BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Bahasa
berkembang terus sesuai dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Telah
diketahui bahwa pemakaian bahasa diwujudkan didalam bentuk kata-kata dan
kalimat. Manusialah yang menggunakan kata dan kalimat itu dan manusia pula yang
menambah kosa kata sesuai dengan kebutuhannya.
Karena manusia
menggunakan kata-kata dan kalimat berubah terus, maka dengan sendiri
maknanyapun berubah. Perubahan terjadi karena manusia sebagai pemakai bahasa
menginginkannya. Kadang-kadang karena belum menemukan kata baru untuk mendukung
pemikirannya, maka pembicara mengubah bentuk kata yang telah ada, atau boleh
jadi ia mengubah makna yang telah ada.
Suatu
kata mempunyai hubungan satu sama lain dalam berbagai bentuk. Ini merupakan
akibat dari kandungan komponen makna yang kompleks. Ada beberapa hubungan
semantis (antar makna) yang memperlihatkan adanya persamaan, pertentangan,
tumpang tindih, dan sebagainnya. Hubungan inilah yang dikenal dalam ilmu
bahasa, di antaranya, sebagai sinonim, antonim, polisemi/homonym, akronim dan perbedaan-perbedaan
kebahasaan.
Dalam setiap
bahasa, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi
semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan
bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin salah satunya
menyangkut hal kelainan makna.
B.
BATASAN MASALAH
1. Apa pengertian al-musytaraq
al-lafdziy, sebab-sebab musytarak al-lafdzi, pengaruh musytarak al-lafdzi, pembagian
musytarak, contoh-contoh
musytarok di dalam al-quran
2. Apa pengertian sinonim, penyebab
terjadinya sinonim, perbedaan pandangan mengenai sinonim, contoh mutarâdif
dalam Al-Qur’an
3. Apa pengertian antonim, macam-macam
al-tadhad, pembentukan antonim dalam bahasa arab, perbedaan
pandangan ulama mengenai antonim, al-tadhad
dalam Al-Qur’an
4. Apa pengertian naht, klasifikasi
naht
5. Apa pengertian al-furuq al-lughowiyah, pendapat ulama
tentan al-furuq al-lughawiyah, al-furuq
al-lughawiyah dalam al-qur’an
C.
Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari rumusan masalah diatas adalah:
a.
Untuk
mengetahui pengertian al-musytaraq al-lafdziy, sebab-sebab
musytarak al-lafdzi, pengaruh musytarak al-lafdzi, pembagian
musytarak, contoh-contoh
musytarok di dalam al-quran
b.
Untuk
mengetahui pengertian sinonim,
penyebab terjadinya sinonim, perbedaan pandangan mengenai sinonim, contoh mutarâdif
dalam Al-Qur’an
c.
Untuk
mengetahui pengertian antonim, macam-macam al-tadhad, pembentukan antonim dalam
bahasa arab, perbedaan pandangan ulama mengenai antonim, al-tadhad
dalam Al-Qur’an
d.
Untuk
mengetahui pengertian naht, klasifikasi naht
e.
Untuk
mengetahui pengertian al-furuq al-lughowiyah, pendapat ulama tentan al-furuq al-lughawiyah, al-furuq al-lughawiyah
dalam al-qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
FENOMENA BAHASA (الظواهر
اللغوية)
A.
MUSYTARAK
AL-LAFDZI
a.
Definisi
al-Musytarak al-Lafdzi
Dalam peristilahan al-musytarak
al-lafdzi dikenal dengan dua istilah yaitu polysemy (polisemi) dan
homonymi (homonim).
الهومونيمي
: عبارة عن كلمات متشابهة في النطق والكتاب ولكنها مختلفة فى الدلالة.
Homonim atau
dalam bahasa arab diartikan dengan Al Mustarok al Lafdzi merupakan
beberapa kata yang sama, baik pelafalan dan penulisannya tetapi mempunyai makna
yang berlainan. Ini merupakan pengertian Al Mustarok al Lafdzi secara
umum.[1]
Secara etimologi
kata polisemi (Indonesia) diadopsi dari polysemy (Inggris),
sementara Polysemy diadopsi dari Bahasa Yunani: “Poly” artinya
banyak atau bermacam-macam, dan “Semy” berarti arti. Secara terminologis, polisemi menurut Palmer
di dalam Pateda, adalah: It is olso the case that same word may have a set
of different meanings. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan,
polisemi adalah: “Bentuk bahasa (kata, frase dsb.) yang mempunyai makna lebih
dari satu”. Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa polisemi
adalah leksem yang mengandung makna ganda. Karena kegandaan makna seperti
itulah maka pendengar atau pembaca ragu-ragu menafsirkan makna leksem atau
kalimat yang didengar atau yang dibacanya. Sebagai contoh kata “paku”. Kata ini
bisa bermakna paku yang digunakan memaku pagar, peti. Atau juga bisa bermakna
„sayur paku‟. Untuk menghindarkan kesalah pahaman, tentu kita harus melihat
konteks kalimat, atau bertanya pada pembicara apakah yang ia maksudkan dengan
kata yang bermakna polisemi tersebut.[2]
Dan kata
homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onama yang artinya “nama”, dan homo
yang artinya “sama”. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai “nama
sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar memberi definisi
homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama
dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya
tidak sama.[3]
Homonim
merupakan dua ujaran kata yang sama bunyi dan sama ejaannya. Analisis homonim
harus bersifat singkronis, maksudnya bersangkutan dengan
peristiwa yang terjadi dalam suatu masa terbatas atau tertentu, dan tidak
mengakibatkan perkembangan historis atau disebut juga deskriptif.
Homonim
(Al-Musytarak Al-Lafzi) yaitu kata atau frasa yang memiliki makna
lebih dari satu, atau memiliki makna yang berbeda-beda. Pengertian
homonim Al-Musytarak Al-Lafzi di dalam buku ‘Inda
al-Arab di bagi menjadi dua bagian yaitu polisemi dan
homonim,sedangkan di dalam buku Ilmu ad-Dalalah,
Al-Musytarak Al-Lafzi banyak di pelajari di dalam al-Qur’an, hadits
nabi dan di dalam bahasa Arab. Menurut salah satu ahli bahasa, Al-Musytarak
Al-Lafzi adalah satu kata yang mempunyai makna lebih dari satu,
pengertian ini sama dengan definisi polisemi dalam bahasa Indonesia.
Berbeda pengertian Al-Musytarak
Al-Lafzi banyak dipelajari di
dalam kitab Mulakhas Qowaidul al-Lughah
al-Arabiyah bahwa homonim adalah
lawan kata dari sinonim. Homonim adalah setiap kata yang memiliki beberapa
makna, baik makna yang sebenarnya atau makna kiasan. Para ahi bahasa berbeda
pendapat tentang definisi Al-Musytarak
Al-Lafzi tersebut, ada yang
menolaknya dan ada pula yang mengakui keberadaanya, dengan menunjukkan
berbagai fakta yang ada dan tidak dapat diragukan lagi.[4]
Dalam kajian
linguistik Arab, polisemi sama dengan الاشتراك اللفظ. Karena menurut
Wâfi, yang dimaksud dengan الاشتراك اللفظ adalah:[15]
لِلْكَلِمَةِ الْوَاحِدَةِ عِدَّةُ
مَعَانٍ تُطْلَقُ عَلىَ كُلّ منْهَا عَلىَ طَرِيْقِ الحَقِيْقَةِ لاَ الْمَجَاز
Artinya:
“Satu kata mengandung beberapa arti yang masing-masingnya dapat dipakai
sebagai makna yang denotatif (hakikat) dan bukan makna konotatif (majaz).”
Dalam kajian
ilmu Balaghah, homonimi disebut dengan istilah Jinas, yaitu kemiripan
dua kata yang berbeda maknanya. Dengan kata lain, suatu kata yang digunakan
pada tempat yang berbeda dan mempunyai makna yang berbeda. Contoh, firman Allah
SWT (QS. Ar-Ruum; 55) :
وَيَوْمَ
تَقُوْمُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُوْنَ ەۙ مَا لَبِثُوْا غَيْرَ سَاعَةٍ ۗ
كَذٰلِكَ كَانُوْا يُؤْفَكُوْنَ
“Dan pada hari
terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; “mereka tidak berdiam
(dalam kubur) melainkan sesaat (saja)”. Seperti demikianlah mereka selalu
dipalingkan (dari kebenaran).”
Pada ayat di
atas, terdapat kata الساعة . Kata itu disebut
dua kali. Pertama, bermakna hari kiamat. Kedua, bermakna waktu
sesaat. Pengungkapan suatu kata yang mempunyai dua makna karena disebut pada
tempat yang berbeda, dalam ilmu Balaghah, dinamakan Jinas. Sedangkan dalam ilmu Linguistik,
pengertian semacam ini disebut Homonimi.[5]
Terdapat dua
aliran dalam kajian definisi musytarak al-lafdzi; al-Qudama’ (ilmuan klasik)
dan al-Muhdatsin (ilmuan modern). Definisi al-Musytarak al-Lafdzi menurut
ilmuan klasik diantaranya dikemukakan oleh:[6]
a.
Menurut Imam As Suyuti,
al-musytarak al-lafdzi yaitu suatu lafadz (lafadz yang satu) tapi menunjukkan
dua makna yang berbeda.
b.
Amali, mengatakan bahwa musytarak
al-lafdzi yaitu satu lafadz yang mempunyai dua makna yang berbeda atau lebih.
للكلمة
الواحدة عدة معان تطلق على كل منها على طريق الحقيقة لا المجاز
Artinya: “Satu
kata mengandung beberapa arti yang masing-masingnya dapat dipakai
sebagai makna yang denotatif (hakikat) dan bukan makna konotatif (majaz).”
d.
Ya’qub, mendefisikan musytarak yaitu:
“Setiap kata yang mengandung lebih dari dua makna, antara yang satu dengan yang
lain tidak ada persamaan[8]”
Namun Ulama bahasa klasik dan modern dalam mendefinisikan Homonim
terdapat perbedaaan: [9]
1)
Al Mustarok al Lafdzi menurut para
ahli bahasa Klasik Ahli bahasa klasik Al Mustarok al Lafdzi digolongkan
sebagai salah satu dari elemen bahasa, seperti halnya ;
a)
Sibawaih (w.180 H) Al Mustarok
al Lafdzi merupakan dua kata yang sama namun mempunyai dua makna yang
berbeda. Hal ini ditertulis dalam bukunya yang berjudul Al Kitab terbitan
Bulaq, Qairo tahun 1966.
b)
Ibnu Faris (w. 395 H) Al
Mustarok al Lafdzi merupakan beberapa kata yang mempunyai kesamaan dalam
struktur, tetapi mempunyai makna yang berbeda. Beliau membahas Al Mustarok
al Lafdzi secara khusus dalam bukunya yang berjudul as shahibi. Al
Farisi membatasi Al Mustarok al Lafdzi bukan hanya dalam tataran kata
namun di dalamnya dia juga membatasi dalam ranah uslub dan tarkib juga.
2)
Al Mustarok al Lafdzi menurut para
ahli bahasa Modern
Perbedaan definisi sangatlah kelihatan, karena ahli bahasa Modern
mendefinisikan Al Mustarok al Lafdzi sangatlah sederhana, yaitu suatu
kata yang memiliki makna lebih dari satu. Namun terdapat catatan yang harus
dipenuhi oleh Al Mustarok al Lafdzi yakni makna-makna yang dikandungnya
harus sejajar dan harus didasarkan oleh makna dasar. Hal ini diutarakan oleh
Muhammad Nuruddin
كل لفظ مفرد يدل بترتيب حروفة وحركاته على معنيين فصا عدا دلالة خا صة فى بيئة واحدة وزمان واحد ولا يربط تلك المعانى رابط معنوي او بلاغي
“Setiap kata tunggal dengan urutan huruf dan harokatnya menunjukkan
dua makna yang spesifik atau lebih dari ligkungan tertentu dan masa tertentu,
dimana makna-makna tersebut tidak ada ikatan baik secara makna atau retorika.”
b.
Sebab-sebab
Musytarak al-Lafdzi
Menurut
Pateda, di antara penyebab terjadinya kata-kata yang bermakna polisemi adalah:[10]
a.
Kecepatan melafalkan leksem,
misalnya; /bantuan/ dan /bantuan/. Apakah ban kepunyan tuan, atau
bantuan?
b.
Faktor Gramatikal, misalnya kata /orangtua/.
Kata ini bisa bermakna ayah/ibu, atau orang yang sudah tua.
c.
Faktor leksikal, yang dapat
bersumber dari sebuah kata yang mengalami perubahan pemakaian dalam ujaran yang
mengakibatkan munculnya makna baru. Misalnya kata makan yang biasa dihubungkan
dengan kegiatan manusia atau binatang memasukkan sesuatu ke dalam perut, tetapi
kini kata makan dapat digunakan pada benda tak bernyawa sehingga
muncullah urutan kata makan sogok, rem tidak makan,makan angin, makan riba,
dimakan api, pagar makan tanaman. Digunakan pada lingkungan/konteks yang
berbeda, misalnya kata operasi, bagi seorang dokter dihubungkan dengan
pekerjaan membedah bagian tubuh untuk menyelamatkan nyawa; bagi militer
dikaitkan dengan kegiatan untuk melumpuhkan musuh atau memberantas kejahatan;
dan bagi Departemen Tenaga Kerja dihubungkan dengan salah satu kegiatan yang
akan atau sedang dilaksanakan. Seperti dalam kalimat “Departemen Tenaga
Kerja sedang melakukan operasi purna bhakti agar setiap perusahaan mematuhi
peraturan ketenaga-kerjaan.
d.
Faktor pengaruh bahasa asing,
misalnya leksem /item/, kini digunakan leksem /butir/ atau /usur/.
e.
Faktor pemakai bahasa yang ingin
menghemat pengguaan kata. Maksudnya dengan satu kata, pemakai bahasa dapat
mengungkapkan berbagai ide atau perasaan yang terkandung di dalam hatinya.
Seperti kata /mesin/ yang biasanya dihubungkan dengan /mesin jahit/.
Manusia kemudian membutuhkan kata yang mengacu kepada mesin yang menjalankan
pesawat terbang, mobil, motor, maka muncullah urutan kata /mesin pesawat/
dan /mesin mobil/.
f.
Faktor pada bahasa Ibrahim Anis
menambahkan sebab lain musytarak al-lafdzi[11]
itu sendiri yang terbuka untuk menerima perubahan, baik perubahan bentuk maupun
perubahan makna. Tentusaja hal ini berhubungan faktor poin ke-5 di atas.
Menurut
Qudama’, definisi kalimat musytarok al-lafdzi telah ditemukan pada kitab
“al-Munjid” dijelaskan bahwa sebab-sebab musytarok al-lafdzi ada banyak diantaranya[12]:
1)
Faktor internal
meliputi:
a)
Perubahan dari
segi pelafalan.
Perubahan dari segi pelafalan
mencakup atas pertukaran posisi huruf (dari segi morfologi/ shorof ) dan
pergantian huruf atau ibdal.
1 Pertukaran
posisi huruf yaitu apabila kita mengambil sighot wazan "استفعل " pada lafadz " دام " maka
akan menjadi kalimat " استدام "
dan dari kalimat "دمى"
akan menjadi kalimat "استدمى " akan
tetapi dikatakan bahwa fi'il " استدام"
yang dapat berarti berkelanjutan namun juga dapat berarti " " استدمى
yang berari berdarah. Hal ini disebabkan kesalahan si penutur namun dapat
dipahami oleh yang lainnya dan kemudian pada akhirnya banyak digunakan oleh
penutur lainnya.
2 Perubahan
pelafalan yang mencakup ibdal, terdapat dua kalimat "حنك" dan "حلك"
keduanya memiliki makna yang berbeda, namun orang arab memakainya dengan makna
yang sama yaitu hitam. Maka dengan pendekatan pergantian "ل" menjadi "ن"
yang disesuaikan antara kata kedua dengan kata yang pertama dalam segi
pelafalannya maka keduanya menjadiAl-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi).
Lafadz ""حنك bukan
hanya dapat berarti "langit-langit mulut" tetapi juga berarti
kegelapan yang seharusnya pengertan dari lafadz حلك"".
b)
Perubahan dari
segi makna.
Perubahan dari segi makna mencakup
atas beberapa faktor diantannya:
1 Perbedaab
dialek arab terdahulu, sebagian contooh-contoh lafadz Musytarak disebabkan
perbedaan kabilah-kabilah arab dalam menggunakan kata tersebut, serta dibuatkan
kamus yang yang menggunakan makna-makna tanpa memperhatikan keadaan kabilah yang
menggunakan kata tersebut.
2 Perkembangan
bunyi, kadang-kadang bunyi-bunyi asal dari lafazh tertentu mengalami
perubahan, pengurangan atau penambahan sesuai dengan perkembangan bunyi bahasa,
maka bunyi lafazd seperti ini menjadi satu lafazd sedangakan maknanya berbeda.Contohnya,
lafazd (النغمة) jadi
(النأمة ) karena perkembangan bunyi maka huruf غ diganti dengan أ karena
antara dua huruf tersebut tempat keluarnya berdekatan, begitu juga
perubahan dari kata جذوة menjadi جذوة dan kata الغشم menjadi الغشب
3 Perpindahan
sebagian lafazd dari makna asli pada makna majazi karena adanya suatu hubungan,
lalu penggunaan makna majazi itu dilakukan terus menerus sehingga makna majazi
tersebut dianggap sebagai makna hakiki. Seperti lafazd العين sering
digunakan untuk arti mata, air mengalir, sebaik-baik sesuatu, barang emas dan
perak.
4 Fenomena
perubahan bentuk kata (tashrif) yang terjadi pada dua lafazd yang berdekatan
dalam satu shigat, seperti tashrif dari lafazd وجد masdarnya
menjadiوجودا (ada), وجدانا (emosi) dan موجدة (marah) dan وجدا (cinta).
2)
Sebab eksternal (perbedaan
lingkungan). Adapun faktor eksternal ini dibagi menjadi dua, diantaranya:
a)
Perubahan dalam pengucapan
b)
Perubahan dalam makna. Perubahan
dalam pengucapan ada dua “al-qolbu al-makani, wa al-ibdal”. Sedangkan
perubahan dalam makna juga ada dua “ maqsud , wa tilqooii ”.
Sementara itu,
ilmuan modern tidak memiliki banyak perbedaan dengan qudama’(klasik) terkait
sebab-sebab musytarak al-lafdzi. Ibrahim Anis menambahkan sebab lain musytarak
al-lafdzi:[13]
a)
Percampuran dari bahasa asing
b)
Perkembangan makna kalimat dalam
lahjat
Sementara itu, faktor-faktor lain penyebab banyaknya polisemi dalam
bahasa Arab secara khusus dapat disebutkan sebagai berikut:[14]
1.
Lebih diakibatkan oleh adanya macam-macam
dialek dalam bahasa Arab tersebut. Sementara banyaknya dialek lebih diakibatkan
oleh banyaknya kabilah, dan setiap kabilah memiliki dialek masing-masing.
Macam-macam dialek ini dikodifikasikan dalam beberapa mu’jam, sehingga
tersusunlah macam-macam kata dengan berbagai makna yang terkandung di dalamnya,
bahkan satu kata dapat dipastikan
mengandung lebih dari satu arti. Disinilah letak polisemi dalam bahasa Arab.
2.
Karena perkembangan fonem (bunyi)
dalam Bahasa Arab, baik itu terjadi
karena naqish (pengurangan), ziyadah (penambahan) maupun naql
al-Harfi (pergantian huruf). Melalui proses ini banyak kata-kata yang
menyatu dengan arti kata lain yang berbeda artinya.
3.
Perubahan sebagian kata dari arti
yang hakiki kepada arti yang metaforis, karena adanya keterkaitan arti dan
seringnya dipakai arti metaforis tersebut menjadi kata hakiki. Seperti
kata عين yang artinya "mata” diartikan dengan الجارية
(pelayan, gadis), عين
diartikandengan الأفضل الأشياء واحسنها
sesuatu yang paling uatama dan yang paling baik. Juga عين
diartikan dengan “mata uang emas atau perak”.
4.
Perubahan morfologi (tashrif)
yang terjadi pada dua kata yang sama bentuknya.Dari bentuk tersebut timbul arti
yang bermacam-macam karena perbedaan bentuk masdar-nya.
c.
Pengaruh
Musytarak al-Lafdzi
Pegaruh
Positif dari polisemi :
a)
Dengan adanya kalimat yang berdiri
sendiri pada setiap sesuatu seperti yang telah kita dapatkan dari beberapa
perkataan, fikiran manusia tidak akan menerima begitusaja melainkan akan ada
penyaringan makna terlebih dahulu. Contohnya : membasuh, membasuh kepala,
membasuhkan orang lain, membasuhkan kepala orang lain dan seterusnya.
b)
Istighlal Ghumudh khusus dari
beberapa uslub khusus. Dan beberapa contoh yang di ambil dari bahasa arab untuk
Istighlal sastra arab diantaranya :
1.
Firman Allah dalam Al Quran yang
berbunyi :
ويوم تقوم الساعة يقسم المجرمون ما لبثوا غير ساعة
. . . الأية
Kalimat
pertama yang bergaris bawah dan kalimat kedua yang bergaris bawah berbeda
artinya , kalimat yang pertama diartikan dengan hari kiamat, sedangkan kalimat
yang kedua diartikan sebagai waktu .
2.
Rasulullah S.A.W bersabda :
اللهم كما حسنت خلقى فحسن خلقى
Kalimat
pertama yang bergaris bawah dan kalimat kedua yang bergaris bawah berbeda
artinya , kalimat yang pertama diartikan dengan pakaian, sedangkan kalimat yang
kedua diartikan dengan akhlaq.
3.
Abu Tamam berkata :
ما مات من كرم الزمان فإ نه يحيا لدى يحيى بن أحمد
Kalimat
pertama yang bergaris bawah dan kalimat kedua yang bergaris bawah berbeda
artinya , kalimat yang pertama diartikan dengan hidup, sedangkan kalimat yang
kedua diartikan dengan nama Yahya.
c)
Menggunakan lafadz pada makna
majazi menjadikan polisemi lebih bersastra, apalagi muncul majaz – majaz yang
baru yang belum ada sebelumnya. Contoh :
أ. طار الفارس فى الطريق
ب. بكت الأخلاق موت فلان
ج. ضحكت الأشجار
Dengan
beberapa contoh diatas para sastrawan telah membuat si pembaca untuk ikut dalam
hayalan yang telah di tulis oleh mereka.
d)
Banyaknya penggadaan ( tambahan )
makna atau perpindahan makna dikarenakan banyaknya makna yang ada pada
kamus,dan banyaknya penolakan yang terjadi pada kehidupan kita sehari hari pada
bahasa yang biasa kita pakai. Dan ini kebanyakan digunakan pada anggota tubuh
manusia yang di majazkan. Contohnya :
أ. أنف الرجل
ب. رجل الكرسى
ج. عنق الزجاجة
د. عين الإبرة
ه. حاجب الشمس
و. صدر النهر
Pengaruh
Negatif dari polisemi:[15]
1.
Berpindahnya salah satu makna dan
meninggalkan makna lain dikarenakan bertolak belakang dengan makna lain dan
banyaknya perpindahan makna dan menetapnya makana yang kedua disebabkan karena
ihtikak. Syarat-syarat jika terjadi ihtikak antara lain :
a.
Kedua kalimat harus dipakai pada
suatu pola bahasa tertentu dan pada golongan masyarakat tertentu pula. Contoh :
Pada kalimat A Near dan kalimat An Ear , kedua kalimat tersebut dipakai dalam
bahasa inggris dimana antara kalimat pertama dan kedua berbeda jauh artinya .
Kalimat A Near berarti Dekat dan Kalimat An Ear berarti Telinga . Meskipun
penulisan keduanya sama persis tampa ada perbedaan huruf sama sekali.
b.
Harus ada dalam fatroh satu waktu.
c.
Berkembangya kalimat polisemi ke
dalam suatu bentuk kalam dan diharapkan ada dalam susunan nahwiyah.
2.
Menetapnya dua kalimat dengan
rujukan fanomena dari luar untuk memperkuat makna yang di inginkan.
3.
Berubahnya bentuk dari salah satu
kalimat sehingga diambil bentuk yangkhusus yang lebih baik dibanding kalimat-kalimat
yang lain.
4.
Menghapus penggunaan sebagian kata
yang diharapkan pengucapannya dengan mengganti suara tertentu ,karena jika
demikian dilakukan akan timbul kalimat yang lain dalam suatu tata bahasa.
5.
Adanya pembatasan dalam penggunaan suatu
kalimat.
d.
Pembagian
Musytarak
Bentuk-bentuk lafal musytarak:[16]
a)
Berupa kalimat
isim (kata benda) contohnya:
1)
kata (غرب) dapat bermakna arah barat (الجهة) dan juga bermakna timba (الدلو).
2)
kata (الجد) memiliki 3 (tiga) makna, yaitu: bapak
dari ayah/ibu (أبو الأم / أبو
الأب) , nasib baik (الحظ،
البحت) dan tepi sungai (شاطئ النهر).
3)
kata (السائل) dapat bermakna orang yang meminta (الذي يسأل) dan bermakna sesuatuyang mengalir (الذي يسيل).
b)
Berupa kalimat
fi’il (kata kerja)
1)
Kalimat (لا أريد نصحك) memiliki makna ganda, yaitu (لا أريد أن أنصحك) artinya: Aku tidak ingin aku
menasehatimu, dan juga bermakna (لا أريد تنصحني)
artinya : Aku tidak ingin kamu menasehatiku
2)
kalimat (أطعمت عشرين رجلا وامرأة) Kalimat ini bisa
memiliki beberapa makna, yaitu: “Aku memberi makan 15 orang pria dan 5 wanita”,
dan “Aku memberi makan 10 orang pria dan 10 wanita”, dan seterusnya.
e.
Contoh-Contoh
Musytarok Di Dalam Al-Quran
a.
Musytarok yang mempunyai arti
beberapa makna seperti lafadz (الأمة) mempunyai
beberapa makna diataranya:
1) ولئن
أخرنا عنهم العذاب إلى أمة معدودة} هود:8)، لفظ
(الأمة)
Dan
Sesungguhnya jika Kami undurkan azab dari mereka sampai kepada suatu waktu yang
ditentukan”. Dalam lafazd (أمة) bisa diartikan) الأمد ( menyediakan dan ( (والحينketika
.
2) إن إبراهيم كان أمة} النحل:120)، لفظ
(الأمة)
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam “
Dalam lafazd (أمة) diartikan ( الإمام الذي يُقتدى به ) seorang imam
yang diikuti.
3) إنا وجدنا آباءنا على
أمة} الزخرف:22)،
لفظ (الأمة)
"Sesungguhnya
Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama ". Dalam lafazd (أمة ) diartikan ( الدين ) agama dan (الملة )
kepercayaan
4) ولما ورد ماء مدين وجد
عليه أمة من الناس يسقون} القصص:23)،
لفظ (الأمة)
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri
Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan
(ternaknya)”.
Dalam lafazd (أمة ) diartikan ( الجماعة من الناس ) sekumpulan
orang-orang.
5) ومن
قوم موسى أمة يهدون بالحق وبه يعدلون} الأعراف:159)،
لفظ (الأمة)
“Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu
umat yang memberi petunjuk “ Dalam lafazd (أمة )
diartikan ( الفرقة) sekelompok ( الطائفة) sekte-sekte.
Dan itulah
salah satu lafazd Musytarok dalam Al-Quran yaitu lafazd أمة yang mempunyai beberapa makna.
b.
Musytarok yang mempunyai arti yang
berlawanan. Contohnya seperti lafadz (عسعس) mempunyai
beberapa makna diataranya:
1) والليل
إذا عسعس )التكوير:17)
“Demi malam apabila hampir
meninggalkan gelapnya”
Dalam lafazd (عسعس ) diartikan (أقبل)
mendekati (أدبر) mengatur
2) والصبح
إذا تنفس } التكوير:18(
“Dan demi subuh apabila fajarnya mulai
menyingsing”
Sumpah tersebut bisa
bermakna sumpah demi malam yang berlalu dan sumpah demi
siang yang akan datang.
c.
Musytarok yang
mempunyai dua makna Contoh diantaranya:
1) والذين
جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا } العنكبوت:69)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
kami”.
Dalam
lafazd (الجهاد ) bisa bermakna
orang-orang yang berjihad dalam menegakan syariat islam, atau bisa juga
bermakna orang-orang yang berperan dalam islam.
2) كأنهم
حمر مستنفرة *فرت من قسورة}… المدثر:50-51)
“Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari
terkejut, lari daripada singa”.
Dalam
lafazd (الرامي) pemanah dan bisa
bermakna (الأسد) singa
d.
Musytarok yang
mempunyai arti sebenarnya dan kiasan diantanya:
1) ألم
تر أن الله يسجد له من في السماوات ومن في الأرض والشمس والقمر والنجوم والجبال
والشجر والدواب وكثير من الناس} الحج:18)
“Apakah kamu
tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi,
matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata
dan sebagian besar daripada manusia?”.
Dalam lafazd (يسجد ) jika dilihat dari makna hakikat
yaitu menempatkan kening diatas bumi, sedangkan makna majazi nya yaitu
mengagungkan.
2) ويبسطوا
إليكم أيديهم وألسنتهم بالسوء} الممتحنة:2)
“Mereka
melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti (mu)”.
Dalam
lafazd ( بسط الأيدي ) jika dilihat
dari makna hakikat yaitu memanjangkan untuk memukul atau
mengganggu. Dan lafazd (بسط الألسنة) dilihat
dari makna mazaji adalah tidak bisa menahan dari ucapan yang kotor.[17]
B.
SINONIM (الترادف)
1.
Definisi
Sinonim
Kata
Al-Mutaradif berasal dari masdar الردف dalam
bentuk fi’il ردف – يردف yang
berarti 1). Mengikuti sesuatu, 2). Tiap-tiap benda mengikuti benda lain. متردفين dalam (QS. Al-Anfal:9) diartikan
dengan datang bertutut-turut, apa bila saling mengikuti dikatakan الترادف. .[18]
Istilah Sinonim
berasal dari bahasa Yunani Konu; anoma = nama dan syn
= dengan. Makna Harfiahnya adalah nama lain untuk benda yang
sama. Secara etimologis, istilah sinonimi (bahasa Indonesia) diserap dari
bahasa Inggris yaitusynonymy. Kata synonymy sendiri
diserap dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onoma yangberarti
“nama” dan syn yang berarti “dengan.”[19]
Dengan kata lain sinonim ialah “nama lain untuk benda yang sama.”
Menurut Kamus
Bahasa Indonesia, Sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip
atau sama dengan bentuk bahasa lain.[20]
Sedangkan menurut Taufiqurrahman adalah dua
kata atau lebih yang maknanya kurang lebih sama. Dikatakan “kurang lebih”
karena memang, tidak akan ada dua buah kata yang berlainan yang maknanya persis
sama. Yang sama hanya informasinya saja, sedangkan maknanya tidak persis sama.[21] Misalnya,
kata jenazah, bangkai, mayat, kata-kata ini disebut bersinonim, namun kata-kata
ini tidak persis sama maknanya. Buktinya, kata-kata yang bersinonim tidak bebas
dipertukarkan secara bebas. Misalnya, “aku melihat bangkai anjing”, tidak bisa
ditukar dengan “aku melihat jenazah anjing”.
Dalam bahasa Arab, sinonim dikenal dengan nama الترادف . Secara harfiyah kata الترادف berasal dari kata ردف yang
berarti sesuatu yang mengikuti sesuatu. Sedangkata ترادف itu sendiri berarti sesuatu yang saling
mengikuti.[22]
ما اختلف لفظه واتفق معناه، أوإطلاق عدة كلمات على مدلول
واحد
“Berbeda
artinya tetapi sama lafasnya. Atau beragam lafasnya tetapi maknanya satu”.
Menurut Umar:[24]
الترادف وهو أن يدل أكثر من لفظ على معنى
واحد.
Artinya: “Sinonim
adalah banyak lafaz tapi satu arti”.
Berati dapat
disimpulkan bahwa sinonim (الترادف)
adalah suatu kata yang berbeda arti pada satu lafaz,
tapi satu makna.
2.
Penyebab
Terjadinya Sinonim
Sinonim bisa
terjadi antara lain, sebagai akibat adanya:
a.
Pengaruh kosakata
serapan (dakhil) dari bahasa asing
Misalnya,dalam bahasa Arab
kontemporer dikenal kata “التّلفون”
telepon yang aslinya dari bahasa Eropa dan kata “الهاتف”
yang merupakan ta’rib (terjemahan ke Arab) sehingga keduan kata itu di anggap
sinonim. Contoh lain, kata"التّلفزيون" sinonim
dengan kata “الإذاعة المرئية ”,
kata “الكمبيوتير” sinonim dengan kata “الحاسوب”,
kata “ تياترو”
(dari bahasa italia) sinonim dengan kata “مسرح”(drama).
Sekalipun kosakata-kosakata tersebut di anggap sinonim, namun dalam beberapa
konteks tidak bisa disebut sinonim. Misalnya, kata “مسرح الجريمة”
(drama kejahatan) tidak bisa ditukar dengan “تياترو الجريمة”,
sebab maksud dari ‘drama kejahatan’ adalah kronologi terjadinnya kejahatan,
bukan drama atau penampilan tentang kejahatan.[25]
b.
Perbedaan dialek
sosial (infi’aliyah)
Misalnya, kata
istri bersinonim dengan kata bini. Tetapi kata istri digunakan
dalam kalangan atasan sedangkan katabini dalam kalangan bawahan.
Dalam bahasa Arab, kata “مجدّد”
(pembaharu) memiliki makna fositif, berkelas tinggi dan diterima di beberapa
negara Arab. Akan tetapi, kata “mujaddad” tidak bisa ditukar dengan “تقديمي”atau
“ثوري” walaupun ketiganya bersinonim. Sebab kata
“تقديمي ” atau “ثوري ”
memiliki makna yang mencerminkan seseorang yang reaksioner, pemberontak dan
sebagainya, walaupun dibeberapa wilayah Arab kedua kata ini tetap digunakan.
c.
Perbedaan dialek
regional (lahjah iqlimiyah)
Misalnya kata
handuk, bersinonim dengan kata tuala, tetapi kata tuala hanya
di kenal di beberap daerah di indonesia timur saja. Dalam bahasa Arab, misalnya
kata ”سيّارة نقل”
(truk) hanya dikenal di Mesir, sementara di negara-negara Arab bagian teluk dan
maroko lebih mengenal kata “شاحنة”.
Contoh lain, istilah pom bensin, orang Mesir menyebutnya dengan kata “محطّة بنزين”,orang Sudan
menyebut-nya dengan “طلمبة بنزين”dan
orang Irak mengenalnya dengan “بنزينخانة”
d.
Perbedaan dialek
temporal
Misalnya, kata hulubalang
bersinonim dengan kata komandan, tetapi kata hulubalang hanya cocok digunakan
dalam suasana klasik saja. Contoh lain, kata “الكتّاب”
bersinonim dengan “المدرسة الإبتدائيّة”
sama-sama berarti sekolah dasar. Akan tetapi, isti’lah “الكتّاب”
hanya dipakai pada masa lampau.
Adapun faktor-faktor penyebab
banyaknya الترادف dalam bahasa
Arab, Wafi menyimpulkan sebagai berikut:[26]
1)
Karena bahasa Arab (bahasa Quraisy)
sangat terbuka dan respon terhadap beberapa dialek-dialek bahasa Arab
disekitarnya. Dengan demikian, bahasa Arab banyak menyerap kosa-kata dialek
lain yang maknanya juga sama.
2)
Karena beberapa penyusun kamus
bahasa Arab tidak melakukan seleksi yang ketat dalam menulis kosa kata bahasa
Arab. Oleh karena itu, banyak kosa kata bahasa lain, khususnya
bahasa-bahasa rumpun semit masuk ke dalam bahasa Arab yang artinya sama.
3)
Pada hakekatnya beberapa kata yang
dianggap bersinonim itu memiliki arti khusus. Namun karena ditemukan adanya
kesamaan maka disebut bersinonim. Seperti kata جلس danقعد , keduanya
berarti ‘duduk’. Tapi pada hakikatnya kataجلس berarti
‘duduk dari berdiri’. Sementara قعد berarti
‘duduk dari
berbaring’.
Ulama lingusitik
Arab pada abad IV ramai berselisih pendapat tentang eksistensi taraduf
(sinonim) dalam bahasa Arab; Sebagian menolak sama sekali adanya taraduf, ada
juga yang menyatakan adanya taraduf, dan ada orang yang berlebihan dalam
memahami adanya taraduf sehingga ada di antara mereka berpendapat bahwa satu makna
(substansi) bisa jadi memiliki ratusan kata sinonim untuk mengungkapkannya.
Nampaknya penolakan taraduf baru muncul pada akhir abad III, tepatnya ketika
Tsa’lab yang menyatakan pengingkarannya terhadap taraduf.
Pendapat ini
diikuti oleh muridnya yang bernama Ibn Faris. Karena sebelum paruh terakhir
abad III H, tidak ditemui catatan ulama linguistik yang menolak taraduf.
Berikut adalah ungkapan
Ibn Faris sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam
al-muzhir: Sesuatu diberi banyak nama yang berbeda-beda, seperti “سيف”, “مهند”, dan “حسام” (ketiganya diartikan sebagai pedang),
sebenarnya yang nama adalah “سيف” dan selainnya merupakan sifat.
Ada juga orang-orang yang
berpendapat bahwa nama-nama tersebut bukan (menunjukkan pada) satu nama, dan
juga bukan sifat yang bukan makna yang lain. Mereka berkata bahwasanya fi’il
(kata kerja) juga demikian, misalnya kata “ذهب”,
dan “انطلق” (semuanya diartikan pergi); Juga kata “قعد” dan “جلس”
(keduanya diartikan duduk); Mereka berpendapat bahwa dalam kata “قعد” ada makna yang tidak terdapat pada kata “جلس”. Dan seterusnya.
Penolakan terhadap taraduf ini,
terbakukan dalam ungkapan
ما
يظن أنه من المترادفات فهو من المتبينات
(apa yang dianggap sebagai sinonim sebenarnya
bukan sinonim).
Mengomentari pendapat ulama tentang
ketiadaan eksistensi taraduf, al-Taj al-Subuki menyatakan bahwa memang ada
orang yang mengingkari eksistensinya dalam bahasa Arab dan menganggap semua
yang disangkakan sebagai taraduf sebenarnya merupakan hal yang memiliki
perbedaan sesuai perbedaan yang ada pada sifat-sifatnya. Al-Subuki menganggap
penolakan terhadap eksistensi taraduf dengan cara meneliti sifat-sifat yang ada
pada tiap kata, merupakan sebuah upaya mengada-ada yang mencengangkan.
Sementara al-Fakhr al-Razi menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya taraduf
merupakan hal yang tidak disangsikan lagi. Dan tidak sedikit ulama yang menulis
buku khusus yang mengumpulkan kata-kata yang mutaradif (sinonim), seperti Ibnu
Khaluwaih yang menulis buku khusus tentang kumpulan nama bagi macan dan ular.
Untuk
menengahi perbedaan pendapat ini, ‘Izzuddin menyatakan bahwa ulama yang
mengakui adanya taraduf melihat sisi kesamaan dalalah (maksud/substansi) dzat
(yang disimbolkan dengan kata), dan orang yang menolak eksistensinya melihat
perbedaan sifat yang ada tiap kata.[28]
4.
Contoh
Mutarâdif dalam al-Qur’an
Perkataanالخوق و الخشية
artinya: takut, ketakutan. Ada beberapa kata dengan pengertian yang sama dengan
الخائف mutarâdifnya Kata “ الخوق و الخشية“ yang keduanya diterjemahkan dengan takut
adalah berdasarkan pemahaman sementara ulama yang menilai kedua kata itu
sinonim tanpa perbedaan. Menurut mereka, penggunaan keduanya untuk tujuan
penganekaragaman redaksi. Namun ada juga ulama yang membedakannya. Yakni kata الخشية adalah takut yang disertai dengan
penghormatan dan pengagungan, lahir dari adanya pengetahuan tentang yang
ditakuti, iaitu Allah, sedangkanالخوف
adalah sekedar takut yang boleh jadi disertai dengan kebencian atau tanpa
mengetahui yang ditakuti.
Perkataan الخشية
menurut al-Asfihanî: “ketakutan yang membawa kepada mengagungkan yang ditakuti
disebabkan pengetahuannya tentang yang ditakuti (Allah) . Sebagaimana firman
Allah :
وَالَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ مَآ اَمَرَ
اللّٰهُ بِهٖٓ اَنْ يُّوْصَلَ
وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُوْنَ سُوْۤءَ الْحِسَابِ ۗ
Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang
Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut
kepada hisab yang buruk. (Q.S. ar-Ra’d: 21).
Kata الخشية
menunjukkan makna takut kepada keagungan Allah, walaupun pelakunya seorang yang
kuat. Sebagaimana ayat lain disebutkan:
اَلَا تُقَاتِلُوْنَ قَوْمًا نَّكَثُوْٓا
اَيْمَانَهُمْ وَهَمُّوْا بِاِخْرَاجِ الرَّسُوْلِ وَهُمْ بَدَءُوْكُمْ اَوَّلَ
مَرَّةٍۗ اَتَخْشَوْنَهُمْ ۚفَاللّٰهُ اَحَقُّ اَنْ تَخْشَوْهُ اِنْ كُنْتُمْ
مُّؤْمِنِيْنَ
Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal
Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang
beriman (Q.S. at-Taubah: 13).
Kata الخشية
jika diikuti dengan sebuah perkara, maka perkara itu adalah perkara yang
penting, seperti tentang alam ghaib, terjadinya kiamat dan hari akhirat.
الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ
رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَهُمْ مِّنَ السَّاعَةِ مُشْفِقُوْنَ
(yaitu) orang-orang yang takut akan (azab)
Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan
(tibanya) hari kiamat. (Q.S. Al-Anbiya: 49).
Kata الخشية
terkadang didapati berhubungan dengan kehidupan dunia sebagai sarana ujian dan
cobaan hidup untuk lebih meningkatkan ma’rifah dan mengagungkan Allah SWT.
وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ
نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيْرًا
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena
takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (Q.S. Al-Isra: 31).
Kataالخوف berarti dalam keadaan
takut, yakni Allah menyiksa mereka dengan keadaan diliputi oleh rasa takut
sebelum turunnya siksa. Seseorang yang mengetahui siksa, ia akan diliputi oleh
kecemasan yang meresahkan dan menyiksanya sebelum jatuhnya siksa. Firman Allah:
وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً
كَانَتْ اٰمِنَةً مُّطْمَىِٕنَّةً يَّأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّنْ كُلِّ
مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِاَنْعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ
وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan)
sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya
melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari
nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian[841]
kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (Q.S. An-Nahl: 112)
Perkataan تخوف
yang berarti mereka ditakuti dengan penyiksaan sedikit demi sedikit. Siksa
pertama adalah kelaparan, kekurangan harta, jiwa disusul dengan masa paceklik,
dan lain-lain. Demikian silih berganti, terus menerus dan sedikit demi sedikit
tapi tanpa henti hingga akhirnya binasa. Sebagaimana firman Allah:
اَوْ يَأْخُذَهُمْ عَلٰى تَخَوُّفٍۗ فَاِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوْفٌ
رَّحِيْمٌ
“Atau Allah mengazab mereka dengan
berangsur-angsur (sampai binasa. Maka sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang”. (Q.S. An-Nahl: 47)
Ujian Allah SWT dijelaskan dalam firman-Nya:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ
الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ
وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Baqarah: 155).
C.
ANTONIM/
ANTITESIS POLISEMI (التضاد)
1.
Definisi
Antonim
Menurut
bahasa Idhdhad (Antonim) berasal dari kata ضد يضد ضدا yang berarti menolak, berlawanan,
atau kontradiksi. Sedangkan menurut istilah Idhdhad (Antonim) adalah
sebuah lafadz yang menghendaki makna dan lawan katanya, atau dua kalimat yang
berlawanan maknanya.
Secara
harfiyah, antonimi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris,
yaitu antonymy. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan antonim
adalah kata yang berlawanan makna dengan kata lain.[29]
Menurut Verhaar, kata antonymy sendiri berasal dari bahasa Yunani
Kuno, yaitu: “anoma” artinya “nama” dan “anti” artinya “melawan.‟
Jadi arti harfiahnya adalah “Nama lain untuk benda lain”.[30] Atau
lebih sering disebut dengan lawan kata.
Kridalaksana
mendefinisikan antonim sebagai oposisi makna dalam pasangan leksikal yang dapat
dijenjangkan.[31] Yaitu
beberapa pasangan kata yang mempunyai arti yang berlawanan. Dalam bahasa
Indonesia kita kenal kata-kata besar-kecil, tinggi-rendah, jauh-dekat,
rajin-malas, takut-berani, gembira-sedih, sakit-senang, panas-dingin, dll.
Dalam bahasa Arab antonimi dikenal dengan
istilah الأضداد
atau .التضاد الأضداد merupakan bentuk jamak dari ضد yang berarti sesuatu yang berlawanan
dengan yang lain, seperti السواد
(hitam) yang berantonim dengan البياض (putih). الموت (mati) yang berantonim dengan الحي (hidup).[32]
Wâfi, yang
dimaksud dengan التضاد adalah:[33]
التضاد هو أن يطلق اللفظ على المعنى وضده
Artinya: “Satu
kata mengandung dua makna yang kontradiktif”
Sedangkan
menurut Taufiqurrahman adalah:[34]
عبا رة عن وجود كلمتين فاكثر لها دلالة متضادة
Artinya: “dua
buah kata atau lebih yang maknanya ‘dianggap’ berlawanan”
Disebut
dianggap berlawanan karena sifat berlawanan dari dua kata yang berantonim ini
sangat relatif. Misalnya kata الجون yakni kata
berlawanan yang maknanya putih dan hitam, kataالجلل maknanya yakni yang terhormat dan yang hina, الصارخ yang berarti yang minta tolong dan
yang menolong, المسجور yang artinya
penuh dan kosong, kata البسل yang
maknanya halal dan haram, dan lain-lain sebagainya.
Idhdhad ( Antonim
) terdiri dari :
a.
Perlawanan makna
binary ( pasangan )
Contoh
:
1)
موت (
kematian ) yang berlawanan makna dengan حياة (
kehidupan )
2)
رجل (
laki-laki ) yang berlawanan makna dengan مرأة (
wanita )
3)
ظلم (
gelap ) yang berlawanan makna dengan نور (
cahaya )
b.
Perlawanan makna
bertingkat ( gradable )
1)
كبير (
besar ), متوسط ( sedang
), صغير ( kecil )
2)
جفف (
musim kemarau ), امطار ( musim hujan ),ربيع ( musim semi ), خريف
(
musim gugur), شتاء ( musim dingin
), صيف ( musim panas )
c.
Perlawanan makna
timbal balik ( converse )
1)
زوج (
suami ) berlawanan makna timbal balik dengan زوجة (
istri )
2)
طبيب
( dokter ) berlawanan makna timbal balik dengan مريض (
pasien )
3)
أستاذ (
guru ) berlawanan makna timbal balik dengan تلميذ (
murid )
d.
Perlawanan makna
berhubungan dengan gerak dan arah ( reverse )
1)
فوق (
atas ) berlawanan makna dengan تحت (
bawah )
2)
يمين (
kanan ) berlawanan makna dengan شمال (
kiri )
3)
خروج (
keluar ) berlawanan makna dengan دخول (
masuk )
3.
Pembentukan Antonim dalam
Bahasa Arab
Haidar
menyebutkan terdapat banyak hal yang menyebabkan terjadinya antonim.
Hal-hal tersebut kemudian diklasifikannya ke dalam tiga faktor besar:[36]
a.
Faktor Eskternal
Perbedaan dialek, misalnya kata السدفة yang dapat bermakna الظلمة ‘gelap’dan الضوء ‘terang’.
Pinjaman bahasa asing, misalnya kata جلل yang bermakna كريم ‘mulia’ dan حقير ‘hina’.
Motivasi sosial, misalnya sebagai kata yang
menunjukkan rasa optimistime, pesimisme, ejekan, atau bahkan juga
sebagai tata krama.
b.
Faktor Internal
Motivasi relasi makna, misalnya sebagai kata
yang menunjukkan perluasan makna, majas, penegasan, atau pun untuk
menggeneralisasikan makna aslinya.
Motivasi relasi lafaz, misalnya perbedaan akar
kata, substitusi konsonan akar kata, atau pun perubahan tempat konsonan
akar kata.
c.
Faktor Historis
Peninggalan masa lalu, seperti yang
diungkapkan Giese kontranimi merupakan ungkapan manusia yang berupa pemikiran
orang-orang di masa lampau.
Keadaan asasi kata, maksudnya adalah ungkapan
yang menjadi kontranimi sejak awal memang sudah begitu adanya. Namun,
pendapat demikian ditentang oleh Ibnu Sayyid yang mengatakan bahwa tidak
dibenarkanmemberikan dua makna bertentangan pada satu kata dalam waktu
yang bersamaan.
Al-Tadhad merupakan
jenis khusus lafadz Musytarak al-Lafzhi yang telah dipelajari
sebelumnya. Oleh sebab itu, terjadilah pertentangan oleh para ulama-ulama Arab
dalam menolak dan menerima Musytarak al-Lafzhi.
Setelah
terjadi pertentangan ulama-ulama Arab, mereka mengumpulkan berbagai contoh.
Adapun ulama yang terkenal dalam menolak mutadhadh diantaranya adalah Ibnu
Darastawayhi, yang mengumpulkan antonim dan menulisnya dalam sebuah buku khusus
yang dinamakan “ابطال اتضاد”. Diriwayatkan oleh
Ibnu Sayyidah dalam bukunya “al-mukhassash” tentang pengingkaran itdhadh yang
telah dibicarakan oleh para pakar bahasa dan menjadikan satu lafadz dari
sesuatu dan lawannya.
Sedangkan
kelompok lain berpendapat tentang banyaknya antonim, serta memberikan
contohnya. Di antara tokoh-tokohnya adalah al-Khalil, Sibawayhi, Abu Ubaidah, Abu
Zaid al-Anshori, Ibnu Faris, Ibnu Sayyidah, as-Tsa’labi, al-Mabrud, dan
Suyuthi. Menurut Suyuthi dan Ibnu Sayyidah jumlah antonim yakni tidak lebih
dari 100 lafadz. Akan tetapi, ada beberapa orang dari kelompok ini telah
memahami tentang batasan-batasan uraian antonim serta contohnya. Mereka adalah
Qutrub, al-Asma’iy, Abu Bakar bin Ambar, at-Tauzi, al-Birkaat bin Ambar dan
Ibnu Dahan. Di antara kitab terkenal adalah kitab ithdad karangan Ibnu Ambar
yang berpendapat bahwa ithdad lebih dari 400 lafadz.
Masing-masing
kelompok berusaha untuk mempertahankan pendapatnya. Kelompok pertama yang
menolak adanya itdhad tidak memperbolehkan untuk mengkaji beberapa contoh
ithdad, sampai Ibnu Durusturiyyah seorang yang menolak adanya ithdad terpaksa
mengakui adanya kata-kata asing dalam lafadz-lafadz tersebut. Beliau berkata:
“hanya bahasalah yang memiliki makna yang berlawanan, walaupun memperbolehkan
satu lafadz memiliki dua makna yang berbeda atau salah satu di antaranya
merupakan antonim dari kata yang lain.”
Adapun
kelompok yang lainnya mengatakan bahwa belum banyak lafadz idhdhad dalam bahasa
arab. Oleh sebab itu banyak contoh-contoh yang diperkirakan kelompok ini
merupakan bagian dari idhdhad yang memungkinkan dapat diuaraikan dalam bentuk
lain. Misalnya penggunaan lafadz yang mujarrod at-tafaa’ul, seperti kata المفازة (kemenangan, keselamatan) berlawanan
dengan kataالهلكة (kematian,
kebinasaan), kata السليم (yang
tidak bercacat, sempurna) berlawanan dengankataالملدوغ (yang
ada cacatnya), dan kataالريان (minuman) berlawanan dengan النهل (yang minum).
Selain itu
kata idhdhad juga telah digunakan sebagai kata-kata ejekan atau menghina lawan
bicara. Seperti kata العاقل (yang pintar)
berlawanan dengan kata الأحمق (yang
bodoh), الأبيض(putih)
berlawanan dengan kata الأسود(hitam), الملان (penuh)
berlawanan dengan kata الفراغ (kosong), المولى (tuan)
berlawanan dengan kata العبد (budak), البصر (yang bisa melihat) berlawanan dengan
kata الأعمى (yang buta), dan
lain sebagainya.
Ada juga
idhdhad yang lahir karena perpindahan makna aslinya ke makna majazi yang digunakan
dalam balaghah. Sebagaimana firman Allah SWT surah at-Taubah: 67: (نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَنَسِيَهُمْ) Kata kerja kedua tidak menggunakan
makna aslinya, karena Allah tidak mungkin memiliki sifat pelupa akan tetapi
bermakna الأهمل (membiarkan)
dengan meninggalkan maksudnya dengan jalan isti’aroh. Isti’aroh ini sangat
bagus untuk memberikan kepastian dalam menyamakan dua lafadz, dan menyamakan
antara balasan dan perbuatan.
Adupula jenis
antonim yang menggunakan kalimat asli dan mengambil makna umumnya yang diikuti
oleh dua antonim. Inilah yang dikatakan oleh ulama sebagai musytarok maknawiy.
Misalnya kataالقرء yang artinya
haid dan suci, juga kata الزوج (pernikahan)
yang menunjukan makna laki-laki dan perempuan,الصريم yang
menunjukan makna siang dan malam, dan sebagainya. Serta ada antonim yang
digunakan dari segi tashrif, misalnya kata الممتازdan
kata مرت.
5.
Al-Tadhad
Dalam Al-Qur’an
Salah
satu fenomena kebahasaan yang menarik dalam bahasa Arab, terutama mengenai
relasi makna terhadap kata adalah konsep Al-Addad. Konsep ini, tidak ditemukan
dalam semantik bahasa manapun termasuk dalam kajian lingustik modern saat
ini. Kata Al-Addad (الأضداد) adalah bentuk jamak
dari kata al-didd (الضد). Konsep
al-Addad berbeda dengan konsep. Taddad (تضاد)
yang dalam semantik modern disebut antonimi. Sebenarnya konsep
tadad pengertiannya menjadi sama dengan konsep antonimi itu
karena didasarkan pada pandanganpara fakar bahasa saat ini, yang mengartikannya
sebagai dua kata yang berbeda dan mempunyai makna yang bertentangan.
Dalam kontek
mengenai dua makna yang bertentangan, sebenarnya ada teori lain dalam
relasional makna yang telah dikemukakan oleh para ulama lughah terdahulu,
terutama linguistik Arab yaitu istilah Al-Addad. Al-Addad
adalah satu kata yang memiliki dua makna yang bertentangan (huwa
al-Lafdzul al-Wahid ad-Dallu ‘ala ma’nayain mutadaddain) (Umar, 1992:
191).
هو اللفظ الواحد
الدّالّ على معنيين متضدان
Seperti
contoh kata القرء dapat memiliki
makna الطهر dan الحيض. Kedua makna tersebut adalah bertentangan.
Contoh lain adalah kata الجون yang
memiliki arti atau makna الأبيض danالأسواد.
Sepintas konsep al-Addad ini mirip dengan konsep polisemi atau
musytarak lafdzy akan tetapi sebenarnya berbeda.
Musytarak
ladfzi adalah kata yang memiliki beberapa makna yang berbeda akan tetapi
makna tersebut tidak bertentangan.
Sementara dalam Al-Tadhad masing-masing maknanya bertentangan.
Mengenai konsep
al-Adhaah dan musytarak lafdzi ini telah menimbulkan pro dan kontra
dikalangan para ahli bahasa itu sendiri. Ada kelompok ulama lughah yang
mengukukuhkan bahwa konsep al-Addad itu berbeda dengan al-Mustrak
Lafdzi, sementara ahli bahasa yang lain berpendapat bahwa konsep al-Addad
dapat dimasukan pada katagori al-Musytarak Lafdzi, terlepas dalam al-Addad
pengertian maknanya bertentangan atau tidak.
Sekalipun
ada penolakan mengenai adanya al-Addad tidak sedikit juga ahli yang tetap berpendirian
bahwa bagaimana pun juga konsep al-Addad dengan musytarik lafdzi adalah tidak
sama. Ketidak samaan itu jelas terletak pada sisi makna yang
“bertentangan”.
Para
ahli lughah yang tetap berpandangan bahwa al-Addad merupakan konsep relasi
makna tersendiri, sedikit besarnya dikarenakan al-Qur’an sendiri memuat banyak
bentuk-bentuk kata berpola al-Addad. Dan mereka menganggap bahwa konsep
al-Addad ini adalah salah satu bukti, bahwa konsep linguistik dalam al-Qur’an
jauh lebih komplek dan lengkap dibandingkan dengan konsep linguistik yang lain.
Berikut
ini ada beberapa contoh kata yang berbentuk al-Addad dalam al-Quran, di
antaranya adalah;
a.
Kata الاشتراء. Kata ini memiliki dua arti yang
bertentangan yaitu arti yang pertama adalah “membeli” (الابتياع).
Pengertian ini dapat
dilihat dalam surat at-Taubah: 111. Perhatikan ayat berikut ini :
اِنَّ اللّٰهَ اشْتَرٰى مِنَ
الْمُؤْمِنِيْنَ اَنْفُسَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ بِاَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَۗ
يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَيَقْتُلُوْنَ وَيُقْتَلُوْنَ وَعْدًا
عَلَيْهِ حَقًّا فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ وَالْقُرْاٰنِۗ وَمَنْ اَوْفٰى
بِعَهْدِهٖ مِنَ اللّٰهِ
فَاسْتَبْشِرُوْا بِبَيْعِكُمُ الَّذِيْ بَايَعْتُمْ بِهٖۗ وَذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
Artinya: Sesungguhnya
Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada
jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji
yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan AlQuran. dan siapakah yang
lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan
jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar (QS.
at-Taubah: 111).
Arti الاشتراء yang kedua adalah “ menjual” (باعو). Pengertian ini terdapat
dalam surat al-Baqarah: 90.
بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهٖٓ اَنْفُسَهُمْ اَنْ يَّكْفُرُوْا بِمَآ
اَنْزَلَ اللّٰهُ بَغْيًا اَنْ يُّنَزِّلَ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ عَلٰى مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ ۚ فَبَاۤءُوْ بِغَضَبٍ عَلٰى غَضَبٍۗ
وَلِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ
Artinya: Alangkah
buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya
sendiri dengan kekafiran kepada apa yang Telah diturunkan Allah,
Karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa
yang dikehendaki Nya diantara
hamba-hamba-Nya.Karena itu mereka
mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan dan
untuk orang-orang kafir siksaan yang
menghinakan (QS. al-Baqarah: 90).
b.
Kata اسر. Dalam al-Qur’an kata ini memiliki dua
makna yang bertentangan, yaitu makna
“menampakan” (الإظهار) dan “menyembunyikan”
(الإخفاء). Pengertian yang pertama dapat dilihat dalam surat as-Saba: 33.
وَقَالَ الَّذِيْنَ اسْتُضْعِفُوْا
لِلَّذِيْنَ اسْتَكْبَرُوْا بَلْ مَكْرُ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ اِذْ تَأْمُرُوْنَنَآ
اَنْ نَّكْفُرَ بِاللّٰهِ وَنَجْعَلَ لَهٗٓ اَنْدَادًا ۗوَاَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَاَوُا الْعَذَابَۗ
وَجَعَلْنَا الْاَغْلٰلَ فِيْٓ اَعْنَاقِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ هَلْ يُجْزَوْنَ
اِلَّا مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya : kedua belah pihak menyatakan penyesalan
tatkala mereka melihat azab. dan Kami pasang belenggu di leher orang-orang yang
kafir. mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS.
Saba’: 33).
Sementara itu ada
juga kata اسر yang
berarti الإخفاء seperti yang
ditemukan dalam surat Yunus: 54, ar-Ra’du: 10, dan at-Tahrim: 3.
وَلَوْ اَنَّ لِكُلِّ نَفْسٍ
ظَلَمَتْ مَا فِى الْاَرْضِ لَافْتَدَتْ بِهٖۗ وَاَسَرُّوا النَّدَامَةَ
لَمَّا رَاَوُا الْعَذَابَۚ وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ وَهُمْ لَا
يُظْلَمُوْنَ
Artinya: Dan
kalau setiap diri yang zalim (musyrik) itu mempunyai segala
apa yang ada di bumi ini, tentu dia menebus dirinya dengan itu, dan mereka menyembunyikan penyesalannya
ketika mereka Telah menyaksikan azab
itu. dan Telah diberi Keputusan di antara merekadengan adil, sedang mereka
tidak dianiaya (QS. Yunus: 54).
وَاِذْ اَسَرَّ النَّبِيُّ
اِلٰى بَعْضِ اَزْوَاجِهٖ حَدِيْثًاۚ فَلَمَّا نَبَّاَتْ بِهٖ وَاَظْهَرَهُ اللّٰهُ
عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهٗ وَاَعْرَضَ عَنْۢ بَعْضٍۚ فَلَمَّا نَبَّاَهَا بِهٖ قَالَتْ مَنْ اَنْۢبَاَكَ هٰذَاۗ
قَالَ نَبَّاَنِيَ الْعَلِيْمُ الْخَبِيْرُ
Artinya: Dan
ingatlah ketika nabi membicarakan secara rahasia kepada salah
seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan
peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan
Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang
diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah).
Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah)
lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang Telah memberitahukan hal Ini
kepadamu?" nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah
yang Maha mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. at-Tahriim: 3).
سَوَاۤءٌ مِّنْكُمْ مَّنْ
اَسَرَّ الْقَوْلَ وَمَنْ جَهَرَ بِهٖ وَمَنْ هُوَ مُسْتَخْفٍۢ بِالَّيْلِ وَسَارِبٌۢ بِالنَّهَارِ
Artinya: Sama
saja (bagi Tuhan), siapa diantaramu yang merahasiakan ucapannya,
dan siapa yang berterus-terang dengan Ucapan itu, dan siapa yang
bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di
siang hari (QS. ar-Ra’d: 10).
d.
Kata ظنّ , kata ini juga memiliki arti yang
berlawanan yaitu “yakin” (يقين) dan “kira-kira: atau “ragu” (شك).
Pengertian yang pertama dapat dilihat dalam surat al-Baqarah: 45-46
dan al Haaqah: 20:
وَاسْتَعِيْنُوْا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ
الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ
اَنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَاَنَّهُمْ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ
Artinya: Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan Sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orangorang yang
khusyu', (yaitu) orang-orang yangmeyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali
kepada-Nya (QS. al-Baqarah:
45-46).
Pada ayat yang
lain disebutkan:
اِنِّيْ ظَنَنْتُ اَنِّيْ
مُلٰقٍ حِسَابِيَهْۚ
Artinya: Sesungguhnya
Aku yakin, bahwa Sesungguhnya Aku akan menemui
hisab terhadap diriku (QS. al-Haaqqah: 20).
Sementara
kata ظنّ juga bisa
berarti ragu (شك) seperti yang terdapat dalam surat al-Jasyiyah berikut ini:
وَاِذَا قِيْلَ اِنَّ وَعْدَ
اللّٰهِ حَقٌّ وَّالسَّاعَةُ لَا رَيْبَ فِيْهَا قُلْتُمْ مَّا نَدْرِيْ مَا
السَّاعَةُۙ اِنْ نَّظُنُّ اِلَّا ظَنًّا وَّمَا نَحْنُ بِمُسْتَيْقِنِيْنَ
Artinya: Dan
apabila dikatakan (kepadamu): "Sesungguhnya janji Allah itu
adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya", niscaya
kamu menjawab: "Kami tidak tahu apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali
tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak
meyakini(nya)" (QS. Al-Jatsiyah: 32).
e.
Kata عسعس. Menurut Abu Ubaidah kata ini memiliki
arti “menjelang malam” (أقبل) dan “lewat malam” (أدبر). (Ahmad Mukhtar
Umar, 1992: 203). Pengertian ini terdapat dalam surat at-Takwir
:17.
وَالَّيْلِ
اِذَا عَسْعَسَۙ
Artinya: Demi
malam apabila Telah hampir meninggalkan gelapnya, (QS.
At Takwiir: 17).
f.
Kata المقوين . Kata ini disebutkan hanya satu kali
dalam al-Qur’an yaitu pada surat al-Qari’ah: 73. Dalam al-Qur’an kata
ini diartikan sebagai “musafir di padang pasir”.
نَحْنُ
جَعَلْنٰهَا تَذْكِرَةً وَّمَتَاعًا لِّلْمُقْوِيْنَۚ
Artinya: Kami
jadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi
musafir di padang pasir (QS. al-Waqi’ah: 73).
Menurut
al-Asma’i, kata المقوي adalah orang
yang yang tidak punya bekal dan
harta (الذي لازاد معه ولامال ).
Akan tetapi dalam masyarakat Arab
kata المقوي juga dimaksudkan
untuk orangyang mempunyai banyak harta (الكثير المال)
yaitu orang yang mempunyai hewan
yang kuat (دابة قوية).[38]
D.
AKRONIM (النحت)
1.
Pengertian
Naht
Istilah An-Naht dari segi bahasa berasal dari kata نحت- ينحت yang
mengandung makna memahat, menata dan mematung. seperti firman Allah dalam
al-Qur’an :
وتنحتون من الجبال بيوبا أمنين
“Dan kamu pahat sebagian
dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin”
Lisan Arab menulis An-Naht adalah النشر (menggergaji), البري (meraut) dan القطع (memotong).[39]
Keseluruhan makna di atas terhimpun dalam arti “memahat” yang merupakan makna
hakikat An-Naht. Hal ini dapat dipahami karena secara umum pekerjaan
menggergaji, menata, mematung, menggergaji, meraut dan memotong adalah
pekerjaan yang saling berhubungan bagi pemahat atau seni ukir.
Sedangkan menurut istilah diartikan sebagai formulasi dua kata
atau lebih menjadi satu ungkapan baru yang menunjukkan makna aslinya. Kata yang
digabung tersebut dapat terdiri dari kata benda seperti basmalah, kata kerja
seperti hamdalah atau huruf seperti innama berasal dari inna dan ma, dengan
tetap mengikuti kaedah kebahasaan dan bentuk-bentuk tashrif bahasa. Hubungan
makna leksikal dengan makna istilah ialah karena An-Naht kegiatan manata ulang
kata-kata atau kalimat. Hal ini mirip dengan kegiatan memahat atau mematung
yang bekerja memotong-motong dan membuang sebagian unsur suatu kata kemudian
membuat formulasi yang berbeda dengan forma awal.[40]
Definisi di atas memberikan pengetian bahwa An-Naht merupakan
langkah kreatif meringkas dan mempermudah pengucapan serangkaian kata. Bentuk
An-Naht secara sepintas mempunyai kemiripan penyingkatan dalam bahasa Indonesia
(Akronim). Letak persamaannya terletak pada upaya penyederhanaan dan meringkas
kata untuk mempermudah pengucapannya. Sedangkan perbedaannya terletak pada
corak dan semangat setiap bahasa.
Melalui telaah karya-karya linguist ditemukan bahwa pembahasan
tentang An-Naht hampir tidak mendapatkan perhatian serius di kalangan linguist.
Kalaupun ada upaya ke arah penelitian dan penemuan teori-teori An-Naht,
upaya-upaya tersebut tidak mendapat sambutan baik dari kelompok linguist
tradisional. Bahkan mendapat sorotan tajam yang menganggap An-Naht terlalu
mengada-ada. Sikap seperti itu pada hakikatnya didasari oleh tekad untuk
menjaga kemurnian bahasa Arab, terutama karena bahasa al-Quran. Meskipun harus
dipahami pula, An-Naht telah menjadi kebutuhan zaman yang kadang-kadang dalam
memberikan informasi lisan atau tulisan membutuhkan ungkapan ringkas. Pertemuan
di antara dua pendapat berlawanan ini, yakni kelompok yang menganggap An-Naht
hanya perbuatan mengada-ada dan kelompok yang menganggap harus ada dan perlu
dikembangkan, haruslah dipelihara sehingga senantiasa membutuhkan hadirnya
kreatifitas di satu sisi sedang di sisi lain kemurnian juga tetap terjaga.
Dalam al-Quran kata An-Naht dalam bentuk kata kerja disebutkan 4
kali, yaitu di dalam surat Al-A’raf: 74, Asy-Syu’ara’: 149, Ash-Shafat: 95 dan
Al-Hijr: 82. Penelusuran penggunaan kata ini dalam al-Quran seluruhnya bermakna
memahat gunung untuk tempat tinggal atau membuat membuat patung sebagai seni
dan kebanggaan kaum Tsamud atau menjadi sembahan kaum Nabi Ibrahim as. Para
ahli mengambil istilah An-Naht yang asal pengertiannya memahat, mematung dan
menata benda bersifat material tersebut menjadi nama bagi penggabungan dua kata
atau lebih menjadi satu ungkapan. Dalam Bahasa Indonesia, istilah ini dikenal
dengan istilah akronim, atau singkatan yang menjadi pola meringkas atau
menyingkat dua kata atau lebih menjadi satu ungkapan. Sebagaimana sering
terdengar ungkapan sinetron yang berasal dari gabungan kata
sinema dan elektronik.[41]
Dari
definisi diatas dapat kita pahami bahwa secara setructual, An-Naht bahasa
Arab dihasilkan melalui penggabungan dua unsur atau lebih menjadi satu kata baik
dengan cara menghilangkan satu unsur konsonan atau menggabungkan semua unsur
menjadi satu (ditulis/diucapkan serangkai). An-Naht juga bisa dibentuk dari
kata termasuk frase dan kalimat.
Imil
Badi’ Ya’qub setelah mengemukakan
pandangan ulama bahasa tentang pola dan cara pembentukan An-Naht,
hendak merangkum, dan membagi Al-Naht ke dalam empat kelompok. Sedangn Ali Abdu
al-Wahid Wafi, misalnya hanya membagi An-Nahtini ke dalam tiga
kelompok yaitu An-Naht Al-Jumlah, An-Naht Murakkab
Idhafi danAn-Naht dari dua kata yang berdiri sendiri atau
dari beberapa kata yang berdiri sendiri kemudian disingkat (manhut) untuk menunjukan
makna murakkab. Dalam makalah ini dikemukakan empat jenis An-Naht,
agar menjadi perbandingan. Keempat klasifikasi itu adalah :
a.
Al-Naht al-Nisbiy
Naht nisbi yaitu menisbatkan sesorang atau suatu perbuatan kepada dua
isim, seperti:
Bentuk An-Naht
An-Nisbiy
|
Bentuk Asli
|
عبشمى
|
عبد الشمس
|
عبدري
|
عبد الدار
|
مرقسى
|
امرااقيس
|
ملى
|
تيم الله
|
بلحارث
|
بنى الحارث
|
بلعنبر
|
بنى العنبر
|
بلههجيم
|
بنع الهجيم
|
ترخزى
|
طبرستان وخوارزم
|
Jenis
ini jumlahnya terbatas dan hampir tidak ditemukan kecuali seperti contoh-contoh
di atas. Contoh kalimat yang menggunakan An-Naht ini seperti ungkapanتعبشم الرجل وتعبس Ungkapan
tersebut mengandung arti bahwa laki-laki itu mengaku keturunan Bani Abd
al-Syams dan Bani Abd al-Qays atau berafiliasi kepada dua suku itu.
Memperhatikan pola
singkatan atau lebih tepat akronim ini, kelihatannya ia melebur dua kata benda
atau menggabung dua kata benda dengan membuang sebagian dari setiap kata benda
yang digabung tersebut. Penggabungan dua kata benda ini kemudian berubah
menjadi kata kerja yang membutuhkan subyek.
b.
An-Naht al-Fi’liy
yaitu menggabung jumlah
(susunan kalimat) yang menunjukkan bahwa seseorang mengucapkan jumlah (susunan
kalimat) itu. Contoh bentuk ini adalah sebagai berikut:
Bentuk An-Naht
Al-Fi’liy
|
Bentuk Asli
|
بسمل
|
بسم لله
|
حمدل
|
الحمد لله
|
حولق
|
لا حول ولا قوة الا بالله
|
حسبل
|
حسبا الله
|
سمعل
|
السلام عليكم
|
حيعل
|
حىي على الصلاة حى على الفلاح
|
دمعز
|
أدام الله عزك
|
هيلل
|
لآ إله إلا الله
|
طلبق
|
اطال الله بقاءك
|
جعفد
|
جعلت فداءك
|
Bagian ini seperti
ditulis oleh Ali Abdu al-Wahid Wafi, tidak ditemukan kecuali beberapa kata yang
jumlahnya terbatas pula dan kebanyakan muncul dalam sejarah umat Islam. Contoh
sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an antara lain kata: بعثرbentuk ini merupakan gabungan dari kata بعث dan عثر terdapat
dalam surat Al-‘Adiyat ayat 9 :
“Maka Apakah Dia
tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam
kubur”.
Arti kata بعثر dalam ayat ini adalah بعث و اثير و اخرج (dibangkitkan, dibongkar/hambur dan
dikeluarkan) Sedangkan Ibnu Katsir hanya menafsirkan kataبعثر dengan اخرج (dikeluarkan)
c.
An-Naht al-Ismiy
yaitu menggabung dua
kata menjadi sebuah ungkapan dalam bentuk kata benda (isim), seperti:
Bentuk An-Naht
Al-Ismiy
|
Bentuk Asli
|
عقبابيل
|
عقبي و علة
|
حبقر
|
حب و وقر
|
جلمود
|
جلد و جمد
|
d.
An-Naht al-Washfiy
yaitu dengan menyingkat dua kata menjadi
satu ungkapan yang menunjukan makna kata yang disingkat atau mempunyai makna
lebih tegas dari kata yang disingkat, seperti ungkapan ضطبر (orang yang kuat) adalah gabungan dari kata ضبط و ضبر . An-Naht semacam
ini jarang sekali dalam bahasa Hindia, Eropa. Begitu pula dalam bahasa Arab
tidak jauh berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya yang masih serumpun dari bahasa
Samiyah. Mufradar-mufradat bahasa Arab yang terdiri dari dua asal yang berdiri
sendiri atau dari beberapa asa yang berdiri sendiri tidak sampai sepuluh kata
dan itu didapatkan karena jalan perkiraan. Diantara contohnya adalah seperti
yang disampaikan oleh Imam Khalil, dia berpendapat bahwa kata " لن " terdiri dari " لا " dan " أن ".
Ibnu Faris sebagai orang yang pertama memperluas bahasan An-Naht,
patut menjadi catatan karena ia terlalu larut dalam pikirannya sehingga
beranggapan bahwa semua kata yang lebih dari tiga huruf pada dasarnya adalah
singkatan dari dua kata yang mempunyai akar kata tiga huruf. Ibnu Faris dengan
tegas menulis, “Ketahuilah bahwa dalam masalah ruba’iy dan khumasiy
terdapat sebuah pandangan dalam kaitannya dengan qiyas”. Jika
diperhatikan secara cermat, dapat diketahui bahwa An-Naht merupakan
pengambilan dua kata, lalu menyingkat keduanya menjadi satu
kata.
Patut diamati pula dan sangat menarik
direnungkan yaitu kritik Imil Badi’ Ya’qub. Ia menulis,
sesudah mengemukakan empat pembagian Al-Naht seperti ditulis sebelumnya bahwa dari
contoh-contoh kategori dua pertama termasuk jenis An-Naht,
sedangkan kategori dua terakhir terdapat banyak takalluf (dipaksakan), dan
sangat disayangkan, karena ternyata ia hanya merupakan temuan Ibnu
Faris yang jauh dari fakta dan kenyataan. Bahkan Ali Abd
al-WahidWafi secara tegas menyatakan:
“Bahasa Arab tidak dapat disingkat, dan
kosakata Bahasa Arab dalam perkembangannya saat ini, sangat konsisten dengan
kemandirian dan kebebasanserta enggan larut dalam bahasa lain’.
Peneliti lain menyebutkan:
“Bahasa Arab bukanlah bahasa yang dengan
luwes menerima An-Naht seperti yang terjadi pada bahasa lain, sebagaimana
tertulis dalam buku-buku mereka.An-Naht dalam Bahasa Arab hanya puluhan
jumlahnya sedangkan dalam bahasa lain jumlahnya ratusan bahkan ribuan”.
E.
AL-FURUQ AL-LUGHOWIYAH (الفروق اللغوية)
1.
Pengertian Al-Furuq Al-Lughowiyah
Al-Furuq Al-Lughowiyah terdiri dari
dua kata yaitu al-furuq dan Al-Lughoh.
Kata Al-Furuuq (الفروق)
adalah bentuk jama’ taksir dari kata al-Farq yang berarti yang
berarti al-Fashil dan tamyiz (memisahkan atau membedakan).[43] Sedangkan
kata al-Lughah, Mushthofa al-Gholayainy mendefinisikan bahwa yang
dimaksud dengan kata al-Lughah adalah: ألفاظ
يعبّر بها كل قوم عن مقاصهم (lafazh yang digunakan suatu kaum untuk
mengutarakan maksud atau tujuan mereka).[44]
Ali Kazhim
sebagaimana dikutif oleh Sulthoni Ni’man mendefinisikan Al-Furuuq Al-Lughawy
sebagai berikut :
يعبر عن ظاهرة من ظواهر اللغة، قد شغلت الدارسين قدماء ومحدثين، ويراد منه تلك المعاني الدقيقة التي يلتمسها اللغوي بين الألفاظ المتقاربة المعاني.[45]
(Al-furuuq al
lughowiyah merupakan salah satu fenomena bahasa, sebelumnya
telah dibahas oleh para ulama klasik dan modern bertujuan untuk
mengetahui arti-arti kata yang tepat yang ditemukan dalam suatu bahasa antara
ucapan-ucapan yang memiliki makna yang mutaqaarabah (saling berdekatan).
Dengan menggabungkan pengertian dari dua
kata di atas, dapat kita jelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Furuuq
al-Lughawiyyah adalah perbedaan yang terdapat pada beberapa kata dalam satu
bahasa, serta perbedaan pemakaiannya yang kelihatan serupa atau berdekatan dari
segi makna, sehingga dapat menghantarkan seseorang kepada keputusan bahwa
sebagian kata merupakan penjelasan atau pengkhususan bagi kata lain yang
berdekatan makna dengannya.
2.
Pendapat Ulama
tentan al-Furuq al-Lughawiyah
Istilah al-Furuuq al-Lughawiyah muncul sebagai reaksi terhadap perselisihan pendapat
tentang adanya taraduf (persamaan makna kata) dalam bahasa Arab. Taraaduf
adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan satu benda yang
memiliki banyak nama. Menurut bahasa taraaduf (synonyme) berarti kata
yang berbeda lafazhnya namun memiliki makna yang sama atau pemakaian yang
bermacam-macam kata untuk suatu pengertian.[46]
Dalam al-Mutaraadif (sinonim) ini
para ulama juga terbagi kepada dua kelompok, yakni; pertama, kelompok yang
menentang adanya al-Mutaraadif (sinonim) dalam bahasa Arab dan kedua
adalah kelompok yang mengakui adanya al-Mutaraadif (sinonim) dalam
bahasa Arab.
Al-Taaj al-Subkii berkata dalam Syarh
al-Minhaaj, seperti yang dikutip oleh Jalaaluddiin al-Suyuuthii, yaitu:
“sebahagian orang mengingkari adanya al-Mutaraadif (sinonim) dalam
bahasa Arab, mereka berkeyakinan bahwa setiap yang dikira al-Mutaraadifaat
sesungguhnya hanyalah al-Mutabaayinaat yang menjelaskan sifat-sifat,
seperti kata al-insaan (الإنسان) dan al-basyar (البشر) yang pertama
ditetapkan padanya berdasarkan al-nisyaan (pelupa), sedangkan kedua
didadasarkan pada baadiy al-basyarah (dia yang berkulit tampak)”.
Senada
dengan itu Ibn Faaris juga termasuk ke dalam kategori yang menolak adanya al-Mutaraadif
(sinonim) dalam bahasa Arab seperti ungkapannya: “sesuatu yang dinamai dengan
beberapa nama berbeda seperti al-saif, al-muhannad, dan al-hussaam,
maka kami ingin katakan di sini bahwa nama tersebut sesungguhnya satu yakni al-saif,
adapun sebutan-sebutan lain sesudahnya itu hanyalah sifat-sifat saja, dan
pendirian kami adalah bahwa setiap sifat maka maknanya bukanlah makna lain”.[47]
Adapun pakar-pakar bahasa yang menolak
adanya sinonim dalam bahasa Arab dimotori oleh Imam Tsa’lab, Abu ‘Aliy al-Faarisi,
Ibn Faaris, dan abu Hilal al-‘Askariy. Sebagaimana hal ini dapat dipahami dari
pernyataan Ibn Faaris bahwa “satu benda (al-ism) untuk satu makna,
seperti “saif”, sedangkan laqab-laqab yang lain ditujukan untuk
benda tersebut merupakan sifat saja. Begitu pula dengan kata kerja (al-faa’il)
seperti kata “madhaa”, “dzahaba”, dan “inthalaqa”, atau
kata “qa’ada” dan “jalasa”, masing-masing memiliki makna yang
berbeda”. Inilah menurut aliran Abu al-‘Abbas Ahmad bin Yahya Tsa’lab.
Untuk mendukung aliran ini, Abu Hilal
al-‘Askariy menulis sebuah kitab yang berjudul “Bab fii al-ibaanah ‘an kawn
ikhtilaaf al-ibaraat wa al-asmaa muujiban lii ikhtilaaf al-ma’aani fii kulli
lughah”, salah satu pernyataan beliau dalam kitab tersebut adalah bahwa
“perbedaan ungkapan dan kata menyebabkan perbedaan makna. Karena suatu benda
diungkapkan dengan kata, ada kata yang menunjukkan referen yang sudah jelas dan
ada pula kata yang menunjukkan referen yang tidak dapat dipahami”.[48]
Jadi, dalam menyingkapi perbedaan
pandangan seputar keberadaan taraaduf ini dalam bahasa Arab dan dalam
al-Qur’an, para pakar linguistik Arab terbagi menjadi dua kelompok yang
berseberangan pendapat, ada yang menyetujui dan mengakui bahwa taraaduf
adalah bukti kekayaan kosa kata Arab. Dan ada yang mengingkari keberadaannya
sehingga mereka melahirkan sebuah kajian baru sebagai tandingannya, mereka
namakan dengan istilah al-Furuq al-Lughawiyyah (perbedaan pemakaian kata
dan maknanya dalam bahasa.). Salah seorang tokohnya yang terkenal adalah Abu
Hilal al-‘Askariy dalam kitabnya “Mu’jam al-Lughawiyyah”.
3.
AL-Furuq
Al-Lughawiyah Dalam Al-Qur’an
Perbedaan antara Najwa ( النجوى
), dan Sirru (السر).
Contoh dalam surah at-Taubah : 78
اَلَمْ يَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ سِرَّهُمْ وَنَجْوٰىهُمْ
وَاَنَّ اللّٰهَ عَلَّامُ الْغُيُوْبِ
“tidaklah
mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan
bahwasanya Allah Amat mengetahui segala yang ghaib”. (Q.S. at-Taubah : 78)
النجوى اسم للكلام الخفي الذي تناجي به
صاحبك كأنك ترفعه عن غيره
“An-Najwa” adalah nama untuk perkataan yang tersembunyi
dimana engkau berbisik-bisik dengan sahabat engkau seolah-olah engkau
mengangkatkan suara dari lainnya. Contoh lain adalah
النجوى من الأرض . Dan dinamakan pembicaraan Allah Ta’ala dengan Nabi Musa As. Munajah, karena perkataannya
tersembunyi dari lainnya.
Sedangkan
Sirru (السر )
adalah: إخفاء
الشيء في النفس “As-Sirru”
adalah menyembunyikan sesuatu dalam diri/ jiwa. Dan jika tersembunyi disebabkan
tertutup atau di belakang dinding itu bukanlah dinamakan sir (سر ). contoh:
سري
عند فلان
ia
menginginkan sesuatu itu tersembunyi dalam dirinya, dan tidak dikatakan: عنده
نجو
النجوى
terbentuk dalam jumlah, sesuatu yang ia bisikkan berupa perkataan. Sedangkan السر adalah pemahaman maknanya.
Terkadang-kadang ada sir pada ghairu ma’ani yaitu majaz, seperti:
فعل
هذا سرا .وقد أسر الأمر
Dan an-najwa tidak ada
terjadi kecuali melalui perkataan.[49]
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Al-Musytaraq
Al-Lafdziy
Al-Musytarak
Al-Lafzi) yaitu kata atau frasa yang memiliki makna
lebih dari satu, atau memiliki makna yang berbeda-beda.
Para ahi bahasa berbeda
pendapat tentang definisi Al-Musytarak
Al-Lafzi tersebut, ada yang
menolaknya dan ada pula yang mengakui keberadaanya, dengan menunjukkan
berbagai fakta yang ada dan tidak dapat diragukan lagi.
Dalam kajian linguistik Arab,
polisemi sama dengan الاشتراك اللفظ. Karena menurut Wâfi,
yang dimaksud dengan الاشتراك اللفظ adalah:
“Satu kata mengandung beberapa arti yang masing-masingnya dapat dipakai
sebagai makna yang denotatif (hakikat) dan bukan makna konotatif (majaz).”
Dalam kajian ilmu Balaghah, homonimi disebut
dengan istilah Jinas, yaitu kemiripan dua kata yang berbeda maknanya.
Dengan kata lain, suatu kata yang digunakan pada tempat yang berbeda dan
mempunyai makna yang berbeda. Contoh, firman Allah SWT (QS. Ar-Ruum; 55) :
Terdapat kata الساعة disebut dua kali. Pertama, bermakna hari
kiamat. Kedua, bermakna waktu sesaat. Pengungkapan suatu kata yang
mempunyai dua makna karena disebut pada tempat yang berbeda, dalam ilmu
Balaghah, dinamakan Jinas. Sedangkan
dalam ilmu Linguistik, pengertian semacam ini disebut Homonimi. Terdapat
dua aliran dalam kajian definisi musytarak al-lafdzi; al-Qudama’ (ilmuan
klasik) dan al-Muhdatsin (ilmuan modern).
2.
Sinonim
Sinonim (الترادف)
adalah suatu kata yang berbeda arti pada satu lafaz,
tapi satu makna. Sinonim
bisa terjadi antara lain, sebagai akibat adanya: pengaruh kosakata serapan (dakhil)
dari bahasa asing, perbedaan dialek sosial (infi’aliyah), perbedaan dialek
regional (lahjah iqlimiyah), perbedaan dialek temporal.
Berikut adalah ungkapan Ibn Faris
sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam al-muzhir: Sesuatu diberi
banyak nama yang berbeda-beda, seperti “سيف”, “مهند”, dan “حسام” (ketiganya diartikan sebagai pedang), sebenarnya
yang nama adalah “سيف”
dan selainnya merupakan sifat.
Ada juga orang-orang yang berpendapat bahwa
nama-nama tersebut bukan (menunjukkan pada) satu nama, dan juga bukan sifat
yang bukan makna yang lain. Mereka berkata bahwasanya fi’il (kata kerja) juga
demikian, misalnya kata “ذهب”, dan “انطلق” (semuanya diartikan pergi); Juga kata “قعد” dan “جلس”
(keduanya diartikan duduk); Mereka berpendapat bahwa dalam kata “قعد” ada makna yang tidak terdapat pada kata “جلس”. Penolakan terhadap taraduf ini, terbakukan
dalam ungkapan ما يظن أنه من
المترادفات فهو من المتبينات (apa yang dianggap sebagai sinonim sebenarnya bukan sinonim).
Mengomentari pendapat ulama tentang ketiadaan
eksistensi taraduf, al-Taj al-Subuki menyatakan bahwa memang ada orang yang
mengingkari eksistensinya dalam bahasa Arab dan menganggap semua yang
disangkakan sebagai taraduf sebenarnya merupakan hal yang memiliki perbedaan
sesuai perbedaan yang ada pada sifat-sifatnya. Al-Subuki menganggap penolakan
terhadap eksistensi taraduf dengan cara meneliti sifat-sifat yang ada pada tiap
kata, merupakan sebuah upaya mengada-ada yang mencengangkan. Sementara al-Fakhr
al-Razi menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya taraduf merupakan hal yang
tidak disangsikan lagi. Dan tidak sedikit ulama yang menulis buku khusus yang
mengumpulkan kata-kata yang mutaradif (sinonim), seperti Ibnu Khaluwaih yang
menulis buku khusus tentang kumpulan nama bagi macan dan ular. Untuk menengahi
perbedaan pendapat ini, ‘Izzuddin menyatakan bahwa ulama yang mengakui adanya
taraduf melihat sisi kesamaan dalalah (maksud/substansi) dzat (yang disimbolkan
dengan kata), dan orang yang menolak eksistensinya melihat perbedaan sifat yang
ada tiap kata.
3.
Antonim
Kata Al-Addad (الأضداد) adalah bentuk jamak dari kata al-didd (الضد). Konsep al-Addad berbeda dengan konsepTaddad (تضاد) yang dalam semantik modern disebut
antonimi. Sebenarnya konsep tadad pengertiannya menjadi sama dengan
konsep antonimi itu karena didasarkan pada pandanganpara fakar
bahasa saat ini, yang mengartikannya sebagai dua kata yang berbeda dan
mempunyai makna yang bertentangan. Para ulama berbeda pendapat mengenai
muthadhadh ada ulama yang mengingkari seperti Ibnu Syyadah yang mengumpulkan
antonim dan menulisnya dalam buku “al-Mukhtassash”. Dan juga ulama yang
berpendapat tentang banyaknya antonim serta memberikan contohnya,
seperti Al-Khalil Sibawayhi, Abu Ubaidah, Abu Zaid Al-Anshori,Ibn Faris, dll.
Menurut Suyuti dan Ibn Sayyidah jumlah antonim idak lebih dari 100 lafadz.
4.
Naht
Naht adalah formulasi
dua kata atau lebih menjadi satu ungkapan baru yang menunjukkan makna aslinya.
Kata yang digabung tersebut dapat terdiri dari kata benda seperti basmalah,
kata kerja seperti hamdalah atau huruf seperti innama berasal dari inna dan ma,
dengan tetap mengikuti kaedah kebahasaan dan bentuk-bentuk tashrif bahasa.
Hubungan makna leksikal dengan makna istilah ialah karena An-Naht kegiatan
manata ulang kata-kata atau kalimat.
5.
Al-furuq
al-lughowiyah
Ali Kazhim sebagaimana dikutif oleh Sulthoni
Ni’man mendefinisikan Al-Furuuq Al-Lughawy merupakan salah satu fenomena
bahasa, sebelumnya telah dibahas oleh para ulama klasik dan
modern bertujuan untuk mengetahui arti-arti kata yang tepat yang ditemukan
dalam suatu bahasa antara ucapan-ucapan yang memiliki makna yang mutaqaarabah
(saling berdekatan). Istilah al-Furuuq al-Lughawiyah muncul sebagai reaksi terhadap perselisihan pendapat
tentang adanya taraduf (persamaan makna kata) dalam bahasa Arab. dalam
menyingkapi perbedaan pandangan seputar keberadaan taraaduf ini dalam
bahasa Arab dan dalam al-Qur’an, para pakar linguistik Arab terbagi menjadi dua
kelompok yang berseberangan pendapat, ada yang menyetujui dan mengakui bahwa taraaduf
adalah bukti kekayaan kosa kata Arab. Dan ada yang mengingkari keberadaannya
sehingga mereka melahirkan sebuah kajian baru sebagai tandingannya, mereka
namakan dengan istilah al-Furuq al-Lughawiyyah (perbedaan pemakaian kata
dan maknanya dalam bahasa.). Salah seorang tokohnya yang terkenal adalah Abu
Hilal al-‘Askariy
B.
Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh
karena itu kami mengharapkan adanya saran yang membangun dari pembaca dan dari
dosen pengampuh mata kuliyah, agar kedepannya makalah selanjutnya bisa lebih
baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Chaer, “Pengantar Semantik Bahasa
Indonesia”, Jakarta; PT Rineka Cipta, 1995
Ahmad Mukhtar Umar, ‘Ilm al-Dilalah, Kuwait:
Maktabah Dar al-Arabiyah li al-Nasr wa al-Tauzî, 1988
Akhyar Hanif, Fiqh Al-Lughah:
Refleksi Pemikiran Kebahasaan Jalaaluddiin Al-Suyuuthii, Batusangkar: STAIN
Batusangkar Press, 2010
Ali Abd. al-Wâhid Wâfi, Fiqhu al-Lugah, Kairo:
Lajnah al-Bayân Al-Arabiyah, 1962
Amil Badi’ Ya’kub, Fiqh al-Lughat
al-‘Arabiyah, Beirut: Darul Tsaqafah Islamiyah, 1998
Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Kamus
Bahasa Indonesia Jakarta: Pusat Bahasa, 2008
Desertasi, Tulus Musthofa, Al Mustarok al Lafdzi dalam Al Quran,
UIN Yogyakarta, 2009
Fatimah Djajasudarma,
Semantik1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna, Bandung:
Eresco, 1993, Cet. I
Farid ‘Awid Haidar, ‘Ilm al-Dalalah,
Kairo: Maktabah al-Adab, 2005
Harimurti Kridalaksana, Kamus
Linguistik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, Cet. Ke-5
Ubaid Ridlo, Sinonim dan Antonim dalam
Al-Qur’an, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, Jurnal
Al Bayan Vol.9, No.2,Bulan Desember Tahun 2107.ISSN 2086-9282. e-ISSN 2549-1229
Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, Kairo:
Darl Ma’arif, 1119
Imil Badi’ Ya’qûb, Fiqh al-Lughah Wa
Khashâishuhâ, Bairût: Dâr al-Tsaqâfah al- Islâmiyah, T.Th
J. W. M. Verhaar, Pengantar Linguistik, Yogyakarta:
Gajah Mada Universty Press, 1989, Cet. Ke-12
Mansur Pateda, Semantik Leksikal,
Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2001
Mujamma’al Lughoh al ‘Arabiyah, Al-Mu’jam
al-Wasith, Mesir: Maktabah Al-Syuruq Al-Mishriyyah, 2004
Moh. Matsna, Kajian Semantik Arab
Klasik dan Modern, Jakarta: Prenada Media Group, 2016
Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, Malang: UIN – Malang
press, 2008
Syekh Mushthafa al-Ghalyainy, Jami’
Duruus Al-‘rabiyah, Beirut: Daar Fikr, 2007
علي
كاظم مشري، الفروق اللغوية في العربية،
رسالة دكتوراه، بغداد: جامعة بغداد كلية لأداب، 1388 هـ/1968 م
http://andiwowo.blogspot.com/2008_11_01_archive.html, 26/11/2018.
http://AL-TARADUF%20WA%20AL-ISYTIRAK%20WA%20ALTADHAD%20
pandangan %20 ulama %20mengenai%20sinonim.html, diakses 26/11/2018.10.27
http:// AL-Tadhad%20(Antonim_%20Antitesis%20Polisemi)%20_%20Muslimah%20 Daily.html
, diakses 11/26/18
http://suanti-mamonto.blogspot.com/2012/06/blog-post_6991.html,
diakses 11/26/18
http:// AL-Tadhad%20(Antonim_%20Antitesis%20Polisemi)%20_%20
Muslimah%20Daily.html , diakses 11/26/18
AN-NAHT%20(Akrhttp://onim%20dalam%20Bahasa%20Arab)%20_%20Muslimah
%20Daily .htmldiakses 11/26/18
Yonita Syukra,
http://FIQH%20LUGOH%20_%20yonita%20syukra.html diakses 11/26/18
http://www.saaaid.net/book/open.php?cat=90&book=1006/16/10/18
diakses 11/26/2018
[46] Amil Badi’ Ya’kub, Fiqh
al-Lughat al-‘Arabiyah, (Beirut: Darul Tsaqafah Islamiyah, 1998), h. 174
[47]
Akhyar Hanif, Fiqh
Al-Lughah: Refleksi Pemikiran Kebahasaan Jalaaluddiin Al-Suyuuthii,
(Batusangkar: STAIN Batusangkar Press, 2010), h. 213-214
[48]
Moh. Matsna, Kajian
Semantik Arab Klasik dan Modern, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), h.
27-28
0 komentar:
Post a Comment