A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Al-qur’an sebagai petunjuk bagi umat Islam secara garis besar
mengandung dasar-dasar tentang akidah, akhlak, dan syariah atau hukum bagi
keberlangsungan kehidupan makhluk dijagat raya ini. Pada masa nabi Muhammad
segala permasalahan sesuatu hukum dapat diketahui jawaban nya berdasarkan Nash
Al-qur’an serta penjelasan beliau yang kemudian dikenal dengan sunnah nya.
Ketika zaman berkembang disinilah urgensi dari ijtihad untuk
mengkontekstualisasikan Al-qur’an dan sunnah nya sebagai pedoman hidup manusia.
Fiqih yang notabene sebagai ilmu tentang hukum-hukum syariat yang
bersifat praktis merupakan sebuah jendela yang digunakan untuk melihat perilaku
budaya masyarakat Islam. Fiqih itu melalui serangkaian proses yang umum
kita kenal dengan ijtihad yang mengkaji
dan memahami pokok-pokok fiqih agar tetap dinamis, maka ini pijakan dari Ushul
Fiqih. Sedangkan hukum-hukum yang didapati dengan jalan ijtihad yang
termasuk dalam ruang lingkup Fiqih itu disebut dengan Hukum Syara’
2.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Ushul Fiqih, Fiqih, dan
Hukum Syara’
2. Perbedaan antara Ushul Fiqih, Fiqih,
dan Hukum Syara’
3. Bagaimana pendapat ulama tentang
Ushul Fiqih, Fiqih, dan Hukum Syara’
3.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui Ushul Fiqih, Fiqih, dan Hukum Syara’
2.
Untuk mengetahui Perbedaan antara Ushul Fiqih, Fiqih, dan Hukum
Syara’
3.
Untuk mengetahui Bagaimana pendapat ulama tentang Ushul Fiqih,
Fiqih, dan Hukum Syara’
MAKALAH AL-QUR’AN; pengertian, nuzul al-qur’an, ayat-ayat pertama dan terakhir, kodefikasi al-qur’an pada zaman nabi, mushaf utsmani
B.
Pembahasan
A.
Pengertian Ushul Fiqih, Fiqih, dan Hukum Syara’ (Hukum Islam)
1.
Ushul Fiqih
Ushul fiqh terdiri dari 2
kata, yaitu Ushul dan fiqh, di dalam bahasa Arab Ushul merupakan
jamak dari Ashal yang mengandung arti “fondasi sesuatu,”.
الأصل
لغة مايبنى عليه غيره، كأصل الجدار أي
أساسه
الأصل اصطلاحا
يقال على الدليل والقاعدة الكلية والراجح والمستصحب[1]
Kata Ushul Fiqh merupakan gabungan dari dua kata, yakni Ushul
berarti pokok, dasar, pondasi. Yang kedua adalah Fiqih yang berarti paham yang
mendalam. Dilihat dari sudut tata bahasa Arab, rangkaian kata ushul dan fiqih
tersebut dinamakan tarkib idhafi, sehingga dua kata itu memberi
pengertian ushul bagi fiqih.[2]
أصول الفقه هو أدلة الفقه
على سبيل الإجمال كقولهم الأمر للوجوب و النهي للتحريم .[3]
Menurut Muhammad al-Khudlary Beik, Ushul Fiqih adalah kaidah-kaidah
yang dengannya di istinbath-kan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil
tertentu. Abdul Hamid Hakim mengartikan Ushul Fiqh adalah dalil Fiqih secara
Ijmali (global), seperti ucapan para ulama: suatu yang dikatakan sebagai
perintah adalah menandakan sebuah kewajiban, suatu yang dikatakan sebagai
larangan adalah menandakan sebuah keharaman, dan suatu yang dikatakan sebagai
perbuatan nabi Muhammad SAW, Ijma’ (konsensus para ulama), dan Qiyas (analogi)
adalah sebuah Hujjah (argumentasi).
Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf juga mendefinisikan dengan
ilmu tentang kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk
memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Dipihak lain, secara detail Abu Zahrah mengatakan bahwa ilmu ushul
fiqih adalah : “ilmu yang menjelaskan kepada Mujtahid tentang jalan-jalan yang
harus ditempuh dalam mengambil hukum-hukum dari nash dan dari dalil-dalil lain
yang disandarkan kepada nash itu sendiri. Oleh karenanya, ushul fiqih juga
dikatakan sebagai kumpulan kaidah atau metode yang menjelaskan kepada ahli
hukum Islam tentang cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’.
Jadi dari defenisi diatas
dapat disimpulkan bahwa ushul fiqh adalah:
Pengetahuan mengenai berbagai kaidah
dan bahasan yang
menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum
syara’ mengenai perbuatan manusia
dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Atau ushul
fiqh adalah: himpunan kaidah
dan bahasan yang
menjadi sarana untuk
mengambil dalil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia
dari dalil-dalil yang terinci
2.
Fiqih
الفقه
لغة الفهم
واصطلاحا
معرفة الأحكام الشرعية التي طريقها الإجتها كالنية في الوصول واجبة و المراد
بالمعرفة ما يشمل العلم و الظن.[4]
Dalam Al-Quran tidak kurang dari 19 Ayat yang berkaitan dengan kata
Fiqih dan semuanya dalam bentuk kata kerja. Di dalam hadits nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan: Barangsiapa yang dikehendaki
Allah menjadi orang yang baik di sisiNya niscaya diberikan kepadanya pemahaman
(yang mendalam) dalam pengetahuan agama. Dari Hadits ini, dapat ditarik satu pengertian
bahwa Fiqih itu berarti mengetahui, memahami dan mendalami ajaran-ajaran agama
secara keseluruhan. Pengertian fiqih dalam arti sangat luas sama dengan
pengertian syari’ah dalam arti yang sangat luas.[5]
Kalangan Syafi’iyah mendefenisikan fiqih sebagai ilmu tentang hukum
syara’ yang bersifat amaliyah diperoleh melalui dalil-dalil yang terperinci.
Sementara itu kalangan Hanafiyah mendefenisikan fiqih dengan pengetahuan
seseorang tentang apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Kalangan syafiiyah
muta’akhirin seperti imam Ghazali memberikan defenisi fiqih adalah sumber bagi
ilmu tentang akhirat.
Ulama sependapat bahwa didalam syariat Islam telah terdapat segala
hukum yang mengatur semua tindak-tanduk manusia, baik perkataan maupun
perbuatan. Hukum-hukum itu adakalanya disebutkan secara jelas serta tegas dan
adakalanya pula hanya dikemukakan dalam bentuk dalil-dalil dan kaidah-kaidah
secara umum. Untuk memahami hukum Islam dalam bentuk yang disebut pertama tidak
diperlukan ijtihad, tetapi cukup diambil begitu saja dan diamalkan apa adanya,
karena memang sudah jelas dan tegas disebut oleh Allah. Adapun untuk mengetahui
hokum Islam dalam bentuk kedua diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh para
mujtahid untuk menggali hukum yang terdapat didalam Nash melalui
pengkajian dan pemahaman yang mendalam. Keseluruhan hukum yang ditetapkan
melalui cara seperti disebut terakhir ini disebut Fiqh.
Dilihat dari sudut bahasa Fiqh berasal dari kataفقه yang berarti “memahami dan mengerti”. Dalam
peristilahan syar’I ilmu fiqh dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang
hukum-hukum syar’I amali (praktis) yang penetapan nya diupayakan melalui
pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci. Defenisi
lengkap nya berbunyi :
الأحكام
الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية.
Hukum syar’i yang dimaksud
diatas adalah segala perbuatan yang diberi hukumnya itu sendiri dan diambil
dari syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Adapun kata ‘Amali dalam
defenisi itu dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa yang menjadi lapangan
pengkajian ilmu ini hanya yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan tidak
termasuk keyakinan atau I’tiqad dari mukallaf. Adapun dalil-dalil terperinci
maksud nya adalah dalil-dalil yang terdapat dan terpapar dalam Nash dimana
satu persatu nya menunjuk pada satu hukum tertentu.
Mengetahui tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah
berdasarkan dalil. Dengan kata istidlal dalam defenisi di atas menggambarkan
bahwa fiqih merupakan hasil kreatifitas mujtahid dalam menggali dalil-dalil
tentang suatu persoalan hukum baik yang terdapat dalam Al-Quran maupun sunnah.
Hal itu diperoleh bukan melalui taqlid. Disamping itu, bukan dikatakan fiqih
bila mengetahui hukum Allah melalui ketentuan yang termasuk dalam kategori ma’lum
bi al-Dharurah.
Dalam versi lain, Fiqh juga disebut sebagai koleksi (Majmu’)
hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan diambil dari
dalil-dalilnya yang tafshili. Dengan sendirinya ilmu fiqh dapat dikatakan
sebagai ilmu yang bicara tentang hukum-hukum sebagaimana disebutkan.[6]
Sesuai gambar diatas, fiqih merupakan hasil dari sumber hukum yang
diolah melalui metodologi dan fikih adalah produk dari ushul fiqih. Untuk
memudahkan pemahaman dalam bagian ini akan dijelaskan dengan contoh :
أقم
الصلوة لدلوك الشمس إلى غسق الليل و قرءان الفجر إن قرءان الفجر كان مشهودا (78)
“Dirikanlah
sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah
sholat shubuh. Sesungguhnya sholat shubuh itu disaksikan oleh malaikat”
Lalu
ada hadits : صلوا كما رأيتمونى أصلى (shalatlah kalian sebagaimana aku sholat).
Dari Al-qur’an dan hadits diatas belum diketahui apakah hukum mengerjakan
shalat itu wajib atau sunnah. Dalam masalah ini ushul fiqih memberikan qaidah
bahwa hukum perintah atau Amr itu asal nya adalah wajib, terkecuali
adanya dalil yang memalingkan dari hukumnya yang asli itu.[7]
Dari penjelasan di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
fiqih itu merupakan pemahaman mendalam yang menerangkan tentang hukum-hukum
syara’ yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari
dalil-dalil tafsil.
3.
Hukum Syara’
Mayoritas
ulama Ushul Fiqih mendefenisikan :
خطاب
الله المتعلق بأفعال المكلفين اقتضاء أو تخييرا أو وضعا
“Kalam
Allah yang menyangkut perbuatan mukallaf yang bersifat imperative, fakultif,
atau wadh’iy”
-
Kalam Allah pada defenisi diatas adalah semua bentuk dalil, yaitu
al-qur’an dan hadits
-
Perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia
dewasa yang berakal sehat, meliputi perbuatan hati, perbuatan zhahir dan
ucapan.
-
Imperative, adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu yaitu perintah
dan larangan. Adapun fakultif adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu
atau meninggalkan nya. Wadh’iy yaitu mendudukan sesuatu, maksud nya adalah
memposisikan sesuatu sebagai penghubung hukum, bisa berupa sebab, syarat dan
penghalang.[8]
Secara Lughawiy syariat berarti jalan ketempat pengairian
atau jalan yang sesungguhnya harus diturut. Syariat juga berarti tempat yang
akan dilalui untuk mengambil air disungai. Kata Syariat mengandung arti
“jalan yang jelas membawa kemenangan”, dalam hal ini, agama Islam yang
ditetapkan untuk manusia disebut syariat, karena umat Islam selalu melaluinya
dalam kehidupan mereka di dunia. Ahli Ushul
Fiqih mendefenisikan hukum Syar’I sebagai Khitab (titah) Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung tuntutan, kebolehan,
boleh pilih atau wadha’ (mengandung ketentuan tentang ada atau tidaknya sesuatu
hukum). Sedangkan Ahli Fiqih mendefenisikan hukum Syar’I adalah efek yang
dikehendaki oleh titah Allah tentang perbuatan seperti wajib, haram, dan mubah.
Dan melalui pemahamannya terhadap defenisi ini ada ulama yang mengatakan bahwa
hukum syar’i itu merupakan koleksi daya upaya para Fuqaha untuk
menetapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Bila diperhatikan
defenisi-defenisi yang dikemukakan oleh para ahli diatas dapat dikatakan bahwa
bukan Nash itu yang dimaksud dengan hukum Syar’I melainkan efek dari
kandungan nash itu sendiri. Contoh firman Allah :
وأقيموا الصلاة
Ahli Ushul fiqih mengatakan bahwa firman Allah (perintah wajib
shalat) itulah yang dikatakan hukum Syar’I berbeda dengan ahli fiqh yang
mengatakan bahwa wajib sholatlah yang dikatakan hukum Syar’i.
Dapat dikatakan bahwa hukum syara’ adalah seperangkat peraturan
yang mengandung tuntutan, kebolehan, boleh pilih atau wadha’ berdasarkan
ketentuan Allah yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang diakui dan
diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
4.
Pembagian Hukum Syara’
Para ulama ushul membagi hukum Syar’i menjadi dua : hukum Taklifi
dan hukum Wadh’i :
a.
Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah hukum Syar’i yang mengandung tuntutan untuk
dikerjakan atau untuk ditinggalkan oleh mukallaf atau mengandung pilihan antara
yang dikerjakan dan ditinggalkan. Hukum taklifi ini terbagi kepada lima
pembagian : Wajib, mandub/nadb/sunah, haram, makhruh, mubah.[9]
1)
Wajib
الواجب هو ما يثاب علي فعله و يعاقب علي ترك[10]
خطاب الله تعالى الذي يقتضي الفعل إقتضاء جازما[11]
Wajib adalah segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakan
nya dan diberi Iqab atau siksa jika meninggalkan nya, contoh nya
mengerjakan lima rukun Islam. Wajib ini terbagi 4 :
a)
Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentu nya perbuatan yang
dituntut : wajib muayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatan
nya, contohnya membaca al-fatihah dalam sholat. Wajib mukhayyar, yaitu
yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah
ditentukan, misal nya kafarat sumpah yang memberi makan sepuluh orang miskin
atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memerdekakan budak.
b)
Dilihat dari segi waktu yang tersedia untuk menunaikan nya : Wajib
muthlaq : sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan orang mukallaf
tanpa ditentukan waktunya. Misalnya kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman
bagi yang melanggar sumpah, lalu kafarat itu boleh dibayar kapan saja. Wajib
al-muaqqat dibagi 3 : wajib al-mu’aqqat bi waqtin mudhayyaq, yaitu
kewajiban yang waktunya secara khusus diperuntukan pada suatu amalan dan
waktunya tidak bisa digunakan untuk kewajiban lain. Contoh : puasa bulan
ramadhan. abdulWajib al-mu’aqqat bi waqtin muwasa’, yaitu kewajiban yang
ditentukan waktu nya, tetapi waktunya ini cukup lapang sehingga dalam waktu itu
bisa juga dikerjakan amalan yang sejenis, contoh nya waktu-waktu yang
ditentukan untuk melaksanakan sholat. Ketika masuknya waktu sholat zhuhur,
seseorang bisa melaksanakan sholat zhuhur dan sholat sunnah.
c)
Dilihat dari segi yang dibebani atau yang harus memperbuat nya : wajib
aini, yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukallaf, contoh nya puasa bulan
ramadhan. Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh salah
seorang anggota masyarakat, tanpa melihat siapa yang mengerjakan nya. Apabila
kewajiban itu telah ditunaikan salah seorang mereka maka hilanglah tuntutan
terhadap yang lain nya, contoh : menyelenggarakan sholat jenazah.
d)
Dilihat dari segi kadar (kuantitas) : wajib muhaddad, yaitu
kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya, contoh nya jumlah zakat. Wajib
ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangan nya.
Contoh nya tolong menolong, membelanjakan harta dijalan Allah.
2)
Mandub/nadb/sunah/mustahab
[12] المندوب هو ما يثاب علي فعله و لا يعاقب علي تركه
خطاب الله تعالى الذي يقتضي الفعل إقتضاء غير جازم[13]
Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendatangkan
pahala, sedangkan meninggalkna nya tidak dikenakan dosa atau Iqab. Terbagi
kepada :
a)
Sunat ‘aini, yaitu segala
perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukallaf untuk dikerjakan,
misal nya sholat sunat tarawih atau rawatib.
b)
Sunat kifayah, yaitu segala
perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah seorang saja dari
suatu kelompok, contoh nya : mengucapkan salam
c)
Sunat muakkad, yaitu
perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan oleh rasul atau lebih banyak dikerjakan rasul lebih
banyak daripada tidak dikerjakan, contoh nya : sholat sunat hari raya.
d)
Sunat ghairu muakkad,
yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan rasul, contoh
nya : sholat sunat dhuha.
3)
Haram
[14]التحريم هو ما يثاب علي تركه و يعاقب علي فعله
خطاب الله تعالي الذي يقتضي الترك إقتضاء جازما[15]
Haram
yaitu apa yang diminta oleh Syar’i menghentikan perbuatannya, permintaan secara
pasti. Sighat minta diperhentikan itu sendiri yang menunjukkan bahwa permintaan
itu merupakan kepastian Berfirman Tuhan dalam Al-Qur’an “Diharamkan kepadamu
mayat, darah dan daging babi aku bacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu, tidak halal bagimu” atau larangan memperbuat yang berhubungan dengan
apa yang ditunjukkan atas yang merupakan kepastian. Contoh,- Dan jangan kamu
menghampiri perzinaan, karena adalah keji. Atau perintah menjauhkan diri
berkaitan dengan yang demikian. Contoh,- Bahwa khamar, judi, berhala dan
mengundi nasib itu adalah najis perbuatan setan, maka jauhkanlah dirimu
daripadanya, atau menertibkan atas perbuatan dosa, seperti firman Tuhan yang
berbunyi[16]
:
وَالَّذِينَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَتِ ثُمَّ لَمْ
يَأْتُوا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَنِيْنَ جَلْدَةً
Dan
orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh)
itu delapan kali dera ( QS 24 : 4 )
Haram di
sini mempergunakan sighat gharibah yang ditunjukkan kepadannya. Atau sighat
thalbiah, yaitu nahi (larangan). Atau dari sighat thalbiah yaitu perintah untuk
menjauhkan diri daripadanya. Qarinah di sini menyatakan minta untuk diharamkan.
4) Makruh
الكراهة هو ما يثاب علي تركه و لا يعاقب علي فعله[17]
خطاب الله تعالي الذي يقتضي الترك إقتضاء غير جازم[18]
Makhruh
yaitu apa yang diminta oeh syar’i dari mukallaf itu menghentikan pekerjaannya.
Permintaan itu tidak pasti. Karena
sighatnya itu sendirilah yang menunjukkan demikian. Sebagaimana halnya apabila
ada orang yang mengatakan,- Allah benci kepadamu begini. Atau ada larangan
terhadapnya, dan larangan itu dihubungkan kepada apa yang ditunjukkan, bahwa
larangan itu adalah karena benci. Bukan karena haram. Misalnya, jangan kamu
menanyakan sesuatu, nanti akan jelas olehmu keburukannya. Atau ada perintah
untuk menjauhkan diri daripadanya. Di sini ada qarinah yang menunjukkan
demikian, misalnya firman Tuhan yang berbunyi,- Tinggalkan berjual beli.
Diminta memperhentikan memperbuatnya itu
karena sighatnya itu sendiri yang menunjukkan bahwa permintaan yang
diperintahkan itu adalah haram. Misalnya,- Diharamkan kepadamu begini. Ada pula
sighat larangan secara muthlak. Atau perintah dengan menjauhkan diri
daripadanya itu secara muthlak. Di sini orang mengambil dalil dengan qarinah
atas permintaan itu pasti atau tidak pasti. Dari qarinah itu ditertibkan sanksi
hukum terhadap perbuatan itu, dan ada pula yang tidak ditertibkan. Dalam hal
ini sebagian ahli ushul itu mengharamkan. Karena bila orang meperbuatnya maka
dia akan berdosa. Makhruh karena apa-apa yang diperbuatnya itu tidak mendapat
dosa. Hanya sekedar dicela.
5) Mubah
[19]المباح هو ما لا يثاب علي فعله و لا يعاقب علي تركه
خطاب الله تعالي الذي يخير بين الفعل و الترك[20]
Mubah yaitu
apa-apa yang disuruh pilih oleh syar’i kepada mukallaf antara memperbuat dan
meninggalkannya. Syar’i tidak meminta si mukallaf mengerjakan perbuatan itu dan
tidak pula untuk menghentikannya. Kadang-kadang ditetapkan denga nash syar’i,
boleh memperbuatnya. Apabila ada nash yang dikemukakan oleh syar’i maka tidak
berdosa memperbuatnya. Dengan ini ditunjukkan bahwa diperbolehkan. Berfirman
Tuhan dalam Al-Qur’an:
فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ يُقِيْمَا حُدُودَاللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهِ
Maka jika kamu khawatir bahwa keduanya
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak berdosa keduanya tentang
bayaran yang diberikan ( QS 2 : 229 )[21]
b.
Hukum wadh’I dan macam-macamnya
Para ulama ushul fiqih menyatakan
bahwa hukum wadh’I itu ada lima macam, yaitu:
1)
Sabab
السبب هو ما يلزم من وجوده وجود الحكم و من عدمه عدم
الحكم. نحو الزنا سببا لوجود الحد.[22]
Sabab (السبب) secara etimologis artinya “sesuatu
yang memungkinkan dengan nya sampai tujuan”, Yaitu sifat yang nyata dan dapat
diukur yang dijelaskan oleh nash (al quran dan atau sunnah) bahwa keberadaanya
menjadi petunjuk bagi hukum syara’. Artinya keberadaan sabab merupakan pertanda
keberadaan suatu hukum dan hilangnya sabab menyebabkan hilangnya hukum.
Misalnya perbutan zina menyebabkan seseorang dikenai hukum dera 100 kali. Apabila perzinaan tidak dilakukan maka hukum
dera tidak dikenakan. Dengan demikian,
terlihat keterkaitan hukum wadh’I dengan hukum taklifi, sekalipun keberadaan
hukum wad’I itu tidak menyentuh sesensi hukum taklifi. Hukum wad’I hanya
sebagai petunjuk atau indicator untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan tetapi,
para ulama ushul fiqih menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash, bukan
buatan manusia.
Pembagian sabab dilihat dari berbagai segi :
a)
Dari segi objek nya :
1)
Sabab al-waqti, seperti
tegelincirnya matahari sebagai tanda wajib nya sholat zhuhur.
2)
Sabab al-ma’nawi, seperti
mabuk sebagai sebagai sebab keharaman khamar.
b)
Dari segi kemampuan mukallaf :
1)
Sabab yang merupakan perbuatan mukallaf dan mampu dilakukan seperti
jual beli yang menjadi penyebab pemilikan harta, pembunuhan sengaja yang
menyebabkan terjadi nya Qishas.
2)
Sabab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak mampu untuk
dilakukan, seperti tergelincir nya matahari sebagai sebab wajib nya sholat
zhuhur.
c)
Dari segi hukum nya :
1)
Sabab al-masyruth, yaitu
seluruh yang membawa kepada kemashalahatan dalam pandangan syar’i, sekalipun
dibarengi kemafsadatan secara zhahir, seperti jihad sebagai sebab tersiar nya
Islam, terpeliharanya aqidah sekalipun dalam pelaksanaan jihad membawa kepada
kemafsadatan seperti pengorbanan harta dan bahaya yang mengancam jiwa.
2)
Sabab ghairu al-masyruth, yaitu sebab yang membawa kepada mafsadat dalam pandangan syar’i,
sekalipun didalam nya juga terkandung suatu kemaslahatan secara zhahir.
d)
Dari segi pengaruh nya terhadap hukum :
1)
Sabab yang berpengaruh kepada hukum, yang disebut ‘illat, contoh
nya : mabuk sebagai sebab yang berpengaruh pada hukum, yang merupakan illat keharaman
khamar, perjalanan sebagai sebab boleh nya berbuka puasa bagi musafir yang
merupakan illat boleh berbuka.
2)
Sabab yang tidak berpengaruh pada hukum, dimana antara sabab dan
hukum tidak ada keserasian, seperti waktu sebagai sebab wajib nya sholat.
e)
Dari segi jenis musabbab :
1)
Sabab bagi hukum taklifi, contoh nya : muncul nya hilal sebagai
pertanda kewajiban berpuasa.
2)
Sabab untuk menentukan hak milik, melepaskan atau menghalalkan nya.
Contoh nya : akad nikah.
f)
Dari segi hubungan sabab dengan musabbab :
1)
Sabab al-syar’i, yaitu sebab
yang hubungan nya dengan musabbab dihasilkan hukum syar’i, contoh nya
tergelincir matahari sebab wajib zhuhur.
2)
Sabab al-‘aqli, yaitu sebab
yang hubungan nya dengan musabbab dihasilkan melalui nalar manusia,
seperti belajar sebab seorang berilmu.
3)
Sabab al-‘adi, yaitu sebab
yang hubungan nya dengan musabbab didasarkan pada hukum adat kebiasaan,
contoh nya tubuh merasa tidak sehat karena sakit.[23]
3)
Syarath
الشرط هو ما يلزم من عدمه عدم الحكم. نحو أن الوضوء شرط
لصحة الصلاة[24]
Secara bahasa Syarat (الشرط) yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘alamah (tanda),
secara terminologi para ulama ushul fiqih mendefenisikan :
ما
يتوقف وجود الحكم وجودا شرعيا على وجوده و يكون خارجا عن حقيقته, و يلزم من عدمه
عدم الحكم.[25]
“Sesuatu yang tergantung
pada nya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang
ketidaan nya hukum pun tidak ada”
Yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan
hukum syara’ tergantung kepadanya apabila syarat tidak ada maka hukumpun tidak
ada. Tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Oleh sebab itu, suatu hukum taklifi tidak
dapat diterapkan kecuali apabila telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan
syara’. Misalnya wudhu’ adalah salah satu syarat sah shalat. Shalat tidak dapat
dilaksanakan tanpa wudhu’. Akan tetapi, apabila seseorang berwudhu’ maka tidak
mesti ia harus melaksanakan shalat. Hubungan antara sabab dengan syarath adalah
syarat merupakan penyempurna bagi sabab, apabila ada sabab dan syarth yang tidak
terpenuhi, maka hukum tidak ada. Oleh sebab itu sebab mesti ada pada hukum yang
syarat-syarat nya terpenuhi dan tidak ada halangan yang menghambat perberlakuan
hukum tersebut. Contoh nya : pembunuhan sebagai sebab hukuman qishas jika
syaratnya terpenuhi, yaitu disengaja atau dilakukan dengan rasa permusuhan.
Syarath dapat dilihat
dari berbagai segi :
a)
Dari segi kaitan nya dengan sabab dan musabbab, dari sisi ini
syarath terbagi kepada 2 bentuk :
1)
Al-syarth al-mukammil li al-asbab (syarat penyempurna sabab), seperti haul dalam kewajiban
zakat pada harta yang telah mencapai satu nisab. Nisab adalah sebab wajib nya
zakat, dan harta satu nisab itu tidak bisa dikenakan zaakat kecuali apabila
telah haul.
2)
Al-syarth al-mukammil li al-musabbab (syarat penyempurna musabbab), seperti bersuci dan menutup aurat
adalah syarat bagi penyempurna shalat, jika tidak ada syarat ini maka ketiadaan
hukum.
b)
Dari segi pensyaratannya, terbagi menjadi dua macam :
1)
Al-syarth al-syar’i, yaitu
syarath yang ditentukan syar’i terhadap berbagai hukum, seperti persyaratan
yang ada dalam bidang ibadah, mu’amalah dan pelaksanaan hukuman.
2)
Al-syarth al-ja’li, yaitu
syarat yang dibuat mukallaf, seperti : menyampaikan atau membawa barang yang
telah dibeli kerumah pembeli sebagai syarat yang disepakati penjual dan pembeli
ketika akad jual beli berlangsung.
c)
Dari segi hubungan syarth dengan masyrut :
1)
Al-syarth al-syar’i, yaitu
syarat yang ada hubungan nya dengan yang disyaratkan didasarkan atas hukum
syara’.
2)
Al-syarth al-aqli, yaitu
syarat yang hubungan nya dengan yang disyaratkan didasarkan nalar manusia.
3)
Al-syarth al-‘adi, yaitu
syarat yang hubungan nya dengan yang disyaratkan didasarkan adat kebiasaan.
3)
Penghalang (المانع)
[26]المانع هو ما يلزم من وجوده عدم الحكم.
نحو الحيض يلزم
منه عدم وجوب الصلاة
Secara etimologi المانعyang berarti berhenti dari sesuatu, yang dalam bahasa Indonesia
artinya penghalang. Yaitu sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkan tidak
ada hukum atau tidak ada sebab.
Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebaban
terciptanya hubungan kewarisan (waris mewarisi). Apabila ayah wafat maka istri
dan anak mendapatkan pembagian warisan dari harta suami atau ayah yang wafat,
sesuai dengan pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi ini bisa
terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah yang wafat
tersebut.
Macam-macam mani’ atau penghalang :
a)
Mani’ bagi hukum,
disebabkan suatu hikmah yang menghendakinya berbeda dengan hukum. Mani’ ini
terbagi kepada 3 macam :
1)
Mani’ yang tidak
berkumpul dengan hukum taklifi, yaitu sesuatu yang menyebabkan hilangnya akal,
seperti dalam keadaan tidur dan gila menyebabkan terhalang nya taklif.
2)
Mani’ yang berada
bersamaan dengan ahliyah taklif tetapi Mani’ ini menghilangkan
taklif, seperti haid dan nifas yang menjadi penghalang untuk melaksanakan
shalat dan masuk masjid.
3)
Mani’ yang
menghilangkan kemestian taklif, dan membawa seseorang untuk bersikap memilih.
Misalnya keadaan sakit menghalangi seseorang untuk melaksanakan shalat jum’at
sekalipun apabila dilaksanakan shalatnya sah.
b)
Mani’ bagi Sabab,
karena keberadaan Mani’ merusak hikmah yang ada pada sabab, misalnya
utang menyebabkan batalnya kewajiban zakat, karena harta tersebut tidak
mencapai satu nishab lagi (sabab wajib zakat).
4)
Shihah
الصحيح هو ما يتعلق به النفوذ والإعتداد بأن يجتمع فيه
الأركان والشروط و يخلو عن المفسدة
Yaitu sutu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ yaitu
terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjekan shalat zhuhur setelah
tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu’ (syarat), dan tidak ada
halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas dan sebagainya). Dalam contoh ini, pekerjaan yang dilaksanakan
ini hukumnya sah. Oleh sebab itu, apabila sebab tidak ada dan syarat tidak
terpenuhi, maka shalat itu tidak sah, sekalipun mani’nya tidak ada.
5)
Bathil
الباطل
هو ما لا يتعلق به النفوذ رلايعد به بأن لم يستجمع ميعبر فيه شرعا[27].
Yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan
tidak ada akibat hukum yang ditimbulnya. Misalnya. Memeperjualbelikan minuman
keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman ketas tidak bernilai harta
dalam pandangan syara’. Jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin berpendirian bahwa
antara batal dan fasid adalah dua istilah dengan pengertian yang sama yaitu
sama-sama tidak sah.[28]
6)
‘azhimah dan rukhshah
العزيمة هو الحكم الذي
لا يتغير كوجوب الصلوات الخمس[29]
الرخصة
هي الحكم الذي يتغير من صعوبة إلى سهولة مع قيام سبب الحكم الأصل
العزيمة هي الحكم الذي لا يتغير[30]
‘azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh
hamba-Nya sejak semula. Artinya belum ada hukum sebelum itu disyari’atkan
Allah, sehingga sejak disyari’atkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Misal
nya jumlah raka’at shalat zhuhur ada empat rakaat. Jumlah raka’at ini
ditetapkan Allah sejak semula, dimana sebelumnya tidak ada hukum lain yang
menetapkan jumlah raka’at shalat zhuhur. Hukum tentang raka’at shalat zhuhur
itu adalah empat raka’at disebut ‘azimah. Apabila ada dalil lain yang
menunjukkan bahwaorang-orang tertentu boleh mengerjakan shalat zhuhur dua
raka’at seperti orang musafir maka hukum itu disebut rukshah dengan “hukum yang
ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur”.[31]
Secara etimologi Rukhshah berarti kemudahan, kelapangan, dan
kemurahan. Secara terminology Imam Al-baidhawi merumuskan nya dengan “hukum
yang ditetapkan berbeda dengan dalil karena adanya udzur”.
Rukhshah yaitu apa yang
disyariatkan Allah dari hal hukum-hukum yang meringankan kepada Mukallaf dalam
hal-hal yang khusus memperlakukan keringanan atau apa yang disyariatkan bagi
udzur yang sulit dalam hal-hal tertentu. Atau memperbolehkan apa yang dilarang
dengan dalil disamping menegakan dalil larangan. Contoh : memakan babi ketika
ada udzur yang mengharuskan untuk memakan nya, contoh nya udzur penyakit atau
terdesak.
Rumusan ini menunjukan bahwa hukum Rukhshah hanya berlaku
apabila ada dalil yang menunjukan dan ada udzur yang menyebabkan nya,
Perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i :
a.
Dilihat dari sudut pengertian nya, hukum taklifi adalah hukum Allah
yang berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan,
atau membolehkan memilih antara berbuat dan tidak berbuat. Sedangkan hukum
wadh’i tidak mengandung tuntutan atau memberi pilihan, hanya menerangkan sebab
atau halangan (mani’) suatu hukum, sah, dan batal.
b.
Hukum taklifi mempunyai sanksi hukum, sementara hukum wadh’i hanya
mempunyai konsekuensi hukum.[32]
c.
Hukum taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan,
memilih berbuat atau tidak, sedangkan hukum wadh’i mengandung keterkaitan
antara dua persoalan.
d.
Hukum taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk
melaksanakan atau meninggalkan nya, karena dalam hukum taklifi tidak boleh ada
kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin
dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukum wadh’i kesulitan (masyaqqah)
dan kesempitan (haraj) bisa dipikul, contoh nya menghadirkan saksi
sebagai syarat dalam pernikahan, dan adakala nya diluar kemampuan mukallaf,
contoh nya tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat zhuhur.
e.
Hukum taklifi ditujukan kepada para mukallaf, sedangkan hukum
wadh’i ditujukan kepada manusia siapa saja.[33]
baca juga :
B.
Perbedaan Antara ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih
Ilmu Fiqih berbicara tentang hukum dari sesuatu perbuatan, maka
ilmu Ushul fiqih bicara tentang metode dan proses bagaimana menemukan hukum itu
sendiri. Atau jika dilihat dari sudut aplikasinya, fiqih akan menjawab
pertanyaan “apa hukum dari suatu perbuatan?” dan Ushul fiqih “bagaimana cara
atau proses menemukan hukum yang digunakan sebagai jawaban permasalahan yang
dipertanyakan tersebut”. Oleh karena itu, fiqih lebih bercorak produk sedangkan
ushul fiqih lebih bermakna metodologis. Dan oleh sebab itu, fiqih terlihat
sebagai koleksi produk hukum, sedangkan ushul fiqih merupakan koleksi metodis
yang sangat diperlukan untuk memproduk hukum.
Dilihat dari segi objek nya pun berbeda, yang menjadi objek
pembahasan dalam ilmu fiqh adalah perbuatan mukallaf yang dilihat dari sudut
pandang Syara’. Perbuatan tersebut dapat dikelompokan dalam tiga
kelompok besar : ibadah (segala persoalan yang pada pokoknya berkaitan dengan
urusan akhirat dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti : sholat,
puasa, zakat, dan lain-lain), mu’amalah (mencakup hal-hal yang mengatur
hubungan sesama manusia dalam masalah harta, seperti jual beli, sewa-menyewa,
pinjam meminjam, dan lain-lain) dan ‘uqubah (mencakup persoalan yang menyangkut
tindak pidana, seperti pembunuhan, pencurian, dan lain-lain). Sedangkan objek
ilmu Ushul fiqih adalah dalil-dalil syara’ itu sendiri dari segi bagaimana
penunjukan nya kepada suatu hukum secara ijmali.
Dilihat perbedaan nya dari segi tujuan Akhir yang hendak dicapai
oleh Ilmu Ushul fiqih dan ilmu Fiqih ini , sebagaimana yang dikutip oleh
Alaidin koto dalam buku Abdul Wahab khallaf mengatakan bahwa maksud akhir yang
hendak dicapai dari Ilmu fiqih adalah penerapan hukum syariat kepada amal
perbuatan manusia, baik tindakan maupun perkataannya. Dengan mempelajari nya
orang akan tahu mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang, mana yang shah
dan mana yang bathal, mana yang halal dan mana yang haram. Sedangkan ilmu ushul
fiqih tujuan akhir yang hendak dicapai ilmu ini adalah penerapan kaidah-kaidah
dan pembahasan-pembahasannya ditunjuk oleh dalil-dalil tafshili untuk sampai
kepada hukum syariat yang ditunjuk oleh dalil-dalil tersebut. Dengan pembahasan
dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam ilmu ini dapat dipahami teks-teks syariat
dan dapat diambil hukum darinya. Ilmu ini juga berbicara tentang petunjuk
pengambilan dalil atau sesuatu yang terkuat dari dua dalil yang bertentangan
serta ilmu ini juga membahas metode penerapan hukum peristiwa atau tindakan
yang tidak ditemukan Nashnya, dengan jalan qiyas, istishab, dll.
Jadi, bila ilmu fiqih bertujuan untuk member pelajaran,
pengetahuan, atau petunjuk tentang hukum : apa atau mana yang boleh dan yang
dilarang serta menunjukan cara pelaksanaan suatu perintah. Sedangkan ushul
fiqih memberi pengetahuan kepada umat Islam tentang system hukum dan
pengambilan hukum itu sendiri. [34]
C.
Penutup
Kajian diatas memaparkan permasalahan tentang Ushul fiqih,
fiqih, dan hukum syara’. Ushul fiqih adalah dasar dari penggalian
hukum-hukum syar’I, yang merupakan jalan atau metode ataupun kaidah yang
digunakan oleh para mujtahid untuk mendapatkan hukum atau fiqih. Fiqih adalah
produk dari ushul fiqih. Jadi, bila ilmu fiqih bertujuan untuk member
pelajaran, pengetahuan, atau petunjuk tentang hukum : apa atau mana yang boleh
dan yang dilarang serta menunjukan cara pelaksanaan suatu perintah. Sedangkan
ushul fiqih memberi pengetahuan kepada umat Islam tentang system hukum dan
pengambilan hukum itu sendiri. Sedangkan
hukum syara’ adalah Khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang mengandung tuntutan, kebolehan, boleh pilih atau wadha’
(mengandung ketentuan tentang ada atau tidaknya sesuatu hukum). Hukum syara’
ini pun mempunyai pembagian : hukum taklifi dan hukum wadh’i dan kedua nya pun
mempunyai pembagian-pembagian yang telah penulis rincikan diatas. Ketiga aspek
diatas memiliki perbedaan-perbedaan yang bisa dilihat dari objek maupun tujuan
akhir dari nya.
[1]
Abdul Hamid Hakim, Al-Sulam juzu’ 2, (Jakarta :
Maktabah Al-Sa’adiyah putra, 2007), hal.5
[2] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Rajawali
Press, 2014), hal. 3
[3]
Mansur, Bidayatul Ushul,(Canduang : MTI
Canduang, 2001), hal. 3
[4]
Mansur, Bidayatul Ushul,…, hal. 3
[5] Djazuli, Ilmu
Fiqih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,(Jakarta: Kencana,
2005), hal. 04
[6]
Alaidin koto, Ilmu Fiqih
dan Ushul Fiqih, …, hal. 2
[7]
Imam Yazid, Ilmu fikih dan Ilmu Ushul Fikih, (Medan
: fakultas Ilmu Sosial UIN Sumatera Utara) hal.2
[8]
Imam Yazid, Ilmu fikih dan Ilmu Ushul Fikih, …,
hal. 13
[9]
Nasrun Haroen, Ushul
Fiqih 1, (Jakarta: logos wacana ilmu, 1997), h. 227
[10]
Mansur, Bidayatul Ushul,…, hal.5
[11]
Abdul Hamid Hakim, Al-Sulam juzu’ 2, (Jakarta :
Maktabah Al-Sa’adiyah putra, 2007) hal.8
[12]
Mansur, Bidayatul Ushul,(Canduang : MTI
Canduang, 2001) hal. 5
[13]
Abdul Hamid Hakim, Al-Sulam juzu’ 2, (Jakarta :
Maktabah Al-Sa’adiyah putra, 2007) hal.8
[14]
Mansur, Bidayatul Ushul,…, hal. 5
[15]
Abdul Hamid Hakim, Al-Sulam juzu’ 2, …, hal.8
[16]
Halimuddin,
Terjemahan Ilmu Ushul Fikih Syekh Abdul Wahab Khallaf oleh Halimuddin,
(Jakarta : PT RINEKA CIPTA, 2005), h. 134
[17]
Mansur, Bidayatul Ushul,(Canduang : MTI
Canduang, 2001) hal. 5
[18]
Abdul Hamid Hakim, Al-Sulam juzu’ 2, (Jakarta :
Maktabah Al-Sa’adiyah putra, 2007) hal.8
[19]
Mansur, Bidayatul Ushul,…, hal. 5
[20]
Abdul Hamid Hakim, Al-Sulam juzu’ 2, …, hal.8
[21]
Halimuddin, Terjemahan Ilmu Ushul Fikih Syekh
Abdul Wahab Khallaf oleh Halimuddin, …, h. 137
[22]
Abdul Hamid Hakim, Al-Sulam juzu’ 2, …, hal.8
[23]
Halimuddin,
Terjemahan Ilmu Ushul Fikih Syekh Abdul Wahab Khallaf oleh Halimuddin, …, h. 140
[24]
Abdul Hamid Hakim, Al-Sulam juzu’ 2, …, hal.8
[25]
Mansur, Bidayatul Ushul,…, hal. 6
[26]
Abdul Hamid Hakim, Al-Sulam juzu’ 2, …, hal.8
[27]
Mansur, Bidayatul Ushul,…, hal. 6
[28]
Nasrun Haroen, Ushul
Fiqih 1, …, h. 275
[29]
Mansur, Bidayatul Ushul,…, hal. 6
[30]
Mansur, Bidayatul Ushul, …, hal. 6
[31] Nasrun Haroen,
Ushul Fiqih 1, …, h. 217-219
[32]
Alaidin koto, Ilmu Fiqih
dan Ushul Fiqih, …, hal. 55
[33]
Nasrun Harun, Ushul Fiqih, …, hal.222
[34]
Alaidin koto, Ilmu Fiqih
dan Ushul Fiqih, …, hal. 10
0 komentar:
Post a Comment