Laits ibn Sa’ad
7.      Risalah ila Abu Ghassan
8.      Kitab Al-Syiar
9.      Kitab Manasik
            Imam Malik wafat pada hari ahad, tanggal 14 Rabiul Awal 169 H (menurut sebagian pendapat tahun 179 H) di Madinah dan dimakamkan di Baqi’, dengan meninggalkan tiga orang putra yaitu Yahya, Muhammad dan Hammad. [38]










BAB III
Kesimpulan
C.    Pembagian Hadis Ditinjau Dari Segi Kuantitasnya
4.      Hadis Mutawatir
            Pengertian Hadis Mutawatir. Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan.
2. Hadis Ahad
            Menurut Al-Qasimi dikutip oleh munzier suparta, Al-Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu.
3. Hadis Gharib
            Pengertian Hadis Gharib. Menurut As-Shidiqie dikutip oleh solahudin, bahwa gharib menurut bahasa adalah : 1). ba’idul ‘amil wathani (yang jauh dari tanah), dan 2) kalimat yang sukar dipahami.
D.    Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitas Rawinya
         1.         Hadis Shahih
         2.         Hadis Hasan.
         3.         Hadis Dhaif
E.     Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kuantitas Rawi
d.      Hadits Marfu’
e.       Hadits Mauquf
f.        Hadits Maqthu’
F.     Kutubus Sittah
                                 a.          Imam Muslim
                                 b.         Imam Abu Daud
                                 c.          Imam Abu Daud

Saran dan Kritikan : Kami pemakalah menginginkan saran dan masukan dari pembaca untuk membangun makalah kedepannya

DAPATAR PUSTAKA


            Munzier suparta, Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo Persada 2006.
           
            Syaikh manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Katalog Dalam Terbitan (KDT), Pustaka Al-Kautsar 2005.
           
            Endang Sutari, Ilmu Hadis, Amal Bakti Press: Bandung 1994.
           
            Solahudin, Ulumul Hadis, CV Pustaka Setia 2009.
               







                [1] Munzier suparta, Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo Persada 2006, hal.95.
                [2]Ibid, hal. 95
                [3] Syaikh manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Katalog Dalam Terbitan (KDT), Pustaka Al-Kautsar 2005, hal110.
                [4] Munzier suparta,Opcit. hal. 96
                [5] Ibid. hal.97-98.
                [6] Ibid. hal.98
                [7] Ibid. hal.99.
                [8] Ibid. hal.101.
                [9] Endang Sutari, Ilmu Hadis, Amal Bakti Press: Bandung 1994, hal.121.
                [10] Ibid. hal. 121.
                [11] Ibid.hal.122.
                [12] Munzier suparta, opcit. hal 106.
                [13] Ibid. hal. 107.
                [14] Solahudin, Ulumul Hadis, CV Pustaka Setia 2009. hal.133
                [15] Ibid. hal. 134
                [16] Ibid. hal. 134
                [17] Munzier suparta, opcit. hal.111
                [18] Ibid, hal. 112.
                [19] Endang soetari, Ilmu Hadis, Amal Bakti Press 1997. hal. 126.
                [20] Solahudin, Ulumul Hadis, CV.Pustaka Setia 2011, hal. 136
                [21] Solahudin, Ibid.137.
                [22] Ibid.hal. 137.
                [23] Ibid. hal.138
                [24] Endang Soetari, opcit, hal.138-139
                [25] Ibid.hal .138-139            
                [26] Solahudin,hal.141.
                [27] Ibid.hal. 141.
                [28] Ibid.hal. 141
                [29] Ibid.hal.142-144
                [30] Ibid. hal 145-146
                [31] Ibid. hal. 146.
                [32] Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Pustaka Kautsar 2005. hal.123-124.
                [33] Soetari, Opcit, hal 143
                [34] Solahudin , Opcit, 148-154
                [35] Soetari, Opcit, hal 144.
                [36] Solahudin, Opcit, hal.50
                [37] Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung : Pustaka Setia) Hal. 155-156
                [38] Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 2006, Hal. 228-250

Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment