BAB 1
PENDAHULUAN
A.
PENDAHULUAN
Berbicara
dilalah yang dikenal dengan semantic
merupakan ilmu yang mengkaji masalah makna. Makna suatu bahasa dapat
dipahami dengan memperhatikan teks dan konteks bahasanya.kesalahan dalam
mengartikan sesuatu disebabkan ketidak
pahaman terhadap teks dan konteks.
Konteks
linguistik adalah konteks yang berupa unsur-unsur bahasa. Konteks linguistik
itu mencakup penyebutan kata depan, kata sifat, kata kerja, kata kerja bantu,
dan proposisi positif.
Konteks non
linguistic merupakan kajian yang tidak bisa diabaikan dalam memahami suatu
makna bahasa, karena suatu teks atau bahasa yang sama diungkapkan dengan cara
atau kondisi yang berbeda dapat melahirkan makna dan pemahaman yang berbeda pula.
Konteks non
linguistic membicarakan tentang segala kondisi yang ada diluar kata/ kalimat
yang dituturkan bisa berupa situasi,
budaya, dan tingkah laku. Untuk lebih jelasnya pemakalah membatasi
permasalahan-permasalahn yang terkait dengan Konteks Linguitik dan Non
Linguistik diantaranya;
1. Apa yang
dimaksud dengan Konteks Linguistik?
2. Apa yang dimaksud
dengan Konteks Non Linguistik ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
KONTEKS
Konteks secara
etimologi bermakna bagian uraian atau kalimat yang dapat mendukung kejelasan
makna.[1]
secara istilah konteks dimaknai dengan kata-kata dan kalimat-kalimat sebelum
dan sesudah kalimat tertentu, atau juga dapat dimaknai dengan keseluruhan
lingkungan, tidak hanya lingkungan tutur, tetapi juga lingkungan keadaan tempat.
Tanpa
memperhatikan konteks, dapat terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi, jadi
dalam berbahasa seseorang harus memperhatikan konteks agar dapat memahami
maksud suatu kalimat atau ujaran yang jelas.
Konteks
diartikan sebagai suatu bunyi, kata, atau frase yang mendahului dan mengikuti
suatu unsur bahasa dalam ujaran. Konteks juga dapat diartikan sebagai ciri-ciri
alam di luar bahasa yang menumbuhkan makna pada ujaran atau wacana
(Kridalaksana, 1984). Secara fungsional, konteks mempengaruhi makna kalimat
atau ujaran. Konteks ada yang bersifat linguistik dan non-linguistik (ekstra
linguistik). Konteks linguistik menjadi wilayah kajian semantik, sedangkan
konteks non-linguistik (ekstra linguistik) menjadi wilayah kajian pragmatik.
Teori konteks
merupakan suatu teori kebahasaan yang diperkenalkanoleh aliran London yang
disebut dengan Contextual Approach (al-manhaj as-siyaqi) atau Operational
Approach (al-manhaj al-‘amali). Firt sebagai aliran tokoh ini telah
meletakkan dasar tentang fungsi social bahasa. Tokoh-tokoh yang lain misalnya,
Halliday, Mc Intosh, Sinclair,dan Mitchel. Menurut pencetus aliran ini, makna
suatu kata terletak pada penggunanya. Selanjutnya Freesh sebagaimana yang
dikutip oleh Umar(1982) menegaskan bahwa makna suatu kata tidak akan terungkap
tanpa diletakkan kedalam unit bahasa, yakni tanpa diletakkan kedalam konteks
yang berbeda pula.[2]
Konteks adalah sesuatu yang menyertai atau
yang bersama teks. Secara garis besar, konteks wacana dibedakan atas dua
kategori, yakni konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik. Konteks
linguistik adalah konteks yang berupa unsur-unsur bahasa. Konteks linguistik
itu mencakup penyebutan kata depan, kata sifat, kata kerja, kata kerja bantu,
dan proposisi positif. Saluran Menurut Kridalaksana, konteks merupakan
ciri-ciri alam di luar bahasa; lingkungan/ situasi tuturan berlangsung yang
menumbuhkan makna pada ujaran; lingkungan nonlinguistik dari wacana. Menurut
Moelyono dan Soenjono, konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, seperti
situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk,
amanat, dan kode. Unsur-unsur itu berhubungan pula dengan unsur-unsur yang
terdapat dalam setiap komunikasi bahasa, antara lain:
a.
Latar : tempat dan waktu terjadinya
percakapan.
b.
Peserta : peserta percakapan yakni
pembicara (penyapa) dan pendengar (pesapa).
c.
Hasil : hasil dan tujuan
percakapan.
d.
Amanat: bentuk dan isi amanat.
e.
Cara : cara percakapan dilakukan,
dengan semangat, santai atau tergesa-gesa.
f.
Sarana : penggunaan bahasa lisan atau tulis;
variasi bahasa yang digunakan.
g.
Norma : perilaku peserta
percakapan.
h.
Jenis : mengacu pada kategori
seperti sajak, teka-teki, kuliah, dan doa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
konteks adalah segala sesuatu yang melingkupi teks. Teks dan konteks merupakan
sesuatu yang selalu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Makna yang
terealisasi dalam teks merupakan hasil interaksi pemakai bahasa dengan
konteksnya, sehingga konteks merupakan wacana terbentuknya teks.[3]
B.
Macam-macam konteks
1.
Konteks linguistik
Secara
umum linguistik adalah ilmu tantang bahasa atau ilmu yang mejadikan bahasa
sebagai objek kajiannya. Telaah ilmiah mengenai bahasa (Martinet
/1987:19). l-Khuli mendefinisikan Linguistik sebagai ilmu yang menyelidiki
bahasa (‘ilmun
yabhatsu fi al-lughah).[1] Jurji Zaidan, mendefinisikan
Linguistik sebagai ilmu yang menyelidiki bahasa dari sisi tertulis maupun non
tertulis.[2] Sementara Iman Saiful Mu’minin mendefinisikan Linguistik
sebagai ilmu yang membahas tentang bahasa dari berbagai sisi.[3] Dalam The
New Oxford Dictionary of English (2003), linguistik didefinisikan
sebagai berikut: “The scientific study of language and its
structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific
branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology,
psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and
structural linguistics.”
Linguistik
berasal dari bahasa latin yaitu lingua yang berarti adalah
‘bahasa’. Sedangkan istilah dari bahasa Prancis linguistik adalah linguistique ,
dalam bahasa Inggris adalah linguistics, dan dalam bahasa
Belanda adalah linguistiek. Dalam bahasa perancis ada
dua istilah, yaitu langue dan langagedengan
makna yang berbeda. Langue berarti suatu bahasa
tertentu, seperti bahasa Indonesia, bahasa Arab, atau bahasa Prancis. Sedangkan langageberarti
bahasa secara umum, seperti dalam ungkapan
“Manusia punya bahasa sedangkan binatang tidak”. Disamping istilah langue dan langage bahasa
Prancis masih punya istilah lain mengenai bahasa yaitu parole. Parole adalah
bahasa dalam wujudnya yang nyata, yang konkret, yaitu yang berupa ujaran, yang
diucapkan anggota masyarakat dalam kegiatan sehari-hari.[4]
Konteks linguistik mengacu pada suatu makna
yang kemunculannya dipengaruhi oleh struktur kalimat atau keberadaan suatu kata
atau frase yang mendahului atau mengikuti unsur-unsur bahasa (kata/frase) dalam
suatu kalimat. Perhatikan contoh di halaman berikut ini.
Contoh A:
1. Ali memetik
bunga di halaman rumahnya.
2. Fatimah itu
bunga di desanya.
3. Mereka
belajar bahasa Arab.
4. Antara
sesama menteri tidak ada kesatuan bahasa.
Kata bunga contoh A (1) berbeda maknanya
dengan kata bunga pada contoh A (2). Kata bunga pada A (1) mengacu pada bagian
tumbuhan yang akan menjadi buah dan biasanya elok warnanya dan harum bauhnya.
Bunga juga berarti kembang (Departemen Pendidikan Nasional, 2001). Kata bunga
pada A (2) tidak sama maknanya dengan yang ada pada A (1). Kata bunga pada A
(2) ini mengacu pada Fatimah. Unsur yang mempengaruhi perbedaan makna dari
kedua kata yang sama tersebut adalah konteks. Kata kunci yang membedakan makna
adalah kata memetik pada A (1) dan Fatimah pada A (2). Peristiwa yang sama juga
terjadi pada kata bahasa sebagaimana dalam kalimat A (3) dan (4). Kata bahasa
pada contoh A (3) berarti bahasa sebagai alat komunikasi yang dalam hal ini
adalah bahasa Arab, sedangkan pada A (4) berarti tidak ada kesatuan pandangan
atau pendapat.
Contoh B
- يقرأ المسلمون الكتاب فى المسجد
- يقرأ النصارى الكتاب فى الكنيسة
- يقرأ الطلاب الكتاب فى المكتبة الجامعة
Kata al-kitab pada B (1) secara semantis
berbeda dengan kata al-kitab pada B (2) dan (3). Kata al-kitab pada B (1)
mengacu pada kitab suci al-Qur’an. Pemaknaan kata al-kitab sebagai al-Qur’an
didukung oleh konteks linguistik, yakni oleh frase sebelum dan sesudahnya,
yakni frase al-muslimun dan fil masjid. Kata al-kitab pada B (2) bukan lagi
mengacu pada kitab suci al-Qur’an atau kitab-kitab lainnya, melainkan mengacu
pada kitab suci umat Nasrani (Injil) atau mengacu pada buku yang substansinya
berkaitan erat dengan ajaran keagamaan Nasrani. Kata atau frase kunci yang
membentuk konteks sehingga kata al-kitab pada B (2) dimaknai seperti itu adalah
frase an-nashara dan fi al-kanisah. Sementara itu, Kata al-kitab pada B (3)
bukan lagi mengacu pada kitab al-Qur’an maupun Injil, melainkan mengacu pada
buku-buku bacaan umum lainnya yang lazim digunakan dalam perkuliahan. Frase
kunci yang memaknai al-kitab seperti itu adalah ath-thulab dan maktabatu
al-jami’ah. Dengan demikian, meskipun ketiga kata tersebut (al-kitab) makna dasarnya
(makna leksikal) sama, tetapi makna konteksnya berbeda.[5]
Dalam
konteks linguistik, kata good dalam bahasa Inggris atau kata hasan dalam bahasa Arab, zain dalam bahasa
‘Amiyah. Tiga kata itu dalm bahasa Indonesia memiliki arti bagus dan baik.
Ini mengacu pada berbagai makna sesuai dengan konteks kebebasan yang
menyertainya.[6]
Misalnya menjadi sifat untuk:
a.
Diri : laki-laki,
wanita, anak
b.
Hal-hal yang
bersifat sementara: waktu, hari, pesta, rihlah
c.
Ukuran: garam,
tepung, udara, air.
Contoh:
1.
علي
رجل حسن
2.
هو
طبيب حسن
3.
هذا
ماء حسن
Kata hasan baik pada contoh 1, 2 dan 3
merupakan kata sifat yang makna dasarnya baik. Akan tetapi, kata tersebut
memunculkan berbagai makna dalam konteks kebahasaan yang berbeda. Kata hasan
pada contoh 1 berkaitan dengan moral/akhlak. Artinya, yang dimaksud hasan atau
baik dalam kalimat 1 tersebut adalah baik akhlaknya. Dengan demikian, kalimat 1
berarti Ali adalah seorang lelaki yang baik moral atau akhlaknya.
Kata
hasan pada contoh 2 bukan lagi mengacu pada akhlak (moral), melainkan
baik dalam hal kinerja (attafawwuq fi al-ada’), sehingga kalimat 2
diatas berarti dokter itu memiliki etos kerja tinggi. Sementara itu, pada
contoh 3 bukan lagi mengacu pada akhlak dan kinerja, melainkan mengacu pada
makna shofa wan naqawah (jernih), sehingga kalimat 3 berarti air
itu jernih. Pembeda makna dari kata sifat yang sama (hasan) adalah
konteks kebahasaan, yakni kata rajul, thabib, dan ma’. Ini
artinya kata sifat yang sama menimbulkan arti yang berbeda dalam konteks
kalimat yang berbeda pula.[7]
Begitu
pula jika penggunaan kata yad ke dalam konteks kalimat yang berbeda
sebagaimana kutipan berikut ini.
1.
أعطيته
مالا عن ظهر (يجد) يعني تفضلا ليس من بيع ولاقرض ولا مكافأة.
2.
هم
(يد) على من سواهم: إذا كان أمرهم واحدا.
3.
(يد)
الفأس ونحوه: مقبضها.
4.
(يد)
الدهر: مد زمانة
5.
(يد)
الريح : سلطانها
6.
(يد)
الطائر :جناحه
7.
خلع
(يده) من الطاعة : مثل نزع يده
8.
بايعته
(يدا) بيد : أي نقدا
9.
ثوب
قصير (اليد) : إذا كان يقصر أن يلتحف به
10.
فلان
طويل (اليد) : إذا كانت سمحا
11.
مالي بد (يد) : أي قوة
12.
سقط في يده : ندم
13.
هذه (يدي) لك : أي استلمت وانقدت لك
14.
حتى يعطوا الجزية عن (يد) : عن ذل واعتراف
للمسلمين بعلو أيديهم
15.
إن بين (يدي) الساعة أهوالا : أي قدمها
16.
(يد) الرجل : جماعة قومه وأنصاره.
Keterangannya:
1.
Memberinya harta melalui punggung tangan,
maknanya karena mengistimewakan. Bukan karena jual beli, pinjaman ataupun upah.
2.
Mereka menjadi tangan di
atas orang-orang selain mereka, maknanya urusan mereka bersatu.
3.
Tangan kapak, dan
lain-lain maknanya tempat pegangannya.
4.
Tangan waktu,
maknanya ukuran panjang waktu.
5.
Tangan angin,
maknanya kekuatan angin.
6.
Tangan burung,
maknanya sayap.
7.
Melepas/mencabut tangannya
dari ketaatan, maknanya tidak taat lagi atau melawan.
8.
Membai’atnya tangan dengan tangan,
maknanya membai’at secara langsung.
9.
Baju bertangan pendek,
maknanya baju yang terlalu pendek untuk menutupi tubuh.
10.
Seseorang bertangan panjang,
maknanya dermawan.
11.
Aku tidak punya kekuatan tangan,
maknanya tidak punya kekuatan.
12.
Jatuh kedalam tangannya
sendiri, maknanya menyesal.
13.
Tanganku ini
untukmu, maknanya aku menyerah kepadamu.
14.
Sehingga mereka meyerahkan jizyah
melalui tangan, maknanya seecara menyerah dan dengan mengakui ketinggian
posisi orang-orang muslim.
15.
Sungguh diantara dua tangan
kiamat banyak hal-hal yang menakutkan, maknanya dihadapan kiamat
Konteks linguistik merupakan konteks wacana atau
lingkungan wacana yang berupa unsur bahasa yang mencakup:
a.
Penyebutan depan.
Penyebutan depan adalah lingkungan linguistik yang berupa
bagian wacana yang disebut terdahulu (perior-mention) sebelum bagian teks yang lain. Dari penyebutan itulah
status sebuah acuan (suatu yang dimaksudkan) dapat terwujud dan dapat dikenali.
b.
Sifat kata kerja.
Kata kerja digolongkan menjadi dua macam yaitu generik dan tak
generik. Kata kerja generik adalah kata kerja yang penggeraknya tidak dapat
menjadi informasi lama , yakni informasi yang tidak dapat disebut kembali
dengan pemerkah definisi ini dan itu. Sedangkan kata kerja tak generik yakni
bendayang mengikutinya dapat diikuti objek dan objeknya dapat disebut kembali
dengan pemerkah definisi ini dan itu.
c.
Kata kerja konteks.
Kata kerja konteks adalah kata kerja yang ditambahkan pada kata
kerja utama. Ada kata bantu (yang menunjukan sikap batin :
harus,pasti,mungkin,ingin,suka,mau dan sebagainya) sedangkan kata kerja bantu
aspek (yang menunjukan keberlangsungan kerja,sudah,akan,belum,baru dan
sebagainya).
d.
Proposisi positif.
Secara sederhana proposisi dapat diartikan sebagai pertanyaan
secara teknis dapat diartikan sebagai konfigurasi makna yang terjadi dari
hubungan antara unsur sabjek dan predikat serta unsur-unsur yang lain dalam
klausa atau kalimat atau apa yang dikemukakan oleh penutur/penulis, atau
tentang apa yang terungkap dalam sebuah teks wacana.
Problematika Linguistik
Menerjemahkan adalah menyampaikan berita yang terkandung dalam
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran agar isinya benar-benar mendekati
aslinya. Sedangkan tujuan penerjemahan tidak lain adalah menyampaikan berita
dalam bahasa sasaran, yang berarti apa yang diterjemahkan harus dapat
dimengerti dan tidak disalahfahami oleh orang-orang yang akan mendengarkan atau
membaca hasil terjemahan tersebut. Definisi tarjamah tersebut mengisyaratkan
bahwa hasil terjemahan yang baik hendaknya dibaca seolah-olah karangan asli
yang ditulis dalam bahasa sasaran. Agar bisa menghasilkan terjemahan yang baik,
seorang penerjemah hendaknya memperhatikan aspek-aspek linguistik dan non
linguistik. [8]
Yang dimaksud dengan aspek linguistik di sini adalah aspek-aspek
kebahasaan yang meliputi tataran morfologis (al-sharf), sintaksis
(al-nahw) dan sematik (al-dilalah). Sementara tataran linguistik
yang lain yaitu tataran fonologi nya kurang berpengaruh dalam penerjemahan teks
tertulis, kecuali pada penerjemahan bahasa lisan yang mensyaratkan adanya
perhatian secara seksama terhadap unsur-unsur bunyi bahasa. Secara teoritis,
perbedaan-perbedaan linguistik (fonologis, moriologis, sintaksis dan semantis)
antara bahasa asing dan bahasa ibu (dalam hal ini antara bahasa Arab dan bahasa
Indonesia) akan menimbulkan kesulitan bagi siswa untuk mempelajari bahasa asing
tersebut (bahasa Arab). Bahkan sistim tulisan yang berbeda antara bahasa Arab
dan bahasa Indonesia juga merupakan problem tersendiri bagi siswa Indonesia.
Tidak sebagaimana dengan bahas asing lainnya seperti bahasa Inggris, Francis
dan Iain-lain, untuk sekedar bisa membaca teks berbahasa Arab (yang umumnya
tanpa syakal atau harakat) dengan benar saja, dibutuhkan
pengetahuan yang memadai tentang morfologis dan sintaksis bahasa Arab, belum
lagi untuk bisa memahami maknanya. Oleh karena itu, wajar jika siswa Indonesia
banyak mengalami kesulitan dalam aspek linguistik ketika mempelajari bahasa
Arab, termasuk juga ketika menerjemahkan teks berbahasa Arab ke dalam bahasa
Indonesia.
2.
Macam- macam konteks non linguistik
Yang dimaksud
dengan konteks non-linguistik atau ekstra linguistik adalah suatu konteks yang
unsur-unsur pembentuknya berada di luar struktur kalimat. Unsur-unsur konteks
meliputi penyapa dan pesapa, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan,
tuturan sebagai bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk suatu tindak verbal
(bukan tindak verbal itu sendiri) (Leech,1983). Menurut Purwo (1990),
unsur-unsur konteks adalah siapa yang mengatakan kepada siapa, tempat, dan
waktu diujarkannya suatu kalimat.[9]
kajian tentang
konteks non linguistic dapat diartikan sebagai segala kondisi yang ada diluar
kata/ kalimat yang dituturkan, baik itu berupa
situasi, budaya, dan tingkah laku dan emosi.
Jadi, ketika
kita ingin memaknai suatu kata atau ujaran tentu kita harus memperhatikan
situasi terlebih dahulu baru dapat kita artikan ini maknanya ini, karena kata
yang sama kita ucapkan dengan intonasi/ situasi yang berbeda akan menimbulkan
makna yang berbeda pula, oleh karena itulah pentingnya memaknai suatu kata
dengan melihat situasi.
a. Konteks
situasi
Teori yang
berkenaan dengan konteks situasi yang digunakan dalam bahasa tidak terlepas
dari peran ilmuan yaitu pakar anthropologi Malinowski dan Linguis
Firth. Keduanya menggunakan konteks ini dalam memaknai bahasa, meskipun
langkah-langkah yang ditempuh diantara keduanya berbeda.[10]
Malinowski mulai membicarakan perhatiannya kepada bahasa
ketika dirinya berada di pulau Tobriand, Wilayah pasifik selatan. Ia
berkepentingan mengkaji masalah makna ketika ia mengalami berbagai kendala
dalam menterjemahkan teks-teks bahasa Kiriwinia ke dalam bahasa inggris, agar
maknanya sampai dan mudah dipahami. Dalam mengetengahkan teks-teks tersebut, Malinowski
menggunakan berbagai metode. Dia
memberikan terjemahan bebas yang dapat dimengerti , tetapi tidak menghasilkan
apa-apa yang menyangkut bahasa atau kebudayaannya, kemudian terjemahan harfiah,
dengan cara meniru teks aslinya, tetapi tidak dimengerti oleh pembaca inggris.
Sehingga ia sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa pemahaman terhadap makna
suatu kalimat tidak dapat dilakukan tanpa disertai dengan pemahaman konteks
atau situasi di mana atau kapan kalimat itu diutarakan.[11]
Beberapa
asumsi Malinowski tentang bahasa
antara lain bahwa bahasa akan sulit dipahami maknanya tanpa pengetahuan tentang
apa yang sedang terjadi, sehingga diperlukan konsep konteks situasi.
Gagasan umum tentang konteks
situasi untuk pemahaman bahasa inggris atau bahasa besar manapun sama perlunya
sebagaimana pemahaman terhadap bahasa Kriwinia. Masalahnya hanyalah pada
konteks budayanya yang khas yang berbeda. Kegiatan yang dilakukan orang bisa saja
berbeda di satu tempat dengan tempat atau waktu yang lain, tetapi asas umumnya
bahwa semua bahasa harus dipahami berdasarkan konteks situasinya, jelas berlaku
untuk setiap kelompok masyarakat di setiap tingkat perkembangan.
Meskipun demikian, dalam arti tertentu
Firth mengemukakan, bahwa pemikiran Malinowski, tentang konteks
situasi tidak begitu lengkap untuk tujuan teori-teori kebahasaan, sebab
pandangannya belum bersifat umum. Oleh sebab itu, maka Firth
mengembangkan pemikiran Malinowski
dengan pokok pikiran berikut ini
1. Pelibat dalam situasi, orang atau tokoh
yang berperan utama dalam sebuah situasi.
2 . Tindakan pelibat, sesuatu yang sedang
dilakukan baik yang berupa tindak tutur maupun tindakan non-tutur.
3. Ciri situasi lain yang relevan, berupa benda-benda dan kejadian yang
berkorelasi dengan hal yang sedang berlansung.
4. Dampak tidak tutur, bentuk
perubahan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang dituturkan oleh pelibat dalam
situasi.[12]
Adapun cirri
dari konteks situasi adalah berikut ini.
1. Medan wacana, menunjukkan pada hal
yang sedang terjadi, pada sifat sosial yang sedang belangsung apa sesungguhnya
yang disibukkan oleh para pelibat, yang didalamnya bahasa ikut serta sebagai
unsure pokok.
2. Pelibat wacana, menunjukkan pada
orang-orang yang mengambil bagian, pada sifat para pelibat, kedudukan dan peran
mereka, jenis hubungan tetap dan sementara, dan lain-lain.
3. Sarana wacana, menunjukkan bagian yang
diperankan oleh bahasa, hal yang diharapkan oleh pelibat perankan bahasa dalam
situasi itu.
b. Konteks Budaya
Konteks budaya
sebagai salah satu konteks non linguistic merupakan segala aspek yang menunjuk
pada keseluruhan jaringan konvensi dan institusi social budaya yang ada dalam
sebuah masyarakat dalam kurun tertentu. Istilah merdeka atau mati sepertinya
hanya muncul dalam konteks waktu ketika bangsa Indonesia masih berada di bawah
cengkeraman penjajah, dan terbukti banyak muncul lagi pada sat-saat sekarang
ini. Jadi, jelas sekali pemaknaan suatu teks atau wacana tidak serta dapat
dilepaskan dari konteks sosio-kulturalnya. Penidaan terhadap nilai-nilai sosio
culturalnya. Peniadaan terhadap nilai-nilai sosio cultural tidak akan
mendatangkan makna apa-apa dan siapa belaka.[13]
Jadi, konteks
budaya merupakan segala hal yang merujuk kepada budaya dan tataran social
sebuah tuturan ditutrkan. Missal lain, kata, uqoilah dalam bahasa arab
lebih bergengsi dibandingkan dengan kata zaujah, walaupun memiliki makna yang sama, begitu juga dengan penggunaan kata
rich dan wealthy dalam budaya inggris yang memiliki makna yang sama tapi
berbeda.
c. Konteks
perilaku
Menurut Malinowski dan Firth, deskripsi terhadap suatu
bahasa tidak terjadi secara sempurna kecuali dengan merujuk kepada konteks
situasi dari suatu peristiwa bahasa tertentu. Namun , ada beberapa pendapat
lain yang dikemukakan oleh para pakar linguis, bahwa maka teks atau wacana
dapat diperoleh dengan memperhatikan aspek situasi, namun situasi di sini lebih
ditekan kepada tingkah laku, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bloomfield.
Bloomfield menjelaskan
teori ini dengan mengemukakan sebuah contoh percakapan anatara "Jack dan
Jill" di tengah percakapan Jill merasa lapar, dan ia melihat buah
apel, lalu ia menggunakan bahasa untuk memintanya dari Jack untuk
dirinya. Seandainya dia dalam keadaan sendiripun, pasti ia akan mengambil buah
apel tersebut.
Dari peristiwa
tutur di atas, tampak bahwa yang terjadi adalah adanya stimulus, yang
mempengaruhi dan respon, yang dipengaruhi, sehingga ia bergerak untuk
mendapatkan apel tersebut. Akan tetapi karena Jack sedang bersamanya,
maka ia tidak memberikan respon secara langsung berupa gerak, akan tetapi
respon bahasa, meminta kepada Jack untuk mengambil apel untuk dirinya.
Dari beberapa
contoh di atas, maka Bloomfield berkesimpulan bahwa makna dapat dipahami
dari korelasi antara tuturan dan tindakan alami yang dilakukan atau sesudah
tuturan tersebut. Pendapat Bloomfield tentang stimulus dan respon ini
mendapatkan banyak bantahan dari berbagai pihak, hingga dikatakan bahwa
pendapatnya tidak benar karena tidak dapat diterapkan secara umum. Hal ini juga
yang menjadikan teorinya tidak mashur, lain halnya dengan teori lain yang lebih
dapat menjelaskan makna kalimat, dengan melihat stimulus yang teramati dan
respon. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para psikolog, yaitu yang
mungkin dilakukan di laboratorium seperti
yang dilakukan pada tikus atau makhluk lain, dengan cara tertentu dan
mendapatkan hasil yang akurat dan terpercaya.
d. Konteks emosi (سياق العطفي)
Konteks
emosi/emotif adalah suatu konteks yang berkaitan dengan tingkat kekuatan dan
kelemahan dalam berinteraksi, yang secara fungsional bisa jadi sebagai penegas
hiperbola atau diantara keduanya. Kata love dalam bahasa Inggris
misalnya secara emotif berbeda dengan kata like meskipun keduanya
memiliki makna dasar yang sama yaitu cinta (al-hub). Dalam bahasa Arab, yukrihu
secara emotif berbeda dengan kata yabghadhu, meskipun keduanya juga
berasal dari makna dasar yang sama, yaitu “membenci”.
Contoh :
كتب عليكم القتال وهو كره لكم وعسى أن تكرهوا
شيئا وهو خير لكم وعسى أن تحبوا شيئا وهو شر لكم، والله يعلم وانتم لاتعلمون
“Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu
membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedangkan
kamu tidak mengetahui.”
ويكره
اليوم بعد دخول وقت الصلاة (فتح المعين،
ص: 15)
“Dimakruhkan tidur sesudah waktu
shalat masuk.”
صراط
الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولاالضالين (الفاتحة : 7)
“yaitu jalan orang-orang yang telah engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka. Bukan, (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat.”
إن
أبغض الحلال إلى الله الطلاق
“sesungguhnya
perbuatan halal yang paling tinggi dibenci Allah adalah Talak (cerai).”
Verbal تكرهوا pada contoh (1) dan verbal
يكره pada contoh (2) berasal
dari kata .كره
- يكره sementara itu, kata مغضوب pada
contoh (3) berasal dari kata غضب- يغضب dan kata أبغضpada contoh
(4) berasal dari kata بغض – يبغض .
kedua kata ini memiliki makna dasar yang sama yakni mengkreasikan sikap benci
(ketidaksukaan terhadap sesuatu). Akan tetapi, apabila dilihat dari konteks
emotifnya, keduanya memiliki perbedaan. Perbedaannya terletak pada kadar
ketidaksukaan pada kedua kata tersebut.
Verbal تكرهوا dan يكره pada contoh (1) dan (2) di atas memiliki tingkat ketidaksukaan
(kebencian) yang lebih kecil daripada ketidaksukaan (kebencian) yang ada pada مغضوب dan kata
أبغض pada contoh (3) dan (4). Kebencian yang
ada pada verbal تكرهوا dan يكره tidak disertai dengan
unsur kemurkaan, sehingga seringkali kata يكره
ada unsure pembolehan (meskipun tidak diharapkan), misalnya tidur setelah waktu
shalat masuk itu hukumnya makruh. Dalam hal ini tidak diharamkan tidur setelah
waktu shalat masuk, asalkan yang bersangkutan masih memiliki waktu untuk
melaksanakan shalat. Dengan ungkapan lain, kata يكره
pada contoh (2) di atas dapat dipadankan dengan kata sebaiknya, yakni
sebaiknya jangan tidur setelah waktu shalat masuk, karena dikhawatirkan yang
bersangkutan kehilangan waktu shalat.
Sementara itu, kata بغض
– يبغض sebagaimana yang tercermin pada contoh (3) dan (4) disertai
dengan unsur kemurkaan. Menurut Shihab (1997) maksud kata مغضوب pada ayat 7 surat al-fatihah diatas adalah kehendak tuhan untuk
melakukan tindakan keras dan tegas, atau dengan kata lain, adalah siksaan.
Dengan demikian, murka Tuhan (مغضوب
) adalah siksa atau ancaman siksanya. Demikian pula, kata أبغض pada contoh (4) juga disertai dengan kemurkaan, yakni Tuhan
memurkai orang yang melakukan perceraian (talak), sekalipun secara syar’iyyah
(yuridis-formal) dihalalkan. [14]
Keempat konteks tersebut memengaruhi kelancaran komunikasi. Oleh
karena itu, ciri-ciri konteks harus diidentifikasikan secara cermat, sehingga
isi pesan dalam peristiwa komunikasi dapat dipahami dengan benar. Pertama,
mempertimbangkan pentingnya pemahaman tentang konteks linguistik. Karena dengan
itu kita dapat memahami dasar suatu tuturan dalam komunikasi. Tanpa mengetahui
struktur bahasa dan wujud pemakaian kalimat tertentu, kita tidak dapat
berkomunikasi dengan baik. Namun pengetahuan tentang struktur bahasa dan wujud
pemakaian kalimat saja, kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Kemampuan
tersebut harus dilengkapi dengan pengetahuan konteks fisiknya, yaitu dimana komunikasi
itu terjadi dan apa objek yang dibicarakan. Kemudian, ditambah dengan
pengetahuan konteks sosial, yaitu bagaimana hubungan pembicara dengan pendengar
dalam lingkungan sosialnya. Terakhir harus memahami hubungan epistemiknya,
yaitu pemahaman atau pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh pendengar dan
pembicara.
Oleh karena itu, uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan
menunjukkan bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberikan bantuan
untuk menafsirkan suatu percakapan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam
berbahasa konteks adalah segala-galanya.
Problematika Non Linguistik
Baik tidaknya suatu hasil terjemahan, disamping dipengaruhi oleh
faktor-faktor linguistik (seperti yang telah dipaparkan), juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor non linguistik atau non kebahasaan. Diantara beberapa faktor non
linguistik yang berpeluang menjadi problematika dalam penerjemahan bahasa Arab
ke bahasa Indonesia antara lain:
a. Isi atau materi atau
bentuk dari naskah yang diterjemahkan
Sebuah teks yang berisi permasalahan tertentu
di bidang hukum tentu akan berbeda dengan teks yang berisi pemikiran filosofis,
psikologi atau pendidikan. Demikian juga teks sastra akan berbeda dengan teks
ilmiah. Perbedaan corak, gaya penuturan dan istilah-istilah teknis yang
digunakan dalam bidang disiplin yang berbeda akan menimbulkan problem
tersendiri bagi seorang penerjemah. Oleh karena itu, seorang penerjemah
hendaknya memilih latar belakang keilmuan yang sama (atau setidaknya
berdekatan/ familiar) dengan bidang disiplin dari naskah yang diterjemahkannya.
Problematika ini pula yang dihadapi oleh mahasiswa jurusan PBA. Pada saat
mereka dihadapkan teks berbahasa Arab yang berbicara tentang pendidikan, mereka
cenderung bisa ceat menyesuaikan diri, tetapi tidak demikian jika mereka
disuguhi teks dalam bidang disiplin lain spfilsafat, ekonomi dan Iain-lain.
Kesulitan umumnya berkaitan dengan ketidakfamilieran mereka terhadap
istilah-istilah teknis atau konsep-konsep yang digunakan dalam bidang
disiplin-disiplin tersebut.
b. Kondisi pada saat
menerjemahkan
Kegiatan penerjemahan yang dilakukan dengan tergesagesa tentu akan
berbeda hasilnya dengan penerjemahan yang dilakukan dengan tenang dan waktu
yang cukup. Hal inilah yang nampaknya mempengaruhi mutu terjemahan mahasiswa
jurusan PBA. Hasil terjemahan mereka yang dilakukan pada saat ujian mid
semester cenderung lebih jelek jika dibandingkan dengan hasil terjemahan yang
mereka kerjakan di rumah sebagai tugas mandiri. Salah satu penyebab perbedaan
itu adalah terbatasnya waktu serta kondisi psikologis yang berupa ketegangan
ketika mengerjakan soal ujian.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Konteks
linguistik mengacu pada suatu makna yang kemunculannya dipengaruhi oleh
struktur kalimat atau keberadaan suatu kata atau frase yang mendahului atau
mengikuti unsur-unsur bahasa (kata/frase) dalam suatu kalimat.
Yang dimaksud
dengan konteks non-linguistik atau ekstra linguistik adalah suatu konteks yang
unsur-unsur pembentuknya berada di luar struktur kalimat. Unsur-unsur konteks
meliputi penyapa dan pesapa, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan,
tuturan sebagai bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk suatu tindak verbal.
kajian tentang
konteks non linguistic dapat diartikan sebagai segala kondisi yang ada diluar
kata/ kalimat yang dituturkan, baik itu berupa
situasi, budaya, dan tingkah laku dan emosi.
B.
Kritik dan Saran
Dari paparan makalah yang penulis sajikan sebelumnya
tentunya belum lengkap dan cukup bagi kita untuk memahami lebih dalam tentang
pembagian dilalah / semantik, dan perlu pengkajian lebih lanjut tentang masalah
ini, agar bisa mengantarkan kita kepada pemahaman yang lebih baik lagi. Karena
masalah ini merupakan hal yang sangat urgen dalam kehidupan kita sehari-hari
yang tidak bisa lepas dari bahasa.
[4]
https://campusbsa.wordpress.com/2011/06/02/pengertian-linguistik/, diakses 23
november 2017 pukul 13:02
[5]
http://kabar-pendidikan.blogspot.co.id/2011/03/teori-dan-pengertian-konteks.html, diakses 02 november
2017, 13:33
[8]Abdul Munip, Strategi dan kiat
menerjemahkan teks bahasa arab ke dalam bahasa indonesia. (Yogyakarta:
Teras, 2009) hal.1
[9]
http://kabar-pendidikan.blogspot.co.id/2011/03/teori-dan-pengertian-konteks.html, diakses 02
november 2017, 13:33
[14]
Alek Abdullah, Linguistik Umum, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2012),
hal. 147
0 komentar:
Post a Comment