MAKALAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM, al-qur’an dan hadist sebagai sumber hukum islam








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Kalau ditelusuri, akar sejarah fiqh sejak awal pertumbuhannya hingga masa sekarang telah melalui beberapa periode. inilah yang dimaksud dengan istilah fiqh dengan tarikh at-tasyri’, yaitu pembahasan untuk mengetahui keadaan fiqh dari masa ke masa, dan untuk mengetahui masa-masa terbentuknya suatu hukum dan hal-hal yang berkaitan dengannya, serta mengetahui keadaan fuqaha dan hasil-hasil karya mereka dalam bidang hukum.
Pada dasarnya, sejarah merupakan penafsiran terhadap peristiwa dimasa lampau yang dipelajari secara kronologis. Ulama berbeda-beda pendapat dalam menentukan periodisasi sejarah hukum islam diantara mu’arikh hukum islam yang menentukan periodisasi sejarah hukum islam adalah Muhammad A’ali Al-Sayyis, Muhammad Khudlari Byek, ‘Abd Wahhab Khallaf, Musthafa Sa’id Al-Khinn,’Umar Sulaiman Al-Asyqar, Dan T.M Hasbi As-Shiddiqi.

B.     Rumusan Masalah
                     1.         Bagaimana perkembangan dari hukum Islam?
                     2.         Bagaimana Al-Quran dan Hadits menjadi sumber hukum Islam?
C.    Tujuan
                     1.         Mengetahui perkembangan hukum Islam
                     2.         Menjelaskan Al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum Islam




BAB II
PEMBAHASAN
A.    PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Para ulama yang mempertahankan sejarah perkembangan fiqih berbeda pendapat dalam membagi periodesasi yang telah dilalui oleh fiqih, demikian juga tentang lamanya masa dari tiap-tiap periode tersebut. Meskipun demikian, hampir semua ulama sepakat bahwa periode hukum Islam dimulai zaman Rasulullah. Berikut ini ada beberapa tokoh yang membuat kategorisasi dalam pembentukan periode hukum Islam.
Kemal A. Faruqi, dalam buku Islamic Jurisprudence, membagi tujuh periode hukum Islam:
           1.         Periode wahyu dan implementasi Pribadi (13 SH - 1 H).
           2.         Periode wahyu dan implementasi sosial (1 H -10 H)
           3.         Periodeemulasi masa sahabat (11 H - 40 H)
           4.         Periode ijtihad (201 H - 400 H)
           5.         Periode taklid (401 H - 1200 H)
           6.         Periode pembentukan hukum dan disintegrasi (1201H - sekarang).[1]
Muhammad ‘Ali As-Sayis, berpendapat bahwa periodesasi hukum Islam adalah:
           1.         Hukum Islam zaman Rasul.
           2.         Hukum Islam zaman Khulafah.
           3.         Hukum Islam zaman pasca Khulafah hingga abad II H.
           4.         Hukum Islam zaman abad II H hingga pertengahan abad IV H.
           5.         Hukum Islam zaman pertengahan abad  IV hingga Baghdad hancur
           6.         Hukum Islam zaman kehancuran Baghdad sampai sekarang.[2]
Adapun Mushthafa Sa’id Al-Khinn, yang dikutif oleh Jaih berpendapat bahwa  periodesasi hukum Islam adalah:
                1.         Hukum Islam zaman Rasul.
                2.         Hukum Islam zaman sahabat.
                3.         Hukum Islam zaman Tabi’in
                4.         Hukum Islam zaman taklid.
                5.         Hukum Islam zaman sekarang.[3]
Masih banyak lagi pendapat-pendapat para ulama mengenai pengkategorian periodesasi perkembanagan hukum Islam. Perbedaan ini terjadi karena para ulama menggunakan dua cara untuk membagi tahapan demi tahapan perkembangan syariat Islam: Di antara mereka ada yang menjadikan pembagian syariat Islam sama seperti perkembangan manusia dari segi tahapan perkembangan, manusia mengalami  zaman kana-kanak, dewasa, dan zaman tua, demikian juga halnya dengan syariat Islam dalam perkembangan dan perjalannya.
Ada juga yang menjadikan pembagian ini dengan melihat aspek perbedaan dan ciri-ciri utama yang juga mempunyai pengaruh yang besar dalam fiqih, mereka yang menggunakan cara ini juga berbeda pendapat tentang jumlah tahapan syariat Islam. Sebagian mengatakan empat fase, sebagian lagi mengatakan lima fase, ada yang enam, dan ada juga pendapat yang lain yang mengatakan tujuh.[4]
Pendapat yang paling tepat dan pemakalah pilih adalah sejalan dengan pendapat yang dipilih oleh Rasyad Hasan Khalil, yaitu pendapat yang mengatakan ada empat fase sebagai berikut:
           1.         Fase kelahiran dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup Rasulullah SAW, sehingga dapat diistilahkan sebagai fase penurunan dan kedatangan wahyu.
           2.         Fase pembangunan dan penyempurnaan, mencakup masa sahabat dan tabi’in sampai zaman pertengahan abad keempat hijriyah.
           3.         Fase kejumudan dan taqlid, mulai dari pertengahan abad keempat sampai abad dua belas hijriyah.
           4.         Fase kebangkitan dan kesadaran, mulai dari abad dua belas hijriah sampai sekarang ini.[5]
      a.            Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Islam[6]
1)      Syariat pada Masa Kerasulan
Masa kerasulan atau masa hidup Rasulullah dapat disebut juga sebagai fase kelahiran dan pembentukan hukum syariat Islam berdasarkan hal-hal sebagai berikut.
a)      Kesempurnaan dasar dan sumber-sumber utama fiqih Islam pada masa ini.
b)      Setiap syariat (undang-undang) yang datang setelah ini semuanya merujuk kepada manhaj yang telah digariskan Rasulullah dalam meng-istinbati (mengeluarkan) hukum syar’i.
c)      Periode-periode setelah era kerasulan (sepeninggal Rasulullah ) tidak membawa sesuatu yang baru dalam fiqih dan syariat Islam, melainkan hanya pada masalah-masalah baru atau kejadian-kejadian yang tidak ada di zaman Rasulullah .
2)      Rentang Waktu Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Syariat Islam pada Masa Kerasulan
Fase ini dmulai sejak diutusnya Rasulullah pada tahun 610 M hingga wafatnya Rasulullah pada tahun kesepuluh hijriah. Jadi, secara keseluruhan fase ini berlangsung selama 23 tahun.
3)      Kondisi Bangsa Arab Pra Kerasulan
Sebelum nabi SAW diutus, orang-orang rab adalah umat yang tidak memiliki aturan dan mereka di kendalikan oleh kebiadaban, dinaungi oleh kegelapan dan kejahilan, serta tidak ada agama yang mengikat dan undang-undang yang harus mereka patuhi. Akibat dari ini penuhnya jiwa mereka dengan akidah yang batil. Setiap kelompok dari mereka melihat kebenaran dari apa yang tumbuh dan di wariskan bapak-bapak mereka, dan melihat keagungan dari apa yang tersebar dan dikenal diantara kabilahnya. Hanya sedikit dari mereka yang berjalan dengan aturan yang dapat mengelesaikan perselisihan mereka, adab yang dianggap baik serta langkah yang mulia.
Namun demikian, ketetapan itu bukan merupakan undang-undang yang tertulis yang di jadikan rujukan dalam menyelesaikan perselisihan dan menjaga hak-hak mereka, tapi hanya merupakan ketetapan yang sedikit sekali pemanfaatannya. tidak cukup merealisasikan aturan dan mencegah sipembuat kerusakan.[7].
4)      Kondisi Hukum Islam Pada Masa Kenabian
Islam datang untuk seluruh umat manusia, akan  tetapi di mulai dengan perbaikan orang-orang arab yang Allah pilih sebagai penolong agama dan penyerunya. keadaan orang-orang arab pada masa itu, sebagaimana telah kita  ketahui dua perkara: Berhalaisme dalam agama kekacauan dalam tahanan masyarakat. kaadaan seperti ini mengharuskan adanya penyelamatan dari kebiadaban dan  pembebasan mereka untuk, menyokong agama Allah, dengan menanamkan kaidah tauhid pada hati mereka, mengarahkan mereka untuk mengiklasakn ibadah kepada Dzat yang Maha Tinggi dan melepaskan dari  jiwa mereka  akhlak yang tercela, menghapuskan adat yang buruk serta mencetak mereka berahklak mulia, berperangai terpuji, serta meletakan aturan yang itu yang mencakup seluruh permasalahan mereka, agar mereka berjalan di  atas petunjuk Allah dalam segala aspek kehidupan.[8]
5)      Pembentukan Hukum Di Mekkah
Pada  awal mulanya, Islam berorientasi  memperbaiki akidah yang merupakan fondasi tempat berdiri hal-hal yang lain. Setelah selesai tujuan pertama ini, ia melanjutkan orientasi berikutnya yaitu meletakkan aturan kehidupan.
Oleh karena itu, pada surat makkiyah dalam Al qur’an seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Furqan dan lain-lain tidak terdapat ayat-ayat yang membahas tentang hukum aktual(amaliyah). Akan tetapi, justru yang banyak pembahasannya adalah seputar aqidah, akhlak, dan kisah-kisah umat terdahulu.[9]
6)      Pembentukan Hukum Di Madinah
Mulai setelah hijrah, tasyri islam beroreantasi pada tujuan kedua, maka disyariatkan hokum hokum yang meliputi  segala aspek kehidupan individu dan kelompok, baik dalam ibadat, jihad, pidana, kewarisan, wasiat, pernikahan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang mencakup ilmu fiqih.
Jadi, pada masa Rasul pertumbuhan hukum Islam dapat disimpulkan, bahwa:
a)      Kekuasaan pembentukan hukum pada masa ini dipegang oleh Nabi sendiri, tanpa campur tangan orang lain. Sumbernya adalah Alqur’an dan Sunnah, karena itu tidak ada tempat untuk berselisih dalam hukum.
b)      Bahwasanya ayat-ayat hukum itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa atau jawaban dari suatu pertanyaan
c)      Bahwasanya hukum Islam tidak ditetapkan sekaligus, akan tetapi ditetapkan sebagian-sebagian dan berturut-turut didasari ayat atau hadis.[10]
7)      Sumber Tasyri’ pada Fase Kerasulan
Sumber hukum Islam pada fase ini terhimpun dalam satu sumber, yaitu wahyu yang turun kepada Rasulullah dari sisi Allah. Wahyu sendiri ada dua macam, yaitu wahyu yang terbaca, yaitu al-Qur’an, dan wahyu yang tidak dibaca, yaitu sunnah nabawiyah.[11]
8)      Metode Pensyariatan pada Fase ini
Nabi Muhammad menyampaikan syariat pada fase ini melalui beberapa cara, di antaranya:
a)      Memberikan ketentuan hukum terhadap permasalahan atau kejadian yang muncul atau dinyatakan oleh para sahabat, lalu Rasul memberikan jawaban terkadang dengan satu ayat atau beberapa ayat dari al-Qur’an yang memang turun sebagai jawabannya, dan tidak ada ayat yang menjelaskan lagi dari turunnya beberapa ayat yang menjelaskna tentang jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepada Rasul sebagaimana firman Allah dalam sura al-Baqarah (2): 215:


Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.
Contoh lain Firman Allah dalam surah yang sama al-Baqarah ayat 217:

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar.
b)      Terkadang Rasulullah memberi jawaban dengan ucapan dan perbuatannya, sebagaimana sabda Rasulullah kepada sebagian sahabat ketika ada yang bertanya, “Kami menyeberangi lautan, apakah kami boleh berwudhu’ dengan air laut?” Baginda Rasulullah menjawab, “Ia suci airnya dan halal bangkainya”.[12]
9)      Ijtihad Nabi Muhammad
Yang dimaksud dengan ijtihad Nabi adalah mengeluarkan hukum syariat yang tidak ada nash-nya. Ulama berbeda pendapat boleh tidaknya Rasulullah berijtihad kedalam dua kelompok besar, yaitu:
Pertama, kalangan Asy’ariyah dan Ahli sunnah dan mayoritas Mu’tazil. Mereka berpendapat teguh bahwa Nabi tidak boleh berijtihad sendiri. Diantara dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah surat an-Najm (53): 3-4:


Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Dalil ini disanggah karena hujjah  yang disebutkan tidak dapat diterima, sebab kata ganti “huwa” dalam aya ini kembali kepada al-Qur’an, karena ayat ini diturunkan sebagai jawaban terhadap ucapan orang kafir yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah rekayasa nabi Muhammad .
Kedua, mayoritas ulama ushul mengatakan boleh bagi Rasulullah untuk ijtihad dalam setiap urusan atau perkara yang tidak ada nash-nya, dalil mereka:
Nabi Muhammad diperintahkan untuk berijtihad dengan keumuman firman Allah SWT: “Maka carilah pelajaran wahai orang-orang yang berakal”. Artinya, bandingkan antara kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian yang sudah ada hukumnya; jika ada kemiripan antara keduanya dalam illat dan ini adalah salah satu bentuk ijtihad.[13]
Contoh ijtihad Rasulullah antara lain ketika beliau memberikan izin kepada orang-orang munafik yang meminta izin untuk tidak turut berpartisipasi dalam Perang Tabuk, maka turunlah ayat :


Semoga Allah mema'afkanmu. mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? (QS At-Taubah (9): 43).
10)  Karakteristik Perundang-undangan pada Masa Kerasulan
Ada beberapa karakteristik perundang-undangan pada masa kerasulan ini sebagai berikut.
a)      Sumber hukum pada zaman ini hanya berasal dari wahyu, yaitu al-Qur’an dan Hadits.
b)      Referensi utama untuk mengetahui hukum-hukum syar’i pada zaman ini adalah Rasulullah sendiri.
c)      Perundang-undangan Islam pada masa ini telah sempurna hukumnya, telah dikukuhkan kaidah dan dasarnya.
d)      Kesempurnaan syariat dapat dilihat dari aspek manhaj yang unik dan metode yang khusus, dimana al-Qur’an dan sunnah Rasul memuat beberapa kaidah dan dasar-dasar yang kokoh dan membuka pintu ijtihad kepada para ulama untuk mengeksplorasi kembali.
e)      Fiqih Islam dengan pengertian terminologinya belum muncul pada zaman ini.
f)       Pada masa Rasulullah jika ada yang bertanya tentang hukum sesuatu maka Rasulullah akan menjawabnya, dan ketika Rasulullah sedang tidak ada di tempat maka para sahabat akan berijtihad sendiri kemudian mengembalikan keputusan kepada Rasulullah   untuk ditetapkan atau dibatalkan.
g)      Belum terlihat pada masa ini ada masalah-masalah yang bersifat iftiradiyah (hipotesis), semua masalah lahir dari realita kehidupan yang perlu dijelaskan hukumnya.[14]

      b.            Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syariat Islam
Dari penjelasan fase kelahiran dan pembentukan hukum Islam, terlihat bahwa Nabi mengizinkan para sahabat untuk melakukan ijtihad ketika Rasul ada atau tidak ada ditempat, lalu rasul menyetujuinya atau meluruskannya.
Hukum Islam pada zaman ini dibentuk dengan metode yang unik dan kaidah yang khas, di mana sumbernya terhimpun dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul yang terdiri dari kaidah kulliyah (global) dan dasar-dasar yang kokoh sehingga bisa membuka peluang dan memudahkan para mujtahid untuk memunculkan masalah-masalah furu’iyah sesuai dengan aturan yang ada, dapat dijalankan dengan baik, serasi untuk setiap waktu dan keadaan yang pada akhirnya memudahkan jalan bagi kaum muslimin untuk menghadapi problematika yang muncul.
Fase ini memakan waktu yang sangat panjangan, mulai dari tahun 11 hijriah sampai dengan akhir abad 14 hijriah, yang terdiri dari tiga tahapan sebagai berikut:
1)      Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
2)      Masa Dinasti Umayyah
3)      Masa Dinasti Abbasiyah.
         1.         Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
a)      Kondisi Awal Periose Khulafa’ Ar-Rasyidin
Asaf A.A. Fyzee, menjelaskan bahwa periode ini merupakan periode terpenting dalam pembentukan hukum. Dalam periode yang menghabiskan waktu kira-kira 30 tahun, paling tidak ada dua hal yang paling penting; 1) adaptasi sunnah terhadap tradisi Arab; dan 2) pembukuan al-Qur’an pada masa Utsman.[15]
Munawir Sadjali, sebagaimana dikutif oleh Dedi Supriyadi mengemukakan bahwa periode ini dikenal dengan periode sahabah, urutannya adalah sebagai berikut: Abu Bakar adalah sahabat pertama yang terpilih sebagai khalifah pertama. Abu Bakar (632 - 634M); diganti oleh ‘Umar Ibn al-Khattab (634 - 644M); ‘Umar Ibn al-Khattab diganti oleh Utsman Ibn ‘Affan (644 - 656 M); dan Utsman Ibn ‘Affan diganti oleh ‘Ali bin Abi Thalib (656 - 661 M).[16]
Pada periode ini daerah kekuasaan Islam bertambah luas, bahkan mencakup daerah-daerah di luar semenanjung Arabia yang sudah memiliki kebudayaan tinggi dan struktur masyarakat yang maju jika dibandingkan dengan masyarakat Arab ketika itu. Pada masa ini, Islam mulai berkembang dan melebarkan sayapnya dan mengibarkan panji-panji Islam dalam menjalankan misinya keberbagai daerah disekitar jazirah Arab, seperti Irak, Siriah, Mesir, daerah-daerah di Afrika Utara dan belahan dunia lainnya.[17] Oleh karena itu sudah tentu persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat semenanjung Arabia pun menjadi lebih beragam.
b)      Ijtihad Sahabat Dalam Penggalian Hukum
Setelah Nabi Muhammad wafat Abu Bakar menjadi pengemban pertama misi kerasulan pasca-Nabi . meninggal dengan segala problematika umat pada saat itu. Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang baru muncul tersebut, para sahabat kembali pada al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja, untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dalam kedua sumber hukum inilah, khalifah dan para sahabat berijtihad. Dalam memutuskan sebuah hukum, khalifah tidak memutuskan sendiri ketentuan hukum, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat yang lain. Keputusan yang diambil dengan ijma’ ini lebih kuat daripada putusan yang dibuat oleh satu atau beberapa orang saja.[18]
Secara operasional tiap-tipa khalifah berbeda dalam menggali hukum, misalnya khalifah Abu Bakar, apabila ia tidak mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah, ia mengumpulkan para ulama sahabat dan merembukkan hal tersebut. Kemudian, apabila para sahabat bersepakat menetapkan suatu pendapat Abu Bakar pun menetapkan hukum sesuai dengan pendapat yang disepakati. Sebagai contoh, ijma’ sahabat tentang pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushhaf  pada masa khalifah Abu Bakar.[19]
Umar bin Khattab juga melakukan hal yang sama. bila tidak ada dalam Al-Qur’an dan sunnah, ia melihat apakah Abu Bakar pernah memutuskan permasalahan yang serupa, bila Abu Bakar pernah memutuskannya ia pun mengambil keputusan Abu Bakar. Akan tetapi, bila tidak ditemukan, ia mengundang tokoh masyarakat. Apabila dicapai kesepakatan, Umar pun memutuskan perkara dengan hasil keputusan tersebut.[20]
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan. Di antara pendapat Utsman bin Affan adalah bahwa istri yang diceraikan oleh suaminya yang sedang sakit, kemudian suaminya meninggal dunia karena sakit tersebut, maka istri mendapatkan harta pusaka baik ia dalam masa iddah atau tidak. Sedangkan Umar berpendapat bahwa perempuan tersebut mendapat harta pusaka apabila suaminya meninggal dalam masa iddah, tetapi apabila suaminya meninggal setelah masa iddah istri tersebut tidak mendapat harta pusaka. Selain itu Utsman bin Affan membuat mushhaf Al-Qur’an yang dikenal dengan mushhaf Utsmaniy.[21]
Khalifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Di antara pendapat Ali bin Abi Thalib adalah: Pertama, dalam Al-Qur’an terdapat larangan meminum khamar yang haramnya ditetapkan secara berangsur-angsur. Akan tetapi, dalam tiga ayat tersebut tidak ada sanksi bagi yang melanggar keharaman tersebut. Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa sanksi bagi peminum khamar adalah delapan puluh kali jilid karena pelanggaran atau tindakan minum khamar diqiyaskan pada penuduh zina.
Kedua, seseorang menikah dengan seorang perempuan, kemudian ia akan melakukan perjalanan tanpa istrinya. Keluarga istrinya mengancam bahwa pada istrinya telah jatuh talaq apabila ia tidak mengirimkan nafkah paling lambat dalam satu bulan. Setelah waktu yang ditentukan berakhir, istri tersebut belum memperoleh kiriman, Hal ini kemudian diadukan kepada Ali bin Abi Thalib. Ali berkata “Bertindak bijaklah sampai suaminya menyatakan talak”, dan Ali menolaknya, artinya Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa sumpah atau akad talak yang dibarengi syarat adalah tidak sah.[22]
Para sahabat di masa ini, tidak memberikan suatu hukum mengenai kejadian-kejadian yang belum dan mungkin akan terjadi. Oleh karena itu, pemakaian qiyas belum banyak dilakukan, bahkan sebagian mereka terdapat kata-kata yang mencela pemakaian qiyas (dengan tidak memakai batas) dalam hal menetapkan hukum.[23]
Dengan demikian, sumber tasyri’ pada masa ini ada tiga, yaitu Al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad sahabat.[24]
Kondisi hukum Islam pada masa Khulafa ar-Rasyidin menurut Atiah Musyrifah sebagaimana dikutif oleh Dedi Supriyadi  ada tiga keistimewaan, yaitu: 1) Kodifikasi ayat-ayat al-Qur’an dan penyebarannya; 2) Pertumbuhan tasyri’ ra’yu dan ijma’; dan 3) Pengaturan peradilan.[25]

MAKALAH KLASIFIKASI HADIS MUTAWATIR, AHAD DAN ISTILAH HADIS SERTA KUTUBU SITTAH


MAKALAH HADIST; pengertian, ilmu hadist dan muthalahah hadis, perbedaan ilmu hadist dan muthalahah hadis, perkembangan ilmu hadis dan pembukuan hadist
         2.         Masa Dinasti Umayyah
Periode ini dimulai ketika para Khalifah Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kaum muslimin setelah terbunuhnya Imam Ali bin Abi Thalib pada tahun 41 hijriah, dan berakhir pada awal abad kedua hijriah sebelum berakhirnya Dinasti Umayyah pada tahun 132 hijriah.
Zaman ini dipenuhi dengan berbagai peristiwa dan perkembangan, perbedaan fiqih dan pergolakan politik karena sejak awal berdirinya Dinasti ini kaum muslimin terpecah kepada tiga golongan, yaitu syiah, khawarij dan jumhur kaum muslimin (ahli sunnah wal jama’ah).[26]
Periode ini memiliki ciri khas, banyaknya ulama memberikan fatwa selain banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh ahli fiqih. Ruang perbedaan fiqih pun semakin meluas sebagai bukti bahwa aktivitas fiqih pada zaman ini meningkat dibandingkan sebelumnya. ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a)      menyebarnya para sahabat ke seluruh pelosok wilayah
b)      meluasnya periwayatan hadits
c)      para hamba sahaya mulai menggeluti fiqih dan ilmu syariat, dan
d)      munculnya beberapa aliran fiqih.[27]
Sumber-sumber fiqih pada masa Dinasti Umayyah masih terbatas pada Alqur’an, sunnah, ijma’ dan logika (qiyas).
Masa Pemerintahan Dinasti Ummayah ini memiliki karakteristik fiqih tersendiri, anara lain sebagai berikut.
a)      Munculnya beberapa manhaj kajian fiqih yang bersh dari pertikaian politik, terutama madrasah ahli hadits dan ahli ra’yi (logika).
b)      Sinergitas antara para mawali dengan orang Arab dalam memegang kepemimpian kedua madrasah ini di berbagai Negara Islam.
c)      Perhatian terhadap hadits.
d)      Terpengaruhnya beberapa sumber hukum dengan pergolakan politik seperti ijma’ dan tidak yakinnya sebagian orang terhadap sumber qiyas dan mashlahah mursalah.
e)      Munculnya fiqih iftiradiya (andaian) yang dibawa oleh ulama ahli ra’yi.
f)       Banyaknya permasalahan dalam furu’ fiqhiyah disebabkan oleh perbedaan aliran politik dan hijrahnya sebagian ulama dari Madina ke berbagai negeri.[28]
         3.         Masa Dinasti Abbasiyah
Periode ini dimulai sejak berdirinya Dinasti Abbasiyah setelah runtuhnya Dinasti Umayyah pada tahun 132 hijriah dan berakhir pada pertengahan abad keempat hijriah.
Zaman ini dianggap zaman yang paling gemilang dalam sejarah fiqih Islam, dimana ia telah mencapai tahap sempurna dalam keluasan kajian, sempurna dan terinci sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang sebelumnya hanya sebatas fatwah dan qhada’, selain munculnya para ulama yang membahas setiap bab, juga memiliki mazhab tersendiri yang kemudian diberi nama sesuai nama para imamnya.[29]
a)      .Faktor kemajuan Fiqih pada masa Dinasti Abbasiyah.[30]
1)      Perhatian Khalifah Dinasti Abbasiyah terhadap fiqih dan fuqahah
2)      Perhatian dan semangat tinggi untuk mendidik para penguasa dan keturunannya dengan pendidikan Islam
3)      Iklim kebebasan berpendapat
4)      Maraknya diskusi dan debat ilmiyah di antara para fuqaha’
5)      Banyaknya permasalahan baru yang muncul
6)      Akulturasi budaya dengan bangsa-bangsa lain
7)      Penulisan ilmu dan penerjemahan kitab
b)      Sumber tasyri’ pada masa Dinasti Abbasiyah
Sumber tasyri’ pada masa Dinasti Abbasiyah lebih luas dibanding dengan zaman sebelumnya. Ada sumber yang telah disepakati ada juga sumber yang masih diperdebatkan di antara para fuqha. Di anatara sumber yang disepakati adalah Alqura’an dan sunnah. Adapun ijma’ dan qiyas sebagian besar fuqaha menganggapnya sebagi hujjah dalam menentukan hukum syar’i.
Di antara sumber-sumber hukum yang masih di perdebatkan adalah; Istihsan, al-mashlahah al-mursalah, al-istishab, saddu adz-dzara’I, amal penduduk Madinah, pendapat sahabat, ‘urf dan syariat sebelum kita.[31]
       c.            Fase Taqlid dan Kejumudan
                     1.         Fase Taqlid
Secara bahasa, kata taqlid berasal dari kata qallada- yuqallidu- taqlidan yang mengandung arti mengalungi menghiasi, meniru, menyerahkan, atau mengikuti. Sementara itu pengertian taqlid secara istilah adalah mengikuti pendapat seseorang faqih atau imam tanpa mengetahui sumber hukumnya. Seseorang yang bertaqlid, ia seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid. Ada juga salah satu pendapat para ahli tentang taqlid yakni yang di nyatakan oleh imam Al- Ghazali ia menyatakan bahwa taqlid adalah mengamalkan suatu pendapat tanpa ada landasan hujjah syariat lalu mengikuti suatu pendapat tanpa mengetahui hujjah nya.[32]
Periode ini dimulai sejak pertengahan abad keempat hijriah sampai runtuhnya Baghdad (656 H), yaitu periode stagnasi atau kemandekkan fikih, fuqoha’ pada periode ini cenderung kepada taqlid, mengingat sebagai seorang fuqoha’ semestinya mereka dapat lebih mengembangkan diri dan tidak terikat oleh madzhab tertentu, akan tetapi hanya terikat oleh teks-teks didalam Qur’an dan Hadits, yang dari keduanya semestinya mereka dapat mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap problematika yang dihadapi. Hanya saja, spirit berijtihad mereka semakin melemah, bahkan tidak sedikit yang merasa tidak mampu untuk berijtihad, meski kemampuan dan persyaratan dalam berijtihad telah dimiliki. Hal demikian mengakibatkan propaganda taqlid madzhab semakin berkembang dikalangan fuqoha’, dan pintu ijtihad semakin tertutup rapat.[33]
Ada beberapa faktor yang mengakibatkan demikian, diantaranya adalah:
1)      Lemahnya perhatian dan penghargaan kesultanan Abbasiyah terhadap fikih dan fuqoha’ yang mengakibatkan fikih tidak berkembang karena melemahnya spirit fuqoha’.
2)      Madzhab-madzhab fikih telah terbukukan secara sistematis, sehingga memudahkan fuqoha’ lain dalam menyimpulkan hukum, tanpa berijtihad kembali.
3)      Menurunnya kepercayaan diri para fuqoha’, sehingga mereka merasa tidak mampu untuk melakukan aktifitas ijtihad.
Ketika pintu ijtihad telah tertutup dan propaganda taqlid semakin berkembang, fuqoha yang mencoba untuk melakukan aktifitas ijtihad akan dituduh perusak agama, karena otoritas ijtihad dianggap hanya dimiliki ulama salaf sebelumnya, fuqoha’ hanya diperbolehkan mendalami ushul-ushul fikih madzhab, tanpa diperbolehkan berijtihad. Padahal sejatinya ijtihad masih mungkin dilakukan siapa saja dan kapan saja, selama persyaratan-persyaratan yang diperlukan terpenuhi. Meskipun demikian, fuqoha’ pada periode ini banyak memberikan kontribusi untuk kemajuan dan kematangan fikih madzhab yang diikuti, diantaranya sebagaimana berikut:
1)      Mengidentifikasi ‘illat dari hukum-hukum yang dirumuskan oleh imam-imam dalam madzhab mereka.
2)      Mengekstrak kaidah-kaidah istinbath dari madzhab yang mereka ikuti untuk mengetahui metodologi ijtihad yang digunakan imam-imam madzhab.
3)      Tarjikh (pemilahan dan pengunggulan) pendapat-pendapat imam madzhab.
4)      Sistemasi fikih, yaitu sistemasi hukum-hukum yang telah terumuskan, penjelasan abstraksi hukum-hukum didalamnya, mensyarah dan mengomentari hukum-hukum yang telah tertulis, dengan menyebutkan pijakan dalil yang dipakai untuk berijtihad oleh imam madzhab.[34]
Faktor kemunculan taqlid, di antaranya adalah sebagai berikut:[35]
1)      pembukuan kitab Mazhab
2)      fanatisme mazhab
3)      jabatan hakim
4)      ditutupnya pintu ijtihad.
                     2.         Fase Kejumudan
Periode ini di mulai sejak tahun 656 jijriah, ketika kota Bagdad jatuh ke tangan tentara Mongol dan berakhir pada abad ke-13.
                          1.         Kondisi Fiqh Dan Kontribusi Fuqaha.
Pada era ini kondisi fiqh Islam sangat buruk sekali bahkan mengalami kemunduran dan kejumudan. Di jaman generasi pertama para fuqaha sibuk menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad akan tetapi pada masa ini para ulama sudah beralih menjadi taqlid buta. Padahal taqlid seperi ini adalah taqlid yang di larang karena taqlid ini adalah memahami suatu hal dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran Al-qur’an dan al- hadits seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangn dengan al-Qur’an dan hadits.[36]
Mereka tidak hanya melakukan taqlid mutlaq akan tetapi semangat menulis buku juga menurun sehingga hasil karya ilmiah para fuqaha juga sangat minim dan hanya terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab pendahulu lalu di hafal dan di kaji, jauh dari ijtihad dan hanya membuat beberapa penjelasan singkat. Dan adapun mengenai usaha yang di lakukan para fuqaha pada periode ini adalah mengenai penulisan matan (teks) dan penulisan syarh (penjelasan).
                          2.         Dampak kejumudan terhadap fiqih Islam
Kejumudan yang menimpa fiqh Islam sepanjang perjalan periode ini telah memberikan dampak yakni sebagai berikut :
a.       Ketidak berdayaan fiqh Islam untuk menjawab segala persoalan yang muncul.
b.      Banyaknya karya-karya yang sulit untuk di fahami , dan adanya aturan-aturan fiqh mazhab sehingga membuat para pelajar tidak mampu untuk menunjukkan kemampuan mereka sendiri, yang pada akhirnya tidak ada pembaharuan dan penemuan baru.
c.       Masyarakat dan para penguasa sebagian negeri Islam menjadi berpaling dari fiqh Islam dan memakai konsep undang-undang konvensional sebagai urusan peribadi dan pemerintahan.[37]
      d.            Fase Kebangkitan Hukum Fiqh
Periode perkembangan Islam dikenal juga dengan "Periode Kebangkitan Islam". Periode ini terjadi pasca kemunduran Islam pada periode pertengahan, terutama sejak mundurnya tiga kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Safawi di Persia, Kerjaan Mughal di India dan Kerajaan Turki Utsmani di Turki. Periode kebangkitan Islam ini ditandai dengan munculnya pemikiran dan gerakan pembaharuan dalam dunia Islam.
                          1.         Pembahasan Fiqih Islam
Bermulanya zaman ini pada akhir tahun ketiga belas Hijirah ketika zaman pemerintahan kerajaan Utsmaniah. Pada ketika itu, kerajaan Uthmaniah telah menggunakan fiqh sebagai satu undang-undang dan dijadikan dalam bentuk akta dan amandemen. Para hakim menggunakannya sebagai rujukan di dalam menjalankan proses penghakiman. Ia dijadikan sebagai ganti kepada kaedah lama yaitu dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqh di dalam mazhab yang satu. Tugas ini diberikan kepada segolongan ulama besar diketuai oleh Menteri Keadilan untuk membentuk satu undang-undang dalam urusan peradaban. Pekerjaan  tersebut diselesaikan oleh pihak Lajnah pada tahun 1285-1293 H, bersamaan tahun 1869-1876 M. Para ulama telah menyusun 1851 akta yang terkandung di dalam 16 buku yang diambil daripada fiqh Hanafi dengan memilih perkara yang terbaik seiring dengan perubahan zaman dan juga yang mendatangkan kebaikan kepada manusia. Himpunan akta-akta dinamakan ini sebagai Majallah al-­Ahkam al-’Adliah dan dijadikan sebagai perlembagaan negara. Ia digunakan pada zaman pemerintahan Kerajaan Utsmaniah sehingga dihentikan penggunaannya selepas kejatuhan kerajaan Utsmaniah. Majallah ini dibagi kepada beberapa fasal seperti berikut; Jual beli, sewaan, kafalah, hiwalah, pajak gadai, amanah, hibah (anugerah), rompak dan pencurian, paksaan, syuf’ah, jenis-jenis syarikat, wakalah, sulh (rundingan), Iqrar, dakwaan, keterangan, dan kehakiman.
Ada zaman ini para ulama’ memberikan perhatian yang sangat besar pada fiqh Islam baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji sehingga fiqh Islam bisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan ulama’ apabila kita ingin melihat kebangkitan fiqh Islam pada zaman ini dapat kita rincikan sebagai berikut:[38]
a)      Memberikan perhatian khusus terhadap kajian madzhab-madzab utama dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui dengan tetap mengedepankan prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus antara satu madzhan dengan madzhab yang lain.
b)      Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh yang tematik (terperinci).
c)      Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh komparasi (perbandingan antara madzhab fiqh islam)
d)      Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqh.
                          2.         Kodifikasi Hukum Fiqh
Yang dimaksud dengan kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor. Dan jika ada masalah maka setiap masalah akan dirujuk pada materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi kata putus dalam menyelesaikan perselisihan.
Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan berikut:
a)      Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim member keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi undang-undang tertentu  dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan yang kontra.
b)      Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hokum fiqh dengan susunan sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.[39]
Upaya untuk menjadikan fiqh sebagai undang-undang bukan sesuatu yang baru terjadi selama ini. Upaya tersebuut sudah muncul sejak awal abad kedua hijriah ketika Ibnu Muqofa’ menulis surat kepada khalifah Abu jafar Al-Mansur agar undang-undang Negara diambil dari Al-Quran dan Sunnah dan ketika tidak ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat.



B.     AL-QUR’AN DAN HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM (FIQIH)
       1.       Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Pembahasan sumber-sumber Syariat Islam, termasuk masalah pokok (ushul) karena dari sumber-sumber itulah terpancar seluruh hukum/syariat Islam. Oleh karenanya untuk menetapkan sumber syariat Islam harus berdasarkan ketetapan yang qath’i (pasti) kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni).
Allah SWT berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“(Dan) janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya.” (QS. Al-Israa: 36)
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إَنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus: 36)
Kata “sumber” dalam hukum fiqh adalah terjemahan dari lafaz مصدر, jamaknya صادر. Lafaz itu hanya terdapat dalam sebagian literature kontemporer sebagai ganti dari sebuah dalil (الدليل) atau lengkapnya الأدلة الشرعية. Sedangkan dalam literature klasik, biasanya digunakan adalah dalil atau adillah syar’iyah, dan tidak pernah digunakan mashodir al-ahkam al-syari’ah. Mereka menggunakan mashdar sebagai ganti adillah dengan beranggapan bahwa kedua kata itu sama artinya.
Bila dilihat secara etimologis, maka akan terlihat bahwa kedua kata itu tidaklah sinonim. kata mashdar (sumber) dapat diartikan suatu wadah, yang dari wadah itu dapat ditemukan norma hukum. Sedangkan “dalil hukum” berarti sesuatu yang member petunjuk dan menuntun kita dalam menentuka hukum Allah SWT. Kata sumber hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan Sunnah saja, sedangkan dalil dapat digunakan untu al-Qur’an dan Sunnah, juga dapat digunakan untuk ‘ijma’ dan qiyas.[40]
Al-Qur’an atau sering pula disebut kitabullah merupakan sumber hukum utama ajaran Islam. Di dalamnya terdapat berbagai prinsip dan ajaran dasar Islam yang meliputi akidah, syariah, dan akhlak.[41]
        a.            Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi, Al-Qur’an adalah bentuk mashdar  dari kata قرأ  sepola dengan kata فعلان artinya bacaan; berbicara tentang apa yang tertulis padanya; melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata قرآن  berarti مقروء yaitu isim maf’ul (objek) dari قرأ.[42]  Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Qiyamah (75): 17-18:

Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
Menurut istilah ushul fiqih sebagai mana dikemukakan Abdul Wahab Khallaf, al-Qur’an adalah:Kalam Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan malaikat jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad Ibnu Abdullah dengan bahasa Arab dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah bagi Rasulullah dalam pengakuannya sebagai Rasul. juga sebagai pedoman ummat manusia dan sebagai amal ibadah bila dibacanya. Yang ditadwinkan di antara dua lembar mushhaf. Dimulai dengan surah Al-Fathihah dan di tutup dengan surah An-Nas, yang telah sampai kepada kita secara mutawatir baik secara tulisan atau lisan dari generasi ke generasi lain, dengan tetap terpelihara dari segala perubahan dan penggantian”. Sesuai dengan jaminan Allah dalam surah al-Hijr ayat 9:[43]

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
        b.            Kehujjahan Al-Qur’an al- Karim
Ada beberapa alas an yang dikemukakan ulama ushul fiqih tentang wajibnya berhujjah dengan al-Qur’an, di antaranya adalah :
1)      Al-Qur’an itu diturunkan kepada Rasulullah secara mutawatir dan ini memberikan keyakinan bahwa al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah melalui malaikat Jibril  kepada Muhammad .
2)      Banyak ayat yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu datangnya dari Allah, di antaranya adalah surah ‘Ali Imrani (3): 3:


Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.
Surah an-Nisa (4): 105:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
 Mu’jizat al-Qur’an juga merupakan dalil yang pasti akan kebenaran al-Qur’an itu datangnya Allah. Mu’jizat al-Qur’an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi yang membawa risalah Ilahi dengan suatu perbuatan yang luar biasa.[44]
Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf, alasan (efidance) bahwa al-Qur’an adalah hujjah atas ummat manusia, dan hukum-hukumnya adalah undang-undang yang harus diikuti, dikarenakan bahwa al-Qur’an itu datang dari Allah berpindah kepada orang dari Allah dengan jalan qath’i tidak terdapat keraguan mengenai kebenarannya. Adapun bukti bahwa al-Qur’an itu datangnya dari Allah ialah orang tidak sanggup mendatangkan yang seperti al-Qur’an itu.[45]
         c.            Hukum-hukum yang di kandung dalam al-Qur’an
Para ulama ushul fiqih menginduksi hukum-hukum yang dikandung Al-Qur’an terdiri atas:
                  a.            Hukum-hukum I’tiqad, yaitu hukum yang mengandung kewajiban para mukallaf untuk mempercayai Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, dan hari Kiamat.
                  b.            Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dalam mencapai keutamaan pribadi mukallaf.
                  c.            Hukum-hukum praktis yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan Penciptanya dan antara sesama manusia. Hukum-hukum Praktis ini dibagi menjadi:
1)      Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah
2)      Hukum-hukum yang berkaitan dengan muamalah
3)      Hukum-hukum perorangan
4)      Hukum-hukum perdata
3)      Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah pidana
4)      Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah peradilan baik bersifat perdata atau pidana
5)      Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ketatanegaraan
6)      Hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antarnegara
7)      Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ekonomi, baik bersifat pribadi, masyarakat, maupun Negara.
           2.         SUNNAH  SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
a.      Pengertian sunnah (Hadist)
Sunnah secara etimologis kata hadist memiliki banyak arti diantaranya adalah Al-jadid (yang baru), lawan dari Al-qadim (yang lama) dan Al-khabar (kabar atau berita)[46].
Sedangkan secara terminologi, sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu hadist, ilmu fiqh dan ushul fiqh. Sunnah menurut para ahli hadist adalah seluruh yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya sebagai manusia biasa, akhlaknya, apakah itu sebelum maupun sesudah menjadi rasul. Sunnah menurut ahli ushul fiqh adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi saw berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum. [47]
b.      Pembagian sunnah
Sunnah menurut Syekh Abdul Wahab Khalaf  adalah apa yang bersumber dari rasul, perkataan, perbuatan, atau ketetapannya.[48]
Berdasarkan defenis sunnah yang dikemukakan ulama ushul fiqh diatas, sunnah yang menjadi sumber kedua hukum islam itu ada tiga macam, yaitu:
1.      Sunnah fi’liyah, yaitu perbuatan yang dilakukan nabi SAW, yang dilihat, atau diketahui dan disampaikan para sahabat kepada orang lain. Misalnya tata cara shalat yang ditunjukkan rasulullah saw kemudian disampaikan kepada sahabat yang melihat atau mengetahuinya kepada orang lain.
2.      Sunnah qauliyah, yaitu ucapan nabi saw yang didengar dan disampaikan seseorang atau beberapa sahabat kepada orang lain. Misalnya sabda rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah:
لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca surat al-fatihah (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).
3.       Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan nabi Muhammad saw tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegahnya. Sikap diam dan tidak mencegahnya Nabi saw ini menunjukkan persetujuan Nabi saw.[49]
c.       Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam
Seperti kita ketahui bersama bahwa fungsi Nabi Muhammad adalah untuk Menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an. Oleh karena sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an masih dalam bentuk garis besar yang secara amaliah belum bisa dilaksanakan, maka dalam hal ini penjelasan hadist dapat dibutuhkan. Dengan demikian fungsi hadist yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Quran.
Bila Al-Quran disebut sebagai sumber asli bagi hukum fikih maka sunnah disebut sebagai bayani. Pada prinsipnya hadis Nabi yang berfungsi sebagai bayan (penjelas) terhadap Al-Qur’an. Akan tetapi dalam melihat berbagai macam penjelasan nabi dan berbagai rgam ketentuan yang dikandung oleh suatu ayat maka interpretasi tentang bayan tersebut oleh ulama yang satu berbeda denagn ulama lainnya.[50]
Sebenarnya bila dicermati secara teliti, akan jelas bahwa apa yang ditetapkan oleh hadist itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung oleh al-quran secara terbatas. Umpamanya Nabi mengharamkan daging babi dan bangkai, kemudian Nabi menyebutkan haramnya binatang buas. Secara lahiriyah ketetapan Nabi itu adalah hal yang baru dan tidak disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an, tapi larangan itu bisa dipahami sebagai penjelas terhadap larangan Allah memakan sesuatu yang kotor. Jadi secara sepintas sepertinya pelarangan memakan bnatang buas adalah lanjutan atau tambahan oleh nabi namun hal itu tidak lain adalah penjelasan dari ayat lain yang mengharuskan memakan hanya dari makanan yang baik-baik saja.
Sekiranya hadist Nabi yang berkedudukan sebagai sumber sejarah, niscaya perhatian ulama terhadap penelitian keshahihan hadist akan lain dari pada yang ada sekarang ini. Kedudukan hadist, menurut kesepakatan mayoritas ulama adalah sebagai salah satu sumber ajaran islam.[51] Akan tetapi, terdapat juga sekelompok kecil dan kalanagn “ulama” dan umat islam telah menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran islam mereka ini disebut dengan inkar sunnah.
Pada zaman Nabi belum atau tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa telah ada dari kalangan umat islam yang menolak hadist sebagai salah satu sumber ajaran islam. Bahkan pada masa khulafa Ar-rasyidin dan Bani Umyyah belum terlhat jelas adanya kalangan umat islam yang menolak hadist sebagai salah satu sumber ajaran islam. Mereka yang berpaham inkar sunnah baru muncul pada awal masa ‘Abbasiyah mereka juga disebut dengan munkir as-sunnah.
Adanya kelompok yang menolak hadis itu diketahui melalui tulisan-tulisan al-syafi’i dan mereka dibagi menjadi 3:
1)      Golongan yang menolak seluruh sunnah
2)      Golongan yang menolak sunnah, kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan denagn petunjuk Al-qur’an.
3)      Golongan yang menolak sunnah yang berstaus ahad.
Dua golongan yang disebutkan pertama sekali, sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi satu karena kedua-duanya sama-sama menolak kewajiban-kewajiban yang timbul dari hadist.cukup banyak dalil yang dikemukakan oleh pengingkar hadist ini, baik berupa ayat Al-qur’an maupun interpretasi terhadap ayat itu sendiri.
Selanjutnya, menurut kelompok ketiga, yakni kelompok yang mengingkari hadist ahad sebagai hujjah mengatakan bahwa dalam menerima suatu berita mestilah dengan suatu kehati-hatian. Hal itu akan didapat hanyalah melalui suatu pengetahuan benar yang bersumber dari Al-qur’an, hadis yang disepakati, dan kesepakatan seluruh manusia, seperti shalat dzuhur itu empat raka’at.
MAKALAH METODOLOGI TAFSIR; pengertian metode dan metodologi, sumber-sumber tafsir dan urgensi tafsir al-qur’an

MAKALAH PENAFSIRAN AL-QUR’AN; pengertian, ilmu tafsir, perbedaan ilmu tafsir dan ilmu al-qur’an, peran bahasa arab dalam penafsiran al-qur’an

MAKALAH AL-QUR’AN; pengertian, nuzul al-qur’an, ayat-ayat pertama dan terakhir, kodefikasi al-qur’an pada zaman nabi, mushaf utsmani




                                                                   BAB III              
PENUTUP
     I.            Kesimpulan
Turunnya sya’riat dalam arti proses munculnya hukum-hukum syar’iyah hanya terjadi di masa kenabian. Masa kenabian adalah suatu masa dimana Nabi Muhammad SAW masih hidup dan para sahabat yang bermula dari turunnya wahyu sampai wafatnya Nabi Muhammad SAW. Masa ini merupakan masa pertumbuhan dan pembentukan fiqih, suatu masa turunnya syari’at islam dalam pengertian yang sebenarnya.
Dalam masa kenabian ini kita dapat mengetahui pembagian periode tasyri’ pada periode Makkah dan periode Madinah yang keduanya saling melengkapi. Serta mengetahui sumber-sumber yang digunakan pada waktu itu. Pada masa kenabian pun Nabi Muhammad SAW tidak melarang adanya ijtihad untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an dan Sunnah.
Setelah itu berlangsunglah perkembangan munculnya fiqh sesuai kejadian dan ijtihad  sahabat, mujtahidin dimasa tersebut. Demikianlah makalah yang bisa kami susun, kritik dan saran kami harapkan.
Periodesasi hukum Islam diklasifikasikan beberapa fase, diantaranya fase pendirian daan pembentukan hukum Islam, fase pengembangan dan penyempurnaan hukum Islam, fase taqlid dan kejumudan, dan fase kebangkitan Islam.
Sumber hukum yang disepakati oleh jumhur ulama adalah AlQur’an dan Hadits sebagai dustusi atau pedoman hidup manusia.
  II.            Saran
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, kiranya ada kritikan dan saran yang membangun dari pembaca dan terutama dari dosen pembimbing mata kuliah Studi Islam Komprehensif untuk lebih baiknya makalah kami kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
As-Sayis, Syeikh Muhammad Ali, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam (Terj. Dedi Junaedi dan Hamidah), Jakarta: Akademika Pressindo, 1996
Faruq, Kemal A.,  Islamic jurisprudence, Delhi: Adam Publisher and Distributor, Shandar Marke, Chitli Qabar, 1994
Firdaus, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam, Rawamangun: Zikrul Hakim, 2004
Fyzee, Asaf A.A,  Outline of Muhammad Law, India: Oxford University Press, 1948
Habi Ash-Shidiqie, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967
Jaih Mubarok, Sejarah  dan Perkembangan Hukum Islam, Rosdakarya, 2000
Khallaf, Abdul Wahhab, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta, PT RAJA Grafindo Persada, 2002
Khallaf, Abd. Wahab Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul  Fiqh), Jakarta: PT Rajagrapindo Persada, 2002
Khalil, Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri. Cet Ke- 1 Jakarta : Amzah, 2009
Nasution, Harun,  Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid II Jakarta: UI-Press, 1986
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, 199
Rasyad Hasan Khalil, Traikh Tasyri’ Sejarah Legitimasi Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2009
Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam (Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia) , Bandung: Pustaka Setia, 2007
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh jilid I, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997
Uman, Khairul, Achyar Aminudin. Ushul Fiqh II. Cet Ke- 1. Bandung : Cv. Pustaka Setia, 1998





                [1]Kemal A. Faruq, Islamic Jurisprudence, (Delhi: Adam Publisher and Distributor, Shandar Marke, Chitli Qabar, 1994), h. 21-29
                [2]Syeikh Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam (Terj. Dedi Junaedi dan Hamidah),  (Jakarta: Akademika Pressindo, 1996), h. 11
                [3]Jaih Mubarok, Sejarah  dan Perkembangan Hukum Islam, (Rosdakarya, 2000), h. 45
                [4]Rasyad Hasan Khalil, Traikh Tasyri’ Sejarah Legitimasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 34
                [5]Ibid.
                [6]Rasyad Hasan Khalil, Traikh Tasyri’….., h. 35
                [7]Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, Akademika Pressindo, 1996), h. 13-14
                [8]Ibid., h. 14
                [9]Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, PT RAJA Grafindo Persada, 2002), h. 9
                [10]Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan…..., h. 16-17
                [11]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’…….., h. 43
                [12]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’…….., h. 47-48
                [13]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’…….., h. 48-51
                [14] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’…….., h. 53-56
                [15]Asaf A.A Fyzee, Outline of Muhammad Law, (India: Oxford University Press, 1948), h. 33
                [16]Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia) , (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 68
                [17]M. Ali As-Sayasi, Sejarah Pembentukan......., h. 58
                [18]Harun Nasution,  Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid II (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 111
                [19]Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam……., h. 70-71
                [20]Ibid
                [21]Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam……., h. 72
                [22]Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam……., h. 73
                [23]Habi Ash-Shidiqie, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 69
                [24]Ibid
                [25]Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam……., h77-78
                [26]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ …….., h. 77
                [27]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ …….., h.84
                [28]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ …….., h. 101
                [29] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ …….., h. 102
                [30]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ …….., h. 103-109
                [31]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ …….., h. 114-115
                [32] http://kurniasulubere.blogspot.com/2016/05/fase-taqlid-dan-kejumudan.html/23/10/2018
                [33]Ahmad Lukman Fahmi, Tarikh Tasyri’; Sekilas perjalanan Fiqh Islam, (Makalah ini disampaikan pada kajian mingguan Metodologi Madzhab Fikih yang diadakan oleh Lakpesdam PCINU Sudan), h. 7
                [34] Ibid 
                [35]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’……., h. 119-121
                [36]Khairul Uman & Achyar Aminudin. Ushul Fiqh II. Cet Ke- 1. (Bandung : Cv. Pustaka Setia, 1998), h. 155
                [37]Rasyad Hasan Khalil,  Tarikh Tasyri, Cet Ke- 1 (Jakarta : Amzah, 2009) , h. 128
                [38]https://enamardianingsih.wordpress.com/2013/11/09/sejarah-perkembangan-fiqih-makalah-fase-fase-perkembangan-fiqih/23/10/18
                [39]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, ……, h. 134-135
                [40]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid I, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 43
                [41]Firdaus, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam, (Rawamangun: Zikrul Hakim, 2004) , h. 16
                [42]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid I….., h. 46
                [43]Abd. Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul  Fiqh), (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada, 2002) , h. 21-22
                [44]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos, 1997), h. 27-28
                [45] Abd. Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul  Fiqh), (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada, 2005) , h .19
[46]Endang Soetari, Ilmu Hadist, (Bandung: Amal Bakti Press), cet.2, 1997, hal. 1
[47] Nasrun Haroen, Ushhul Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 38.
[48] Syekh Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2005), hal. 35.
[49] Nasrun Haroen, Op. Cit, hal. 39.
[50] Endang Sotari, Op. Cit. Hal 77.
[51]Ali Sayis, Nasy’at Al-Fiqh  Al-ijtihady Wa At-Waruhu, (t.t Silsilat Aj-Buhus Al-Islamiy, 1970 M), hal .57.


Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment