BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Dalam makalah yang
berjudul “Sumber – sumber Ajaran Agama Islam” ini akan menguraikan mengenai
pengertian Agama Islam, sumber hukum Islam dan ajarannya, serta cara untuk
memahaminya. Dalam upaya memahami ajaran Islam, berbagai aspek yang berkenaan
dengan Islam perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat menghasilkan pemahaman
Islam yang komprehensif. Hal ini penting dilakukan, karena kualitas pemahaman
ke Islaman seseorang akan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan ke
Islaman yang bersangkutan. Untuk itu uraian di bawah ini diarahkan untuk
mendapatkan pemahaman tentang Islam. Selain itu dalam makalah ini akan di
paparkan mengenai pengertian agama Islam itu sendiri dan juga sumber-sumber
hukum Islam, dan ini tentunya hanya mengulang untuk mengingatkan kembali
pelajaran yang telah lewat karena makalah yang akan kami bahas kali ini sudah
sering kita pelajari dan hanya untuk mengingatkan kembali.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja sumber – sumber ajaran Agama
Islam?
2. Apa ciri – ciri dan kelebihan dari Al
– Qur’an?
3. Apa fungsi Al – Qur’an?
4. Apa saja isi kandungan yang terdalam
Al – Qur’an?
5. Apa fungsi Al – Sunnah?
6. Apa saja bagian – bagian dari Al –
Sunnah?
7. Apa hubungan Al – Qur’an dan Al –
Sunnah?
8. Apa yang membedakan antara Al –
Qur’an dengan Al – Sunnah?
9. Apa itu ijhihad?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah:
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Agama Islam.
2. Sebagai penambah
pengetahuan dan wawasan akan sumber – sumber ajaran Agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama Islam
Dari segi bahasa, Islam
berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata “salima” yang mengandung arti
selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk
“aslama” yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian. Senada dengan
pendapat di atas, sumber lain mengatakan bahwa Islam berasal dari bahasa Arab,
terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu
dibentuk kata “aslama” yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa
dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat. Kata aslama itulah
yang menjadi kata Islam yang mengandung arti segala arti yang terkandung dalam
arti pokoknya. Oleh sebab itu, orang yang berserah diri, patuh, dan taat
disebut sebagai orang Muslim. Orang yang demikian berarti telah menyatakan
dirinya taat, menyerahkan diri, dan patuh kepada Allah Swt. Orang tersebut
selanjutnya akan dijamin keselamatannya di dunia dan akhirat. Dari pengertian
kebahasaan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama yang berarti menguasai,
menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian Islam demikian itu,
menurut Maulana Muhammad Ali dapat dihami dari firman Allah yang terdapat pada
ayat 202 surat AI-Baqarah yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti
langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Dari uraian di atas,
kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa kata Islam dari segi bahasa mengandung
arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari
keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Hal
demikian dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau
berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk
yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.
1. Al – Qur’an
1.1 Pengertian
Ditinjau dari
segi bahasa (etimologi), Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti
“bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah
bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja “qara’a” yang artinya membaca.
Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al Qur’an,
yaitu: “Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan)
bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami
telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”. (QS 75:17-18).
Secara
istilah (terminologi), Dr. Dawud Al-Attar (1979) mendefinisikan Al-Qur’an
sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lisan, makna
serta gaya bahasanya yang tertulis dalam kitab yang ditulis secara “mutawattir”.
Definisi di atas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut:
a. Seluruh ayat Al-Qur’an adalah wahyu Allah; tidak ada satu pun
yang datang dari perkataan atau pikiran Nabi Muhammad.
b. Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya
bahasanya. Artinya isi maupun redaksi Al-Qur’an datang dari Allah sendiri.
c. Al-Qur’an dinukilkan secara mutawattir, artinya Al-Qur’an
disampaikan kepada orang lain secara terus menerus oleh sekelompok orang yang
tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah dan berbeda-beda
tempat tinggal mereka.
d. Al-Qur’an sebagai wahyu diturunkan secara berangsur-angsur
selama 23 tahun. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode,
yaitu periode Mekkah dan periode Madinah.
e. Periode Mekkah berlangsung selama 13 tahun masa kenabian
Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat
Makkiyyah. Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pada periode Mekkah sebanyak 4.780
ayat yang tercakup dalam 86 surat, Ciri-ciri ayat Makkiyah :
·
Ayatnya pendek-pendek.
·
Kebanyakan di awali dengan
“ya ayyuhan nas”.
·
Berisi ajaran Tauhid, hari
kiamat, akhlak dan kisah-kisah.
f. Periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung
selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat
Madaniyah. periode Madinah sebanyak 1.456 ayat yang tercakup dalam 28 surat.
Ciri-ciri Ayat Madaniyyah :
·
Ayatnya panjang.
·
Kebanyakan di awali dengan
“ya ayuuhal ladzina”.
·
Berisi ayat-ayat hukum,
keadilan, masyarakat.
Al-Qur’an
terdiri dari 30 Juz, 114 surat dan 6666 ayat. Selain Al-Qur’an, wahyu Allah ini
diberi nama-nama lain oleh Allah, sebagaimana tercantum dalam ayat-Nya, yaitu:
1. Al-Kitab, berarti sesuatu yang
ditulis (QS. Ad-Dukhan: 2). Di dalam nama ini terkandung isyarat perintah
agar firman Allah itu ditulis nabi serta mengandung prediksi bahwa Al-Qur’an
akan menjadi kitab abadi yang dapat dibaca manusia.
2. Al-Kalam, berarti ucapan
(QS. At-Taubah: 6). Nama ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an seluruhnya ucapan
Allah. Dalam kaitan ini terkandung jaminan bahwa Al-Qur’an itu suci dan seluruh
ayatnya datang dari Allah yang Maha Suci dan Maha Benar.
3. Az-Zikra, berarti
peringatan (QS. Al-Hijr: 9). Nama ini menunjukkan fungsi Al-Qur’an selaku
motivator amal, yaitu agar manusia beramal baik dan konsisten dengan kebajikan
lantaran amal perbuatan manusia akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari
pembalasan.
4. Al-Qasas, berarti cerita-cerita
(QS. Ali Imran, 62). Al-Qur’an membawa cerita nyata tentang masyarakat masa
silam bahkan sejak kejadian pertama kali. Kenyataan ini membenarkan pernyataan bahwa
Al-Qur’an adalah kitab suci tertua.
5. Al-Huda, berarti petunjuk
(QS. At-Taubah: 33). Nama ini menunjukkan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk
yang hanya dengannya manusia dapat mencapai keridaan Allah.
6. Al-Furqan, berarti pemisah/pembeda
(QS. Al-Furqan: 1). Sebagai pedoman hidup dan kehidupan manusia, Al-Qur’an
menyajikan norma dan etika secara jelas, tegas, dan tuntas terutama soal
kebaikan dan keburukan.
7. Al-Mau’izah, berarti
nasihat (QS. Yunus: 57). Meskipun di sana sini terdapat peringatan dan
ancaman, namun secara umum gaya penyampaian Al-Qur’an amat halus. Semakin
didekati Al-Qur’an semakin menjadi teman dialog dengan nasihat-nasihatnya yang
menyejukkan.
8. As-Syifa, berarti obat
atau penawar jiwa (QS. Al-Isra: 82). Sesungguhnya akar problematika manusia
terletak di dalam dadanya. Dan Al-Qur’an memberi solusi atas problematika
manusia itu melalui akarnya. Ia menembus dada manusia dan menghujam hatinya.
9. An-Nur, berarti cahaya
(QS. An-Nisa: 174). Nama ini mengisyaratkan Al-Qur’an sebagai cermin yang
mewadahi sinar yang terpancar dari Sang Sumber Cahaya, Allah SWT. Al-Qur’an
memantulkan cahaya-Nya dan karenanya ia mampu menembus hati manusia.
10. Ar-Rahman, berarti
karunia (QS. An-Naml: 77). Segala
pemberian Allah akan menjadi rahmat di dunia dan akhirat, ketika pemberian itu
diterima, dijalani, dan dikembangkan dengan landasan Al-Qur’an.
11. Al Muthahharah, kita yang disucikan.
Isi Al-Qur’an mencakup dan menyempurnakan pokok- pokok ajaran dari kitab-kitab
Allah SWT yang terdahulu (Taurot, Injil, dan Zabur).
Sebagian ulama mengatakan,
bahwa Al-Qur’an mengandung tiga pokok ajaran:
a. Keimanan;
b. Akhlak dan budi pekerti; dan
c. Aturan tentang pergaulan hidup sehari-hari antar sesama manusia.
Sebagian ulama yang lain
berpendapat, bahwa Al-Qur’an berisi dua peraturan pokok:
a. Peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT; dan
b. Peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan
dengan alam sekitarnya.
1.2 Ciri – ciri dan Kelebihan
Al – Qur’an
Al-Qur’an
mempunyai beberapa ciri khusus yang membedakannya dengan kitab-kitab yang lain:
·
Ia diturunkan dalam bahasa
Arab. Ini membedakannya dari kitab-kitab Samawi yang lain. Tidak pemah
terdengar wujudnya kitab yang lain ditunmkan dalam bahasa Arab. Perkara ini
dijelaskan oleh Allah swt dengan firmanNya yang bermaksud: ” Sesungguhnya Kami
turunkan dia, (sebagai) bacaan yang berbahasa Arab, supaya kamu berfikir”
(Yusuf:2).
·
Al-Qur’an turun sebagai
Wahyu daripada Allah swt kepada Rasulullah s.a.w dengan lafaz dan maknanya
sekali.
·
Al-Qur’an menjadi mukjizat
bagi Rasulullah s.a.w. Allah telah mencabar orang-orang Arab agar membuat satu
kitab yang sama seperti Al Qur’an. Tetapi mereka tidak mampu melakukannya. Ini
menjadi bukti yang jelas bahawa al-Qur’an bukanlah ciptaan Nabi Muhammad s.a.w,
sebaiknya datang daipada Allah swt yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
·
Al-Qur’an disampaikan
kepada kita melalui riwayat yang mutawatir dan dengan jalan penulisan dari sisi
Rasullah s.a.w hingga ke hari ini. Ketetapanya adalah diyakini, tidak diresapi
oleh pengubahan atau penukaran atau peminda Firman Allah: ” Sesungguhnya
Kamilah yang menumnkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar- benar memeliharanya”
(Al-Hijr, 9).
·
Membaca Al-Qur’an di dalam
sembahyang dan di luar sembahyang adalah dikira ibadah dan diberikan pahala.
Allah swt mewajibkan kita membaca surah Al-Fatihah dalam sembahyang. Nabi s.a.w
memberitahu kepada kita bahawa seseorang muslim akan diberi ganjaran pahala
bacaannya bagi setiap huruf dengan sepuluh kebaikan.
1.3 Fungsi
Al – Qur’an
Al-qur’an mempunyai fungsi,
diantaranya adalah :
·
Al-Huda (petunjuk), bahwa al-qur’an adalah
petunjuk bagi kehidupan manusia
disamping sunnah Rasul yang merupakan yang kedua yang menjadi petunjuk bagi
kehidupan manusia.
·
Al-Furqan (pembeda). Sebagaimana firman Allah “Bulan Ramadhan adalah bulan yang
diturunkannya al-qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelas mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yan
batil)..(QS. Al-Baqarah : 185).
·
Al-Syifa (obat).
Sebagaimana firman Allah “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada….(QS. Yunus : 57).
·
Al-Mau’izhah (nasihat).
Sebagaiman firman Allah “Al-Qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia,
dan petunjuk serta pelajaran bagi yang bertaqwa”. (QS. Ali Imran : 38).
1.4 Isi Kandungan Al – Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Quran dapat
dikelompokan atas lima macam, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Rasyid
Ridha: “Al-Quran diturunkan hanya membawa lima perkara saja” (Abdul Aziz,
1988:17).
Isi Al-Quran yang lima maccam itu adalah:
Isi Al-Quran yang lima maccam itu adalah:
a.
Tentang Aqidah Tauhid; Tauhid sebagai satu hak Allah SWT. Dari
sejumlah hak-Nya telah diajarkan kepada manusia sejak Nabi Adam as hingga
Nabi-nabi sesudahnya.
b.
Tentang Wa’du dan Wa’id (janji dan ancaman).
c.
Tentang ibadat; ibadah bagi manusia disamping menjadi tujuan
hidupnya, juga berfungsi sebagai bukti nyata syukurnya kepada Allah SWT. Atas
segala nikmat dan karunia-Nya yang telah diberikan.
d.
Tentang cara dan jalan mencapai kebahagiaan; Al-Qur’an mengandung
hukum-hukum yang mengatur tata cara pergaulan hidup bermasyarakat untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
e.
Tentang sejara umat masa lalu; dalam Al-Quran terdapat kisah-kisah
para Nabi dan Rasul dan orang-orang shalih lainnya agar kita dapat mengambil
hikmah dan pelajaran.
2.
Al – Sunnah
2.1 Pengertian
Kata Sunnah
adalah salah satu kosa kata bahasa Arab سنة (sunnah). Secara bahasa, kata السنة (al-sunnah)
berarti perjalanan hidup yang baik atau yang buruk. Pengertian di atas
didasarkan kepada Hadîts Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai
berikut: Artinya: “Barang siapa membuat sunnah yang baik maka dia akan
memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa
mengurangi pahalanya sedikitpun. Barang siapa membuat sunnah yang buruk maka
dia akan memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa
mengurangi dosa mereka sedikit pun.” Al Sunnah menurut jumhur ahli hadits
adalah sama dengan hadits yaitu: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam baik berbentuk ucapan, perbuatan, ketetapan, dan
sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak). Dilihat dari hierarki
sumber hukum Islam, Al-Sunnah menempati tempat kedua setelah Al-Qur’an.
Penempatan ini disebabkan karena perbedaan sifat di antara keduanya. Dilihat
dari segi kualitas periwayatannya al-Qur’an bersifat relatif. Al-Syatibi
menyatakan bahwa Al-Sunnah sebagai penjelas dan penjabar Al-Qur’an. Dalam
hubungan dengan Al-Qur’an, maka Al-Sunnah berfungsi sebagai penafsir,
pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan
tentang fungsi Al-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai
berikut :
1)
Bayan Tafsir. Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal
dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah
kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat
Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula
hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah
tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
2)
Bayan Taqrir. Yaitu Al-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan
memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu
liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan
berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat
Al-Baqarah : 185.
3)
Bayan Taudhih. Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat
Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan
supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih
(penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya
sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak
membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang
pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk
melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian
dijawab dengan hadits tersebut.
2.2 Fungsi Al – Sunnah
Sebagai
sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Al-Sunnah memiliki fungsi yang
diantaranya adalah :
-
Untuk memperkuat Al-qur’an.
-
Menjelaskan isi Al-qur’an (bayan
tafsir). Dalam kaitan ini, hadist berfungsi memerinci petunjuk dan isyarat Al-qur’an
yang bersifat global, sebagai pengecuali terhadap isyarat Al-qur’an yang
bersifat umum, sebagai pembatas terhadap ayat Alquran yang bersifat mutlak dan
sebagai pemberi informasi terhadap suatu kasus yang tidak di jumpai dalam
Al-qur’an.
2.3 Macam – macam Al –
Sunnah
a. Ucapan Al Hadist Qauliyah adalah perkataan Nabi Muhammad SAW
dalam berbagai bidang seperti, hukum, akhlak, dan lain-lain.
Contohnya : “Bahwasanya amal-amal perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperoleh apa yang ia niatkan dan seterusnya” HR. Bukhari dan Muslim
Contohnya : “Bahwasanya amal-amal perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperoleh apa yang ia niatkan dan seterusnya” HR. Bukhari dan Muslim
b. Perbuatan Al Hadist Fi’liyah adalah perbutan Nabi Muhammad SAW
yang mrupakan penjelasan dari peraturan syari’ah yang belum jelas
pelaksanaannya. Cara bersembahyang dan cara menghadap kiblat dalam sembahyang
sunat.
c. Penetapan dan PembiaranArti Taqriri ialah menetapkan,
mendiamkan, yakni tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah
dilakukan atau dikatakan oleh para sahabat dihadapan Nabi Muhammad. Contoh
Taqrir Nabi Muhammad SAW tentang perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapannya
dalam salah satu jamuan makan dirumah Khalid Bin Walid yang menyajikan daging
biawak. Nabi Muhammad menyaksikan dan tidak menyanggahnya tetapi beliau enggan
memakannya karena jijik.
d. Sifat, keadaan, dan Himmah Rasulullah.
- Sifat dan Keadaan beliau yang termasuk unsur Al – Sunnah
“Rasulullah SAW itu adalah sebaik-baik manusia mengenai paras mukanya dan
bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang tinggi dan bukan pula orang pendek” HR.
Bukhari dan Muslim.
- Silsilah, Nama dan tahun Kelahiran Nabi Muhammad SAW telah
ditetapkan oleh para sahabat dan ahli tarikh.
- Himmah (hasrat/cita-cita) beliau yang belum sempat
direalisasikan. Misalnya hasrat beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura.
3.
Ijtihad
Secara
etimologi, kata ijtihad terbentuk dari kata dasar jahada yang berarti seseorang
telah mencurahkan segala kemampuannya untuk memperoleh hakikat sesuatu.
Sedangkan menurut istilah dalam ilmu fiqih, ijtihad berarti mengarahkan tenaga
dan fikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan
(mengistimbatkan) hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits dengan
syarat-syarat tertentu.
Ijtihad mengandung pengertian bahwa mujtahid mengerahkan kemampuannya. Artinya mencurahkan kemampuan seoptimal mungkin sehingga ia merasakan bahwa dirinya tidak sanggup lagi melebihi dari tingkat itu.
Ijtihad mengandung pengertian bahwa mujtahid mengerahkan kemampuannya. Artinya mencurahkan kemampuan seoptimal mungkin sehingga ia merasakan bahwa dirinya tidak sanggup lagi melebihi dari tingkat itu.
Adapun
syarat-syarat menjadi mujtahid adalah:
·
Memahami al-Qur’an dan
asbab an-nuzulnya serta ayat-ayat nasikh dan mansukh.
·
Memahami hadits dan
sebab-sebab wurudnya serta memahami hadits nasikh dan mansukh.
·
Mempunyai pengetahuan yang
mendalam tentang bahasa Arab.
·
Mengetahui tempat-tempat
ijtihad.
·
Mengetahui ushul fiqih.
·
Memahami masyarakat dan
adat istiadat dan bersifat adil dan taqwa.
Macam-macam
Mujtahid :
a. Mujtahid Mustaqil.
b. Mujtahid Muntasib.
c. Mujtahid Madzhab.
d. Mujtahid Murajjih.
Objek
ijtihad adalah perbuatan yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Hal ini memberi pengertian bahwa suatu perbuatan yang hukumnya
telah ditunjuk secara jelas, tegas, dan tuntas oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan
As-Sunnah tidak termasuuk objek ijtihad. Reaktualisasi hukum atas sesuatu
perbuatan tertentu yang telah diatur secara final oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
termasuk kategori perubahan dan pergantian alias penyelewengan dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Ijtihad perlu
dilakukan oleh umat Islam dalam perjuangannya untuk mencapai suatu tujuan
kebaikan dan kebenaran, mengingat pentingnya ijtihad sebagai sarana mengelola
dinamika masyarakat. Tradisi ijtihad terus berkembang, dan mengalami masa
keemasannya pada abad ke-2 sampai abad ke-4 H. Yang paling banyak dilakukan
pada masa tersebut muncullah nama-nama mujtahid besar, yang kemudian dikenal
dengan iman-imam madzhab seperti imam hanafi, imam syafi’i, imam hambali dan
lain-lain.
Harun Nasution dalam bukunya “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” menjelaskan bahwa periode ijtihad dan kemajuan bersamaan masanya dengan periode kemajuan Islam I, 700 – 1000M. Periode ini disebut juga periode pengumpulan hadis, ijtihad dan fatwa sahabat dan tabi’in (generasi sesudah sahabat). Sesuai dengan bertambah luasnya daerah Islam, berbagai macam bangsa masuk Islam dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi dan sistem kemasyarakatan. Problema hukum yang dihadapi beragam pula. Untuk mengatasinya ulama-ulama banyak mengadakan ijtihad. Ijtihad mereka didasarkan atas Al-Qur’an, sunnah Nabi dan sunnah sahabat. Dengan demikian timbullah ahli-ahli hukum mujtahid yang disebut imam atau faqih (fuqaha) dalam Islam. Aktifitas ijtihad di satu pihak mengembangkan ilmu pengetahuan yang luas dan membuka ruang bagi dinamika masyarakat yang sepi, tetapi dipihak lain ijtihad itu menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam. Maka sesudah abad ke-4 H munculah wacana untuk menutup ijtihad dengan anggapan bahwa hasil-hasil kajian ilmu yang dilakukan sampai masa itu sudah cukup untuk menjawab berbagai masalah yang timbul kemudian. Apalagi pada masa itu tidak ada lagi mujahid besar selain keempat imam yang mampu menjadi lokomotif untuk menggerakkan gerbang pembawa gerakan ijtihad. Ada ulama terkemuka yaitu Ibnu Taimiyah (611-728 H) yang mendobrak kebekuan dengan suaranya yang keras untuk membuka kembali pintu ijtihad.
Ijtihad dipandang sebagai aktivitas penelitian ilmiah karena itu bersifat relative. Relativitas ijitihad ini menjadikannya sebagai sumber nilai yang bersifat dinamis. Pintu ijtihad selalu terbuka, termasuk membuka kembali hukum-hukum fikih yang merupakan produk ijtihad lama. Dr. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa terdapat dua agenda besar ijtihad yang dituntut oleh peradaban modern dewasa ini, yakni ijtihad di bidang hubungan keuangan dan ekonomi serta bidang ilmu pengetahuan. Satu hal yang disepakati para ulama bahwa ijtihad tidak boleh berlaku bagi perumusan hukum aktifitas ibadah formal kepada Allah, seperti sholat. Sebab ibadah formal merupakan hak Allah. Allah sendiri yang memiliki hak untuk menentukan macam dan cara ibadah kepada-Nya. Tata ibadah formal telah dicontohkan secara final oleh Rasulullah.
C. Hubungan antara Al-Quran dan Al-SunnahHarun Nasution dalam bukunya “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” menjelaskan bahwa periode ijtihad dan kemajuan bersamaan masanya dengan periode kemajuan Islam I, 700 – 1000M. Periode ini disebut juga periode pengumpulan hadis, ijtihad dan fatwa sahabat dan tabi’in (generasi sesudah sahabat). Sesuai dengan bertambah luasnya daerah Islam, berbagai macam bangsa masuk Islam dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi dan sistem kemasyarakatan. Problema hukum yang dihadapi beragam pula. Untuk mengatasinya ulama-ulama banyak mengadakan ijtihad. Ijtihad mereka didasarkan atas Al-Qur’an, sunnah Nabi dan sunnah sahabat. Dengan demikian timbullah ahli-ahli hukum mujtahid yang disebut imam atau faqih (fuqaha) dalam Islam. Aktifitas ijtihad di satu pihak mengembangkan ilmu pengetahuan yang luas dan membuka ruang bagi dinamika masyarakat yang sepi, tetapi dipihak lain ijtihad itu menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam. Maka sesudah abad ke-4 H munculah wacana untuk menutup ijtihad dengan anggapan bahwa hasil-hasil kajian ilmu yang dilakukan sampai masa itu sudah cukup untuk menjawab berbagai masalah yang timbul kemudian. Apalagi pada masa itu tidak ada lagi mujahid besar selain keempat imam yang mampu menjadi lokomotif untuk menggerakkan gerbang pembawa gerakan ijtihad. Ada ulama terkemuka yaitu Ibnu Taimiyah (611-728 H) yang mendobrak kebekuan dengan suaranya yang keras untuk membuka kembali pintu ijtihad.
Ijtihad dipandang sebagai aktivitas penelitian ilmiah karena itu bersifat relative. Relativitas ijitihad ini menjadikannya sebagai sumber nilai yang bersifat dinamis. Pintu ijtihad selalu terbuka, termasuk membuka kembali hukum-hukum fikih yang merupakan produk ijtihad lama. Dr. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa terdapat dua agenda besar ijtihad yang dituntut oleh peradaban modern dewasa ini, yakni ijtihad di bidang hubungan keuangan dan ekonomi serta bidang ilmu pengetahuan. Satu hal yang disepakati para ulama bahwa ijtihad tidak boleh berlaku bagi perumusan hukum aktifitas ibadah formal kepada Allah, seperti sholat. Sebab ibadah formal merupakan hak Allah. Allah sendiri yang memiliki hak untuk menentukan macam dan cara ibadah kepada-Nya. Tata ibadah formal telah dicontohkan secara final oleh Rasulullah.
1. Al-Sunnah menguatkan hukum
yang ditetapkan Al-Quran. Al-Sunnah memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh
Al-Quran, misalnya Al-Quran menetapkan hukum puasa dalam firman-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah ayat 183) Ayat al-quran tersebut dikuatkan oleh As Sunnah yakni : “ Islam didirikan atas 5 perkara : Persaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke Baitullah” HR Bukhari Muslim.
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah ayat 183) Ayat al-quran tersebut dikuatkan oleh As Sunnah yakni : “ Islam didirikan atas 5 perkara : Persaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke Baitullah” HR Bukhari Muslim.
2. Al-Sunnah memberikan
rincian terhadap pernyataaan Al-Quran yang bersifat umum. Misalnya Al-Quran
menyatakan perintah shalat dalam firman-Nya :
“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat …” (QS. Al-Baqarah ayat 110). Shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum. As-Sunnah merincinya secara operasional misalnya shalat mana saja yang hukumnya wajib dan yang mana yang sunnat.
“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat …” (QS. Al-Baqarah ayat 110). Shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum. As-Sunnah merincinya secara operasional misalnya shalat mana saja yang hukumnya wajib dan yang mana yang sunnat.
3. Al-Sunnah memberikan
pengecualian terhadap pernyataan Al-Quran yang bersifat umum. Misalnya Al-Quran mengharamkan
memakan bangkai dan darah dalam firman-Nya : “Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah,
yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang
buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih untuk
berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena
itu sebagian kefasikan.” (QS. Al-Maidah ayat 3).
4. Al-Sunnah menetapkan hukum
yang tidak ditetapkan oleh Al-Quran.
Al-Quran yang bersifat global, banyak hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara pasti oleh Al-Quran. Dalam hal iniAs-Sunnah berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Quran, seperti sabda Nabi SAW :
“Rasulullah SAW melarang semua mempunyai taring dari binatang dan semua burung yang bercakar. (HR. Muslim).
Al-Quran yang bersifat global, banyak hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara pasti oleh Al-Quran. Dalam hal iniAs-Sunnah berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Quran, seperti sabda Nabi SAW :
“Rasulullah SAW melarang semua mempunyai taring dari binatang dan semua burung yang bercakar. (HR. Muslim).
D.
Perbedaan Al-Qur’an dan Al-Sunnah
Sekalipun
al-Qur’an dan al-Sunnah sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun diantara
keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil, antara lain sebagai
berikut :
1. Al-Qur’an bersifat Qath’i ( mutlak ) kebenarannya. Sedangkan Al-Sunnah
bersifat Dzhanni ( relatif ), kecuali Hadits Mutawatir.
2. Seluruh ayat al-Qur’an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup.
Sedangkan tidak seluruh Hadits dapat dijadikan pedoman hidup karena disamping
ada Hadits Shahih, ada pula Hadits yang Dhaif.
3. Al-Qur’an sudah pasti autentik lafadz dan maknanya. Sedangkan Al-Sunnah
belum tentu autentik lafadz dan maknanya.
4. Apabila al-Qur’an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau
hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim wajib mengimaninya. Sedangkan Apabila
al-Sunnah berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib,
maka setiap muslim tidak diharuskan mengimaninya seperti halnya mengimani
al-Qur’an.
5. Berdasarkan perbedaan tersebut, maka : Penerimaan seorang muslim
terhadap al-Qur’an hendaknya didasarkan pada keyakinan yang kuat, sedangkan penerimaan
seorang muslim terhadap as-Sunnah harus didasarkan atas keragu-raguan (
dugaan-dugaan ) yang kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada Nabi, tetapi ragu
apakah Hadits itu benar-benar berasal dari Nabi atau tidak karena adanya proses
sejarah kodifikasi hadits yang tidak cukup memberikan jaminan keyakinan
sebagaimana jaminan keyakinan terhadap al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah
kita menjabarkan mulai dari pengertian dari agama sampai dengan sumber-sumber
hukum agama Islam maka dapatlah kita simpulkan bahwa agama Islam yang merupakan
nama “Islam” itu sendiri ialah Allah lah yang membuat nama agama tersebut
sesuai dengan firmannya yang terdapat dalam Surah Ali Imron : 19 dan Allah
hanya meridhoi agama Islam. Kemudian, mengenai sumber-sumber hukum Islam dapat
kita simpulkan bahwa segala sesuatu yang berkenaan dengan ibadah, muamalah, dan
lain sebagainya itu berlandaskan Al-qur’an yang merupakan Firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad secara mutawatir dan diturunkan melalui
malaikat Jibril dan membacanya di nilai sebagai Ibadah, dan Al-Sunnah sebagai
sumber hukum yang kedua yang mempunyai fungsi untuk memperjelas isi kandungan
Al-qur’an dan lain sebagainya.
B.
Saran
Saran dari
penulis adalah marilah kita mengamalkan dan menjadikan Al-qur’an dan Al-sunnah
sebagai pedoman dalam kehidupan kita sehari-hari yang merupakan sumber dari
hukum agama Islam dan sekaligus dapat membuat kita bahagia baik itu di dunia
maupun diakhirat nanti.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof Ali, Mohammad Daud, SH : Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2005.Miftah Faridl, As-Sunnah Sumber Hukum Islam, Bandung: Pustaka, 2001
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2002
0 komentar:
Post a Comment