BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa secara sedehana adalah
sekumpulan bunyi yang mengandung makna. Oleh karena itu, hal utama dari kajian
bahasa pada dasarnya adalah hubungan antara lafaz dan maknanya. Mengetahui
hubungan lafadz dan makna menjadi kebutuhan dasar, karena hubungan lafaz dan
makna adalah bagian dari problematika pemikiran manusia paling dasar dan tidak
dapat dimonopoli oleh ilmu bahasa saja.
Tema tentang hubungan lafaz dan
makna berada pada posisi dimana berbagai disiplin ilmu membutuhkannya sehingga
kajian ini dalam banyak aspeknya bersentuhan dengan para pakar dari berbagai
disiplin ilmu seperti pakar bahasa, budaya, fuqaha, filosof, sosial, psikologi,
antroplogi, hingga praktisi hukum dan politisi. Disamping itu kajian tentang
hubungan lafaz dan makna merupakan dasar dari proses interaksi antar manusia.
Demikian pentingnya mengetahui
hal-hal yang berkaitan dengan lafaz dan makna serta mengingat luasnya cakupan
kedua kajian itu, maka dalam tulisan ini penulis mencoba membatasi permasalahan
terkait hanya pada hubungan antara lafaz dan makna. Namun, sebelum sampai pada
pembahasan sentral tulisan ini, hubungan lafaz dan makna, tentunya penulis juga
memuat bahasan-bahasan lain yang berkaitan dengan lafaz dan makna.
Dunia adalah tempat dimana manusia
orang-orang berinteraksi dengan sesamnya menggunakan kaidah berbahasa yang
berbeda-beda sesuai ruang lingkupnya (tempat dimana mereka tinggal)
masing-masing. Untuk melakukan reralasi dan interaksi, tentunya manusia
menggunakan akal fikiran sebagai alat jembatannya. Maka, manusia dengan
fikirannya merupakan isi dari alam ini. Salah satu fungsi akal dalam kehidupan
manusia tiada lain sebagai petunjuk jalan guna memilih yang bermanfaat dan
meninggalkan yang mudharat.
Selain dari itu, sebagai manusia
yang ber-agama, Islam sangat menjunjung tinggi akal pikiran supaya benar-benar
mengarungi hidup ini dengan berlandaskam nalar ilmiah yang memiliki akurasi
data yang baik dan benar. Sehingga, ditemukan pemahaman dalam bertindak dengan
benar-akurat-lengkap. Disiplin ilmu berfikir melalui salah satu cabangnya,
memberikan jalan keluarnya dengan istilah logika yang juga banyak dikenal di
dunia Islam dengan istilah “mantiq”.
Ilmu mantiq, bagi pikiran, adalah
sebagaimana halnya Ilmu “Nahwu” bagi lisan, artinya Ilmu Mantiq digunakan
sebagai alat berpikir agar jangan sampai cara berpikir kita kliru, selain itu,
digunakan untuk membuka pengertian yang rumit sama halnya dengan ilmu Nahwu
digunakan sebagai alat untuk berbicara, menyatakan sesuatu dengan lisan, jangan
sampai cara pengucapannya itu kliru.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian Lafadz dan
Pembagiannya ?
2.
Apa pengertian makna dan apa saja
jenisnya ?
3. Apa
Problematika terhadap Lafadz dan Makna dalam Kajian Dilalah ?
4.
Hubungan Lafaz dan Makna ?
C.
Tujuan
1. Untuk
Mengetahui Pengertian dan Pembagian Lafadz
2. Untuk
Mengetahui Pengertian Makna dan Pembagiannya
3. Untuk
Mengetahui Problematika terhadap Lafadz dan Makna dalam Kajian Dilalah
4. Untuk
Mengetahui Hubungan Lafaz dan Makna
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN DAN
PEMBAGIAN LAFADZ
Secara singkat, Lafadz adalah
ungkapan yang terdiri dari salah-satu huruf hijaiyah.[1]
Sedangkan lafadz dalam bahasa Indonesia memiliki mengejaan bunyi hampir beda,
yaitu ‘Lafal’ adalah ungkapan atau metode pengucapan.[2]
Sementara di lain kamus, lafadz adalah cara sekelompok orang dalam suatu
masyarakat bahasa mengucapkan bunyi bahasa.[3]
Istilah Lafadz, berasal dari bahasa
Arab dan yang diartikan sebagai “kata” dalam ejaan bahasa Indonesia, seperti
kata tanah, pohon, air dan lain-lain. Dari segi wujud/bentuk bangunannya, kata
terbagi menjadi dua bagian: Mufrad dan Murakkab.
1.
Lafadz Mufrad
Lafadz Mufrod
yaitu, هو ما ليس له جزء يدل دلالة مقصودة
على جزء المعنى المراد منه (kata yang tidak mempunyai
bagian yang tidak menunjukkan kepada penunjukkan yang dimaksud oleh bagian
makna yang tidak dikehendakinya).[4]
Lafadz Mufrad
terdiri dari dua kata yaitu, ‘Lafadz’ dan ‘Mufrad’. Lafadz artinya ‘kata-kata’, sedangkan Mufrad
artinya ‘satu kata’. Dalam istilah Ilmu Mantiq, Lafadz adalah kata-kata yang
tidak mempunyai bagian, yang masing-masing bagian itu menunjuk kepada makna
yang dikandungnya sendiri.
a)
Lafadz Mufrad dari segi bentuknya
Dari segi bentuknya, Lafadz Mufrad terbagi
empat:
1)
Lafadz yang tidak memiliki bagian
suku kata sama sekali, misalnya Lafadz yang terdiri dari satu huruf. Contoh;
huruf wau, atau ba’ (bahasa arab), I (bahasa inggris), dll.
2)
Lafadz yang memiliki bagian suku
kata, tetapi jika dipisah, bagian itu tidak mempunyai arti sama sekali. Contoh;
Kha dalam kata ‘Khair’, dll.
3)
Lafadz yang mempunyai bagian kata
(tersusun dari dua kata atau lebih) dan menunjukkan satu arti/maksud. Contoh;
kata “Abdullah” (sebuah nama). Kata ‘Abdu’ mempunyai arti tersendiri, yaitu
(seorang hamba), sebagaimana juga kata ‘Allah’. pengertiannya dalam hal ini
adalah penggabungannya, bukan saat terpecah/terpisah, karena yang dimaksudkan
dengan “Abdullah” adalah sebuah nama (yaitu, nama satu orang saja, bukan Abdu
dan atau bukan Allah).
4)
Lafadz yang memiliki bagian dan
dapat menunjukkan sebuah arti, tetapi artinya bukan yang dimaksud. Contoh;
Hayawan al-Natiq (nama seseorang). Kata hayawan dan al-Natiq memang juga
mempunyai arti semua manusia/hewan (yang berakal), tetapi bukan arti itulah yang
dimaksudkan.[5]
b)
Lafadz Mufrad dari segi jenisnya,
ada tiga:
1)
Isim
Isim adalah
lafadz (kata-kata) yang menunjukkan arti benda (kata benda).[6]
Contoh; kantor, rumah, pondok, Yudi, Zaid, atau Fatimah, dll
2)
Fi’il
Fi’il adalah
lafadz (kata-kata) yang bermakna pekerjaan (kata kerja).[7]
Contoh; membaca, makan, menulis, dll.
3)
Huruf/Adat
Huruf/Adat
adalah (menurut ilmu Nahwu) kata yang tidak dapat menunjukkan suatu arti yang
sempurna secara mandiri.[8]
Contoh; bi, min, wa, ila, dll.
2.
Lafadz
Murakkab
Lafadz
Murakkab yaitu, هو
ما يدل جزؤه دلالة مقصودة على جزء المعنى المقصود (kata yang
bagiannya menunjukkan arti yang dimaksud oleh bagian yang terkandung dalam kata
tersebut).[9]
Lafadz
Murakkab terdiri dari dua kata yaitu Lafadz dan Murakkab. Lafadz artinya
‘kata-kata’ dan Murakkab artinya tersusun atau terangkai.[10]
Jadi, lafazh murakkab artinya kata-kata yang disusun atau dirangkai baik dari
2, 3, 4, ataupun lebih dari itu.
Namun, ada
perbedaan pendapat antara Ahli Mantiq dan Ahli Nahwu tentang pengertian ini:
Ahli Mantiq melihat lafadz pada maknanya, bukan pada jumlah lafadz-nya.
Artinya, susunan lafadz yang jumlahnya lebih dari satu kata tetapi tetap
menunjukkan makna satu yang disebut sebagai Lafadz Mufrad. Seperti; meja,
kursi, Amir Syarifuddin adalah contoh lafadz mufrad. [11]
a)
Pembagian Lafadz Murakkab
Lafadz
Murakkab, dibagi menjadi dua macam: Lafazh Murakkab Tam dan Lafadz Murakkab
Naqish.
1)
Lafazh Murakkab Tam adalah
kata-kata yang dirangkai atau disusun sedemikian rupa sehingga memberi
pengertian yang lengkap. Dengan begitu, pendengar dapat dengan mudah mengerti
maksudnya. Dalam bahasa Indonesia, murakkab tam disebut kalimat efektif atau
kalimat sempurna.
Murakkab Tam,
dibagi menjadi tiga macam: Murakkab Khabari, Murakkab Insya’I dan Murakkab
Naqish
a.
Murakkab Khabari adalah murakkab tam yang isinya mungkin benar
dan mungkin juga salah (mengandung keraguan). Contoh; Si Abrori lulus ujian.
b.
Murakkab Insya’i, adalah murakkab
tam yang tidak mungkin benar dan tidak mungkin pula salah. Murakkab Insya’i ini
seperti kata perintah, kata larangan, dan kata seru.
c.
Lafazh Murakkab Naqish adalah
rangkaian kata yang belum memberikan pengertian efektif atau sempurna (kalimat
gantung). Jadi, pendengar atau pembaca sulit mengerti maksudnya.
3.
Lafazh kulliy
Pengertian
Lafadz kulliy adalah suatu lafadz yang mengandung beberapa afrad. Seperti
lafadz “Rumah” artinya mencakup segala/semua macam-macam rumah. Lafadz ini
terbagi pada beberapa bagian. Ada Lafadz Kulliy yang afradnya wujud/nyata, dan
ada yang tidak wujud/nyata atau tidak ada dalam kenyataan atau mustahil
(menurut akal atau adat).[12]
a)
Kulli Dzatiah
Lafadz kulli dzatiah adalah lafadz
yang menunjukkan kepada mahiyah (hakekat) sepenuhnya, dan kepadanya diajukan
pertanyaan ”apa dia”.
Kulli dzatiah
ini dibagi menjadi tiga, yakni:
1.
Jins, adalah kulli yang sesuai
dengan afraddari bermacam-macam hakekat yang berlawanan. Jins adalah bagian
dari mahiyah yang sama antara satu mahiyah dengan mahiyah yang menjadi tempat
bernaungdari macam-macam kulliyah yang lebih khusus.
Contoh:
Lafadz hewan menandung makna manusia,
hewan-hewan lainnya seperti kerbau, kancil, kudn dll. Sedangkan manusia,
kerbau, kancil, kuda, dll adalah hakekat makna yang lebih khusus dari hewan.
2.
Nau’, kata nau’ berasal dari bahasa
arab yang berarti ragam, jenis, macam dan sebagainya. Maksudnya adalah,
ragamnya suatu hakekat, yang berkumpul pada yang lebih umum, tetapi dibawah
kulli, seperti: manusia/insan, hakekatnya Ali, Muhammad, Umar dan lain-lain.
Nau’ sendiri dibagi menjadi dua macam:
a.
Nau’ haqiqi, adalah lafadz kulli
yang berada dibawah jins, sedang masadaqnya merupakan hakekat yang sama, nau’
haqiqi tidak ada lagi dibawahnya kecuali afrad-afrad saja.
b.
Nau’ Idhafi atau nau’ tambahan,
adalah nau’ yang jenisnya dibagi sama, seperti: tinggi, rendah pertengahan atau
nau’ yang memiliki sifat tambahanyang tida pasti yang membedakan dengan nau’
haqiqi. Dapat pula dikatakan sebagai lafadz kulli dibawah jins.
Nau’ idhafi ada tiga macam
a.
Safil, berasal dari bahasa arab,
artinya bawah. Maksudnya lafadz safil adalah lafadz kulli yang tidak ada
dibawahnya kecuali juz’inya, yakni Muhammad, Ali dll.
b.
Mutawasith, berasal dari bahasa
arab yang berarti pertengahan. Maksudnya nau’ mutasith adalah lafadz kulli yang
diatas dan dibawahnya terdapat nau’. Seperti: hewan, diatasnya ada nau’
al-nami’ sedang dibawahnya ada nau’ yaitu manusia. Demikian pula di atas nami’
ada nau’ jisim dan dibawahnya manusia.
c.
’Ali, berasal dari bahasa arab yang
artinya tinggi. Maksudnya disini lafadz ’ali adalah nau’ yang tertinggi, tidak
ada lagi nau’ diatasnya, contoh: jisim. Lafadz jisim tidak ada lagi diatasnya
ia jins Ali yakni Jauhar.
3.
Fashal, berasal dari bahasa arab
yang artinya beda, pisah atau isolasi. Maksudnya adalah dengan fashal kita
dapat membedakan hakekat sesuatu dengan hakekat lainnya yang terdapat dalam
satu jenis (jins). Dalam ilmu mantiq fashal adalah suatu sifat dari beberapa
sifat kulliyah, dimana suatu hakekat bersatu dalam satu jenis.
Fashal terbagi menjadi dua, yakni:
a.
Fashal gharib, adalah satu ciri
yang membedakandari sesuatu yang menyamainyadalam jenisnya yag dekat.
Contoh:
Lafadz
berfikir, karena ia membedakan dari yang menyamainya dalam satu jenis, yakni
hewan.
b.
Fashal baid, adalah ciri yang
membedakan dari sesuatu yang menyamainya dalam jenisnya yang jauh.
Contoh:
Lafadz merasa,
adalah lafadz baid bagi manusia yang membedakan dengan hewan.
4.
Kulli Irdhiyah
Lafadz kulli irdhiyah adalah lafadz abstrak
yang menyifati benda. Lafadz irdhiyah dibagi menjadi dua, yakni:
a.
Irdhiyah Khashah, adalah sifat
tambahan yang hanya berlaku satu dzat tertentu atau term yang menyamakan sifat
hakikat dari suatu spesia sebagai akibat dari sifat pembeda yang dimilikinya.
Contoh:
Sifat pembeda
yang dimiliki manusia adalah berfikir.dari sifat berfikir ini timbul sifat
khusus, seperti: kawin, membentuk pemerintah, adanya peradaban, pakaian, dan
mengembangkan kebudayaan. Irdhi khas (sifat khusus) adalah sifat atau sejumlah
sifat yang dimiliki secra khusus oleh hakekat-hakekat (mahiyah) yang
sama.bariyah, bakar, usman, mustafa adalah hakekat-hakekat mahiyah yang
sama.contoh:mampu berbahasa/belajar satu bahasa/beberapa bahasa.adalah irdhi
khas (sifat khusus) bagi manusia.
b.
Irdhiyah Ammah, adalah sifat
tambahan yang dapat ditemukan pada beberapa zat atau golongan.
Contoh:
Sifat melihat
pada manusia.meliahat ini juga dimiliki oleh hewan yang lain.[13]
B.
PENGERTIAN
MAKNA DAN JENIS-JENISNYA
Makna adalah arti atau maksud yang
tersimpul dari suatu kata, jadi makna dengan bendanya sangat bertautan dan
saling menyatu. Jika suatu kata tidak bisa dihubungkan dengan bendanya,
peristiwa atau keadaan tertentu maka kita tidak bisa memperoleh makna dari kata
itu.
Kata-kata yang bersal dari dasar
yang sama sering menjadi sumber kesulitan atau kesalahan berbahasa, maka
pilihan dan penggunaannya harus sesuai dengan makna yang terkandung dalam
sebuah kata. Agar bahasa yang dipergunakan mudah dipahami, dimengerti, dan
tidak salah penafsirannya, dari segi makna yang dapat menumbuhkan resksi dalam
pikiran pembaca atau pendengar karena rangsangan aspek bentuk kata tertentu.
Ada beberapa istilah yang
berhubungan dengan pengertian makna kata, yakni makna donatif, makna konotatif,
makna leksikal, makna gramatikal.
1.
Makna
Denotatif
Sebuah kata
mengandung kata denotatif, bila kata itu mengacu atau menunjukan pengertian
atau makna yang sebenarnya. Kata yang mengandung makna denotative digunakan
dalam bahasa ilmiah, karena itu dalam bahasa ilmiah seseorang ingin
menyampaikan gagasannya. Agar gagasan yang disampaikantidak menimbulkan
tafsiran ganda, ia harus menyampaikan gagasannya dengan kata-kata yang
mengandung makna denotative.Makna denotatif ialah makna dasar, umum, apa
adanya, netral tidak mencampuri nilai rasa, dan tidak berupa kiasan.
Makna
denotatif adalah makna dalam alam wajar secara eksplisit maka wajar, yang
berarti mkna kat ayang sesuai dengan apa adanya, sesuai dengan observasi, hasil
pengukuran dan pembatasan.
Makna
denotatif didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu diluar bahasa atau
didasarkan atas konvensi tertentu.
Berdasarkan
pendapat diatas, maka penulis simpulkan bahwa makna denotative adalah makna
yang sebenarnya, umum, apa adanya, tidak mencampuri nilai rasa, dan tidak
berupa kiasan. Apabila seseorang mengatakan tangan kanannya sakit, maka yang
dimaksudkan adalah tangannya yang sebelah kanan sakit.
2.
Makna
Konotatif
Sebuah kata
mengandung makna konotatif, bila kata-kata itu mengandung nilai-nilai emosi
tertentu. Dalam berbahasa orang tidak hanya mengungkap gagasan, pendapat atau
isi pikiran. Tetapi juga mengungkapakan emosi-emosi tertentu. Mungkin saja
kata-kata yang dipakai sama, akan tetapi karena adanya kandungan emosi yang
dimuatnya menyebabkan kata-kata yang diucapkan mengandung makna konotatif
disamping mkna denotatif.
Makna
konotatif adalah makna yang berupa kiasan atau yang disertai nilai rasa,
tambahan-tambahan sikap sosial, sikap pribadi sikap dari suatu zaman, dan
criteria-kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual.
Seperti kata
kursi, kursi disini bukan lagi tempat duduk, melaikan suatu jabatan atau
kedudukan yang ditempati oleh seseorang. Kursi diartikan sebagai tempat duduk
mengandung makna lugas atau makna denotatif. Kursi yang diartikan suatu jabatan
atau kedudukan yang diperoleh seseorang mengandung makna kiasan atau makna
konotatif.
3.
Makna Leksikal
Makna Leksikal
ialah makna kata seperti yang terdapat dalam kamus, istilah leksikal berasal
dari leksikon yang berarti kamus. Makna kata yang sesuai dengan kamus inilah
kata yang bermakna leksikal. Misalnya : Batin (hati), Belai (usap), Cela
(cacat).
4.
Makna
Gramatikal
Makna
gramatikal adalah makna kata yang diperoleh dari hasil perstiwa tata bahasa,
istilah gramatikal dari kata grammar yang artinya tata bahasa. Makna gramatikal
sebagau hasil peristiwa tata bahasa ini sering disebut juga nosi. Misalnya :
Nosi-an pada kata gantungan adalah alat.
5.
Makna
Asosiatif
Makna asosiatif mencakup keseluruhan
hubungan makna dengan nalar diluar bahasa. Ia berhubungan dengan masyarakat
pemakai bahasa, pribadi memakai bahasa, perasaan pemakai bahasa, nilai-nilai
masyarakat pemakai bahasa dan perkembangan kata sesuai kehendak pemakai bahasa.
Makna asositif dibagi menjadi beberapa macam, seperti makna kolokatif, makna
reflektif, makna stilistik, makna afektif, dan makna interpretatif.
Makna
asosiatif terbagi pula menjadi 5 macam yaitu :
a.
Makna Kolokatif
Makna
kolokatif lebih berhubungan dengan penempatan makna dalam frase sebuah bahasa.
Kata kaya dan miskin terbatas pada kelompok farase. Makna kolokatif adalah
makna kata yang ditentukan oleh penggunaannya dalam kalimat. Kata yang bermakna
kolokatif memiliki makna yang sebenarnya.
b.
Makna Reflektif
Makna
reflektif adalah makna yang mengandung satu makna konseptual dengan konseptual
yang lain, dan cenderung kepada sesuatu yang bersifat sacral, suci/tabu
terlarang, kurang sopan, atau haram serta diperoleh berdasarkan pengalaman
pribadi atau pengalaman sejarah.
c.
Makna Stilistika
Makna
stilistika adalah makna kata yang digunakan berdasarkan keadaan atau situasi
dan lingkungan masyarakat pemakai bahasa itu. Sedangkan bahasa itu sendiri
merupakan salah satu cirri pembeda utama dari mahluk lain didunia ini. Mengenai
bahasa secara tidak langsung akan berbicara mempelajari kosa kata yang terdapat
dalam bahasa yang digunakan pada eaktu komunikasi itu.
d.
Makna Afektif
Makna ini
biasanya dipakai oleh pembicara berdasarkan perasaan yang digunakan dalam
berbahasa.
e.
Makna interpretatif
Makna
interpretatif adalah makna yang berhubungan dengan penafsiran dan tanggapan
dari pembaca atau pendengar, menulis atau berbicara, membaca atau mendengarkan.[14]
C.
PROBLEMATIKA
LAFADZ DAN MAKNA DALAM KAJIAN DILALAH
Bahasa,terdiri dari dua unsur
penting yaitu lafadz dan makna. Lafadz ditinjau dari sisi kebahasaan dapat
didefinisikan sebagai apa-apa yang dilafalkan dari kalimat,[15]dan
sesuatu yang terlontar dari mulut atau lisan,[16]
dan bunyi yang mengandung sebagian huruf hijaiyah. Sementara lafaz menurut
istilah para linguis adalah :
واللفظ في الاصطلاح هو ما يتلفظ به
الإنسان أو في حكمه، مهملا كان، أو مستعمل
Spesifiknya,
lafadz adalah sesuatu yang terlahir dari lisan manusia berupa ucapan yang
mengandung bunyi dan kebermaknaan. Sementara makna dapat didefinisikan sebagai
sesuatu yang terkandung dalam ucapan, isyarat, dan tanda. Makna dalam konteks
pemakaiannya sering disejajarkan pengertiannya dengan arti, gagasan, pikiran,
konsep, pesan, pernyataan maksud, informasi, dan isi.[17]
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat
dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah
beragam. Mansoer Pateda mengemukakan bahwa istilah makna merupakan istilah yang
membingungkan, menurutnya makna selalu menyatu pada tuturan kata maupun
kalimat.[18]
Dalam hal ini Ferdinand de Saussure dalam Abdul Chaer mengungkapkan pengertian
makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu
tanda linguistik.[19]
Menurut
Ferdinand de Saussure, setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari
dua komponen, yaitu komponen signifian “yang mengartikan” yang wujudnya berupa
runtutan bunyi, dan komponen signifie “yang diartikan” yang wujudnya berupa
pengertian atau konsep. Dengan demikian, berdasarkan teori yang dikembangkan
dari pandangan Ferdinand tersebut dapat dipahami bahwa makna adalah
“pengertian” atau “konsep” yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda
linguistik. Kala tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan kata atau
leksem, maka berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh
setiap kata atau leksem.
Selain itu ada
banyak pakar yang menyatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata
apabila kata itu sudah ada dalam konteks kalimat. Selanjutnya makna kalimat
baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada dalam konteks wacananya atau
konteks situasinya, seperti contoh berikut: “Sudah hampir pukul dua belas!”
Apabila
kalimat tersebut diucapkan oleh seorang ibu asrama putri terhadap seorang
pemuda yang masih bertandang di asrama itu. Maka makna kalimat tersebut adalah
“pengusiran secara halus”. Lain halnya bila kalimat tersebut diucapkan oleh
seorang guru agama ditujukan pada para santri di siang hari maka makna kalimat
tersebut adalah “pemberitahuan bahwa akan masuk waktu shalat zuhur. Satu hal
yang harus diingat mengenai makna ini, karena bahasa bersifat arbitrer maka
hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbitrer. Dalam Kamus
Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :
1.
Maksud pembicara
2.
Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian
persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
3.
Hubungan dalam arti kesepadanan
atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang
ditunjukkannya,dan
4.
Cara menggunakan lambang-lambang
bahasa.
Bloomfied dalam Abdul Wahab mengemukakan bahwa
makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas
unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Terkait dengan hal
tersebut, Aminuddin mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa
dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahsa sehingga dapat
saling dimengerti.
Perhatian terhadap dalalah lafaz dari segi
kajian untuk menelusuri makna pada dunia Barat telah dimulai semenjak
akhir-akhir abad 19 M, mulai berkembang secara bertahap pada awal abad 20 M
hingga sekarang. Pada era Filosfof Yunani sebenarnya telah ada
pemikiran-pemikiran mengenai dalalah, namun pemikiran tersebut adalah dalam
konteks filsafat bukan bahasa. Seperti Aristoteles yang membedakan antara bunyi
dan makna. Makna menurut Aristoteles harus sesuai dengan gambaran dan terletak
pada pikiran sementara bunyi hanyalah lambang.[20]
Pada dunia Arab-Islam kajian tentang dalalah
telah mendapat perhatian jauh sebelum yang dilakukan pakar-pakar Barat pada
akhir abad 19 M. Perhatian terhadap berbagai permasalahan dalalah telah dimulai
semenjak munculnya bahasan tentang problematika ayat-ayat al Quran,
kei’jazannya, tafsiran kata-kata sulitya (al-gharib) dan penetapan hukum-hukum
syariat berdasarkan al Quran itu sendiri. Para Fuqaha’ dan Ushuliyyin adalah
kelompok pertama yang disibukkan dengan urusan dalalah.[21]
Secara lebih rinci, perhatian pakar-pakar
Arab-Islam mengenai dalalah dapat dijelaskan melalui deskripsi berikut:[22]
1.
Perhatian para
pakar bahasa.
a.
Ibn Faris dalam Mu’jam al-Maqayis
yang mencoba mengikat makna parsial dan makna umum.
b.
Al Zamakhsyary dalam Mu’jam Asas
al-Balaghah yang mencoba membedakan antara makna hakiki dan majazi.
c.
Ibnu Jinni yang mencoba mencari
hubungan sebuah kata yang posisi hurufnya berbolak balik. Seperti kata Ibn
Jinni bahwa ك ل م memiliki keterkaitan
makna walau dalam berbagai susunan.
d.
Kajian-kajian seputar makna yang
menjadi bahasan utama sejumlah buku sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
2.
Perhatian para
Ushuliyyin dan Ulama kalam serta Filosof Muslim:
a.
Para ushulyyin dalam kitab-kitab
mereka menyinggung berbagai persoalan makna kata seperti tema dalalah lafaz, dalalah
manthuq, dalalah mafhum, al- taraduf, al isytirak, al-takhshish dan al taqyid.
b.
Terdapat kajian dan banyak isyarat
mengenai dalalah dalam uraian-urain al- Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd,
al-Ghazali, al-Qadhi Abd Jabbar dan para filosof mu’tazilah.
c.
Para ahli balaghah juga banyak
menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan dalah seperti kajian hakikat dan
majaz, dan kajian-kajian lainnya seputar uslub a- istifham, al-amr, dan
al-nahi.
Pakar linguis Arab mulai memberikan perhatian
yang serius pada hal seputar permasalahan lafaz dan makna dengan motifasi untuk
menjaga al-Qur’an dan kemurnian bahasa Arab. Ada dua sisi yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan kajian dalalah yang ada pada kalangan pakar
bahasa Arab, yaitu:[23]
1.
Sisi Teoritis
Yaitu kajian teoritis mengenai
hubungan kemaknawian antar mufradat. Bahasan ini adalah seputar al- Tudhad,
al-Taraduf, al-Isytirak, al-haqiqh, al-Majaz, al-Khash wa al-‘Am fi Ma’ani
al-Alfazh, dan Isytiqaq yang merupakan sarana untuk melahirkan lafaz
dalam bahasa Arab. Jika ditelusuri pada kitab-kitab induk kajian bahasa Arab
seperti al-Khashaish karya Ibn Jinni, al Shahibiy fi Fiqh al-Lughah
karya Ibn Faris, Fiqh al-Lughah wa Sir al-‘Arabiyyah karya al-Tsa’laby
dan al-Muzhir fi Ulum al-Lughah karya al- Suyuthi akan ditemukan
pembahasan yang sangat luas seputar berbagai permasalahan diatas.
Problematika yang telah dibahas
oleh pakar-pakar klasik diatas, juga menjadi sesuatu yang sangat penting hingga
zaman modern sekarang. Kebanyakan bahasan dan kajian bahasa kontemporer
berjalan berdasarkan dasar-dasar yang telah ada pada kajian klasik dengan
tujuan keterjagaan nilai-nilainya, mengcounter pihak-pihak yang berusaha
menyerang kajian ini pada dunia pemikiran bahasa kontemporer dan mempertahankan
warisan-warisan kajian klasik. Kajian klasik yang disebutkan di atas turut
mengiring kajian bahasa kontemporer yang menaruh perhatian besar pada berbagai
permasalahan yang telah disebutkan di atas. Dapat dikatakan bahwa kajian
seputar lafaz dan makna baik dari sisi kebahasaan maupun balaghah (al-
lugahwiyyah wa al-balaghiyyah) pada bahasa Arab telah ada sejak zaman klasik
dan tetap ada pada zaman modern (qadiman wa haditsan).
2.
Sisi Praktis
Yang dimaksud dengan hal ini adalah
aplikasi praktis dari kajian dilalah seperti aktivitas perkamusan yang
merupakan hal yang dominan dalam kajian-kajian kebahasaan. Hal ini dapat berupa
kajian mengenai gahrib a- Quran wa al-hadits, tafsir kebahasaan atas
lafaz-lafaznya, buku-buku mengenai hewan-hewan, tumbuhan, bahasa berbagai
lahjah, buku-buku yang berisi penjelasan mengenai lafaz-lafaz fiqh secara
kebahasaan, dan buku-buku al-dakhil dan mu’rab.
Adapun yang menjadi inspirasi dari
perekmbangan hal-hal di atas adalah al Khalil bin Ahmad al Farahidy yang telah
memaparkan makna-makna lafaz dengan baik dalam karyanya Mu’jam al‘Ain.
Kemunculan Mu’jam al-Ain diikuti oleh beberapa karya serupa lainnya seperti
al-Tahzib oleh al Azhary, al Jamhirah oleh Ibn Duraid, al-Maqayis
oleh Ibn Faris, al-Shahah oleh al Jauhary, Lisan al-Arab oleh Ibn Manzur,
dan al-Muhith oleh Fairuz Abadi.
Dalalah kemudian dibahas oleh
banyak pakar non bahasa seperti Ogden dan Richard yang melahirkan karya
berjudul The Meaning of Meaning. Dalam karya tersebut mereka mengungkap
keadaan alamiah makna dan kaitan-kaitannya.
Pendekatan paling mutakhir dalam
menganalisis makna adalah pendekatan yang diperkenalkan oleh Chomsky.
Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan analisa kebahasaan. Makna adalah
unsur dasar dalam menganalisa dan mendeskripsikan bahasa. Para penganut pendekatan
ini melakukan analisa unsur-unsur bahasa melalui analisa terhadap system bunyi
dan tata bahasa.
D.
HUBUNGAN LAFAZ
DAN MAKNA
Sebagaimana telah disinggung di
atas bahasa terdiri dari dua unsur penting yaitu lafaz dan makna. lafaz adalah
wadah dari makna, karena itulah, lafal yang baik adalah lafal yang digunakan
untuk makna yang sesuai dan tepat. Bahasa Arab sebagai suatu bahasa juga
terdiri dari lafaz dan makna, dan orang arab sangatlah teliti dalam memilih
lafaz untuk suatu makna.
Kajian tentang lafaz dan makna
dapat ditelusuri dengan memahami gagasan Plato, Aristoteles, Reisig, dan Breal
yang selanjutnya dikembangkan oleh D. Saussure, Ogden, Bloomfield, Hocket,
Pateda dan linguis-linguis kontemporer lainnya.
Plato (yang hidup pada 429-347 SM)
sudah menyinggung makna bahasa dalam Cratylus. Plato menjelaskan bahwa bunyi
bahasa mengandung makna tertentu. Aristoteles (384-322) juga membahas makna
satuan bahasa yang terkecil yang bermakna. Lebih jauh lagi, Aristoteles
menjelaskan bahwa makna kata itu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1.
Makna yang hadir dari kata itu
sendiri secara otonom (bersifat inheren)
2.
Makna yang timbul karena proses
gramatika.
Abdul Chaer menilai makna yang pertama itu adalah
sama dengan makna leksikal dan makna yang kedua adalah sama dengan makna
gramatikal. Lalu muncul perbedaan pandangan di antara para linguis
berkisar pada hubungan lambang dan yang dilambanginya. Plato, dalam hal ini
berpendapat bahwa ada hubungan yang sistematis antara lambang bahasa dengan
sesuatu yang dilambanginya. Sebaliknya, Aristoteles berpendapat bahwa tidak ada
hubungan yang sistematis antara lambang bahasa dengan sesuatu yang
dilambanginya.
Pendapat Plato yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara lambang dengan yang dilambanginya didukung data bahasa yang
berupa kata-kata yang bersifat anomatope, yaitu kata-kata yang hampir sama
dengan sesuatu yang dilambanginya. Contoh, bunyi binatang kecil pemakan
serangga yang merayap di dinding adalah cek…cek…cek... lalu binatang itu diberi
nama cecak atau cicak. Contoh lain binatang reptil yang yang hidup di batang
kayu yang bersuara tokek...tokek…tokek diberi nama tokek. Berdasarkan dua
contoh ini kita memahami bahwa memang terdapat kemiripan antara lambang bahasa
dengan sesuatu yang dilambanginya.
Pendapat Aristoteles yang menyatakan tidak ada
hubungan sistematis antara lambang dengan sesuatu yang dilambanginya juga
didukung oleh data-data bahasa. Contoh, binatang berkaki empat yang berlari
cepat, yang lazim digunakan sebagai tunggangan atau untuk menarik bendi
dinamakan kuda (oleh orang melayu), kudo (oleh orang Kerinci dan Minang), Jaran
(oleh orang Jawa), horse (oleh orang Inggris), dan farasun (oleh orang Arab).
Pandangan Aristoteles di atas tanpaknya dipengaruhi oleh pendapat yang menyatakan
bahwa bahasa itu Arbitrer (bebas/manasuka) sehingga seseorang atau sekelompok
masyarakat boleh saja menamakan sessuatu secara bebas tergantung pada
kesepakatan yang mereka inginkan.
Pada perkembangan selanjutnya ternyata
perbedaan-perbedaan pemikiran tidak hanya berkutat pada lambang dan sesuatu
yang dilambanginya, namun juga bergeser pada aspek utama bahasa, yaitu hubungan
antara lafaz dan makna.
Sesungguhnya para linguis, baik yang ada di
Barat maupun yang ada di Timur, baik yang termasuk linguis klasik maupun
modern, telah melakukan banyak pengkajian tentang bahasa terutama hal-hal yang
berkaitan dengan lafal dan makna, yang keduanya merupakan bagian terpenting
dalam bahasa. Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa lafal dan makna itu
memiliki hubungan yang kuat, karena sesungguhnya setiap sesuatu itu menurut
kelompok ini tergambar beserta kata yang menunjukkan maknanya, bahwa setiap
lafal itu diiringi dan atau selalu ada maknanya, tidak mungkin suatu lafal
terpisah dari makna atau makna terpisah dari lafalnya, dengan kata lain tidak
ada hubungan. Sementara sebagian yang lain juga berpendapat bahwa antara lafal
dan makna itu memiliki hubungan hanya saja tidak bersifat alamiyah dan kuat
seperti dikatakan oleh kelompok pertama.
Para filosuf Yunani yang terkenal dengan
pemikiran dan daya nalarnya yang tajam serta mendalam melakukan kajian tentang
bahasa, yaitu apakah ada hubungan yang erat antara lafal dan makna.[24]
Mereka merasa kagum dan heran dengan bunyi-bunyi yang diucapkan seseorang.
Bunyi-bunyi itu dikeluarkan dari kerongkongan seseorang dan dijadikan sarana
menyampaikan maksudnya dalam interaksi kehidupan bermasyarakat untuk saling
tolong menolong serta memahami satu sama lain.
Setelah banyak melakukan penelitian dan
diskusi-diskusi akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa antara lafal dan
makna terdapat hubungan yang sangat erat sebagaimana hubungan api dengan
membakar. Kuatnya hubungan lafaz dengan makna tergambar dalam tulisan Idris
Maimun, seorang guru besar ilmu bahasa Arab di Jamiah al-Sulthan Maulaya
Sulaiman, bahwa hubungan antara lafaz dan makna adalah seperti hubungan jasad
dengan ruh.
Hal ini mengarahkan kepada pemahaman bahwa
hubungan antara lafal dan makna memberikan solusi untuk mendapatkan pemahaman
atas sesuatu. Dengan demikian lafaz dan makna itu mempunyai ikatan yang kuat,
makna tidak terwujud tanpa adanya lafaz, sesuatu bentuk dalam pikiran (idea)
tidak terbentuk kecuali ketika dilafazkan dengan lafal-lafal tertentu.
Berdasarkan ini para pemikir Yunani menamakan hubungan ini dengan “al-shilah
al-Tabi’iyyah atau al-shilah al-zatiyah” (naturalism-subyektivisme).
Diantara para pemikir atau filosof Yunani yang
berpendapat dengan pendapat ini adalah Plato, Socrates dan Aristoteles. Plato
cenderung pada hubungan yang disebut dengan al-‘alaqah al-thabi’iyyah
al-zatiyyah.[25]
Socrates menyimpulkan bahwa antara lafaz dan makna mempunyai ikatan yang
alamiah-subektiv, yaitu adanya hubungan yang kuat antara lafaz dan makna. Makna
tidak akan ada tanpa ada lafaz, karena makna hanya akan terbentuk ketika
dilafazkan dengan lafaz-lafaz tertentu.
Pemikiran yang dipopulerkan oleh linguis
Yunani ini juga diikuti oleh Linguis Arab, yaitu ‘Ubbad ibn al-Shaimariy,
seorang linguis yang beraliran Mu’tazilah. Dia berpendapat bahwa hubungan
antara lafal dan makna merupakan sesuatu yang natural dan bukan merupakan
sesuatu yang ditetapkan.[26]
Namun sebagian besar linguis Arab tidak sepenuhnya berpegang pada pendapat yang
diadopsi oleh al-Shaimariy dari linguis Yunani. Pembicaraan tentang hubungan
antara lafal dan makna banyak dikaji dalam tulisan dan karya mereka. Mereka
mencoba mengaitkan antara lafaz dan maknanya dengan hubungan yang kuat, namun
tidak sampai pada tataran al-shilah al-thabi’iyyah atau al-zatiyah.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa para linguis
Arab ini mengatakan bahwa antara lafaz dan makna memiliki keterkaitan atau
hubungan yang kuat, tetapi bukan seperti yang digambarkan dalam arti hubungan
thabi’iyyah. Sedang hubungan yang dimaksud mereka itu adalah hubungan biasa (bersifat
sementara) antara lafaz dengan makna. Keberagaman pendapat para linguis sekitar
lafaz dan makna selanjutnya disikapi oleh al-Suyuthi, sebagaimana dikutip oleh
Ahmad Muhammad Qadur, dengan membagi pendapat para linguis kepada empat bagian:
a.
Makna dari lafaz melihat kepada
zatnya, atau di antara keduanya memiliki hubungan yang alamiah. Pendapat ini
didukung oleh ‘Ubbad ibn al-Shaimariy.
b.
Segala sesuatu yang menyangkut
dengan makna kata telah ditentukan oleh Allah. Pendapat ini dipegang oleh
sebagian besar muslim.
c.
Makna segala sesuatu tergantung
kepada manusia itu sendiri. Pendapat ini dipegang oleh kelompok Mu’tazilin.
d.
Pendapat terakhir menyatakan bahwa
sebagian ditentukan Allah dan sebagian lagi atas prakarsa manusia.[27]
Secara umum hubungan antara lafaz dan makna
dapat dilihat kepada 3 bagian berikut ini, yaitu:
1.
Dua kata yang berbeda dengan makna
yang berbeda pula
2.
Dua kata yang berbeda namun
memiliki arti yang sama
3.
Satu kata yang sama dan memiliki
arti yang berbeda
Hubungan ini disebut juga dengan hubungan
makna.[28]
Cakupannya adalah hubungan antara kata dengan sisi yang bermacam-macam.
Kajian-kajian seperti ini tidak serta merta muncul pada abad modern saja,
karena linguis linguis klasik Arab pun sudah mengkajinya sejak lama.
Selain sinonim, antonim, dan homonim, mereka
juga menambahkan perbedaan kata-kata yang umum kepada yang khusus dan
sebaliknya. Namun demikian pada abad modern kajian kebahasaan terus
dikembangkan dengan banyak objek seputar lafaz dan makna, seperti monosemi (
الدال ذو المدلول الواحد ), hiponim (
الإستمال أو التضمن ), sinonim ( الترادف ), antonim ( التضاد
), polisemi (تعدد المعنى
), homonim (
المشترك اللفظ ).
1.
Sinonim
Sinonim atau yang diistilahkan
dengan al-taraduf menurut Amil Badi’ Yakub adalah beberapa kata yang berbeda
tapi mempunyai makna yang sama atau sejumlah kata yang memiliki kesatuan dalam
makna.
Menurut Fromkin dan Rodman sinonim
adalah beberapa kata yang mempunyai kemiripan makna tapi bunyi pelafalannya
(sound) berbeda. Moeliono menyebutkan gejala kemiripan makna (sinonim) disebabkan
oleh sekurang-kurangnya tiga hal berikut. Pertama, kemiripan makna yang
disebabkan oleh perbedaan dialek. Kedua, kemiripan makna yang muncul dengan
laras bahasa yang berbeda. Ketiga, sinonim yang berasal dari jangka dan masa
yang berbeda. Berikut akan disajikan beberapa contoh sinonim dalam bahasa Arab.[29]
1. Kemiripan
makna yang disebabkan oleh perbedaan dialek
a. Khalaqa
(menciptakan) bersinonim dengan shana‘a (membuat)
b. Dukkân (kedai)
yang bersinonim dengan hânût (warung)
c. Badan (badan)
yang bersinonim dengan jasad (jasad)
2. Kemiripan
makna yang muncul dengan bahasa yang berbeda
a. Zaujah (istri)
yang bersinonim dengan tsawiyyah (bini)
b. Jimâ‘
(bersetubuh) yang bersinonim dengan mulâmasah (berhubungan badan)
c. Mâta (mati)
yang bersinonim dengan tuwuffiya (wafat)
3. Kemiripan
makna berasal dari jangka dan masa yang berbeda
a. Maqhâ (tempat
minum kopi) yang bersinonim dengan qahfii (kafe) - Bilâth (keraton) yang
bersinonim dengan qashr (istana)
b. Kâtib
(pencatat) yang bersinonim dengan sikirtîr (sekretaris)
2.
Antonim
Antonim adalah relasi antar makna
yang wujud logisnya sangat berbeda atau bertentangan. Contoh, benci-cinta,
panas-dingin, timur-barat, suami-istri, dan sebagainya. Bila dibandingkan
dengan sinonim, maka antonim merupakan gejala yang wajar dalam bahasa.[30]
Muhammad Ghalim menyebutkan dalam
bukunya pendapat Ibn al-Anbariy tentang perluasan makna dalam tadhad. Seperti
kata صريم yang berarti sebagian malam dengan
berkembangnya waktu menjadi sebagian waktu siang. Perluasan makna ini juga
terjadi dalam al-Qur’an, pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hatim al-Sajastaniy,
penulis buku al-Dhad, yaitu kata ظن
yang berarti يقينا kemudian شكا :
...)انها لكبيرة إلا على الخاشعين الذين يظنون(
ayat ini
bermakna pujian orang yang ragu-ragu (الشاكين) ketika bertemu dengan rabb-Nya dan makna sebenarnya adalah yakin (يستيقنون).
3.
Homonim (
المشترك اللّفظى
)
Menurut
Ramadhan Abdul Tawwab, homonim adalah satu kata sama yang mempunyai makna yang
berbeda-beda. Menurut Matthews Homonim berasal dari kata homo dan kata nim,
homo sedikitnya mempunyai dua makna. Pertama, homo yang berasal dari bahasa
latin yang bermakna ‘manusia’. Kedua, homo yang berasal dari bahasa Yunani yang
bermakna ‘sama’. Dalam kasus ini, homo yang terdapat dalam homonim berasal dari
bahasa Yunani. Sementara nim (-nym) sendiri merupakan combining form yang
mempunyai makna ‘nama’ atau ‘kata’. Jadi, homonim adalah beberapa kata yang
mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan tetapi maknanya berbeda. Homonim dalam
bahasa Arab banyak sekali dapat ditemukan. Ambil contoh kata إستوى yang dalam bahasa Arab mempunyai makna lebih dari 15 arti.
Berikut contoh homonim dalam bahasa Arab:
a.
Kata ضرب
mempunyai artî (1) berdenyut; (2) mengepung; (3) memikat; (4) menembak; (5)
memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8) menentukan; (9) mengetuk. Semua kata
dharaba yang mempunyai sedikitnya 9 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk
sama.
b.
Kata تولّ
mempunyai artî (1) berkuasa; (2) menaruh perhatian; (3) mengendalikan diri; (4)
mengerjakan; (5) mengemudikan; (6) memimpin. Semua kata تولّ
yang mempunyai sedikitnya 6 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
c.
Kata رشد
mempunyai artî (1) dewasa; (2) sadar; (3) petunjuk; (4) rasio. Semua kata رشد
yang mempunyai sedikitnya 4 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama. d)
Kata قبض mempunyai artî (1) menekan; (2) mengembalikan; (3) mengerutkan:
(4) menyempitkan; (5) melepaskan; (6) meninggalkan; (7) bersegera. Semua kata
qabadha yang mempunyai sedikitnya 7 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk
sama.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Lafaz adalah sesuatu yang terlahir
dari lisan manusia berupa ucapan yang mengandung bunyi dan kebermaknaan.
2.
Makna adalah sesuatu yang
terkandung dalam ucapan, isyarat, dan tanda. Makna dalam konteks pemakaiannya
sering disejajarkan pengertiannya dengan arti, gagasan, pikiran, konsep, pesan,
pernyataan maksud, informasi, dan isi. Makna adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan.
3.
Terkait dengan hubungan lafaz dan
makna, para linguis berbeda pendapat yang dapat dibagi ke dalam dua kelompok:
a. Kelompok yang
menyatakan bahwa antara lafaz dan makna memiliki hubungan yang kuat dan erat
seperti halnya hubungan jasad dan ruh serta hubungan api dan asap. Kelompok ini
memandang bahwa lafaz dan makna itu bersifat natural/alami (thabi’iyah)
b. Kelompok yang
menyatakan bahwa antara lafaz dan makna memang memiliki hubungan, namun bukan
hubungan yang kuat seperti apa yang dipahami kelompok pertama. Alasan kelompok
ini adalah karena bahasa itu bersifat arbitrer (bebas), maka lafaz dan makna
semestinya juga bersifa arbitrer.
4.
Secara garis besar hubungan lafaz
dan makna juga dibagi ke dalam 2 bentuk, yaitu:
a. Hubungan
sistematis yang bersifat Inheren, makna tidak terwujud tanpa adanya lafaz,
sesuatu bentuk dalam pikiran (idea) tidak terbentuk kecuali ketika dilafazkan
dengan lafal-lafal tertentu. Sebagai contoh adalah kata-kata anomatope, yaitu
kata yang mirip dengan rupa yang digambarkan. Seperti kata cecak/cicak untuk
menggambarkan binatang merayap yang berbunyi cek…cek…cek…
b. Hubungan non-sistemik
yang bersifat arbitrer. Dalam hal ini, siapa pun boleh memaknai suatu lafaz
dengan makna apapun selama itu tidak keluar dari prinsip bahasa sebagai sesuatu
yang konvensional.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Louis
Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah
wa al-A’lam, Beirut:
Dar al-Masriq, 1997
Fayiz al-Dayah, Ilmu
al-Dalalah alArabiy al-Nazariyah
wa al-Tathbiq, Dimasqa: Dar
al-Fikri al-Ma’asir, 1996
Sarwiji Suwandi, Semantik Pengantar Kajian
Makna, Media Perkasa:Yogyakarta,
2008
Mansoer Pateda, Linguistik; Sebuah Pengantar, Bandung :
Angkasa. 1998
Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003
Ahmad Mukhtar Umar, Ilmu al-Dilalah, Kuwait: Maktabah Dar
al-Arabiyyah, 1982
Abdul Karim Mujahid, al-Dalalah al Lughawiyyah ‘Inda al ’Arab
Ibrahim Anis, Dalalah al-Alfaz, Kairo: Maktabah al-Anjelo
al-Mishriyyah, 1991
Ahmad Muhammad Qadur, Mabadi’ al-Lisaniyyat, Damaskus: Dar
alFikr, 1996
http://kampusislam.com, diakses 25/11/2017, 1.00
http://kampusislam.com, diakses 25/11/2017, 1.00
[2] Pius A Partanto & Dahlan Al Barry, Kamus
Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Arkola Surabaya, 1994), hal. 394.
[5] https://sites.google.com
/site/masjidillah/pengetahuan-islam/bahasa-arab/definisi-lafadz. Html (Sabtu, 01-12-2018, 20:10)
[11] https://sites.google.com
/site/masjidillah/pengetahuan-islam/bahasa-arab/definisi-lafadz. Html (Sabtu, 01-12-2018, 20:10)
[12] https://sites.google.com
/site/masjidillah/pengetahuan-islam/bahasa-arab/definisi-lafadz. Html (Sabtu, 01-12-2018, 20:10)
[13]http://rujukanblog.blogspot.com/2016/09/ilmu-mantiq-tentang-pembahasan-dilalah.html (Sabtu, 01-12-2018,
20:10)
[14] https://www.kajianpustaka.com/2013/03/pengertian-dan-jenis-jenis-makna-kata.html (Sabtu,
01-12-2018, 20:10)
[16] Fayiz al-Dayah,
Ilmu al-Dalalah alArabiy
al-Nazariyah wa al-Tathbiq, (Dimasqa: Dar al-Fikri
al-Ma’asir, 1996), hal. 41
0 komentar:
Post a Comment