MAKALAH
‘ILMU DILALAH WAL MA’AJIM
Tentang
أنواع الدلالة
( PEMBAGIAN DILALAH
/ SEMANTIK )
Oleh:
PUTRI HARDIYANTI : 088172711
VIRA SEPTIANA : 088172712
Dosen Pembimbing:
PROF.
DR. H. MASNAL ZAJULI, M.A
KONSENTRASI PENDIDIKAN
BAHASA ARAB
PROGRAM PASCA SARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
1439 H/ 2017 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dapat diketahui bahwa kandungan
arti kata pada suatu bahasa perlu diketahui guna memahami bahasa
tersebut. Begitu juga tidak kalah pentingnya memahami makna kata itu pada saat
dikombinasikan menjadi sebuah makna frase dan makna kalimat. Semantik adalah bidang kajian linguistik yang
mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Dengan kata lain, ilmu ini merupakan ilmu yang mempelajari sistem tanda atau simbol isi dalam bahasa. Dalam bahasa Arab dikenal “ilmu
ad-dilalah”.
Dalam
kehidupan manusia bahasa adalah suatu hal yang sangat diperlukan, bukan hanya
berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga menyertai proses berfikir
manusia dalam usaha memahami dunia luar dan dalam interaksi sosial, baik secara
objektif maupun imajinatif. Untuk itu, agar bisa memahami makna dari suatu yang
diucapkan oleh seseorang diperlukan makna dari bahasa tersebut.
Ilmu
dilalah (semantik) yang berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna to
signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung
pengertian “studi tentang makna” . Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian
dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik. Seperti halnya
bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini menduduki tingkatan
tertentu.[1]
Oleh
karena itu, supaya kita bisa lebih memahami makna dari suatu bahasa / kata
dengan baik, maka perlu kiranya kita menguasai ilmu dilalah, termasuk
macam-macam atau pembagian dilalah tersebut. Para ulama memiliki pandangan yang
berbeda –beda dalam menyatakan pembagian dilalah. Namun, di dalam makalah ini
penulis mecoba menjelaskan pembagian ilmu dilalah menurut beberapa orang ulama
bahasa yang membagi dilalah (semantik) kepada empat bagian, yaitu dilalah
shautiyah (makna Fonologi / bunyi), dilalah sharfiyah (makna morfologi),
dilalah nahwiyah (makna sintaksis) dan dilalah mu’jamiyah atau ijtima’iyah.
Ilm ad-Dalalah (semantik) merupakan cabang dari tata bahasa yang
meliputi fonologi, tata bahasa, dan semantik. Semantik diartikan sebagai ilmu
bahasa yang mempelajari makna. Yakni mempelajari makna yang terkandung dalam
suatu lafal kata serta kolerasi yang meliputi sebuah makna itu sendiri.
Maksudnya hubungan dalam hal padanan makna, lawan makna, banyaknya makna, serta
yang meliputi baik dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik
itu sendiri.
Semantik mempelajari makna satuan-satuan lingual
bahasa, yaitu kata frasa, klausa, dan kalimat. Fromkin dan Rodman (1998:
155-156) menyebut kajian makna kata dan hubungan makna antar kata sebagai
semantik leksikal atau lexical semantics (makna berdasarkan kamus per kata), sedangkan kajian makna unit sintaktis yang
lebih besar dari pada kata disebut semantik frasal atau phrasal semantics (makna yang berdasarkan frase aturan gramatikal) dan semantik kalimat (sentential semantics). Oleh Cruse
(2000: 267), dua jenis semantik yang terakhir disebut semantik gramatikal (gramatical
semantics).
Dari sini terlihat, ada
dua kubu semantik, yaitu kubu semantik kata atau berdasarkan mufrodat
dan kubu sematik kalimat (berdasarkan struktur kalimat dalam bahasa). Kubu
semantik kalimat menganggap bahwa ketentuan sebuah kalimat adalah ketentuan
expresi, sedangkan kata hanyalah sebagian dari kalimat yang akan punya arti
jelas bila sudah berada dalam kalimat karena mengingat bila kata
digramatikalkan akan mempunyai arti sendiri berdasarkan keinginan orang yang
berkata. Sementara itu, kubu semantik kata menganggap kalimat bukanlah
penjumlahan dari arti kata, sebab kalimat
satu dengan yang lain akan berbeda jauh, meskipun kata-kata yang dipakai
sama persis bila urut-urutan letak kata berbeda. Berarti kubu semantik kata pada
intinya kata itu punya arti sendiri, meski penempatan kata itu berbeda-beda.
Jadi, lafal bisa
mempunyai arti banyak berdasarkan dokumentasi kamus dan akan berdiri sendiri
dan berkembang sendiri seiring perkembangan kalimat.
Dalalah atau semantik
adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna bahasa. Menurut Abdul Chaer semantik adalah bidang studi
dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa.[2]
Objek yang dibahas dalam semantik mencakup keseluruhan makna yang
terkandung dalam bahasa.
Objek semantik adalah telaah tentang makna yang
mencakup lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna
yang satu dengan yang lainnya serta pengaruh makna tehadap manusia dan
masyarakat pengguna bahasa.
Mempelajari semantik sebagai bagian dari ilmu
bahasa dapat memberikan manfaat bagi setiap mereka yang bergelut di dunia
bahasa.[3]
Sebagai pelaku bahasa, manusia tidak akan terlepas dari makna.
Pengungkapan dan penerima makna adalah karakter alami bahasa yang terdapat pada
manusia, pemahaman klasifikasi makna akan mempermudah transformasi bahasa antara
satu penutur dengan penutur yang lain.
Berdasarkan hal yang diatas, maka dalam makalah
ini pemakalah akan membahas secara spesifik tentang pembagian dalalah
atau makna dari faktor eksternal dan internal bahasa.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang akan penulis paparkan dalam makalah ini adalah tentang pembagian dilalah
yang meliputi 4 hal berikut ini :
1.
Apa
yang dimaksud dengan dilalah shautiyah?
2.
Apakah
yang dimaksud dengan dilalah sharfiyah?
3.
Apakah
yang dimaksud dengan dilalah nahwiyah?
4.
Apakah
yang dimaksud dengan dilalah mu’jamiyah atau Ijtima’iyah?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan dilalah shautiyah
2.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan dilalah sharfiyah
3.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan dilalah nahwiyah
4.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan dilalah mu’jamiyah atau Ijtima’iyah
BAB II
PEMBAHASAN
MACAM – MACAM ILM
AD-DALALAH
A. Macam-macam ad-Dalalah menurut Ibrahim Anis
Menurut Ibrahim Anis dalam buku ad-Dilalah al-Fadz menjelaskan bahwa ad-Dalalah itu terbagi kepada beberapa macam sebagai berikut: Dalalah
Shautiyah, Dalalah sharfiyah, Dalalah Nahwiyah, dan Dalalah Mu’jamiyah dan
Ijtima’iyah.
1.
Dalalah Shautiyah ( Makna Bunyi / Fonologi)
Dalalah Shautiyah adalah makna yang terkandung dalam bunyi, adapun yang
dimaksud dengan Fonologi adalah bidang bahasa yang mempelajari, menganalisis
dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi
bahasa. Secara etimologi terbentuk
dari kata fon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu.
Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek kajiannya, fonologi
dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik biasa dijelaskan
sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan
bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak.
Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa
dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.[4]
Sebagai bidang linguistik (ilmu bahasa), fonemik dan fonetik secara
praktis sulit untuk dipisahkan, karena itu setiap pembicaraan mengenai fonemik
tidak bisa terlepas dari fonetik, demikian juga sebaliknya. Namun, bagi
kepentingan penelitian , keduanya harus dibatasi karena keduanya memiliki objek
penelitian yang bisa dibedakan. Misalnya Bunyi [i] yang terdapat pada kata [intan],
[angin], dan [batik] adalah tidak sama. Ketidaksamaan bunyi huruf [i] itu merupakan sebagai
salah satu contoh objek atau sasaran studi fonetik. Dalam kajiannya fonetik
akan berusaha mendeskripsikan perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan
sebab-sebabnya. Sebaliknya bunyi huruf [p] dan [b] yang terdapat misalnya pada kata [p] dan [b] yang terdapat pada
kata[paru] dan [baru] adalah menjadi contoh sasaran studi fonemik, sebab
perbedaan bunyi[p] dan [b] itu menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan
[baru] itu.
Adapun Dilalah yang lahir dari tabi’at beberapa suara atau Fonem yang terkandung
dalam sebuah ungkapan, seperti kata تنضخ menurut pakar linguistik arab klasik kata ini
menunjukkan makna air memancar dengan kuar dan tidak beraturan jika
dibandingkan dengan kata تنضح yang
menunjukkan makna air mengalir dengan tenang dan lambat. Dengan ini kita dapat
memahami bahwa huruf خ pada contoh pertama memiliki peran
terhadap dalalah kata tersebut sehingga pendengar dapat memahami kata تنضخ
dengan makna
air memancar dengn kuat dan tidak beraturan pemahaman ini merujuk kepada
pengaruh suatu fonem atau beberapa fonem terhadap ponem yang lain dalam sebuah
perkataan yang diungkapkan.
Diantara
unsur-unsur penting yang dimiliki oleh dalalah sautiyah ini terdapat sesuatu
unsur yang dinamakan dengan النغمة الكلامية (intonasi),
unsur intonasi ini memainkan peranan penting dalam berbagai bahasa seperti
ungkapan bahasa ‘amiyah لايشخ؟ yang dapat diungkapkan dalam
berbagai intonasi tiap intonasi memiliki dalalah yang khusus. Ia terkadang
dipahami sekedar sebuah pertanyaan atau sebuah ejekan atau sebuah ungkapan
keheranan.
Unsur dari suara adalah susunan beberapa huruf yaitu suatu kesatuan huruf,
kata, dan kalimat yang belum bermakna. Level atau tingkatan suara adalah volume
bunyi dari rendah atau sedang atau tinggi dan penekanan suara dalam berbicara.
Secara realita suara dilihat dari 2 aspek yaitu aspek fonologi atau bunyi, dan
aspek fungsi suara.
Contoh level suara yang berpengaruh secara makna kata الصَّبْرُ و
الصَّبِرُ . Kata pertama pada huruf Ba’
sukun artinya sabar, sedangkan huruf Ba’
yang kedua kasroh artinya obat yang pahit. Aspek yang mempengaruhi perubahan
makna kata dalam level suara pada kata yang sama secara huruf adalah terletak
pada aspek intonasi suara. Permainan intonasi suara dalm pengucapan mempunyai
peran penting dalam perubahan makna kata. Oleh karena itu fonologi terbagi
menjadi dua yaitu:
1)
Fonetik
Adalah cabang studi
fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi
tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Kemudian menurut
urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, dibedakan adanya tiga jenis fonetik,
yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan auditoris.
Fonetik artikulatoris
disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana
mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa
serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akuistik mempelajari bunyi bahasa
sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Sedangkan fonetik auditoris
mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita.
Dari ketiga jenis fonetik ini yang paling
berurusan dengan ilmu linguistik adalah fonetik artikulatoris sebab fonetik
inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu
dihasilkan atau diucapkan oleh manusia. Sedangkan fonetik akuistik lebih
berkenaan dengan bidang kedokteran.
2)
Fonemik
Fonemik yaitu identitas fonem sebagai pembeda. Dasar
bukti identitas fonem adalah apa yang dapat kita sebut “fungsi pembeda” sebagai sifat khas fonem tersebut. Seperti
contoh tentang kata rupa dan lupa. Satu-satunya perbedaan diantara kata itu
ialah menyangkut bunyi pertama (r) dan bunyi kedua (l).
Oleh karena semua yang lain dalam pasangan
kedua kata ini adalah sama maka pasangan
tersebut disebut “pasangan minimal”, perbedaan anatara r dan l adalah apa yang
membedakan dari sudut analisis bunyi rupa dan lupa. Maka dari itu, l dan r
dalam bahasa Indonesia merupakan fonem-fonem yang berbeda identitasnya.[5]
Objek penelitian fonemik adalah fonem yakni
bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Untuk mengetahui
apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa,
biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya
dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Kalau
ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka bunyi tersebut adalah
sebuah fonem, karena dia bisa berfungsi membedakan makna kedua satuan bahasa
itu.
Fonem itu berjenis-jenis, Pater Ladefoget,
Glason mengatakan bahwa fonem setiap bahasa dapat dibagi atas; fonem segmental,
yaitu fonem yang dapat dianalisis keberadaannya.
Fonem segmental dapat dibagi menjadi vocal dan
konsonan. Yang kedua yaitu fonem suprasegmental yaitu fonem yang keberadaannya
harus bersama-sama fonem segmental.[6]
2.
Dalalah Sharfiyah ( Makna Morfologi )
Sharf merupakan salah satu cabang ilmu tata bahasa arab yang
mempelajari segala peraturan yang berhubungan dengan pembentukan kata-kata
arab, pemecahan dan perubahan bentuk kata yang membawa perubahan makna kata. Cakupan kajian dari sharf ini adalah konjugasi
kata-kata arab dari satu bentuk kata dengan segala perubahan yang terjadi dalam
proses pembentukan tersebut.
Perubahan ini pada akhirnya membawa pada
perubahan. Perubahan makna kata sharf
menurut bahasa adalah berubah atau mengubah. Mengubah dari bentuk aslinya
kepada bentuk yang lain.
Ilmu sharf disebut juga dengan morfologi. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan morfologi adalah cabang
linguistik yang mengkaji tentang morfem dan kombinasi-kombinasinya atau bagian
dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata.[7]
Akan tetapi ilmu sharf lebih dinilai lebih
bervariasi dibanding morfologi. Adapun menurut istilah, sharf adalah berubahnya bentuk asal pertama yang
berupa fi’il madhi, fi’il mudhari’, menjadi masdhdar, isim
fail, isim maful, fiil amar, fiil nahi, isim zaman, isim makan dan isim
alat. Maksud dan tujuan dari perubahan dalam sharf adalah agar memperoleh
makna atau arti yang berbeda.
Menurut Ibrahim Anis, Dilalah sharfiyah adalah satu macam dari
dilalah yang membahas tentang bentuk / shighat dan bina suatu kata. Maka dalam
sebuah kalimat sebelumnya, Mutakallim memilih kata كذّاب sebagai pengganti dari
kata كاذب karena kata yang
pertama datang dari shighat yang menurut ahli bahasa terdahulu bermakna
mubalaghah, maka kata كذّاب memberikan tambahan dalam maknanya dari pada kata كاذب , dan diambil
penambahan ini dari bentuk / shighat tersebut, maka digunakanlah kata كذّاب. Pendengar akan
memahami kemampuan dilalahnya, tidak sampai maknanya atau perkiraan maknanya
apabila mutakallim menggunakan kata كاذب .[8]
Maksud dan tujuan dari perubahan dalam sharf adalah agar memperoleh makna
atau arti yang berbeda. Dari perubahan satu bentuk kata kebentuk kata lainnya di dalam ilmu
sharf dinamakan shighat.
Dari pernyataan sebelumnya, dapat kita pahami bahwa selain dari bunyi kata
dalam memahami sebuah kata tersebut dengan baik, juga diperlukan kita mengenal
dan memahami ilmu sharaf (morfologi) dan dilalah sharfiyah (makna sharaf /
morfologi). Karena sebuah kata akan melahirkan shighat yang beragam, dan setiap
shighat kata tersebut, mempunyai arti yang berbeda-beda, walaupun asal katanya
sama.
3. Dalalah Nahwiyah ( Makna Sintaksis)
Secara umum ada banyak batasan sintaksis yang telah dikemukakan oleh
linguis, sintaksis sebagai telaah tentang kaidah-kaidah yang mengatur cara
kata-kata dikombinasikan untuk membentuk kalimat dalam satu bahasa. Tidak jauh
beda dengan sintaksis dalam versi arab yang mengalami penamaan sebagai ilmu
nahu, yaitu ilmu yang membahas tentang
kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengetahui hukum kalimat Arab, keadaan
susunan i’rab dan binanya.
Kata sintakis berasal dari kata Yunani (sun: “dengan” dan tattein : menempatkan).
Jadi kata sintaksis secara
etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata
atau kalimat.[10]
Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antar kata dalam tuturan.
Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi morfologi menyangkut struktur
gramatikal di dalam kata. Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah
frase, klausa dan kalimat. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan
orang dalam bentuk kalimat. Ramlan mengatakan bahwa sintaksis adalah bagian
atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat,
klausa, dan frase.[11]
Dalam tataran sintaksis kata merupakan satuan
kecil yang secara hierarki menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang
lebih besar yaitu frase. Maka disini kata hanya dibicarakan sebagai satuan
terkecil dalam sintaksis, yaitu dalam hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk
satuan yang lebih besar yaitu frase, klausa dan kalimat. Dalam pembicaraan kata
sebagai pengisi satuan sintaksis, pertama-tama harus kita bedakan dulu adanya
dua macam kata, yaitu yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas
(funciontword). Yang merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk
kategori nomina, adjektiva, adverbial dan numeria. Sedangkan yang termasuk kata
tugas adalah kata-kata yang berkategori
preposisi dan konjungsi.[12]
Tata bahasa/sintaksis adalah tingkatan aturan atau tata bahasa kata
dalam suatu kalimat. Level ini sangat diperlukan dalam menyingkap suatu makna
kata dalam suatu kalimat atau ungkapan.
Contoh pada kalimat:
ضَرَبَ زَيْدٌ عَمْرًا يَوْمَ الجُمُعَةِ ضَرْبًا
شَدِيْدًا تَأذيْبًا لَهُ
Dalam kalimat diatas kata ضَرَبَ dan ضَرْبٌ mempunyai perbedaan secara makna. Kata ضَرَبَ
sebagai kata
kerja sedangkan ضَرْبٌ
merupakan keterangan dari suatu pekerjaan atau dalam kaidah Nahwiyah المقعول
المطلق.
4.
Dalalah Mu’jamiyah (makna leksikal)
Makna leksikal (makna asasiyyah atau mu’jamiyah) dapat
diartikan sebagai makna kata secara lepas diluar konteks kalimatnya. Makna leksikal ini terutama yang berupa kata
dalam kamus biasanya menjadi makna pertama dari kata atau entri yang
terdaftar dalam kamus.
5. Dalalah Ijtima’iyyah
Aspek ungkapan yang terkait erat dengan budaya penutur dan terkadang tidak
dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam makna satu bahasa dengan bahasa
lain.[13]
B.
Macam-macam ad-Dalalah menurut Ibnu Jinny
Sedangkan menurut Ibnu Jinny,
dia membagi tersendiri macam-macam dalalah. Secara garis besar Ibnu Jinny
membagi dalalah menjadi dua macam : Dalalah lafziyah dan Dalalah ghairu lafziyah.
Dalalah lafziyah terbagi
menjadi : Thabi’iyah, ‘Aqliyah, Wad’iyah, Muthabaqiyah, Tadhammuniyah, dan
Iltizamiyah Ghairu Lafziyah. Sedangkan Dalalah ghairu lafziyah terbagi
menjadi: Thabi’iyah, Aqliyah dan Wadh’iyah.
1.
Dalalah Lafziyah
Dalalah Lafziyah adalah petunjuk yang berupa kata atau suara. Dalalah
ini terbagi menjadi tiga:
a)
Dalalah lafziyah
Thabi’iyah, yaitu dilalah (petunjuk) yang berbentuk alami (‘aradh thabi’i).
Contoh :
1) Tertawa terbahak-bahak menjadi
dilalah untuk gembira.
2) Menangis terisak-isak menjadi dilalah bagi bersedih
b)
Dilalah lafziyah
‘Aqliyah, yaitu dilalah (petunjuk) yang berbentuk akal pikiran
Contoh:
1) Suara teriakan di tengah hutan
menjadi dilalah bagi adanya menusia di sana.
2) Suara teriakan maling di
sebuah rumah menjadi dilalah bagi adanya maling yang sedang
melakukan pencurian.
c)
Dilalah lafziyah
Wad’iyah, yaitu dilalah (petunjuk) yang dengan sengaja dibuat
oleh manusia untuk suatu isyarah atau tanda (apa saja) berdasarkan kesepakatan.
Contoh: Petunjuk lafaz
(kata) kepada makna (benda) yang disepakaati:
1)
Orang sunda, misalnya sepakat menetapkan kata cau
menjadi dilalah bagi pisang.
2)
Orang jawa, misalnya sepakat menetapkan kata gedang
menjadi dilalah bagi pisang.
3)
Orang inggris, misalnya
sepakat menetapkan kata banana menjadi dilalah bagi pisang.
Adapun dilalah lafziyah Wad’iyah menjadi ajang pembahasaan para
pakar mantiq. Dilalah lafziyah Wad’iyah, dibagi menjadi tiga:
1) Dilalah lafziyah Wad’iyah Muthabaqiyah
Dilalah lafziyah Wad’iyah Muthabaqiyah yaitu dilalah lafaz (petunjuk
kata) pada makna selengkapnya.
Contoh:Kata rumah memberi petunjuk (dilalah) kepada bangunan lengkap yang
terdiri dari dinding, jendela, pintu, atap dan lainnya, sehingga bisa dijadikan
tempat tinggal yang nyaman. Jika anda menyuruh seorang tukang membuat rumah,
maka yang dimaksudkan adalah rumah yang selengkapnya, bukan hanya dindingnya
atau atapnya saja.
2) Dilalah lafziyah Wad’iyah Tadhammuniyah
Dilalah lafziyah Wad’iyah Tadhammuniyah, yaitu dilalah lafaz
(petunjuk kata) kepada bagian-bagian maknanya.
Contoh: Ketika anda mengungkapkan kata rumah,
kadang-kadang yang anda maksudkan adalah bagian-bagiannya saja. Jika anda
misalnya menyuruh tukang memperbaiki rumah maka yang anda maksudkan bukanlah
seluruh rumah, tetapi bagian-bagiannya yang rusak saja. Jika anda meminta
dokter mengobati badan anda, maka yang dimasudkan bagian yang sakit saja.
3) Dilalah lafziyah Wad’iyah Iltizamiyah
Dilalah lafziyah Wad’iyah Iltizamiyah, yaitu dilalah lafaz
(petunjuk kata) kepada sesuatu yang di luar makna lafaz yang disebutkan, tetapi
terikat amat erat terhadap makna yang dikandungnya.
Contoh: Jika anda menyuruh tukang memperrbaiki asbes rumah anda yang
runtuh, maka yang anda maksudkan bukan asbes-asbesnya saja tetapi juga kayu-kayu tempat asbes itu melekat
yang kebetulan suda patah-patah. Asbes dan kayu yang menjadi tulangnya terkait amat erat (iltizam). Jika
kerusakan asbes itu disebabkan kebocoran
di atap maka perbaikan atap iltizam
(menjadi keharusan yang terkandung dan terkait) kepada perintah memperbaiki
asbes loteng itu.
2.
Dilalah Ghairu Lafziyah
Dilalah Ghairu Lafziyah adalah petunjuk yang tidak berbentuk kata atau suara. Dilalah ini
terbagi tiga:
a. Dilalah Ghairu Lafziyah Thabi’iyah, yaitu dilalah (petunjuk) yang bukan kata atau suara yang berupa sifat
alami.
Contoh:
1)
Wajah cerah menjadi dilalah bagi hati yang
senang
2)
Menutup hidung menjadi dilalah bagi menhindarkan
bau tidak sedap.
b. Dilalah Ghairu Lafziyah ‘Aqliyah, yaitu dilalah (petunjuk) yang bukan kata atau suara yang dibentuk akal
pikiran.
Contoh:
1)
Hilangnya barang-barang
di rumah menjadi dilalah adanya pencuri yang mengambil.
2)
Terjadinya kebakaran di
gunung menjadi dilalah adanya orang yang membawa api ke sana.
c. Dilalah Ghairu Lafziyah Wadh’iyah, yaitu dilalah (petunjuk) bukan berupa kata atau suara yang dengan sengaja
dibuat oleh manusia untuk suatu isyarat atau tanda (apa saja) berdasar
kesepakatan.
Contoh:
1)
Secarik kain hitam yang
diletakkan dilengan kiri orang Cina adalah dilalah bagi kesedihan / duka cita,
karena ada anggota keluarganya yang meninggal.
2)
Bendera kuning dipasang
di depan rumah orang Indonesia pada umumnya menggambarkan adanya keluarga yang
meninggal.[14]
3)
Seorang pendengar dapat memahami
sebuah ungkapan dengan benar jika ia telah menguasai semua jenis dalalah di
atas ia tidak perlu memahami undang-undang nahu saraf dalam bentuknya yang
rumit seperti yang terdapat pada karangan pakar-pakar nahu terdahulu, akan
tetapi ia cukup mengetahui semua ilmu itu melalui mendengan dan mengucapkan
(talakhi dan musafaha) usaha ini membutuhkan waktu yang panjang sebelum
seseorang benar-benar menguasai bahasa sehingga menjadi kebiasaan (adat dalam
berbicara) tanpa perlu mendalami sfesifikasi bahasa itu seperti yang dilakukan
oleh pakar nahu saraf yang terdahulu.
4)
Dilalah sautiyah, sorfiyah, dan
nahwiyah akan dapan menjadi sebuah kebiasaan setelah melakukan latihan yang
cukup sehingga ia dapat digunakan sebagai sarana untuk memahami sebuah ungkapan
tanpa memerlukan usaha yang besar. Tahapan inilah yang dikenal oleh pakar
linguistik dengan istilah saliqah lughawiyah.[15]
Dari empat level bahasa diatas, bisa
dikategorikan untuk level fonologi (suara) adalah tujuan dari kajian semantik,
level tata bahasa (sintaksis) dan level shorfiyyah (leksikal) sebagai puncak
dari kajian semantik. Sedangkan level makna merupakan sarana atau media dari
bahasa untuk memahami suatu makna kata
atau ungkapan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari paparan makalah tentang pembagian dilalah di atas, dapat
disimpulkan beberapa hal, yaitu :
1.
Ilmu Dalalah
/ semantik adalah ilmu yang membahas tentang makna kata, yang terbagi kepada 4
macam, yaitu dilalah shautiyah, dilalah sharfiyah, dilalah nahwiyah dan dilalah
mu’jamiyah / ijtima’iyah.
2.
Ilmu Dalalah
itu terbagi kepada beberapa macam
sebagai berikut: Dalalah Shautiyah, Dalalah sharfiyah, Dalalah Nahwiyah,
dan Dalalah Mu’jamiyah dan Ijtima’iyah.
3.
Dalalah
Shautiyah adalah bidang bahasa yang mempelajari,
menganalisis dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa dan makna
yang terkandung pada bunyi kata yang diucapkan tersebut. untuk memberi makna
terhadap suatu kata yang diucapkan oleh seorang mutakallim, kita harus
menangkap dengan baik bunyi kata yang diucapkan oleh mutakallim. Karena jika
berubahnya suatu bunyi kata akan menyebabkan berubahnya makna dari kata itu.
4.
Dalalah
sharfiyah adalah satu macam dari dilalah yang membahas tentang bentuk / shighat
dan bina suatu kata. Kita perlu mengenal dan memahami ilmu sharaf
(morfologi) dan dilalah sharfiyah (makna sharaf / morfologi). Karena sebuah
kata akan melahirkan shighat yang beragam, dan setiap shighat kata tersebut,
mempunyai arti yang berbeda-beda, walaupun asal katanya sama.
5.
Dalalah nahwiyah yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah yang
digunakan untuk mengetahui hukum kalimat Arab, keadaan susunan I’rab dan
binanya. Sebagai ahli bahasa kita harus mengetahui dan memahami tentang
struktur, i’rab / posisi kata dan bina suatu kata yang kita gunakan dalam
berbicara, karena berbedanya i’rab suatu kata yang kita maksudkan dengan yang
kita ucapkan akan mengubah makna dari kata yang kita ucapkan tersebut secara
langsung.
6.
Dalalah Mu’jamiyah diartikan sebagai makna kata secara lepas diluar konteks
kalimatnya.
7.
Dalalah Ijtima’iyah merupakan aspek ungkapan yang terkait erat dengan
budaya penutur dan terkadang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam
makna satu bahasa dengan bahasa lain.
8.
Sedangkan menurut Ibnu
Jinny, secara garis besar Dalalah terbagi menjadi dua macam : Dalalah
Lafziyah dan dalalah Ghairu Lafziyah.
9.
Dalalah lafziyah terbagi menjadi : Thabi’iyah,
‘Aqliyah, Wad’iyah, Muthabaqiyah, Tadhammuniyah, dan Iltizamiyah Ghairu
Lafziyah. Sedangkan Dalalah
ghairu lafziyah terbagi menjadi: Thabi’iyah, Aqliyah dan Wadh’iyah.
B.
Kritik dan Saran
Dari paparan makalah yang penulis
sajikan sebelumnya tentunya belum lengkap dan cukup bagi kita untuk memahami
lebih dalam tentang pembagian dilalah / semantik, dan perlu pengkajian lebih
lanjut tentang masalah ini, agar bisa mengantarkan kita kepada pemahaman yang
lebih baik lagi. Karena masalah ini merupakan hal yang sangat urgen dalam
kehidupan kita sehari-hari yang tidak bisa lepas dari bahasa. Oleh karena itu,
penulis mengajak kita semua untuk melakukan pengkajian lebih lanjut tentang
masalah ini, apalagi kita sebagai orang yang berusaha mendalami dalam
pengkajian bahasa khususnya bahasa Arab. Karena ketika kita tidak bisa
memahaminya dengan baik, maka kita akan mengalami kesulitan dalam menemukan
makna dari suatu kata yang kita dengarkan dan orang lain pun akan mengalami
kesulitan dalam memahami yang kita ucapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Dayah, Fayiz, Ilmu al Dilalah al ‘Araby Baina al Nazariyah
wa al Tathbiqi, Damasyiq : Dar al Fikr 1996
Aminuddin, Semantik; Pengantar
Study Tentang Makna, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2003
Chaer, Abdul, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1995
J.W.M, Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, Yogyakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010
Pateda, Mansoer, Linguistik Sebuah Pengantar, Bandung: 2011
Pateda, Mansoer, Semantik Leksikal, Jakarta: Rineka Cipta, 2001
[1] Aminuddin, Semantik;
Pengantar Study Tentang Makna, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2003),
hal. 15
[7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 666
[9] Fayiz al Dayah, Ilmu al
Dilalah al ‘Araby Baina al Nazariyah wa al Tathbiqi, (Damasyiq : Dar al Fikr 1996), hal. 20
[13] Fayas al Dayah, Ilmu al Dilalah al ‘Araby Baina al Nazariyah wa al
Tathbiqi, Damasyiq : Dar al Fikr
1996), h. 20
0 komentar:
Post a Comment