PENGERTIAN DAN
RUANG LINGKUP STUDI ISLAM
DOSEN PENGAMPU : DR. MUHAMMAD
RAZALI, MA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
AHMAT GUNAWAN PASARIBU :
0602163050
ANITA GULTOM : 0602163055
SIDA WATI RAMBE : 0602163054
PRODI SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISUMATERA UTARA
2017
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah
yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kita karunia serta nikmatnya hingga pada
saat ini kita masih bisa melaksanakan proses belajar di sekolah ini. Shalawat
beriringan salam, mari kita sampaikan ke Rasul Allah SAW yang telah membawa
tangan umatnya dari alam kegelapan hingga menuju alam yang terang dengan iman
dan taqwa.
Apabila nantinya dalam penyusunan makalah kami ini ada kekurangan dan
ketidak sempurnaan kami terlebih dahulu memohon maaf.
i
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
A. BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................... 1
B. BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................... 2
a.
Pengertian Studi Islam.................................................................................... 2
b.
Ruang Lingkup Studi Islam............................................................................ 4
C. BAB IIIPENUTUP............................................................................................. 12
a.
Kesimpulan.................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 13
ii
|
ii
|
BAB I
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang
terakhir sebagai penutup semua agama yang telah ada, islam merupakan agama rahmatal lil a’lamin untuk semua
umat.Islam itu dibawakan oleh nabi Muhammad SAW yang mendapat wahyu dari Allah.
Untuk mengetahui islam lebih mendalam mak muncullah ilmu yang dinamakan Studi
Islam akan tetapi Studi Islam itu sendiri merupakan bidang kajian yang cukup
lama. Ia telah ada bersama dengan adanya agama islam maka dari itu Studi Islam
menimbulkan berbagai permasalahn yang umum diantaranya : apa penertian Studi
Islam, apa ruang lingkup, atau objek Studi Islam, apa tujuan Studi Islam,
bagaimana pendekatan dan metodologi dalam Studi Islam.
Seiring dinamika dan perkembangan
zaman, kesempatan untuk mempelajari Studi Islam dapat melalui segala hal,
berkaitan dengan persoalan tentang mempelajari Studi Islam, islam memberikan
kesempatan secara luas kepada manusia untuk menggunakan akal pikirannya secara
maksimal untuk mempelajarinya, namun jangan sampai penggunaannya melampaui
batas dan keluar dari rambu-rambu ajaran Allah SWT.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Studi Islam
Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan
dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka
studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian
terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis dan terpadu.
Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk
mengetahui dan memahami
serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang
berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun
praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari,
sepanjang sejarahnya.[1]
Islam secara harfiyah berasal dari bahasa Arab yang mengandung
arti selamat, sentosa dan damai. Arti pokok Islam adalah ketundukan,
keselamatan dan kedamaian. Maka studi Islam diarahkan pada kajian keislaman
yang mengarah pada 3 hal :
1. Islam yang bermuara pada ketundukan/berserah diri, berserah
diri artinya pengakuan yang tulus bahwa Tuhan satu-satunya sumber ntoritas yang
serba mutlak. Keadaan ini membawa timbulnya pemahaman terhadap orang yang tidak
patuh dan tunduk sebagai wujud dari penolakan terhadap fitrah dirinya sendiri.
2. Islam
dapat dimaknai yang mengarah kepada keselamatan dunia dan akhirat sebab ajaran
Islam pada hakekatnya membina dan membimbing manusia untuk berbuat kebajikan
dan menjauhi semua larangan dalam kehidupan di dunia termasuk kehidupan
akhirat.
3. Islam bermuara pada kedamaian manusia harus hidup
berdampingan dengan makhluk hidup yang lain bahkan berdampingan dengan alam
raya. Dengan demikian kedamaian harus dilakukan secara utuh dan multi dimensi.
Dari 3 dimensi di atas studi Islam mencerminkan gagasan
tentang pemikiran dan praktis yang berrnuara pada kedudukan Tuhan, selamat di
dunia dakhirat dan berdamai dengan makhluk lain. Dengan demikian studi Islam
tidak hanya bermuara pada wacana pemikiran tetapi juga pada praktis kehidupan
yang berdasarkan pada perilaku baik dan benar dalam kehidupan.
Usaha
mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan
oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh
orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di kalangan umat Islam
sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dam motivasinya dengan yang dilakukan
oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi
keislaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran
Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan
di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari
seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan mat
Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi). Namun
sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu
pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam
tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik
yang bersifat positif maupun negative.
Para
ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal dengan kaum
orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi
tentang dunia Timur, termasuk di kalangan dunia orang Islam. Dalam praktiknya,
studi Islam yang dilaukan oleh mereka, terutama pada masa-masa awal mereka
melakukan studi tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada
pengetahuan tentang kekurangan-kekurangandan kelemahan-kelemahan ajaran agama
Islam dan praktik-praktik pemgalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan
sehari-hari uamat Islam. Namun, pada masa akhir-akhir ini banyak juga di antara
para orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat
ilmiah terhadap Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian
itu kan bisa bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan
umat Islam sendiri.
Kenyataan
sejarah menunjukkan (terutama setelah masa keemasan Islam dan umat Islam sudah
memasuki masa kemundurannya) bahwa pendekatan studi Islam yang mendominasi
kalangan umat Islam lebih cenderung bersifat subjektif, apologi, dan doktriner,
serta menutup diri terhadap pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat
objektif dan rasional. Dengan pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan doktriner
tersebut, ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits –yang
pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan
zaman- telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu
terhadap sentuhan-sebtuhan rasional, tuntutan perubahan, dan perkembangan
zaman. Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam terkesan
mandek, membeku dan ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan yang demikian inilah
yang menjadi sasaran objek studi dari kaum orientalis dalam studi keislamannya.[2]
B. Ruang
Lingkup Studi Islam
Pembahasan kajian keislaman
mengikuti wawasan dan keahlian para pengkajinya, sehingga terkesan ada nuansa
kajian mengikuti selera pengkajinya, secara material, ruang lingkup studi islam
dalam tradisi sarjana barat, meliputi pembahasan mengenai ajaran, doktrin, teks
sejarah dan instusi-instusi keislaman pada awalnya ketertarikan sarjana barat
terhadap pemikiran islam lebih karena kebutuhan akan penguasaan daerah koloni.
Mengingat daerah koloni pada umumnya adalah Negara-negara yang banyak
didomisili warga Negara yang beragama islam, sehingga mau tidak mau mereka
harus faham budaya lokal. Kasus ini dapat dilihat pada perang aceh sarjana
belanda telah mempelajari islam terlebih dahulu sebelum diterjunkan dilokasi dengan
asumsi ia telah memahami budaya dan peradapan massyarakat aceh yang mayoritas
beragama islam.
Ruang lingkup Islam juga merupakan produk sejarah
misalnya tentang fiqh/mazhab, tasawuf/sufi, filsafat/kalam, seni/arsitektur
Islam, budaya/tradisi Islam. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini kita melihat semakin tumbuh dan maraknya kesadaran dikalangan kaum muslim untuk lebih patuh kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam.
Gejala ini untuk konteks Indonesia misalnya, terlihat pada kebangkitan Jilbab,
busana muslim, tuntunan pencantuman label halal-haram pada makanan, penerapan sistem ekonomi dan
perbankan Islam dan sebagainya. Bangunan pengetahuan kita pada wilayah Islam
tersebut adalah produk sejarah yang dapat dijadikan sasaran penelitian.[3]
Sejak tahun 1970-an penelitian agama mulai diperkenalkan
oleh beberapa pakar dan ilmuan
kepermukaan Indonesia. Mukti Ali misalnya, mengemukakan bahwa pentingnya sebuah
penelitian terhadap masalah-masalah keagamaan. Tidak saja penting, penelitian
keagamaan merupakan bagian yang memperkukuh dasar dan pondasi agama itu
sendiri. Tanpa upaya demikian, agama hanya akan menjadi urusan yang bersifat
individual, eksklusif dan komunal.
Islam dipahami dari sisi ajaran,
doktrin dan pemahaman masyarakat debngan asumsi dapat diketahui tradisi dan
kekuatan masyarakat setempat. Setaelah itu pemahaman yang telah menjadi input
bagi kaum orentalis diambil sebagai dasar kebijakan oleh penguasa colonial yang
tentunya lebih menguntungkan mereka ketimbang rakyat banyak diwilayah
jajahanya. Hasil studi ini sesungguhnya lebih menguntungkan kaum penjajah tatas
dasar masukan ini para penjajah colonial dapat mengambil kebijakan didaerah
koloni dengan mempertimbangkan budaya lokal. Atas masukkan ini, para penjajah mampu
membuat kekuatan social, masyarakat terjajah sesuai dengan kepentingan
dan keutunganya. Setelah mengalami keterpurukan, dunia islam mulai bangkit
memalui para pembaru yang telah dicerahkan. Dari kelompok ini munculah gagasan
agar umat islam mengejar ketertinggalanya dari umat lain.
Agama sebagai obyek studi minimal
dapat dilihat dari segi sisi:
1. Agama Sebagai doktrin dari Tuhan
Agama Sebagai doktrin dari Tuhan
yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti absolute, dan
diterima apa adanya. Kata doktrin berasal dari bahasa inggris doctrine yang
berarti ajaran. Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doktina;,
yang berarti yang berkenaan dengan ajaran atau bersifat ajaran.
Selain kata doctrine sebgaimana
disebut diatas, terdapat kata doctrinaire yang berarti yang bersifat
teoritis yang tidak praktis. Contoh dalam hal ini misalnya doctrainare ideas
ini berrati gagasan yang tidak praktis.
Studi doktinal ini berarti studi
yang berkenaan dengan ajaran atau studi tentang sesuatu yang bersifat teoritis
dalam arti tidak praktis. Mengapa tidak praktis? Jawabannya adalah karena
ajaran itu belum menjadi sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam
berbuat atau mengerjakan sesuatu.
Uraian ini berkenaan dengan Islam
sebagai sasaran atau obyek studi doctrinal tersebut. Ini berarti dalam studi
doctrinal kali yang di maksud adalah studi tentang ajaran Islam atau studi
Islam dari sisi teori-teori yang dikemukakan oleh Islam.
Islam di definisikan oleh sebagian
ulama sebagai berikut: “al-Islamu wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi
Muhammadin Sallahu`alaihi wasallam lisa`adati al-dunya wa al-akhirah” (Islam
adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat).[4]
Berdasarkan pada definisi Islam
sebagaimana di kemukakan di atas, maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan
wahyu yang dimaksud di atas adalah al-Qur`an dan al-Sunnah. Al-Qur`an yang kita
sekarang dalam bentuk mushaf yang terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah
al-Fatihah dan berakhir dengan surah al-Nas, yang jumlahnya 114 surah.
Sedangkan al-Sunnah telah
terkodifikasi sejak tahun tiga ratus hijrah. Sekarang ini kalau kita ingin
lihat al-Sunnah atau al-Hadist, kita dapat lihat di berbagai kitab hadist.
Misalnya kitab hadist Muslim yang disusun oleh Imam Muslim, kitab hadist Shaleh
Bukhari yang ditulis Imam al-Bukhari, dan lain-lain.
Dari kedua sumber itulah, al-Qur`an dan
al-Sunnah, ajaran Islam diambil. Namun meski kita mempunyai dua sumber,
sebagaimana disebut diatas, ternyata dalam realitasnya, ajaran Islam yang
digali dari dua sumber tersebut memerlukan keterlibatan tersebut dalam bentuk
ijtihad.
Dengan ijtihad ini, maka ajaran
berkembang. Karena ajaran Islam yang ada di dalam dua sumber tersebut ada yang
tidak terperinci, banyak yang diajarkan secara garis besar atau global.
Masalah-masalah yang berkembang kemudian yang tidak secara terang disebut di
dalam dua sumber itu di dapatkan dengan cara ijtihad.
Dengan demikian, maka ajaran Islam selain
termaktub pula di dalam penjelasan atau tafsiran-tafsiran para ulama melalui
ijtihad itu.
Hasil ijtihad selama tersebar dalam semua
bidang, bidang yang lain. Semua itu dalam bentuk buku-buku atau kitab-kitab,
ada kitab fiqih, itab ilmu kalam, kitab akhlaq, dan lain-lain.
Sampai
disini jelaslah, bahwa ternyata ajaran Islam itu selain langsung diambil dari
al-Qur`an dan al-Sunnah, ada yang diambil melalui ijtihad. Bahkan kalau
persoalan hidup ini berkembang dan ijtihad terus dilakukan untuk mencari
jawaban agama Islam terhadap persoalan hidup yang belum jelas jawabannya di
dalam suatu sumber yang pertama itu. Maka ajaran yang diambil dari ijtihad ini
semakin banyak.
Studi Islam dari sisi doctrinal itu
kemudian menjadi sangat luas, yaitu studi tentang ajaran Islam baik yang ada di
dalam al-Qur`an maupun yang ada di dalam al-Sunnah serta ada yang menjadi
penjelasan kedua sember tersebut dengan melalui ijtihad.
Jadi sasaran studi Islam doctrinal
ini sangat luas. Persoalannya adalah apa yang kemudian di pelajari dari sumber ajaran
Islam itu.
2. Sebagai gejala budaya,
yang berarti seluruh yang menjadi
kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap
doktrin agamanya. Pada awalnya ilmu hanya ada dua Suatu penemuan
yang dihasilkan seseorang pada suaktu-waktu mengenai suatu gejala sifat alam.
Agama merupakan kenyataan yang dapat
dihayati. Sebagai kenyataan, berbagai aspek perwujudan agama bermacam-macam,
tergantung pada aspek yang dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak
dicapai oleh orang yang melakukan studi.
Cara-cara pendekatan dalam
mempelajari agama dapat dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu model studi
ilmu-ilmu social dan model studi budaya.
Tujuan mempelajari agama Islam juga
dapat dikategorikan ke dalam dua macam, yang pertama, untuk mengetahui,
memahami, menghayati dan mengamalkan. Kedua, untuk obyek penelitian. Artinya,
kalau yang pertama berlaku khusus bagi umat Islam saja, baik yang masih awam,
atau yang sudah sarjana. Akan tetapi yang kedua berlaku umum bagi siapa saja, termasuk
sarjana-sarjana bukan Isalam, yaitu memahami. Akan tetapi realitasnya ada yang
sekedar sebagai obyek penelitian saja.
Untuk memahami suatu agama,
khususnya Islam memang harus melalui dua model, yaitu tekstual dan konstektual.
Tekstual, artinya memahami Islam melalui wahyu yang berupa kitab suci.
Sedangkan kontekstual berarti memahami Islam lewat realitas social, yang berupa
perilaku masyarakat yang memeluk agama bersangkutan.
Studi budaya di selenggarakan dengan
penggunaan cara-cara penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang
bersangkutan.
Kebudayaan adalah keseluruhan
pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai mahkluk social yang isinya
adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat
digunakan untuk memahami dan menginterprestasi lingkungan yang di hadapi, dan
untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Islam merupakan agama yang
diwahyukan Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad SAW.sebagai jalan hidup untuk
meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Agama islam disebut juga agama samawi
. selain agama Islam, Yahudi dan Nasrani juga termasuk ke dalam kategori agama samawi.
Sebab keduanya merupakan agama wahyu yang diterima Nabi Musa dab Nabi Isa
sebagai utusan Allah yang menerima pewahyuan agama Yahudi dan Nasrani.
Agama wahyu bukan merupakan bagian
dari kebudayaan. Demikian pendapat Endang Saifuddin Anshari yang mengatakan
dalam suatu tulisannya bahwa:
“agama samawi dan
kebudayaan tidak saling mencakup; pada prinsipnya yang satu tidak merupakan
bagian dari yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri. Antara keduanya tentu
saja dapat saling hubungan dengan erat seperti kita saksikan dalam kehidupan
dan penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat dalam hubungan
erat antara suami dan istri, yang dapat melahirkan putra, namun suami bukan
merupakan bagian dari si istri, demikian pula sebaliknya.
Atas dasar pandangan di atas, maka
agama Islam sebagai agama samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan
(Islam), demikian pula sebaliknya kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari
agama Islam. Masing-masing berdiri sendiri, namun terdapat kaitan erat antara
keduanya. Menurut Faisal Ismail, hubungan erat itu adalah bahwa Islam merupakan
dasar, asas pengendali, pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber
nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan perkembangan cultural. Agama
(Islam)lah yang menjadi pengawal, pembimbing, dan pelestari seluruh rangsangan
dan gerak budaya, sehingga ia menjadi kebudayaan yang bercorak dan beridentitas
Islam.
Lebih jauh Faisal menjelaskan bahwa
walaupun memiliki keterkaitan, Islam dan kebudayaan merupakan dua entitas yang
berbeda, sehingga keduanya bisa dilihat dengan jelas dan tegas. Shalat misalnya
adalah unsure (ajaran) agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan
manusia dengan Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia
juga menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat
sholat orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah,
membuat sajadah alas untuk bersujud dengan berbagai disain, membuat tutup
kepala, pakaian, dan lain-lain. Itulah yang termasuk aspek kebudayaan.
Proses interaksi Islam dengan budaya
dapat terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama adalah Islam mewarnai, mengubah,
mengolah, an memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam yang diwarnai
oleh kebudayaan. Masalahnya adalah tergantung dari kekuatan dari dua
entitas kebudayaan atau entitas keislaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat
maka akan muncul muatan-muatan local dalam agama, seperti Islam Jawa.
Sebaliknya, jika entitas Islam yang kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul
kebudayaan Islam.
Agama sebagai budaya, juga dapat
diihat sebagai mekanisme control, karena agama adalah pranata social dan gejala
social, yang berfungsi sebagai kontro, terhadap institus-institus yang ada.
Dalam kebudayaan dan peradaban
dikenal umat Islam berpegang pada kaidah: Al-Muhafadhatu ala al-qadim
al-shalih wa al-akhdzu bi al jaded alashlah, artinya: memelihara pada
produk budaya lama yang baik dan mengambil produk budaya baru yang lebih baik.
Oleh karena itu, dapat di simpulkan
bahwa hasil pemikiran manusia yang berupa interprestasi terhadap teks suci itu
disebut kebudayaan, maka sisitem pertahanan Islam, system keuangan Islam, dan
sebagainya yang timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan pula.
Kalaupun ada perbedaannya dengan kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak
pada keadaan institusi-institusi kemasyarakatan dalam Islam, yang disusun atas
dasar prinsip-prinsip yang tersebut dalam al-Qur`an.
3. Sebagai interaksi social,
yaitu realitas umat Islam.Bila islam
dilihat dari tiga sisi, maka ruang lingkup studi islam dapat dibatasi pada tiga
sisi tersebut. Oleh karena sisi doktrin merupakan suatu keyakinan atas kebenaran
teks wahyu, maka hal ini tidak memerlukan penelitian didalamnya.
Melalui pendekatan antropologi
hubungan agama dengan berbagai masalh kehidupan manusia, dan dengan itu pula
agama terlihat akrab dan fungsional dan berbagai fenomena kehidupan manusia.[5]
Islam sebagai sasaran studi social
ini dimaksudkan sebagai studi tentang Islam sebagai gejala social. Hal ini
menyangkut keadaan masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan
serta berbagai gejala social lainnya yang saling berkaitan.
Dengan demikian yang menjadi obyek
dalam kaitan dengan Islam sebagai sasaran studi social adalah Islam yang telah
menggejala atau yang sudah menjadi fenomena Islam.
Yang menjadi
fenomena adalah Islam yang sudah menjadi dasar dari sebuah perilaku dari para
pemeluknya.
M. Atho Mudzhar, menulis dalam
bukunya, pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, bahwa ada lima
bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan dalam mempelajari atau menstudi
suatu agama. Pertama, scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran
dan symbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka
agama, yaitu yang berkenaan dengan perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga,
ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji,
puasa, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat, organisasi-organisasi
keagamaan tempat penganut agama berkumpul, seperti NU dan lain-lain.
Masih menurut M. Atho Mudzhar, agama
sebagai gejala social, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama.
Sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat.
Masyarakat mempengaruhi agam, dan agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi
menurutnya, sosiologi sekarang ini mempelajari bukan masalah timbal balik itu,
melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat.
Bagaimana agama sebagai system nilai mempengaruhi masyarakat.[6]
Meskipun kecenderungan sosiologi
agama. Beliau memberi contoh teologi yang dibangun oleh orang-orang syi`ah,
orang-orang khawarij, orang-orang ahli al-Sunnah wa al-jannah dan lain-lain.
Teologi-teologi yang dibangun oleh para penganut masing-masing itu tidak lepas
dari pengaruh pergeseran perkembangan masyarakat terhadap agama.
Persoalan berikutnya adalah
bagaimana kita melihat masalah Islam sebagai sasaran studi social. Dalam
menjawab persoalan ini tentu kita berangkat dari penggunaan ilmu yang dekat
dengan ilmu kealaman, karena sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang terjadi
mengalami keterulangan yang hampir sama atau dekat dengan ilmu kealaman, oleh
karena itu dapat diuji.
jadi dengan demikian metodologi
studi Islam dengan mengadakan penelitian social. Penelitian social berada
diantara ilmu budaya mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi
dengan cara memahami keterulangan.
Sedangkan ilmu kealaman itu sendiri
paradigmanya positivisme. Paragdima positivisme dalam ilmu ini adalah sesuatu
itu baru dianggap sebagai ilmu kalau dapat dimati (observable), dapat
diukur (measurable), dan dapat dibuktikan (verifiable). Sedangkan
ilmu budaya hanya dapat diamati. Kadang-kadang tidak dapat diukur atau
diverifikasi. Sedangkan ilmu social yang dianggap dekat dengan ilmu
kealaman berarti juga dapat diamati, diukur, dan diverifikasi.
Melihat uraian di atas, maka jika
Islam dijadikan sebagai sasaran studi social, maka harus mengikuti paragdima
positivism itu, yaitu dapat diamati gejalanya, dapat diukur, dan dapat
diverifikasi.
Hanya saja sekarang ini juga
berkembang penelitian kualitatif yang tidak menggunakan paragdima positivisme.
Ini berarti ilmu social itu dianggap tidak dekat kepada ilmu kealaman. Jika
halnya demikian, maka berarti dekat kepada ilmu budaya ini berarti sifatnya
unik.
Lima hal sebagai gejala agama yang
telah disebut di atas kemudian dapat dijadikan obyek dari kajian Islam dengan
menggunakan pendekatan ilmu social sebagaimana juga telah dungkap diatas.
Masalahnya tokoh agama Islam,
penganut agama Islam, interaksi antar umat beragama, dan lain-lain dapat
diangkat menjadi sasaran studi Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pengertian studi islam adalah pengetahuan yang
dirumuskan dari agama islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan
manusia. Sedang pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil
dari ajaran-ajaran Allah dan rosul-Nya secara murni tanpa dipengaruhi sejarah,
seperti ajaran tentang akidah,ibadah, membaca al-qur’an dan akhlak.
studi islam juga memiliki tujuan yaitu untuk
menunjukkan relasi islam dengan berbagai aspek kehidupan manusia, menjelaskan spirit ( jiwa ) berupa pesan moral dan value yang terkandung di dalam berbagai
cabang studi islam, respons islam terhadap berbagai paradigm baru dalam
kehidupan sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta
munculnya filsafat dan ideologi baru serta hubungan islam dengan visi, misi dan
tujuan ajaran islam.
B.
DAFTAR PUSTAKA
Azra,Azyumardi,Konteks Berteologi di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina,1999)
Muhaimin, et.al.Kawasan dan
Wawasan Studi iSlam,(Jakarta: Kencana,2005)
Mudzhar, Atho,Pendekatan
Studi Islam (Yogyakarta: pustaka pelajar,2007
Mundzirin,Yusuf,dkk. 2005. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta:Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga
Nata,
Abuddin, Metodologi studi islam (Jakarta:
Rajawali pres, 2012)
[1]Muhaimin, et.al.Kawasan dan Wawasan Studi iSlam,(Jakarta:
Kencana, 2005) hal.2
[2]Yusuf, Mundzirin dkk. 2005. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga
[3]Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia,
(Jakarta: Paramadina, 1999), h. 214
[5]Abuddin
nata, Metodologi studi islam (Jakarta: Rajawali pres, 2012) h. 38
0 komentar:
Post a Comment