BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kalau ditelusuri, akar sejarah fiqh sejak awal pertumbuhannya
hingga masa sekarang telah melalui beberapa periode. inilah yang dimaksud
dengan istilah fiqh dengan tarikh at-tasyri’, yaitu pembahasan untuk
mengetahui keadaan fiqh dari masa ke masa, dan untuk mengetahui masa-masa
terbentuknya suatu hukum dan hal-hal yang berkaitan dengannya, serta mengetahui
keadaan fuqaha dan hasil-hasil karya mereka dalam bidang hukum.
Pada dasarnya, sejarah merupakan penafsiran terhadap peristiwa
dimasa lampau yang dipelajari secara kronologis. Ulama berbeda-beda pendapat
dalam menentukan periodisasi sejarah hukum islam diantara mu’arikh hukum islam
yang menentukan periodisasi sejarah hukum islam adalah Muhammad A’ali
Al-Sayyis, Muhammad Khudlari Byek, ‘Abd Wahhab Khallaf, Musthafa Sa’id
Al-Khinn,’Umar Sulaiman Al-Asyqar, Dan T.M Hasbi As-Shiddiqi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perkembangan dari hukum Islam?
2.
Bagaimana Al-Quran dan Hadits menjadi sumber hukum
Islam?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui perkembangan hukum Islam
2.
Menjelaskan Al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum
Islam
baca juga :
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Para ulama yang mempertahankan sejarah perkembangan fiqih berbeda
pendapat dalam membagi periodesasi yang telah dilalui oleh fiqih, demikian juga
tentang lamanya masa dari tiap-tiap periode tersebut. Meskipun demikian, hampir
semua ulama sepakat bahwa periode hukum Islam dimulai zaman Rasulullah. Berikut
ini ada beberapa tokoh yang membuat kategorisasi dalam pembentukan periode
hukum Islam.
Kemal A. Faruqi, dalam buku Islamic Jurisprudence, membagi
tujuh periode hukum Islam:
1.
Periode wahyu dan implementasi Pribadi (13 SH - 1 H).
2.
Periode wahyu dan implementasi sosial (1 H -10 H)
3.
Periodeemulasi masa sahabat (11 H - 40 H)
4.
Periode ijtihad (201 H - 400 H)
5.
Periode taklid (401 H - 1200 H)
6.
Periode pembentukan hukum dan disintegrasi (1201H - sekarang).[1]
Muhammad ‘Ali As-Sayis, berpendapat
bahwa periodesasi hukum Islam adalah:
1.
Hukum Islam zaman Rasul.
2.
Hukum Islam zaman Khulafah.
3.
Hukum Islam zaman pasca Khulafah hingga abad II H.
4.
Hukum Islam zaman abad II H hingga pertengahan abad IV H.
5.
Hukum Islam zaman pertengahan abad
IV hingga Baghdad hancur
6.
Hukum Islam zaman kehancuran Baghdad sampai sekarang.[2]
Adapun Mushthafa Sa’id Al-Khinn,
yang dikutif oleh Jaih berpendapat bahwa
periodesasi hukum Islam adalah:
1.
Hukum Islam zaman Rasul.
2.
Hukum Islam zaman sahabat.
3.
Hukum Islam zaman Tabi’in
4.
Hukum Islam zaman taklid.
5.
Hukum Islam zaman sekarang.[3]
Masih banyak lagi pendapat-pendapat
para ulama mengenai pengkategorian periodesasi perkembanagan hukum Islam. Perbedaan
ini terjadi karena para ulama menggunakan dua cara untuk membagi tahapan demi
tahapan perkembangan syariat Islam: Di antara mereka ada yang menjadikan
pembagian syariat Islam sama seperti perkembangan manusia dari segi tahapan
perkembangan, manusia mengalami zaman
kana-kanak, dewasa, dan zaman tua, demikian juga halnya dengan syariat Islam
dalam perkembangan dan perjalannya.
Ada juga yang menjadikan pembagian
ini dengan melihat aspek perbedaan dan ciri-ciri utama yang juga mempunyai
pengaruh yang besar dalam fiqih, mereka yang menggunakan cara ini juga berbeda
pendapat tentang jumlah tahapan syariat Islam. Sebagian mengatakan empat fase,
sebagian lagi mengatakan lima fase, ada yang enam, dan ada juga pendapat yang
lain yang mengatakan tujuh.[4]
Pendapat yang paling tepat dan
pemakalah pilih adalah sejalan dengan pendapat yang dipilih oleh Rasyad Hasan
Khalil, yaitu pendapat yang mengatakan ada empat fase sebagai berikut:
1.
Fase kelahiran dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup
Rasulullah SAW, sehingga dapat diistilahkan sebagai fase penurunan dan
kedatangan wahyu.
2.
Fase pembangunan dan penyempurnaan, mencakup masa sahabat dan tabi’in
sampai zaman pertengahan abad keempat hijriyah.
3.
Fase kejumudan dan taqlid, mulai dari pertengahan abad
keempat sampai abad dua belas hijriyah.
4.
Fase kebangkitan dan kesadaran, mulai dari abad dua belas hijriah
sampai sekarang ini.[5]
a.
Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Islam[6]
1)
Syariat pada Masa Kerasulan
Masa kerasulan atau masa hidup Rasulullah ﷺ dapat disebut juga sebagai fase kelahiran dan pembentukan hukum
syariat Islam berdasarkan hal-hal sebagai berikut.
a)
Kesempurnaan dasar dan sumber-sumber utama fiqih Islam pada masa
ini.
b)
Setiap syariat (undang-undang) yang datang setelah ini semuanya
merujuk kepada manhaj yang telah digariskan Rasulullah ﷺ dalam meng-istinbati (mengeluarkan) hukum syar’i.
c)
Periode-periode setelah era kerasulan (sepeninggal Rasulullah ﷺ) tidak membawa sesuatu yang baru dalam fiqih dan syariat Islam,
melainkan hanya pada masalah-masalah baru atau kejadian-kejadian yang tidak ada
di zaman Rasulullah ﷺ.
2)
Rentang Waktu Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Syariat Islam
pada Masa Kerasulan
Fase ini dmulai sejak diutusnya Rasulullah ﷺ pada tahun 610 M hingga wafatnya Rasulullah ﷺ pada tahun kesepuluh hijriah. Jadi, secara keseluruhan fase ini
berlangsung selama 23 tahun.
3)
Kondisi Bangsa Arab Pra Kerasulan
Sebelum nabi SAW diutus, orang-orang rab adalah umat yang tidak memiliki
aturan dan mereka di kendalikan oleh kebiadaban, dinaungi oleh kegelapan dan
kejahilan, serta tidak ada agama yang mengikat dan undang-undang yang harus
mereka patuhi. Akibat dari ini penuhnya jiwa mereka dengan akidah yang batil.
Setiap kelompok dari mereka melihat kebenaran dari apa yang tumbuh dan di
wariskan bapak-bapak mereka, dan melihat keagungan dari apa yang tersebar dan
dikenal diantara kabilahnya. Hanya sedikit dari mereka yang berjalan
dengan aturan yang dapat mengelesaikan perselisihan mereka, adab yang dianggap
baik serta langkah yang mulia.
Namun demikian, ketetapan itu bukan merupakan undang-undang yang
tertulis yang di jadikan rujukan dalam menyelesaikan perselisihan dan menjaga
hak-hak mereka, tapi hanya merupakan ketetapan yang sedikit sekali pemanfaatannya.
tidak cukup merealisasikan aturan dan mencegah sipembuat kerusakan.[7].
4)
Kondisi Hukum Islam Pada Masa Kenabian
Islam datang untuk seluruh umat manusia, akan tetapi di mulai
dengan perbaikan orang-orang arab yang Allah pilih sebagai penolong agama dan
penyerunya. keadaan orang-orang arab pada masa itu, sebagaimana telah
kita ketahui dua perkara: Berhalaisme dalam agama kekacauan dalam tahanan
masyarakat. kaadaan seperti ini mengharuskan adanya penyelamatan dari
kebiadaban dan pembebasan mereka untuk, menyokong agama Allah, dengan
menanamkan kaidah tauhid pada hati mereka, mengarahkan mereka untuk
mengiklasakn ibadah kepada Dzat yang Maha Tinggi dan melepaskan dari jiwa
mereka akhlak yang tercela, menghapuskan adat yang buruk serta mencetak
mereka berahklak mulia, berperangai terpuji, serta meletakan aturan yang itu
yang mencakup seluruh permasalahan mereka, agar mereka berjalan di atas
petunjuk Allah dalam segala aspek kehidupan.[8]
5)
Pembentukan Hukum Di Mekkah
Pada awal mulanya, Islam berorientasi memperbaiki
akidah yang merupakan fondasi tempat berdiri hal-hal yang lain. Setelah selesai
tujuan pertama ini, ia melanjutkan orientasi berikutnya yaitu meletakkan aturan
kehidupan.
Oleh karena itu, pada surat makkiyah dalam Al qur’an seperti
surat Yunus, Ar Ra’du, Furqan dan lain-lain tidak terdapat ayat-ayat yang
membahas tentang hukum aktual(amaliyah). Akan tetapi, justru yang banyak
pembahasannya adalah seputar aqidah, akhlak, dan kisah-kisah umat terdahulu.[9]
6)
Pembentukan Hukum Di Madinah
Mulai setelah hijrah, tasyri islam beroreantasi pada tujuan kedua,
maka disyariatkan hokum hokum yang meliputi segala aspek kehidupan
individu dan kelompok, baik dalam ibadat, jihad, pidana, kewarisan, wasiat,
pernikahan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang mencakup ilmu fiqih.
Jadi, pada masa Rasul pertumbuhan hukum Islam dapat disimpulkan,
bahwa:
a)
Kekuasaan pembentukan hukum pada masa ini dipegang oleh Nabi
sendiri, tanpa campur tangan orang lain. Sumbernya adalah Alqur’an dan Sunnah,
karena itu tidak ada tempat untuk berselisih dalam hukum.
b)
Bahwasanya ayat-ayat hukum itu turun berkenaan dengan suatu
peristiwa atau jawaban dari suatu pertanyaan
c)
Bahwasanya hukum Islam tidak ditetapkan sekaligus, akan tetapi
ditetapkan sebagian-sebagian dan berturut-turut didasari ayat atau hadis.[10]
7)
Sumber Tasyri’ pada Fase Kerasulan
Sumber hukum Islam pada fase ini terhimpun dalam satu sumber, yaitu
wahyu yang turun kepada Rasulullah ﷺ dari sisi Allah. Wahyu sendiri ada dua macam, yaitu wahyu yang
terbaca, yaitu al-Qur’an, dan wahyu yang tidak dibaca, yaitu sunnah nabawiyah.[11]
8)
Metode Pensyariatan pada Fase ini
Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan syariat pada fase ini melalui beberapa cara, di antaranya:
a)
Memberikan ketentuan hukum terhadap permasalahan atau kejadian yang
muncul atau dinyatakan oleh para sahabat, lalu Rasul memberikan jawaban
terkadang dengan satu ayat atau beberapa ayat dari al-Qur’an yang memang turun
sebagai jawabannya, dan tidak ada ayat yang menjelaskan lagi dari turunnya
beberapa ayat yang menjelaskna tentang jawaban dari pertanyaan yang diajukan
kepada Rasul sebagaimana firman Allah dalam sura al-Baqarah (2): 215:
Mereka bertanya
tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu
nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa
saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.
Contoh lain Firman Allah dalam surah yang sama al-Baqarah ayat 217:
Mereka bertanya kepadamu tentang
berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah
dosa besar.
b)
Terkadang Rasulullah ﷺ
memberi jawaban dengan ucapan dan
perbuatannya, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ
kepada sebagian sahabat ketika ada
yang bertanya, “Kami menyeberangi lautan, apakah kami boleh berwudhu’ dengan
air laut?” Baginda Rasulullah ﷺ menjawab, “Ia suci airnya dan halal bangkainya”.[12]
9)
Ijtihad Nabi Muhammad ﷺ
Yang dimaksud dengan ijtihad Nabi ﷺ
adalah mengeluarkan hukum syariat
yang tidak ada nash-nya. Ulama berbeda pendapat boleh tidaknya
Rasulullah ﷺ berijtihad
kedalam dua kelompok besar, yaitu:
Pertama, kalangan Asy’ariyah
dan Ahli sunnah dan mayoritas Mu’tazil. Mereka berpendapat teguh bahwa Nabi
tidak boleh berijtihad sendiri. Diantara dalil yang mereka gunakan adalah
firman Allah surat an-Najm (53): 3-4:
Dan Tiadalah
yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Dalil ini disanggah karena hujjah yang disebutkan tidak dapat diterima, sebab
kata ganti “huwa” dalam aya ini kembali kepada al-Qur’an, karena ayat
ini diturunkan sebagai jawaban terhadap ucapan orang kafir yang mengatakan
bahwa al-Qur’an adalah rekayasa nabi Muhammad ﷺ
.
Kedua, mayoritas
ulama ushul mengatakan boleh bagi Rasulullah ﷺ untuk ijtihad dalam setiap urusan atau perkara yang tidak ada nash-nya,
dalil mereka:
Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk berijtihad dengan keumuman firman Allah SWT: “Maka
carilah pelajaran wahai orang-orang yang berakal”. Artinya, bandingkan
antara kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian yang sudah ada hukumnya;
jika ada kemiripan antara keduanya dalam illat dan ini adalah salah satu
bentuk ijtihad.[13]
Contoh ijtihad Rasulullah ﷺ antara lain ketika beliau memberikan izin kepada orang-orang
munafik yang meminta izin untuk tidak turut berpartisipasi dalam Perang Tabuk,
maka turunlah ayat :
Semoga Allah mema'afkanmu. mengapa
kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas
bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui
orang-orang yang berdusta? (QS At-Taubah (9): 43).
10)
Karakteristik Perundang-undangan pada Masa Kerasulan
Ada beberapa karakteristik perundang-undangan pada masa kerasulan
ini sebagai berikut.
a)
Sumber hukum pada zaman ini hanya berasal dari wahyu, yaitu
al-Qur’an dan Hadits.
b)
Referensi utama untuk mengetahui hukum-hukum syar’i pada zaman ini
adalah Rasulullah ﷺ sendiri.
c)
Perundang-undangan Islam pada masa ini telah sempurna hukumnya,
telah dikukuhkan kaidah dan dasarnya.
d)
Kesempurnaan syariat dapat dilihat dari aspek manhaj yang
unik dan metode yang khusus, dimana al-Qur’an dan sunnah Rasul memuat beberapa
kaidah dan dasar-dasar yang kokoh dan membuka pintu ijtihad kepada para ulama
untuk mengeksplorasi kembali.
e)
Fiqih Islam dengan pengertian terminologinya belum muncul pada
zaman ini.
f)
Pada masa Rasulullah ﷺ jika ada yang bertanya tentang hukum sesuatu maka Rasulullah ﷺ akan menjawabnya, dan ketika Rasulullah ﷺ sedang tidak ada di tempat maka para sahabat akan berijtihad
sendiri kemudian mengembalikan keputusan kepada Rasulullah ﷺ untuk ditetapkan atau dibatalkan.
g)
Belum terlihat pada masa ini ada masalah-masalah yang bersifat iftiradiyah
(hipotesis), semua masalah lahir dari realita kehidupan yang perlu
dijelaskan hukumnya.[14]
b.
Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syariat Islam
Dari penjelasan fase kelahiran dan
pembentukan hukum Islam, terlihat bahwa Nabi mengizinkan para sahabat untuk
melakukan ijtihad ketika Rasul ada atau tidak ada ditempat, lalu rasul
menyetujuinya atau meluruskannya.
Hukum Islam pada zaman ini dibentuk
dengan metode yang unik dan kaidah yang khas, di mana sumbernya terhimpun dalam
al-Qur’an dan sunnah Rasul yang terdiri dari kaidah kulliyah (global)
dan dasar-dasar yang kokoh sehingga bisa membuka peluang dan memudahkan para
mujtahid untuk memunculkan masalah-masalah furu’iyah sesuai dengan
aturan yang ada, dapat dijalankan dengan baik, serasi untuk setiap waktu dan
keadaan yang pada akhirnya memudahkan jalan bagi kaum muslimin untuk menghadapi
problematika yang muncul.
Fase ini memakan waktu yang sangat
panjangan, mulai dari tahun 11 hijriah sampai dengan akhir abad 14 hijriah,
yang terdiri dari tiga tahapan sebagai berikut:
1)
Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
2)
Masa Dinasti Umayyah
3)
Masa Dinasti Abbasiyah.
1.
Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
a)
Kondisi Awal Periose Khulafa’ Ar-Rasyidin
Asaf A.A. Fyzee, menjelaskan bahwa
periode ini merupakan periode terpenting dalam pembentukan hukum. Dalam periode
yang menghabiskan waktu kira-kira 30 tahun, paling tidak ada dua hal yang
paling penting; 1) adaptasi sunnah terhadap tradisi Arab; dan 2) pembukuan
al-Qur’an pada masa Utsman.[15]
Munawir Sadjali, sebagaimana dikutif
oleh Dedi Supriyadi mengemukakan bahwa periode ini dikenal dengan periode sahabah,
urutannya adalah sebagai berikut: Abu Bakar adalah sahabat pertama yang
terpilih sebagai khalifah pertama. Abu Bakar (632 - 634M); diganti oleh
‘Umar Ibn al-Khattab (634 - 644M); ‘Umar Ibn al-Khattab diganti oleh Utsman Ibn
‘Affan (644 - 656 M); dan Utsman Ibn ‘Affan diganti oleh ‘Ali bin Abi Thalib
(656 - 661 M).[16]
Pada periode ini daerah kekuasaan
Islam bertambah luas, bahkan mencakup daerah-daerah di luar semenanjung Arabia
yang sudah memiliki kebudayaan tinggi dan struktur masyarakat yang maju jika
dibandingkan dengan masyarakat Arab ketika itu. Pada masa ini, Islam mulai
berkembang dan melebarkan sayapnya dan mengibarkan panji-panji Islam dalam
menjalankan misinya keberbagai daerah disekitar jazirah Arab, seperti Irak,
Siriah, Mesir, daerah-daerah di Afrika Utara dan belahan dunia lainnya.[17]
Oleh karena itu sudah tentu persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat
semenanjung Arabia pun menjadi lebih beragam.
b)
Ijtihad Sahabat Dalam Penggalian Hukum
Setelah Nabi Muhammad ﷺ
wafat Abu Bakar menjadi pengemban
pertama misi kerasulan pasca-Nabi ﷺ. meninggal dengan segala problematika umat pada saat itu. Untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang baru muncul tersebut, para sahabat
kembali pada al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja, untuk menyelesaikan persoalan
yang tidak dijumpai dalam kedua sumber hukum inilah, khalifah dan para sahabat
berijtihad. Dalam memutuskan sebuah hukum, khalifah tidak memutuskan sendiri
ketentuan hukum, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat yang lain.
Keputusan yang diambil dengan ijma’ ini lebih kuat daripada putusan yang dibuat
oleh satu atau beberapa orang saja.[18]
Secara operasional tiap-tipa khalifah berbeda dalam menggali hukum,
misalnya khalifah Abu Bakar, apabila ia tidak mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an
dan sunnah, ia mengumpulkan para ulama sahabat dan merembukkan hal tersebut.
Kemudian, apabila para sahabat bersepakat menetapkan suatu pendapat Abu Bakar
pun menetapkan hukum sesuai dengan pendapat yang disepakati. Sebagai contoh,
ijma’ sahabat tentang pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushhaf pada masa khalifah Abu Bakar.[19]
Umar bin Khattab juga melakukan hal yang sama. bila tidak ada dalam
Al-Qur’an dan sunnah, ia melihat apakah Abu Bakar pernah memutuskan
permasalahan yang serupa, bila Abu Bakar pernah memutuskannya ia pun mengambil
keputusan Abu Bakar. Akan tetapi, bila tidak ditemukan, ia mengundang tokoh
masyarakat. Apabila dicapai kesepakatan, Umar pun memutuskan perkara dengan hasil
keputusan tersebut.[20]
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan. Di antara pendapat Utsman
bin Affan adalah bahwa istri yang diceraikan oleh suaminya yang sedang sakit,
kemudian suaminya meninggal dunia karena sakit tersebut, maka istri mendapatkan
harta pusaka baik ia dalam masa iddah atau tidak. Sedangkan Umar berpendapat
bahwa perempuan tersebut mendapat harta pusaka apabila suaminya meninggal dalam
masa iddah, tetapi apabila suaminya meninggal setelah masa iddah istri tersebut
tidak mendapat harta pusaka. Selain itu Utsman bin Affan membuat mushhaf Al-Qur’an
yang dikenal dengan mushhaf Utsmaniy.[21]
Khalifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Di antara pendapat Ali
bin Abi Thalib adalah: Pertama, dalam Al-Qur’an terdapat larangan
meminum khamar yang haramnya ditetapkan secara berangsur-angsur. Akan
tetapi, dalam tiga ayat tersebut tidak ada sanksi bagi yang melanggar keharaman
tersebut. Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa sanksi bagi peminum khamar
adalah delapan puluh kali jilid karena pelanggaran atau tindakan minum khamar
diqiyaskan pada penuduh zina.
Kedua, seseorang
menikah dengan seorang perempuan, kemudian ia akan melakukan perjalanan tanpa
istrinya. Keluarga istrinya mengancam bahwa pada istrinya telah jatuh talaq
apabila ia tidak mengirimkan nafkah paling lambat dalam satu bulan. Setelah
waktu yang ditentukan berakhir, istri tersebut belum memperoleh kiriman, Hal
ini kemudian diadukan kepada Ali bin Abi Thalib. Ali berkata “Bertindak
bijaklah sampai suaminya menyatakan talak”, dan Ali menolaknya, artinya Ali bin
Abi Thalib berpendapat bahwa sumpah atau akad talak yang dibarengi syarat
adalah tidak sah.[22]
Para sahabat di masa ini, tidak memberikan suatu hukum mengenai
kejadian-kejadian yang belum dan mungkin akan terjadi. Oleh karena itu,
pemakaian qiyas belum banyak dilakukan, bahkan sebagian mereka terdapat
kata-kata yang mencela pemakaian qiyas (dengan tidak memakai batas)
dalam hal menetapkan hukum.[23]
Dengan demikian, sumber tasyri’ pada masa ini ada tiga, yaitu
Al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad sahabat.[24]
Kondisi hukum Islam pada masa Khulafa ar-Rasyidin menurut Atiah
Musyrifah sebagaimana dikutif oleh Dedi Supriyadi ada tiga keistimewaan, yaitu: 1) Kodifikasi
ayat-ayat al-Qur’an dan penyebarannya; 2) Pertumbuhan tasyri’ ra’yu dan ijma’;
dan 3) Pengaturan peradilan.[25]
MAKALAH KLASIFIKASI HADIS MUTAWATIR, AHAD DAN ISTILAH HADIS SERTA KUTUBU SITTAH
MAKALAH HADIST; pengertian, ilmu hadist dan muthalahah hadis, perbedaan ilmu hadist dan muthalahah hadis, perkembangan ilmu hadis dan pembukuan hadist
MAKALAH KLASIFIKASI HADIS MUTAWATIR, AHAD DAN ISTILAH HADIS SERTA KUTUBU SITTAH
MAKALAH HADIST; pengertian, ilmu hadist dan muthalahah hadis, perbedaan ilmu hadist dan muthalahah hadis, perkembangan ilmu hadis dan pembukuan hadist
2.
Masa Dinasti Umayyah
Periode ini dimulai ketika para
Khalifah Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kaum muslimin setelah
terbunuhnya Imam Ali bin Abi Thalib pada tahun 41 hijriah, dan berakhir pada
awal abad kedua hijriah sebelum berakhirnya Dinasti Umayyah pada tahun 132 hijriah.
Zaman ini dipenuhi dengan berbagai
peristiwa dan perkembangan, perbedaan fiqih dan pergolakan politik karena sejak
awal berdirinya Dinasti ini kaum muslimin terpecah kepada tiga golongan, yaitu syiah,
khawarij dan jumhur kaum muslimin (ahli sunnah wal jama’ah).[26]
Periode ini memiliki ciri khas,
banyaknya ulama memberikan fatwa selain banyaknya permasalahan yang dihadapi
oleh ahli fiqih. Ruang perbedaan fiqih pun semakin meluas sebagai bukti bahwa
aktivitas fiqih pada zaman ini meningkat dibandingkan sebelumnya. ini
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a)
menyebarnya para sahabat ke seluruh pelosok wilayah
b)
meluasnya periwayatan hadits
c)
para hamba sahaya mulai menggeluti fiqih dan ilmu syariat, dan
d)
munculnya beberapa aliran fiqih.[27]
Sumber-sumber fiqih pada masa
Dinasti Umayyah masih terbatas pada Alqur’an, sunnah, ijma’ dan logika (qiyas).
Masa Pemerintahan Dinasti Ummayah
ini memiliki karakteristik fiqih tersendiri, anara lain sebagai berikut.
a)
Munculnya beberapa manhaj kajian fiqih yang bersh dari
pertikaian politik, terutama madrasah ahli hadits dan ahli ra’yi
(logika).
b)
Sinergitas antara para mawali dengan orang Arab dalam
memegang kepemimpian kedua madrasah ini di berbagai Negara Islam.
c)
Perhatian terhadap hadits.
d)
Terpengaruhnya beberapa sumber hukum dengan pergolakan politik
seperti ijma’ dan tidak yakinnya sebagian orang terhadap sumber qiyas
dan mashlahah mursalah.
e)
Munculnya fiqih iftiradiya (andaian) yang dibawa oleh ulama
ahli ra’yi.
f)
Banyaknya permasalahan dalam furu’ fiqhiyah disebabkan oleh
perbedaan aliran politik dan hijrahnya sebagian ulama dari Madina ke berbagai
negeri.[28]
3.
Masa Dinasti Abbasiyah
Periode ini dimulai sejak berdirinya
Dinasti Abbasiyah setelah runtuhnya Dinasti Umayyah pada tahun 132 hijriah dan
berakhir pada pertengahan abad keempat hijriah.
Zaman ini dianggap zaman yang paling
gemilang dalam sejarah fiqih Islam, dimana ia telah mencapai tahap sempurna
dalam keluasan kajian, sempurna dan terinci sehingga menjadi ilmu yang berdiri
sendiri yang sebelumnya hanya sebatas fatwah dan qhada’, selain
munculnya para ulama yang membahas setiap bab, juga memiliki mazhab tersendiri
yang kemudian diberi nama sesuai nama para imamnya.[29]
a)
.Faktor kemajuan Fiqih pada masa Dinasti Abbasiyah.[30]
1)
Perhatian Khalifah Dinasti Abbasiyah terhadap fiqih dan fuqahah
2)
Perhatian dan semangat tinggi untuk mendidik para penguasa dan
keturunannya dengan pendidikan Islam
3)
Iklim kebebasan berpendapat
4)
Maraknya diskusi dan debat ilmiyah di antara para fuqaha’
5)
Banyaknya permasalahan baru yang muncul
6)
Akulturasi budaya dengan bangsa-bangsa lain
7)
Penulisan ilmu dan penerjemahan kitab
b)
Sumber tasyri’ pada masa Dinasti Abbasiyah
Sumber tasyri’ pada masa Dinasti Abbasiyah lebih luas dibanding
dengan zaman sebelumnya. Ada sumber yang telah disepakati ada juga sumber yang
masih diperdebatkan di antara para fuqha. Di anatara sumber yang disepakati
adalah Alqura’an dan sunnah. Adapun ijma’ dan qiyas sebagian
besar fuqaha menganggapnya sebagi hujjah dalam menentukan hukum syar’i.
Di antara sumber-sumber hukum yang masih di perdebatkan adalah; Istihsan,
al-mashlahah al-mursalah, al-istishab, saddu adz-dzara’I,
amal penduduk Madinah, pendapat sahabat, ‘urf dan syariat sebelum kita.[31]
c.
Fase Taqlid dan Kejumudan
1.
Fase
Taqlid
Secara bahasa, kata taqlid berasal dari kata qallada-
yuqallidu- taqlidan yang mengandung arti mengalungi menghiasi, meniru,
menyerahkan, atau mengikuti. Sementara itu pengertian taqlid secara
istilah adalah mengikuti pendapat seseorang faqih atau imam tanpa mengetahui
sumber hukumnya. Seseorang yang bertaqlid, ia seolah-olah menggantungkan
hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid. Ada juga salah satu pendapat para
ahli tentang taqlid yakni yang di nyatakan oleh imam Al- Ghazali ia
menyatakan bahwa taqlid adalah mengamalkan suatu pendapat tanpa ada
landasan hujjah syariat lalu mengikuti suatu pendapat tanpa mengetahui hujjah
nya.[32]
Periode
ini dimulai sejak pertengahan abad keempat hijriah sampai runtuhnya Baghdad
(656 H), yaitu periode stagnasi atau kemandekkan fikih, fuqoha’ pada periode
ini cenderung kepada taqlid, mengingat sebagai seorang fuqoha’
semestinya mereka dapat lebih mengembangkan diri dan tidak terikat oleh madzhab
tertentu, akan tetapi hanya terikat oleh teks-teks didalam Qur’an dan Hadits,
yang dari keduanya semestinya mereka dapat mengeluarkan hukum-hukum baru
terhadap problematika yang dihadapi. Hanya saja, spirit berijtihad mereka
semakin melemah, bahkan tidak sedikit yang merasa tidak mampu untuk berijtihad,
meski kemampuan dan persyaratan dalam berijtihad telah dimiliki. Hal demikian
mengakibatkan propaganda taqlid madzhab semakin berkembang dikalangan
fuqoha’, dan pintu ijtihad semakin tertutup rapat.[33]
Ada beberapa faktor yang mengakibatkan
demikian, diantaranya adalah:
1)
Lemahnya perhatian dan penghargaan kesultanan Abbasiyah terhadap
fikih dan fuqoha’ yang mengakibatkan fikih tidak berkembang karena melemahnya
spirit fuqoha’.
2)
Madzhab-madzhab fikih telah terbukukan secara sistematis, sehingga
memudahkan fuqoha’ lain dalam menyimpulkan hukum, tanpa berijtihad kembali.
3)
Menurunnya kepercayaan diri para fuqoha’, sehingga mereka merasa
tidak mampu untuk melakukan aktifitas ijtihad.
Ketika pintu ijtihad
telah tertutup dan propaganda taqlid semakin berkembang, fuqoha yang mencoba
untuk melakukan aktifitas ijtihad akan dituduh perusak agama, karena otoritas
ijtihad dianggap hanya dimiliki ulama salaf sebelumnya, fuqoha’ hanya
diperbolehkan mendalami ushul-ushul fikih madzhab, tanpa diperbolehkan berijtihad.
Padahal sejatinya ijtihad masih mungkin dilakukan siapa saja dan kapan saja,
selama persyaratan-persyaratan yang diperlukan terpenuhi. Meskipun demikian,
fuqoha’ pada periode ini banyak memberikan kontribusi untuk kemajuan dan
kematangan fikih madzhab yang diikuti, diantaranya sebagaimana berikut:
1)
Mengidentifikasi ‘illat dari hukum-hukum yang dirumuskan oleh imam-imam dalam madzhab mereka.
2)
Mengekstrak kaidah-kaidah istinbath dari madzhab yang mereka ikuti
untuk mengetahui metodologi ijtihad yang digunakan imam-imam madzhab.
3)
Tarjikh (pemilahan
dan pengunggulan) pendapat-pendapat imam madzhab.
4)
Sistemasi fikih, yaitu sistemasi hukum-hukum yang telah
terumuskan, penjelasan abstraksi hukum-hukum didalamnya, mensyarah dan
mengomentari hukum-hukum yang telah tertulis, dengan menyebutkan pijakan dalil
yang dipakai untuk berijtihad oleh imam madzhab.[34]
Faktor kemunculan taqlid,
di antaranya adalah sebagai berikut:[35]
1)
pembukuan kitab Mazhab
2)
fanatisme mazhab
3)
jabatan hakim
4)
ditutupnya pintu ijtihad.
2.
Fase Kejumudan
Periode ini di mulai sejak tahun 656 jijriah, ketika kota Bagdad jatuh ke
tangan tentara Mongol dan berakhir pada abad ke-13.
1.
Kondisi Fiqh Dan Kontribusi Fuqaha.
Pada era ini kondisi fiqh Islam sangat buruk sekali bahkan
mengalami kemunduran dan kejumudan. Di jaman generasi pertama para fuqaha sibuk
menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad akan tetapi pada masa ini para
ulama sudah beralih menjadi taqlid buta. Padahal taqlid seperi
ini adalah taqlid yang di larang karena taqlid ini adalah
memahami suatu hal dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran Al-qur’an dan
al- hadits seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut
bertentangn dengan al-Qur’an dan hadits.[36]
Mereka tidak hanya melakukan taqlid mutlaq akan tetapi
semangat menulis buku juga menurun sehingga hasil karya ilmiah para fuqaha juga
sangat minim dan hanya terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab
pendahulu lalu di hafal dan di kaji, jauh dari ijtihad dan hanya membuat
beberapa penjelasan singkat. Dan adapun mengenai usaha yang di lakukan para
fuqaha pada periode ini adalah mengenai penulisan matan (teks) dan
penulisan syarh (penjelasan).
2.
Dampak kejumudan terhadap fiqih Islam
Kejumudan yang menimpa fiqh Islam sepanjang perjalan periode ini
telah memberikan dampak yakni sebagai berikut :
a.
Ketidak berdayaan fiqh Islam untuk menjawab segala persoalan yang
muncul.
b.
Banyaknya karya-karya yang sulit untuk di fahami , dan adanya aturan-aturan
fiqh mazhab sehingga membuat para pelajar tidak mampu untuk menunjukkan
kemampuan mereka sendiri, yang pada akhirnya tidak ada pembaharuan dan penemuan
baru.
c.
Masyarakat dan para penguasa sebagian negeri Islam menjadi
berpaling dari fiqh Islam dan memakai konsep undang-undang konvensional sebagai
urusan peribadi dan pemerintahan.[37]
d.
Fase Kebangkitan Hukum Fiqh
Periode perkembangan Islam dikenal juga dengan "Periode
Kebangkitan Islam". Periode ini terjadi pasca kemunduran Islam pada periode
pertengahan, terutama sejak mundurnya tiga kerajaan Islam, yaitu Kerajaan
Safawi di Persia, Kerjaan Mughal di India dan Kerajaan Turki Utsmani di Turki.
Periode kebangkitan Islam ini ditandai dengan munculnya pemikiran dan gerakan
pembaharuan dalam dunia Islam.
1.
Pembahasan Fiqih Islam
Bermulanya
zaman ini pada akhir tahun ketiga belas Hijirah ketika zaman pemerintahan
kerajaan Utsmaniah. Pada ketika itu, kerajaan Uthmaniah telah menggunakan fiqh
sebagai satu undang-undang dan dijadikan dalam bentuk akta dan amandemen. Para
hakim menggunakannya sebagai rujukan di dalam menjalankan proses penghakiman.
Ia dijadikan sebagai ganti kepada kaedah lama yaitu dengan merujuk kepada
kitab-kitab fiqh di dalam mazhab yang satu. Tugas ini diberikan kepada segolongan
ulama besar diketuai oleh Menteri Keadilan untuk membentuk satu undang-undang
dalam urusan peradaban. Pekerjaan tersebut diselesaikan oleh pihak Lajnah
pada tahun 1285-1293 H, bersamaan tahun 1869-1876 M. Para ulama telah menyusun
1851 akta yang terkandung di dalam 16 buku yang diambil daripada fiqh Hanafi
dengan memilih perkara yang terbaik seiring dengan perubahan zaman dan juga
yang mendatangkan kebaikan kepada manusia. Himpunan akta-akta dinamakan ini
sebagai Majallah al-Ahkam al-’Adliah dan dijadikan sebagai perlembagaan negara. Ia digunakan pada
zaman pemerintahan Kerajaan Utsmaniah sehingga dihentikan
penggunaannya selepas kejatuhan kerajaan Utsmaniah. Majallah ini dibagi kepada
beberapa fasal seperti berikut; Jual beli, sewaan, kafalah, hiwalah, pajak
gadai, amanah, hibah (anugerah), rompak dan pencurian, paksaan, syuf’ah,
jenis-jenis syarikat, wakalah, sulh (rundingan), Iqrar, dakwaan, keterangan,
dan kehakiman.
Ada zaman ini
para ulama’ memberikan perhatian yang sangat besar pada fiqh Islam baik dengan
cara menulis buku ataupun mengkaji sehingga fiqh Islam bisa mengembalikan
kegemilangannya melalui tangan ulama’ apabila kita ingin melihat kebangkitan
fiqh Islam pada zaman ini dapat kita rincikan sebagai berikut:[38]
a)
Memberikan perhatian khusus terhadap kajian madzhab-madzab utama
dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui dengan tetap mengedepankan
prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus antara satu madzhan dengan madzhab
yang lain.
b)
Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh yang tematik
(terperinci).
c)
Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh komparasi
(perbandingan antara madzhab fiqh islam)
d)
Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan
ensiklopedia fiqh.
2.
Kodifikasi Hukum Fiqh
Yang dimaksud dengan kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa
masalah fiqh dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor. Dan jika ada masalah
maka setiap masalah akan dirujuk pada materi yang sudah disusun dan pendapat
ini akan menjadi kata putus dalam menyelesaikan perselisihan.
Tujuan
dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan berikut:
a)
Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang
memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim
member keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi
undang-undang tertentu dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari
keputusan yang kontra.
b)
Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hokum fiqh dengan susunan
sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.[39]
Upaya untuk menjadikan fiqh sebagai undang-undang bukan sesuatu
yang baru terjadi selama ini. Upaya tersebuut sudah muncul sejak awal abad
kedua hijriah ketika Ibnu Muqofa’ menulis surat kepada khalifah Abu jafar
Al-Mansur agar undang-undang Negara diambil dari Al-Quran dan Sunnah dan ketika
tidak ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan
umat.
B.
AL-QUR’AN DAN HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM (FIQIH)
1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Pembahasan sumber-sumber Syariat Islam,
termasuk masalah pokok (ushul) karena dari sumber-sumber itulah terpancar
seluruh hukum/syariat Islam. Oleh karenanya untuk menetapkan sumber syariat
Islam harus berdasarkan ketetapan yang qath’i (pasti)
kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni).
Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“(Dan) janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya.” (QS.
Al-Israa: 36)
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إَنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“(Dan) kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak
sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus:
36)
Kata
“sumber” dalam hukum fiqh adalah terjemahan dari lafaz مصدر,
jamaknya صادر. Lafaz itu hanya terdapat
dalam sebagian literature kontemporer sebagai ganti dari sebuah dalil (الدليل)
atau lengkapnya الأدلة الشرعية.
Sedangkan dalam literature klasik, biasanya digunakan adalah dalil atau adillah syar’iyah, dan tidak pernah digunakan mashodir
al-ahkam al-syari’ah. Mereka menggunakan mashdar sebagai ganti adillah dengan beranggapan bahwa kedua kata itu sama artinya.
Bila
dilihat secara etimologis, maka akan terlihat bahwa kedua kata itu tidaklah
sinonim. kata mashdar (sumber) dapat diartikan suatu wadah, yang dari wadah itu dapat
ditemukan norma hukum. Sedangkan “dalil hukum” berarti sesuatu yang member
petunjuk dan menuntun kita dalam menentuka hukum Allah SWT. Kata sumber hanya
dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan Sunnah saja, sedangkan dalil dapat
digunakan untu al-Qur’an dan Sunnah, juga dapat digunakan untuk ‘ijma’ dan qiyas.[40]
Al-Qur’an atau sering pula disebut
kitabullah merupakan sumber hukum utama ajaran Islam. Di dalamnya terdapat
berbagai prinsip dan ajaran dasar Islam yang meliputi akidah, syariah, dan
akhlak.[41]
a.
Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi, Al-Qur’an adalah
bentuk mashdar dari kata قرأ sepola dengan kata فعلان artinya bacaan; berbicara tentang apa yang
tertulis padanya; melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata قرآن berarti مقروء yaitu isim maf’ul (objek) dari قرأ.[42] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
surah al-Qiyamah (75): 17-18:
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya
maka ikutilah bacaannya itu.
Menurut istilah ushul fiqih sebagai mana dikemukakan Abdul Wahab
Khallaf, al-Qur’an adalah: “Kalam
Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan malaikat jibril ke dalam hati
Rasulullah Muhammad Ibnu Abdullah dengan bahasa Arab dengan makna yang benar,
agar menjadi hujjah bagi Rasulullah ﷺ
dalam pengakuannya sebagai Rasul.
juga sebagai pedoman ummat manusia dan sebagai amal ibadah bila dibacanya. Yang
ditadwinkan di antara dua lembar mushhaf. Dimulai dengan surah Al-Fathihah dan
di tutup dengan surah An-Nas, yang telah sampai kepada kita secara mutawatir
baik secara tulisan atau lisan dari generasi ke generasi lain, dengan tetap
terpelihara dari segala perubahan dan penggantian”. Sesuai dengan jaminan Allah
dalam surah al-Hijr ayat 9:[43]
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya.
b.
Kehujjahan Al-Qur’an al- Karim
Ada beberapa alas an yang dikemukakan ulama ushul fiqih tentang
wajibnya berhujjah dengan al-Qur’an, di antaranya adalah :
1)
Al-Qur’an itu diturunkan kepada Rasulullah ﷺ
secara mutawatir dan ini memberikan
keyakinan bahwa al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah melalui
malaikat Jibril kepada Muhammad ﷺ.
2) Banyak ayat yang menyatakan bahwa
al-Qur’an itu datangnya dari Allah, di antaranya adalah surah ‘Ali Imrani (3):
3:
Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya;
membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan
Injil.
Surah an-Nisa (4): 105:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
Mu’jizat al-Qur’an juga
merupakan dalil yang pasti akan kebenaran al-Qur’an itu datangnya Allah.
Mu’jizat al-Qur’an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi ﷺ yang membawa risalah Ilahi dengan suatu perbuatan yang luar
biasa.[44]
Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf, alasan (efidance)
bahwa al-Qur’an adalah hujjah atas ummat manusia, dan hukum-hukumnya adalah
undang-undang yang harus diikuti, dikarenakan bahwa al-Qur’an itu datang dari
Allah berpindah kepada orang dari Allah dengan jalan qath’i tidak terdapat
keraguan mengenai kebenarannya. Adapun bukti bahwa al-Qur’an itu datangnya dari
Allah ialah orang tidak sanggup mendatangkan yang seperti al-Qur’an itu.[45]
c.
Hukum-hukum yang di kandung dalam al-Qur’an
Para ulama ushul fiqih menginduksi hukum-hukum yang dikandung
Al-Qur’an terdiri atas:
a.
Hukum-hukum I’tiqad, yaitu hukum yang mengandung kewajiban para
mukallaf untuk mempercayai Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, dan hari Kiamat.
b.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dalam mencapai keutamaan
pribadi mukallaf.
c.
Hukum-hukum praktis yang berkaitan dengan hubungan antara manusia
dengan Penciptanya dan antara sesama manusia. Hukum-hukum Praktis ini
dibagi menjadi:
1)
Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah
2)
Hukum-hukum yang berkaitan dengan muamalah
3)
Hukum-hukum perorangan
4)
Hukum-hukum perdata
3)
Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah pidana
4)
Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah peradilan baik bersifat
perdata atau pidana
5)
Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ketatanegaraan
6)
Hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antarnegara
7)
Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ekonomi, baik bersifat
pribadi, masyarakat, maupun Negara.
2.
SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM
ISLAM
a.
Pengertian sunnah (Hadist)
Sunnah secara etimologis kata hadist memiliki banyak arti
diantaranya adalah Al-jadid (yang baru), lawan dari Al-qadim (yang
lama) dan Al-khabar (kabar atau berita)[46].
Sedangkan secara terminologi, sunnah bisa dilihat dari tiga
bidang ilmu, yaitu dari ilmu hadist, ilmu fiqh dan ushul fiqh. Sunnah menurut
para ahli hadist adalah seluruh yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW baik
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya sebagai manusia biasa,
akhlaknya, apakah itu sebelum maupun sesudah menjadi rasul. Sunnah menurut ahli
ushul fiqh adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi saw berupa
perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum. [47]
b.
Pembagian sunnah
Sunnah menurut Syekh Abdul Wahab Khalaf adalah apa yang bersumber dari rasul,
perkataan, perbuatan, atau ketetapannya.[48]
Berdasarkan defenis sunnah yang dikemukakan ulama ushul fiqh
diatas, sunnah yang menjadi sumber kedua hukum islam itu ada tiga macam, yaitu:
1.
Sunnah fi’liyah, yaitu perbuatan
yang dilakukan nabi SAW, yang dilihat, atau diketahui dan disampaikan para
sahabat kepada orang lain. Misalnya tata cara shalat yang ditunjukkan
rasulullah saw kemudian disampaikan kepada sahabat yang melihat atau
mengetahuinya kepada orang lain.
2.
Sunnah qauliyah, yaitu ucapan
nabi saw yang didengar dan disampaikan seseorang atau beberapa sahabat kepada
orang lain. Misalnya sabda rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah:
لَا
صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Tidak sah sholat seseorang yang
tidak membaca surat al-fatihah (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).
3.
Sunnah Taqririyah, yaitu
perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan nabi
Muhammad saw tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegahnya. Sikap diam dan tidak
mencegahnya Nabi saw ini menunjukkan persetujuan Nabi saw.[49]
c.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam
Seperti kita ketahui bersama bahwa fungsi Nabi Muhammad adalah
untuk Menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an. Oleh karena sebagian besar ayat-ayat
hukum dalam Al-Qur’an masih dalam bentuk garis besar yang secara amaliah belum
bisa dilaksanakan, maka dalam hal ini penjelasan hadist dapat dibutuhkan.
Dengan demikian fungsi hadist yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Quran.
Bila Al-Quran disebut sebagai sumber asli bagi hukum fikih maka
sunnah disebut sebagai bayani. Pada prinsipnya hadis Nabi yang berfungsi
sebagai bayan (penjelas) terhadap Al-Qur’an. Akan tetapi dalam melihat berbagai
macam penjelasan nabi dan berbagai rgam ketentuan yang dikandung oleh suatu
ayat maka interpretasi tentang bayan tersebut oleh ulama yang satu berbeda
denagn ulama lainnya.[50]
Sebenarnya bila dicermati secara teliti, akan jelas bahwa apa yang
ditetapkan oleh hadist itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang
disinggung oleh al-quran secara terbatas. Umpamanya Nabi mengharamkan daging
babi dan bangkai, kemudian Nabi menyebutkan haramnya binatang buas. Secara
lahiriyah ketetapan Nabi itu adalah hal yang baru dan tidak disebutkan secara jelas
dalam Al-Qur’an, tapi larangan itu bisa dipahami sebagai penjelas terhadap
larangan Allah memakan sesuatu yang kotor. Jadi secara sepintas sepertinya
pelarangan memakan bnatang buas adalah lanjutan atau tambahan oleh nabi namun
hal itu tidak lain adalah penjelasan dari ayat lain yang mengharuskan memakan
hanya dari makanan yang baik-baik saja.
Sekiranya hadist Nabi yang berkedudukan sebagai sumber sejarah,
niscaya perhatian ulama terhadap penelitian keshahihan hadist akan lain dari
pada yang ada sekarang ini. Kedudukan hadist, menurut kesepakatan mayoritas
ulama adalah sebagai salah satu sumber ajaran islam.[51]
Akan tetapi, terdapat juga sekelompok kecil dan kalanagn “ulama” dan umat islam
telah menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran islam mereka ini disebut
dengan inkar sunnah.
Pada zaman Nabi belum atau tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan
bahwa telah ada dari kalangan umat islam yang menolak hadist sebagai salah satu
sumber ajaran islam. Bahkan pada masa khulafa Ar-rasyidin dan
Bani Umyyah belum terlhat jelas adanya kalangan umat islam yang menolak hadist
sebagai salah satu sumber ajaran islam. Mereka yang berpaham inkar sunnah baru
muncul pada awal masa ‘Abbasiyah mereka juga disebut dengan munkir
as-sunnah.
Adanya kelompok yang menolak hadis itu diketahui melalui
tulisan-tulisan al-syafi’i dan mereka dibagi menjadi 3:
1)
Golongan yang menolak seluruh sunnah
2)
Golongan yang menolak sunnah, kecuali bila sunnah itu memiliki
kesamaan denagn petunjuk Al-qur’an.
3)
Golongan yang menolak sunnah yang berstaus ahad.
Dua golongan yang disebutkan pertama sekali, sebenarnya dapat
dikelompokkan menjadi satu karena kedua-duanya sama-sama menolak
kewajiban-kewajiban yang timbul dari hadist.cukup banyak dalil yang dikemukakan
oleh pengingkar hadist ini, baik berupa ayat Al-qur’an maupun interpretasi
terhadap ayat itu sendiri.
Selanjutnya, menurut kelompok ketiga, yakni kelompok yang
mengingkari hadist ahad sebagai hujjah mengatakan bahwa dalam menerima suatu
berita mestilah dengan suatu kehati-hatian. Hal itu akan didapat hanyalah
melalui suatu pengetahuan benar yang bersumber dari Al-qur’an, hadis yang
disepakati, dan kesepakatan seluruh manusia, seperti shalat dzuhur itu empat
raka’at.
MAKALAH METODOLOGI TAFSIR; pengertian metode dan metodologi, sumber-sumber tafsir dan urgensi tafsir al-qur’an
MAKALAH PENAFSIRAN AL-QUR’AN; pengertian, ilmu tafsir, perbedaan ilmu tafsir dan ilmu al-qur’an, peran bahasa arab dalam penafsiran al-qur’an
MAKALAH AL-QUR’AN; pengertian, nuzul al-qur’an, ayat-ayat pertama dan terakhir, kodefikasi al-qur’an pada zaman nabi, mushaf utsmani
MAKALAH METODOLOGI TAFSIR; pengertian metode dan metodologi, sumber-sumber tafsir dan urgensi tafsir al-qur’an
MAKALAH PENAFSIRAN AL-QUR’AN; pengertian, ilmu tafsir, perbedaan ilmu tafsir dan ilmu al-qur’an, peran bahasa arab dalam penafsiran al-qur’an
MAKALAH AL-QUR’AN; pengertian, nuzul al-qur’an, ayat-ayat pertama dan terakhir, kodefikasi al-qur’an pada zaman nabi, mushaf utsmani
BAB
III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Turunnya sya’riat dalam arti proses munculnya hukum-hukum
syar’iyah hanya terjadi di masa kenabian. Masa kenabian adalah suatu masa
dimana Nabi Muhammad SAW masih hidup dan para sahabat yang bermula dari
turunnya wahyu sampai wafatnya Nabi Muhammad SAW. Masa ini merupakan masa
pertumbuhan dan pembentukan fiqih, suatu masa turunnya syari’at islam dalam
pengertian yang sebenarnya.
Dalam masa kenabian ini kita dapat mengetahui pembagian periode
tasyri’ pada periode Makkah dan periode Madinah yang keduanya saling
melengkapi. Serta mengetahui sumber-sumber yang digunakan pada waktu itu. Pada
masa kenabian pun Nabi Muhammad SAW tidak melarang adanya ijtihad untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an dan Sunnah.
Setelah itu berlangsunglah perkembangan munculnya fiqh sesuai
kejadian dan ijtihad sahabat, mujtahidin dimasa tersebut. Demikianlah
makalah yang bisa kami susun, kritik dan saran kami harapkan.
Periodesasi hukum Islam diklasifikasikan beberapa fase, diantaranya
fase pendirian daan pembentukan hukum Islam, fase pengembangan dan
penyempurnaan hukum Islam, fase taqlid dan kejumudan, dan fase kebangkitan
Islam.
Sumber hukum yang disepakati oleh jumhur ulama adalah AlQur’an dan
Hadits sebagai dustusi atau pedoman hidup manusia.
II.
Saran
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan oleh karena itu, kiranya ada kritikan dan saran yang membangun
dari pembaca dan terutama dari dosen pembimbing mata kuliah Studi Islam
Komprehensif untuk lebih baiknya makalah kami kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
As-Sayis, Syeikh
Muhammad Ali, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam (Terj.
Dedi Junaedi dan Hamidah), Jakarta: Akademika Pressindo, 1996
Faruq, Kemal
A., Islamic jurisprudence, Delhi:
Adam Publisher and Distributor, Shandar Marke, Chitli Qabar, 1994
Firdaus, Metode
Mengkaji dan Memahami Hukum Islam, Rawamangun: Zikrul Hakim, 2004
Fyzee, Asaf A.A,
Outline of Muhammad Law, India:
Oxford University Press, 1948
Habi
Ash-Shidiqie, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Madzhab dalam Membina Hukum
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Rosdakarya,
2000
Khallaf, Abdul
Wahhab, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta, PT RAJA
Grafindo Persada, 2002
Khallaf, Abd.
Wahab Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), Jakarta: PT Rajagrapindo Persada,
2002
Khalil, Rasyad
Hasan, Tarikh Tasyri. Cet Ke- 1 Jakarta : Amzah, 2009
Nasution, Harun,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,
jilid II Jakarta: UI-Press, 1986
Nasrun Haroen, Ushul
Fiqh, Jakarta: Logos, 199
Rasyad Hasan
Khalil, Traikh Tasyri’ Sejarah Legitimasi Hukum Islam, Jakarta: Amzah,
2009
Supriyadi, Dedi,
Sejarah Hukum Islam (Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia) , Bandung:
Pustaka Setia, 2007
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh jilid I, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997
Uman, Khairul,
Achyar Aminudin. Ushul Fiqh II. Cet Ke- 1. Bandung : Cv. Pustaka Setia,
1998
[46]Endang
Soetari, Ilmu Hadist, (Bandung: Amal Bakti Press), cet.2, 1997, hal. 1
[47]
Nasrun Haroen, Ushhul Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.
38.
[48]
Syekh Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Asdi Mahasatya,
2005), hal. 35.
[49]
Nasrun Haroen, Op. Cit, hal. 39.
[50]
Endang Sotari, Op. Cit. Hal 77.
[51]Ali
Sayis, Nasy’at Al-Fiqh Al-ijtihady Wa
At-Waruhu, (t.t Silsilat Aj-Buhus Al-Islamiy, 1970 M), hal .57.
0 komentar:
Post a Comment