MAKALAH النظرية الإشارة و السلوكية









BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Bahasa sebagai sarana komunikasi antar manusia, tanpa bahasa tiada komunikasi. Tanpa komunikasi apakah manusia dapat bersosialisasi, dan apaka manusia layak disebut makhluk sosial, sebagai sarana komunikasi maka segala yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa. Sebagai unsur yang dinamik, bahasa senantiasa dikaji dan dianalisis dengan menggunakan berbagai pendekatan. Diantara pendekatan yang digunakan adalah pendekatan makna. Bagaimana pengguna bahasa memperoleh makna dan memahami makna dari sebuah bahasa.
Semantik adalah salah satu subdisiplin linguistik yang mengkaji sistem makna, dan objek yang dijadikan sebagai kajian utama adalah makna. Makna yang dijadikan kajian dalam semantik ini dikaji dalam banyak segi, terutama teori dan aliran yang berada dalam linguistik tersebut. Teori yang mendasari dan dalam lingkungan mana semantik di bahas membawa kita kepengenalan teori-teori pendekatan semantik yang mengkaji makna. Di antaranya adalah teori referensial, teori behavioral, dan teori kontekstual.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai teori referensial atau an nazhariyyah al isyariyyah dan teori behavioral atau an nazhariyyah al sulukiyyah.

B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana hakikat teori referensial atau an nazhariyyah al isyariyyah ?
2.      Bagaimana hakikat teori behavioral atau an nazhariyyah al sulukiyyah?
3.      Bagaimana hakikat teori an nazariyyah at tashawwuriyyah?

C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui hakikat dari teori referensial atau an nazhariyyah al isyariyyah.
2.      Untuk mengetahui hakikat dari teori behavioral atau an nazhariyyah al sulukiyyah.
3.      Untuk mengetahui hakikat dari teori an nazariyyah at tashawwuriyyah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    TEORI REFERENSIAL (AL-ISYARIYAH)
1.      Pengertian Teori Referensial (al-Isyariyah)
Al-Nazhariyah al-Isyariyah atau lebih dikenal dengan Teori Referensial, merupakan salah satu jenis teori makna yang mengenali atau mengidentifikasi makna suatu ungkapan dengan apa yang diacunya atau dengan hubungan acuan tersebut. Acuan atau reference bisa jadi berupa benda, peristiwa, proses, atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh lambang. Teori referensial akan menghasilkan makna referensial, makna referensial adalah makna yang berhubungan langsung dengan acuan.[1]
Teori referensial (denotational) dikembangkan pertama sekali oleh أوجدن (Odgen) dan ريتشاردز (Richard), dalam buku mereka yang terkenal dengan judul The Meaning of Meaning. Mereka menjelaskan proses terbentuknya makna melalui segitiga berikut:
الفكرة – المرجع – المدلول
thought – reference - sense

 
 






           

الرمز – الكلمة - الاسم
symbol – word - name


 
الشئ الخارجي – انشار إليه
referent - thing


 
 





Dari segitiga di atas dapat dipahami bahwa, makna tersebut muncul karena melalui beberapa tahap:
1)      الشئ الخارجي انشار إليه
yaitu rujukan, objek atau hal baik berupa peristiwa maupun fakta yang berada di dalam dunia pengalaman manusia. Misalnya: benda kursi, meja, menangis, tertawa, terjatuh dan sebagainya.
2)      الفكرةالمرجعالمدلول
yaitu konsep atau makna yang ada di dalam pikiran manusia ketika melihat benda atau rujukan tersebut.
3)      الرمزالكلمة - الاسم
yaitu nama, kata, atau lambang bahasa yang merupakan unsur (struktur) linguistik, yang diberikan kepada suatu rujukan.[2]
Pandangan yang hampir sama dikemukakan oleh Shabri Ibrahim Said dalam bukunya yang menjelaskan segitiga makna sebagaimana dimaksud oleh Odgen dan Ricard, menurutnya: yang dimaksud dengan الرمز adalah unsur-unsur bahasa yang berupa kata, kalimat dan sebagainya. الفكرة أو  الإشارة adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran manusia saat melihat kepada انشار إليه yaitu sesuatu yang tampak dalam dunia sebagai rujukan atau referensi.[3]  
Teori referensial mengkaji hubungan kata, makna kata dan dunia kenyataan (symbol, reference dan referent), maka hal ini disebut hubungan referensial, Teori ini menekankan hubungan langsung antara reference dengan referent yang ada di alam nyata. Secara rinci hubungan tersebut adalah hunbungan antara:
1)      kata sebagai satuan fonologis yang membawa makna,
2)      makna atu konsep yang dibentuk oleh kata,
3)      dunia luar yang dijadikan acuan oleh kata.
Gambar ini membedakan tiga unsur berbeda yang jauh terdapat pada suatu makna, dan menjelaskan bahwa tidak ada hubungan langsung antara kata seperti simbol, dengan sesuatu yang diluar yang diungkapkan oleh kata tersebut. Menurut mereka suatu kata itu terdiri dari dua bagian, bagian pertama yaitu sighat atau bentuk yang berhubungan dengan fungsinya sebagai simbol, dan bagian yang kedua yaitu unsur yang berhubungan dengan pikiran atau rujukan.[4]
Teori referensial yang diperkenalkan oleh Ogden dan Richards ini tidak lepas dari perkembangan linguistik deskriptif yang diprakarsai oleh Ferdinan De Sausure yang melahirkan teori mengenai tanda dan lambang. Beliau telah membedakan apa itu signie yaitu berupa kata, significant berupa bentuk acuan, dan signifie yaitu makna. 
Maka bisa dipahami, penjelasan dan konsep tersebut adalah:
1)      Hubungan antara signifiant dan signifie bersifat arbitrer atau manasuka dengan kata lain, tanda bahasa signie linguistique atau (signe) bersifat arbitrer. Pengertian sebuah mobil di dalam bahasa Arab sayârah tidak ada hubungannya dengan urutan bunyi m-o-b-i-l di dalam bahasa Indonesia.
2)      Signifiant, yang menandai berupa lambang bunyi yang bersifat linear, unsur-unsurnya membentuk suatu rangkain.
3)      Signifie, yang ditandai (berupa pengertian atau kesan makna yang ada di dalam pikiran).
Jadi dari beberapa penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, teori referensial adalah suatu pembahasan tentang makna bahasa yang mengidentifikasi makna suatu kata atau ungkapan berdasarkan ada tidaknya referensinya dalam dunia nyata.

2.      Makna Kata
Menurut teori referensial, makna suatu kata adalah isyarat kata tersebut kepada sesuatu yang bukan dirinya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat, yaitu :
a.       Pendapat yang mengatakan bahwa makna suatu kata adalah apa yang diisyaratkan oleh kata itu.
Kajian tentang makna menurut pendapat yang pertama berarti cukup dengan mengkaji dua sisi dari segitiga tersebut, yaitu sisi simbol dan sisi sesuatu yang diisyaratkan.
b.      Pendapat yang mengatakan bahwa makna suatu kata adalah hubungan antara ungkapan dan yang diisyaratkan oleh ungkapan tersebut.
Kajian tentang makna menurut pendapat yang kedua mengharuskan mengkaji ketiga sisi segitiga tersebut, karena untuk sampai kepada sesuatu yang diisyaratkan itu melalui pikiran atau gambaran yang ada pada otak.[5]
Makna dalam teori referensial diartikan sebagai label yang berada dalam keasadaran manusia untuk menunjuk dunia luar. Sebagai label atau julukan, makna itu hadir karena adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang keseluruhanya berlangsung secara subjektif. Terdapatnya julukan simbolik dalam kesadaran individual itu, lebih lanjut memungkinkan manusia untuk menyusun dan mengembangkan skema konsep. Misalnya, kata “pohon” berdasarkan kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan, bukan hanya menunjuk jenis-jenis tumbuhan, melainkan memperoleh julukan sebagai “ciptaan, hidup, fana”, sehingga pohon dalam baris puisi Goenawan Mohammad disebutnya . . . berbagi dingin diluar jendela/mengekalkan yang esok mungkin tak ada.
Kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan dalam pemberian julukan dan pemaknaan tersebut, berlangsung melalui bahasa. Akan tetapi, berbeda dengan bahasa keseharian, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa perorangan atau private language. Dengan demikian, makna dalam skema konsep bisa merambah kedunia absurb yang mempribadi dan terasing dari komunikasi keseharian.
Terdapat bahasa perseorangan yang mempribadi tersebut lebih lanjut menyebabkan keberadaan makna sangat ditentukan oleh individual. Apabila individu adalah pengendali institusi, kata “pohon” seperti “persatuan/kehidupan masyarakat” dapat diakui dan disebarluaskan sebagai milik bersama. Akan tetapi, ada juga kemungkinan ciri mempribadi itu justru tetap ingin dipertahankan. Ciri demikian, ditandai antara lain oleh adanya kata-kata khas yang dimaknai secara khusus oleh dua orang yang berteman demikian akrab maupun pada kata-kata tertentu yang digunakan dalam puisi.
Pemberian julukan pada puisi yang bersifat individual mengakibatkan kata-kata yang digunakan menuansakan berbagai makna yang beragam. Hal demikian justru yang diharapkan oleh penuturnya. Semakin banyak julukan lain yang dinuansakan suatu kata, semakin padat, semakin asosiatif, dan semakin kaya kata itu dalam menuansakan makna seperti yang ingin disampaikanya, semakin besar nilai kata itu bagi penyairnya, sebab itulah Chairil Anwar memiliki kredo “prosakum puisi juga, didalamnya tiap kata akan kugali korek sedalamnya, hingga ke kernwoord, ke kernbeeld”
Julukan dan makna hasil observasi atau kesadaran pengamatan individual, pada dasarnya masih bertumpu pada makna hasil penunjukan dasar. Apa yang dilakukan individu itu hanyalah menambahkan atau memberi konotasi. Apabila kata yang masih menunjuk pada makna dasar itu bersifat denotatif sehingga menghadirkan istilah makna konotatif, yakni tambahan makna lain terhadap makna dasarnya. Penambahan itupun sebenarnya bukan hanya khas terjadi dalam kreasi sastra. Sesuai dengan keragaman nilai, motivasi, sikap, pandangan maupun minat setiap individu, fakta yang tergambarkan dalam kata, ahirnya memperoleh julukan individual sendiri-sendiri. Kata “hujan” bagi seorang petani diartikan “rahmat”, bagi penjual es “kegagalan” dan bagi remaja yang kencan dimalam minggu berarti “hambatan”.
Pemberian julukan dan pemaknaan yang bertumpu pada dunia luar itulah yang ahirnya juga menjadi ciri lain dari teori referensial. Quine dengan mengutip pendapat Dewey mengungkapkan bahwa Meaning . . . is not psychic existence, it is primarily a property of behaviour. Hal itu terjadi karena . . . knowledge, mind, and meaning are part of the same word that  they have to do with. Kritik yang segera hadir adalah, mengapa makna sebagai sisi lain dari bahasa justru diberi sisi lain ciri-ciri fakta dan kesimpulan kesadaran pengamatan individual? Bukankah pemberian ciri maupun tanggapan dalam kesadaran itu juga brmula dari makna kata?
Meletakkan kata sebagai hasil kesadaran pengamatan individu dan terlepas dari konteks komunikasi, ahirnya juga bertentangan dengan keberadaan bahasa sebagai sistem konvensi, sebab itulah sangat tepat apabila Jacobson maupun Posner mengungkapkan bahwa bentuk komunikasi dalam puisi adalah untuk komunikasi “khas” dan “unik” yang memiliki sistemnya sendiri yang bersifat khusus pula. Dengan demikian, upaya memahami komunikasi makna hasil kesadaran pengamatan subjektif demikian, tidak cukup bila hanya bertolak dari sistem komunikasi keseharian. Dengan kata lain, sistem konvensi dalam bentuk komunikasi khas itupun secara simultan juga harus dipahami.

Pemikiran tentang karakteristik ganda ini merujuk kepada zaman Desouer, diaman ia telah menguatkam karakteristik ganda yang dimiliki suatu simbol dengan cara memberikan contoh yang bersifat analogi yaitu dengan menyamakannya dengan sepotong kertas yang memiliki dua sisi. Dan tidak mungin dipisahkan salah satu dari dua sisi ketas tersebut dengan sisi yang lainnya. Maka demikian juga halnya tidak mungkin dipisahkan antara dua sisi simbol tersebut satu dari yang lainnya, karena keduanya berhubungan seperti hubungan dua sisi kertas.
Dalam pengertian yang lebih khusus, Aminuddin mengatakan bahwa teori isyarat diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk merujuk dunia luar. Sebagai label atau julukan makna hadir karena adanyan kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang keseluruhannya berlangsung subjektif.[6]
Jika kita menerima bahwa makna sebuah ujaran adalah referennya, maka setidaknya kita terikat pula pada pernyataan berikut :
a.       Jika sebuah ujaran mempunyai makna, maka ujaran itu mempunyai referen
b.      Jika dua ujaran mempunyai dua referen yang sama, maka ujaran itu mempuyai makna yang sama pula
c.       Apa saja yang benar dari referen sebuah ujaran adalah benar maknanya.[7]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensinya, kata-kata seperti بقرة (sapi), أحمر (merah) dan صورة (gambar) adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Dan sebaliknya kata-kata seperti و (dan), أو (atau), لِ (karena) dan sebagainya adalah kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu tidak mempunyai referensinya dalam dunia nyata.

3.      Jenis-Jenis Referensi (Rujukan)
Para ahli teori ini mengatakan bahwa sesuatu kata yang diisyaratkan (rujukan) tidaklah harus sesuatu yang dapat disentuh, yang dapat diamati objeknya, yang nyata, tetapi lebih dalam dari itu, bahwa rujukan itu dapat berupa:
a.       Benda (Objek)
Rujukan berupa benda yang nyata, yang dapat disentuh dan diamati. Contohnya: kata (منضدة) meja, kata “meja” merupakan kata yang dapat disentuh dan diamati, كرسي, كوب, فصل, dan lain sebagainya.
b.      Keadaan (Kualitas)
Rujukan yang bisa diamati tetapi tidak bisa disentuh. Contohnya: أزرق (warna biru)
c.       Perbuatan (Aksi)
Rujukan yang berupa perbuatan dan merupakan sesuatu yang tidak dapat disentuh tapi dapat diamati. Contohnya: قتل (pembunuhan). Kata pembunuhan merupakan suatu aksi atau perbuatan, diaman ia tidak dapat disentuh tapi dapat diamati, قرأة, فتح, كتب dan lain sebagainya.
d.      Abstrak
Rujukan yang tidak bisa disentuh, tetapi bisa diamati dari gejala-gejala yang nampak. Contohnya: kata الشجاعة (berani). Kata الشجاعة (berani) tidak dapat disentuh, tapi ia bisa diamati dari gejala yang nampak bahwa seseorang tersebut memiliki sifat pemberani.
Walaupun demikian, pada masing-masing kondisi ini mungkin kita dapat mengamati apa yang disyaratkan oleh lafadz tersebut, karena setiap kata mengandung makna, karena kata adalah simbol yang menggambarkan sesuatu yang bukan dirinya.
Kadang-kadang yang diisyaratkan itu ada yang tidak terbatas, seperti kata قلم (pena). Kata قلم tidak diisyaratkan pada pena tertentu, karena mungkin saja kata قلم disandarkan kepada jenis pena apa saja. Oleh karena itu, sebagian dari ahli teori ini merekomendasikan bahwa kata قلم diisyaratkan   القلامطبقة(tingkatan pena), atau نوع القلام (jenis pena). Demikian juga halnya dengan kata kerja يجري (lari), yang diisyaratkan kepada setiap jenis pekerjaan yang jenisnya lari.[8]

4.      Pertentangan terhadap Teori Referensial
Al-Nazhariyah al-Isyariyah atau teori referensial ini telah ditentang dengan pernyataan sebagai berikut:
a.       Teori referensial hanya mengkaji tentang fenomena bahasa di luar kerangka bahasa.
b.      Teori referensial berlandaskan atas dasar kajian yang terdapat diluar bahasa (sesuatu yang diisyaratkan). Dan agar kita dapat memberikan pengertian yang tepat tentang suatu makna berdasarkan teori ini, oleh karena itu dibutuhkan ilmu yang tepat pula serta mendalam tentang dunia untuk dapat mengkaji makna secara mendalam dan tepat. Tetapi kebanyakan manusia ilmunya sedikit sekali.
c.       Teori referensial, bahasannya tidak menyertakan pembahasan mengenai kata-kata لا, إلى, لكن, أو dan sebagainya, serta kata-kata lain yang sejenis dengan kata-kata ini, karena kata-kata tersebut tidak mengisyaratkan kepada sesuatu yang ada (existing thing). Kata-kata ini memiliki makna yang dapat dipahami oleh pendengar dan pembicara, tetapi kata-kata ini sesuatu yang ditunjukkannya tidak mungkin diketahui dalam bentuk nyata.
d.      Makna itu adalah sesuatu yang tidak sama, maka makna kata تفاحة tidak sama dengan التفاحة.[9]




B.     TEORI BEHAVIORAL (AL- SULUKIYAH)
1.      Pengertian Teori Behavioral (al-Sulukiyah)
Al-Nazhariyah al-Sulukiyah lebih dikenal dengan teori Behavioral dan dikenal juga dengan teori tingkah laku.[10] Teori behavioral adalah teori yang mengkaji makna melalui pengamatan terhadap tingkah laku pelaku bahasa. Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang diperkenalkan oleh John B. Watson (1878-1958), seorang ahli psikologi berkebangsaan Amerika. Teori Behavioris mengatakan bahwa suatu ungkapan ialah rangsangan (matsir) yang menimbulkannya, atau respon (istijab) yang ditimbulkannya, atau kombinasi dari rangsangan dan respon, pada waktu pengungkapan kalimat itu.[11]
Teori behavioral menfokuskan kajiannya pada sistem penggunaan bahasa ketika dalam proses interaksi. Teori ini menitikberatkan kajiannya pada objek yang dapat diamati secara jelas. Dan menurut teori ini makna suatu kata atau ungkapan adalah ransangan (stimulus atau matsir) yang menimbulkan tanggapan-tanggapan (response atau istijaab) yang ditimbulkan oleh ucapan tersebut. Teori ini menanggapi bahasa sebagai sebuah kelakuan yang mengembalikannya kepada teori stimulus dan respons. Dan makna merupakan ransangan untuk menimbulkan perilaku tertentu sebagai respons kepada ransangan tersebut.
Teori behavioral telah mendominasi bidang psikologi Amerika untuk waktu yang lama. Dan teori ini memberikan pengaruh yang luar biasa dalam pembelajaran semantik, tidak dalam bidang psikologi saja. Begitu juga halnya dalam bidang filsafat, namun tidak lagi setelah sepuluh tahun belakangan ini.
Jadi, teori behavioral adalah suatu teori yang mengkaji makna bahasa melalui tingkah laku pelaku bahasa.


2.      Makna Menurut Pendekatan Behavioral
Menurut teori behavioral makna itu adalah :
a.       Wakil realitas yang menyertai proses berpikir manusia secara individual
b.      Sebagai media dalam mengelola pesan dan menerima informasi, serta
c.       Sebagai faktor sosial yang mampu menciptakan berbagai bentuk komunikasi.
Apabila fungsi pertama menjadi pijakan awal adalah pendekatan referensial, fungsi kedua menjadi dasar kajian pendekatan ideasional, maka fungsi ketiga adalah pusat pandang dari pendekatan behavioral.[12]
Dalam pendekatan referensial, makna diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk menunjuk dunia luar. Sebagai label atau julukan, makna hadir karena adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang keseluruhannya berlangsung secara subjektif. Terdapatnya julukan simbolik dalam kesadaran individual itu, lebih lanjut memungkinkan manusia untuk menyusun dan mengembangkan skema konsep. Kata “Pohon” misalnya, berdasarkan kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan, bukan hanya menunjuk jenis tumbuh-tumbuhan, melainkan memperoleh julukan sebagai “ciptaan”, “hidup”, “fana”
Kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan dalam pemberian julukan, dan pemaknaan berlangsung melalui bahasa. Akan tetapi berbeda dengan keseharian, bahasa yang digunakan disitu adalah bahasa perseorangan atau private language.
Sementara itu, dalam pandangan pendekatan ideasional, makna adalah gambaran gagasan pendekatan ideasional, makna adalah gambaran gagasan dari suatu bentuk kebahasaan yang bersifat sewenang-wenang, tetapi memiliki konversi sehingga dapat saling dimengerti dengan pemakaian kode yang dipahami oleh penutur dan pendengar.
Dalam dua pendekatan yang dielaskan diatas, dapat diketahui bahwa :
a.       Pendekatan referensial dalam mengkaji makna lebih menekankan pada fakta sebagai objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan secara individual
b.      Pendekatan ideasional lebih menekankan pada keberadaan bahasa sebagai media dalam mengolah pesan dan menyampaikan informasi.[13]
Dari kedua pendekatan yang dijelaskan di atas, keberadaan dari pendekatan behavioral terhadap kedua pendekatan tersebut salah satunya adalah kedua pendekatan itu telah mengabaikan konteks sosial dan situasional yang oleh kaum behavioral dianggap berperan dalam menentukan makna.
Kritik lain terhadap pendekatan diatas adalah pada objek utama kajian yang justru tidak pernah dapat diobservasi secara langsung. Pernyataan dalam kajian ideasional yang berkaitan dengan keselarasan pemahaman antara penutur dengan pendengar dalam keselarasan pemahaman antara penutur dengan pendengar dalam memaknai kode misalnya, dalam pendekatan behavioral dianggap kajian spekulatif karena pengkaji tidak pernah mampu meneliti karakteristik idea atau pikiran penutur-pendengar, sejalan dengan aktivitas pengelolaan pesan dan pemahamannya.
Pada sisi lain, pendekatan behavioral dalam kajian semantik juga tumbuh dengan bertolak dari teori behavioris dalam psikologi. Apabila kajian semantik yang menekankan pada fakta sosial yang disebut sosiosemantik, maka kajian yang berhubungan erat dengan behaviorisme dalam kajian psikologi biasa disebut dengan semantik behavioris atau behaviouris semantik.

3.      Ciri-Ciri Aliran Behavioral
Leonard Bloomfeld, adalah seorang ahli psikologi behaviorisme, menurutnya tingkah laku manusia dapat ditanggapi oleh indera. Dan secara umum terdapat beberapa ciri behaviorisme, yaitu:
a. Mempercayai bahwa binatang dan manusia memiliki ciri perilaku dasar yang sama, sehingga tokoh behaviorisme dalam semantik juga membandingkan bahasa binatang dengan bahasa manusia.
b. Perilaku manusia dalam berbahasa pada dasarnya bertolak dari dan dibentuk oleh faktor sosial memiliki konsep mekanisme dalam kehidupan manusia, seperti ditandai dengan adanya stimulus (s) dan responses (r).
Kajian makna yang bertolak dari pendekatan behavioral mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang berlangsung dalam situasi tertentu (speech situation). Satuan tuturnya atau unit terkecil yang mengandung makna penuh dari keseluruhan speech event yang berlangsung dan speech situational disebut speech act.[14]
Penentuan makna dalam speech act menurut Searle harus bertolak dari berbagai kondisi dan situasi yang melatari kemunculan bahasa tersebut. Kata yang berbunyi “masuk”, dapat dipahami “berarti di dalam garis” jika kata tersebut muncul dalam permainan bulu tangkis, berarti “silakan ke dalam” jika kata tersebut muncul antara tamu dan tuan rumah, berarti “hadir” bagi mahasiswa yang diabsensi dosen. Makna keseluruhan kata harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta interaksi sosial yang melatarbelakangi munculnya kata tersebut.

Empat ciri teori behavioral secara umum adalah sebagai berikut :
a.       Menolak konsep mentalisme yang mengkaji pikiran dan konsep tanpa berdasar pada data yang shahih.
b.      Mempercayai bahwa binatang dan manusia memiliki ciri perilaku dasar yang sama sehingga tokoh behaviorisme dalam kajian semantik, misalnya Osgood, seperti telah disinggung diawal kajian ini juga membandingkan bahasa binatang dengan bahasa manusia.
c.       Perilaku manusia dalam berbahasa pada dasarnya bertolak dari dan bentuk oleh faktor sosial
d.      Memiliki konsep mekanisme dalam kehidupan manusia seperti ditandai oleh adanya stimulus (S) dan respon (R). Bloomfield, misalnya mengungkapkan bahwa makna berada dalam situaso dimana penutur memberikan respon untuk menanggapiya. Contoh bagan dibawah ini akan memperjelas konsep makna dalam kajian Bloomfield.[15]

S                      r ... s                R

Singkatan S berarti stimulus berupa ujaran, makna ada dalam r...s, sedangkan R adalah tanggapan yang diberikan pendengar sesuai dengan stimulus yang diterima.[16] Pertanyaan yang segera hadir antara lain, (1) apakah makna harus ditentukan oleh adanya S dan R, (2) apakah makna dalam r...s itu bisa di observasi secara shahih, dan (3) apakah s harus sejajar dengan S?
Lebih lanjut kaian behavioral terus disempurnakan dan berkembang antara lain ditokohi J.B Watson, Charles Osgoon, dan Roger Brown. Pengaruh psikologi behavioral pun dapat dijumpai dalam kajian semiotik Charles Morris, khususnya dalam mengkaji komponen pragmatic yang berkaitan erat dengan pemakai.[17]

Dalam perkembangan lebih lanjut, semantik behaviorisme memiliki wilayah khusus kajian tersendiri. Hal itu juga sejalan dengan pandangan Bloomfield yang menolak memasukkan semantic kedalam linguistik. Kajian sematik behavioris yang dilakukan oleh Watson, Osgoon, maupun Brown, mialnyalebih memutuskan perhatiannya pada aspek kejiwaan penutur dan penanggap dalam upaya mengolah dan dalam proses memahami pesan. Osgoom, misalnya mengungkapkan bahwa dalam kegiatan enconding maupun decoding baik penutur maupun penanggap harus mampu mengadakan proyeksi, interaksi serta representasi.
Kegiatan proyeksi berkaitan dengan penggambaran berbagai fitur semantik yang terdapat dalam suatu bentuk kebahasaan. Hal itu terjadi karena meskipun kata aku, saya, kami, nama diri, maupun berbagai bentuk pronominal pertama mungkin dapat saling disubstasikan, masing-masingnya memiliki nuansa maka sendiri-sendiri.
Dari berbagai bentuk dengan berbagai makna, ditentukan isian makna yang dianggap paling tepat. Bertolak pada diri penutur berarti menciptakan pilihan bentuk kebahasaan yang akan dipakai, sedangkan integrasi pada diri penanggap di maui oleh penuturnya. Pada tataran representasi, penutur berarti menguraikan kembali makna ujaran sesuai dengan maksud penuturnya.
Teori behavioral jika dikaitkan dengan pemerolehan bahasa pada anak, kaum behavioris menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui lingkungan.
Istilah bahasa bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah bahasa itu menyariatkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki atau digunakan dan bukan sesuatu yang dilakukan. Padahal bahasa itu merupakan salah satu perilaku, diantara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal (erbal behaviour), agar tampak lebih mirip dengan perilaku lain yang harus dipelajari.[18]
Menurut kaum behavioris kemampuan berbicara dan memahami bahasa anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya. Anak dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki peranan yang aktif didalam proses perkembangan perilaku verbalnya.

Kaum behavioris tidak mengakui pandangan bahwa anak menguasai kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk menguasia kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakkan ciri-ciri penting dari bahasa dilingkungannya. Mereka berpendapat rangsangan (stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan verbal yang berlaku secara acak sampai ke kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian S-R (stimulus-respon) dan proses peniruan-peniruan.

4.      Tokoh-Tokoh Behaviorisme
Ada beberapa tokoh behaviorisme yang memiliki pandangan dalam hal (S-R), diantaranya sebagai berikut :
a.      John Broadus Watson
Teori behaviorisme diperkenalkan oleh John Broadus Watson (1878-1958),[19] seorang ahli psikologi berkembangsaan Amerika. Teori ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari teori pembiasaan klasik Pavlov dalam bentuk baru dan yang lebih terperinci serta didukung oleh eksperimen baru dengan binatang (terutama tikus) dan anak kecil (bayi).[20]
Di Amerika Serikat, Watson dikeal sebagai bapak Behaviorisme karena prinsip-prinsip pembelajaran barunya berdasarkan teori Stimulus-Respons Bond, (S-R bond) yang juga dalam persaingan dengan teori strukturalisme dan mentalisme Wuldt.
Menurut Behaviorisme yang dianut oleh Watson tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian terhadap perilaku; dan sedikit pun tidak ada kaitannya dengan kesadaran. Yang dapat dikaji oleh psikologi menurut teori ini adalah benda-benda atau hal-hal yang dapat diamati secara langsung, yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas (respon); sedangkan hal-hal yang terjadi dalam otak tidak ada kaitan dengan kajian. Maka dalam proses pembelajaran menurut Watson tidak ada perbedaan antara manusia dengan hewan.

Oleh kaena itu kesadaran tidak termasuk benda yangdikaji oleh behaviorisme, maka psikologi ini telah menjadikan ilu mengenai perilaku manusia ini menjadi sangat sederhana dan mudah dikaji. Mengapa ? karena semua perilaku, menurut behaviorisme termasuk tindak balas (respon) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jadi, jika gerak balas telah diamati dan diketahui, maka rangsangan pun dapatlah diprediksi. Begitu juga jika rangsangan telah diamati dan diketahui, amak gerak balaspun dapat diprediksikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri dan kesadaran terhadap perilaku. Jadi, semua perilaku dipelajari menurut hubungan stimulus-respons.
Untuk membuktikan kebenaran teoribehaviorismenya terhadap manusia. Watson mengadakan eksperimen terhadap Albert seorang bayi berumur 11 bulan. Pada mulanya Albert adalah seorang bayi yang gembira yang tidak takut terhadap binatang seperti tikus putih dan berbulu halus. Albert senang sekali bermain-main dengan tikus putih yang berbulu cantik itu. Dalam eksperimen ini, Watson memulai proses pembiasaanya dengan cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu setiap kali Albert mendekati dan ingin memegang tikus putih itu, akibatnya tidak lama kemudian Albert menjadi takut terhadap tikus putih itu, dan juga terhadap kelinci putih itu, termasuk jaket dan topeng Sinteklas berjanggut puith. Dengan eksperimen itu Watson menyatakan bahwa dia telah berhasill membuktikan bahwa pelaziman dapat mengubah perilaku seseorang secara nyata.

b.      Leonard Bloomfield
Leonard Bloomfield (1887-1949) seorang linguistik Amerika, sebelum mengikuti aliran behaviorisme Watson dan Weiss adalah seorang penganut paham mentalisme yang sejalan dengan teori psikologi Wundt. Kemudiann beliau menentang mentalisme dan mengikuti aliran perilaku atau behaviorisme. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan linguistik Amerika, terutama disekolah linguistik yang didirikan menurut ajarannya.
Bloomfield menerangkan makna (semantk) dengan rumus-rumus behaviorisme. Akibatnya makna menjadi tidak dikaji oleh linguis-linguis lain yang menjadi pengikutnya. Unsur-unsur tersebut didalam lingkungan (environmet) dimana unsur-unsur tersebut itu berada. Distribusi dapat diamati secara langsung sedangkan makna tidak dapat.[21]
Teori linguistik Bloomfield ini akan bisa diterangkan dengan jelas kalau kita mengikuti anekdoct “Jack and Jill”. Dalam anekdot itu diceritkan Jack and Jill sedang berjalan-jalan. Jill melihat buah apel yang sdah masak di sebatang pohon. Jill berkata kepada Jack bahwa dia lapar dan ingin sekali makan buah apel. Ack memanjat pohon apel itu lalu memetik buah apel dan memberikannya kepada Jill. Secara sketsa peristiwa itu dapat digambarkan sebagai berikut :
S             r ............ s                    R
(1)      (2)  (3)                  (4)       (5)         (6)                    (7)

Penjelasan :
Jill melihat apel (S = Stimulus)
Otak Jill bekerja mulai dari melihat apel hingga berkata kepada Jack
Perilaku atau kegiatan Jill sewaktu berkata kepada Jack (R = Respon)
Bunyi-bunyi atau suara yang dikeluarkan Jill waktu berbicara kepada Jack
Perilaku atau kegiatan Jack sewaktu mendengar bunyi-bunyi atau suara yang dikeluarkan Jill (s = stimulus)
Otak Jack bekerja mulai dari mendengar bunyi suara Jill sampai bertindak
Jack bertindak memanjat pohon, memetik buah dan memberikan kepad Jill (R = respon)
Nomor (3), (4) dan (5) yaitu (r ... s) adalah lambang atau perilaku berbahasa (speech act) yang dapat diobservasi secara fisiologis, sedangkan yang dapat diamati atau diperiksa secara fisik hanyalah nomor (7).
Berdasarkan keterangan diatas maka yang menjadi data linguistik bagi teori Bloomfield adalah perilaku berbahasa atau lambang bahasa (r...s) dan hubungannya dengan makna (S...R). Apakah yang terjadi didalam otak Jill mulai dari (1) hingga (2) sampai dia mengeluarkan bunyi tidaklah penting karena keduanya tidak dapat diamati. Begitu juga dengan proses yang terjadi didalam otak Jack setelah mendengar bunyi-bunyi itu yang berbuatnya bertindak (5 dan 6) adalah juga tidak penting bagi teori Bloomfield ini.
Menurut Bloomfield bahasa merupakan sekumpulan ujaran yang muncul dalam suatu masyarakat tutur (speech community). Ujaran inilah yang harus dikaji untuk mengetahui bagian-bagiannya. Lalu bagi Bloomfield bahasa adalah sekumpulan data yang mungkin muncul dalam suatu masyarakat. Data ini merupakan ujaran-ujaran terdiri dari potongan-potongan perilaku (tabiat) yang disusun secara linear.
Bloomfield juga menambahkan bahwa bahasa teridir dari sejumlah isyarat atau benda berupa unsur-unsur vocal (bunyi) yang dinamai bentuk-bentuk linguistik. Setiap bentuk adalah sebuah kesatuan isyarat yang dibentuk oleh fonem-fonem.
Berbeda contoh dan penjelasan yangdiberikan oleh dua tokoh diatas mesti mereka sama-sama sepakat dengan adanya peran serta teori S-R dalam paham yang mereka anut yakni behaviorisme.

5.      Kelebihan dan Kekurangan Teori Behavioral
Kelebihan dari teori behavioral adalah:
a.       Makna suatu kata bisa diamati secara langsung dari tingkah laku pelaku bahasa
b.      Makna suatu kata dapat diamati sesuai dengan situasi dan kondisi yang melatar belakangi munculnya kata-kata tersebut di tengah-tengah interaksi sosial.

Dan adapun kekurangan dari teori ini adalah:
a.       Makna dapat ditentukan dari tingkah laku yang dapat diamati saja
b.      Stimulus yang diberikan terkadang menimbulkan respons atau makna yang berbeda-beda tergantung respons yang diberikan, dan bisa jadi respons yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dan bisa jadi respons yang diberikan dalam bentuk diam saja.
Respons yang tidak sesuai dikarenakan, pemikiran masing-masing manusia yang menanggapi sebuah stimulus berbeda-beda, dan juga kecenderungan masing-masing terhadap hal yang disampaikan juga berbeda-beda.
c.       Makna kata yang didapat dari stimulus yang diberikan akan berbeda-beda, karena kecenderungan masing-masing juga berbeda-beda.


Misalnya, sebuah kisah tentang sepasang suami-istri yang sedang berjalan di hutan. Di tengah perjalanan, si istri melihat buah apel, lalu ia berkata:”Aku Lapar”. Suaminya mendengar perkataan itu, lalu ia memanjatkan pohon apel dan memetik sebuah apel. Setelah itu ia memberikan buah apel kepada istrinya agar dimakan.
Dengan adanya teori ini, lingkungan mempunyai andil besar untuk menghasilkan sebuah makna. Akan tetapi, teori ini masih memiliki banyak kelemahan di antaranya:[22]
a)      Keterbatasan mengungkapkan stimulus yang sifatnya tidak jelas kedalam bahasa agar dipahami oleh orang lain. Contonya, ungkapan cinta, benci, rindu dan sebagainya
b)      Kemungkinan adanya beberapa stimulus dibalik sebuah ungkapan. Contohnya, ungkapan aku lapar
c)      Kemungkinan adanya beberapa respon untuk satu ungkapan. Contohnya, ungkapan kata lapar, kemungkinan kita bisa meresponnya dengan cara yang berbeda.

C.    AN NAZHARIYYAH AT TASHAWWURIYYAH
1.      Pengertian
Dari sudut kebahasaan, kata tashawwur adalah bentuk mashdar dari kata kerja tashawwara-yatashawwaru yang bearti membayangkan, atau menggambarkan. Dengan akar kata yang sama terangkailah kata shurah yang bearti gambar. Dengan demikian, secara bahasa tashawwur dapat diartikan sebagai bayangan atau gambaran. Adapun secara istilah, tashawwur itu ialah pengetahuan atau gambaran kita terhadap sesuatu yang tidak disertai penghukuman apapun terhadap sesuatu tersebut. Contohnya seperti pengetahuan kita terhadap buku, pulpen, kertas, masjid, rumah, hotel, dan sebagainya. Penegtahuan kita terhadap lafaz-lafaz tunggal itu, dalam bahasa ilmu mantiq dinamai tashawwur. Singkatnya, tashawwur itu ialah pengetahuan “telanjang” kita terhadap sesuatu.[23]
Ada orang yang mengucapkan kata “buku”, misalnya. Kemudian terbayanglah dalam benak anda bentuk buku, seperti yang sering kita lihat. Tanpa menyertakan atribut seperti buku itu bagus, buku itu makal, dan sebagainya. Sehingga banyang kita terhadap sesuatu yang tak disertai penghukuman itu, dinamakan tashawwur.
2.      Macam tashawwur
Tashawwur dibagi menjadi dua, yaitu tashawwur dharuriy (apodictic), lalu ada yang disebut tashawwur nazhariy (speculative). Contoh tashawwur yang pertama, bayangan terhadap lapar, dingin, panas dan sejenisnya. Kita tidak perlu memikirkan berdalam-dalam untuk membayangkan rasa lapar dan lainnya. Maka gambaran terhadap sesuatu yang tidak membutuhkan penalaran itu namanya tashawwur dharuriy. Kebalikannya adalah tashawwur nazhariy. Jika yang pertama tak membutuhkan penalaran, maka yang kedua membutuhkan perenungan. Misalnya seperti gambaran kita tentang malaikat, jin, ruh, akal dan hal-hal metafisik lainnya. Ketika ada orang yang menyebut kata malaikat, misalnya biasanya kita berspekulasi macam0macamnya. Kita membayangkan malaikat itu punya sayap, terbang ke langit, bewarna putih, menyertai orang-orang shaleh, dan sebagainya.[24]
















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari penjelasan makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Teori referensial adalah suatu pembahasan tentang makna bahasa yang mengidentifikasi makna suatu kata atau ungkapan berdasarkan ada tidaknya referensinya dalam dunia nyata. Teori referensial (denotational) dikembangkan pertama sekali oleh أوجدن (Odgen) dan ريتشاردز (Richard), dalam buku mereka yang terkenal dengan judul The Meaning of Meaning. Teori ini menekankan hubungan langsung antara reference dengan referent yang ada di alam nyata.
2.      Al-Nazhariyah al-Sulukiyah lebih dikenal dengan teori Behavioral dan dikenal juga dengan teori tingkah laku. Teori behavioral merupakan teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner. Teori behavioral adalah teori yang mengkaji makna melalui pengamatan terhadap tingkah laku pelaku bahasa.

B.     SARAN
Menentukan makna memanglah sangat sulit  karena makna sendiri selalu berubah tergantung unsur yang menempel dalam kata/kalimat tersebut. Akan tetapi, ada cara atau teori yang mana bisa memberi kemudahan dalam menentukan makna. Selanjutnya, dari teori tersebut bisa diharapkan menemukan teknik untuk menentukan secara tepat supaya lebih efektif dalam memahami ujaran atau tulisan seseorang.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Sayyid, Shabri Ibrahim. 1995.  Ilmu Dilalah Itharul Jadid, Iskandaria: Dar al-Ma’rifah Al-Jami’ah
Aminuddin. 1993. Semantik Pengantar Studi tentang Makna, Kairo: Ilmu Al- Kutub
Chaer, Abdul. 2002. Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasurdana, Faimah. 1999. Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna, Bandung: Refika Adiatama
J. D. Parera. 2002. Teori Semantik, Jakarta: Erlangga
Dalam http://changingminds.org/disciplines/theories/behavioral_theory.html. di akses Rabu 18 Oktober 2017 pukul 10.27
Rosyidi, Abd Wahab. 2002. Mamlu’atul Ni’mah, Memahami Konsep Dasar Pembelajaran Bahasa Arab, Malang: UIN Maliki Press
Taufiqurrochman. 2008.  Leksikologi Bahasa Arab, Malang: UIN Malang Press
Umar, Ahmad Mukhtar. 1993. Ilmu Dilalah, Kairo: Ilmu Kutub
Dalam http://www.qureta.com/post/memahami-konsep-tashawwur-dan-tashdiq diakses pada tanggal 3 november 2018


[1] Faimah Djajasurdana, Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna, (Bandung: Refika Adiatama, 1999), hal. 11
[2]Ahmad Mukhtar Umar, ‘Ilmu Dilalah, (Kairo: Ilmu Kutub, 1993), hal. 54-55
[3]صبري ابراهيم السيد، علم الدلالة إطار جديد، (اسكندرية: دار المعرفة الجامعية، 1995) ص. 47
[4]Ahmad Mukhtar Umar, op.cit., hal. 55
[5]Loc.cit
[6] Aminuddin, Semantik Pengantar Studi tentang Makna, (Kairo: Ilmu Al- Kutub, 1993), hal. 54-55
[7] J. D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2002), hal. 44
[8]Ahmad Mukhtar Umar, op.cit., hal. 55-56
[9]Ibid., hal. 56
[10]Ibid., hal. 59
[11]Taufiqurrochman,  Leksikologi Bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 42
[12] Aminudin, ibid., hal. 55
[13] Ibid, hal. 61
[14] Ibid, 77
[16]Shabri Ibrahim As-Sayid, op.cit., hal. 82
[18] Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 222
[19]Abd Wahab Rosyidi, Mamlu’atul Ni’mah, Memahami Konsep Dasar Pembelajaran Bahasa Arab, (Malang: UIN Maliki Press, 2002), hal 15
[20]Abdul Chaer, op.cit., hal 87
[21]Abdul Chaer, ibid, hal. 69
[22]Taufiqurrochman, op.cit., hal. 43

Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment