MAKALAH ILMU TASAWUF


Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoterik dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek Fiqih, khususnya bab thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya disebut sebagai dimensi eksoterik. Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencaku berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia, selain menghendaki kebersihan lahiriah juga menghendaki kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya. Hal ini misalnya terlihat pada salah satu syarat diterimanya amal ibadah, yaitu harus disertai niat.
Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkannya dengan benar. Dari pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai mengendalikan dirinya pada saat berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat melakukan berbagai aktivitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan dan sebagainya. Dari suasana yang demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan.
Makalah yang sederhana ini akan dipaparkan beberapa istilah kata-kata kunci seperti tasawuf, sufi dan tariqat, sumber dan perkembangan pemikiran tasawuf, variasi praktek tasawuf, pendekatan utama dalam kajian tasawuf, tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf, hubungan ilmu tasawuf dan filsafat dan perkembangan mutakhir studi tasawuf

1.      Apa Pengertian Akhlak dan Tasawuf ?
2.      Asal usul Timbulnya Studi Akhlak dan Tasawuf ?
3.      Bagaimana Sejarah Perkembangan Akhlah dan Tasawuf ?

Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi Tugas Kelompok dalam mata kuliah Akhlak Tasawuf dengan tema “Latar Belakang Timbulnya Study Akhlak Tasawuf “ , supaya kita mengetahui lebih detail serta dapat memahami sejarah serta asal usul Studi Akhlak Tasawuf itu muncul












Secara bahasa tasawuf berarti:
1.      saf (baris), sufi (suci), sophos (Yunani: hikmah),
2.      suf (kain wol), sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan bersikap bijaksana.
Menurut Istilah:
1.      Upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
2.      Kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.
Sumber Ajaran Tasawuf:
1.      Unsur Islam:
a.       Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk: mencintai Tuhan (QS. Al-Maidah: 54), bertaubah dan mensucikan diri (QS> At-Tahrim: 8), manusia selalu dalam pandangan Allah dimana saja (QS. Al-Baqarah: 110), Tuhan memberi cahaya kepada HambaNya (QS. An-Nur: 35), sabar dalam bertaqarrub kepada Allah (QS. Ali Imran: 3)
b.      Hadis Nabi seperti tentang rahasia penciptaan alam adalah agar manusia mengenal penciptanya.
c.       Praktek para sahabat seperti Abu Bakar Ash-shiddiq, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Talib, Abu Zar Al-Ghiffari, Hasan Basri, dll.

2.      Unsur Non Islam:
a.       Nasrani: Cara kependetaan dalam hal latihan jiwa dan ibadah.
b.      Yunani: Unsur filsafat tentang masalah ketuhanan.
c.       Hindu/Budha: mujahadah, perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain.
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Istilah ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. Abdul Hasan Al Fusyandi mengatakan, "Pada zaman Rasulullah saw, tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya."
Ilmu tasawwuf menurut Ibn Khaldun merupakan ilmu yang lahir kemudian dalam Islam, karena sejak masa awalnya para sahabat dan tabiin serta generasi berikutnya telah memilih jalan hidayah (berpegang kepada ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi) dalam kehidupannya, gemar beribadah, berdzikir dan aktifitas rohani lainnya dalam hidupnya. Akan tetapi setelah banyak orang islam berkecimpung dalam mengejar kemewahan hidup duniawi pada abad kedua dan sesudahnya, maka orang-orang mengarahkan hidupnya kepada ibadat disebut suffiyah dan mutasawwifin. Insan pilihan inilah kemudian yang mengembangkan dan mengamalkan tasawwuf sehingga diadopsi pemikirannya sampai sekarang ini.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.” 
Pernyataan ulama dari kalangan tabi'in ini bisa menjadi acuan bagi kita. Memang benar, tidak ada istilah tasawuf pada zaman Rasulullah saw. Namun, realitasnya ada dalam kehidupan dan ajaran Rasulullah saw, seperti sikap Zuhud, Wara’ , Qona'ah, Taubat, Ridho, Sabar, dll. Kumpulan dari sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum dalam sebuah nama yaitu Tasawuf.
Kelahiran tasawuf memiliki banyak fersi. Secara historis, yang pertama kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya ilmu tasawwuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf itu merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa mula-mula munculnya sufisme adalah dari Basrah di Irak. Di Basrah terjadi sikap berlebih-lebihan dalam kezuhudan dan ibadah yang tidak pernah ada di kalangan semua warga kota lainnya.
 
Ibnul Jauzi mengemukakan istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akhirat.
Mengenali sejarah tasawuf sama saja dengan memahami potongan-potongan sejarah Islam dan para pemeluknya, terutama pada masa Nabi. Sebab, secara faktual, tasawuf mempunyai kaitan yang erat dengan prosesi ritual ibadah yang dilaksanakan oleh para Sahabat di bawah bimbingan Nabi. Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi’in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme.Tasawuf sebagai sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi’in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar pertengahan abad 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup.Mayoritas ahli sejarah berpendapat bahwa terma tasawuf dan sufi adalah sebuah tema yang muncul setelah abad II Hijriah. Sebuah terma yang sama sekali baru dalam agama Islam. Pakar sejarah juga sepakat bahwa yang mula-mula menggunakan istilah ini adalah orang-orang yang berada di kota Bagdad-Irak. Pendapat yang menyatakan bahwa tema tasawuf dan sufi adalah baru serta terlahir dari kalangan komunitas Bagdad merupakan satu pendapat yang disetujui oleh mayoritas penulis buku-buku tasawuf.Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakam paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut PAHAM SUFI, SUFISME atau PAHAM TASAWUF, dan orangnya disebut ORANG SUFI.Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad. Berasal dari kata “beranda” (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan di atas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad. Kemudian, menurut catatn sejarah, diantara sekalian sahabat Nabi, maka yang pertama sekali memfilsyafatkan ibadah dan menjadikan ibadah secara satu yang khusus, adalah sahabat Nabi Yang bernama Huzaifa bin Al Yamani, salah seorang sahabat Nabi yang Mulia dan terhormat. Beliaulah yang pertama kali menyampaikan ilmu-ilmu yang kemudian hari ini kita kenal dengan Tasawuf‌ dan beliaulah yang membuka jalan serta teori-teori untuk tasawuf itu.Menurut cacatan sejarah, dari sahabat Nabi Huzaifah bin al Yamani inilah pertama-tama mendirikan Madrasah Tasawuf . tetapi pada masa itu belumlah terkenal dengan nama Tasawuf, masih sangat sederhana sekali. Imam sufi  yang pertama di dalam sejarah Islam yaitu Al Hasan Al Basry seorang ulama besar Tabiin, adalah murid pertama Huzaifah bin al Yamani dan adalah keluaran dari Madrasah yang pernah didirikan oleh Huzaifah bin Al Yamani.
Selanjutnya, Tasawuf itu berkembang yang dimulai oleh Madrasah huzaifah bin Al yamani di madinah, kemudian diteruskan Madrasah Al Hasanul basry di basrah dan seterusnya oleh Saad bin Al Mussayib salah seorang ulama besar Tabiin, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ilmu Tasawuf lainnya. Sejak itulah pelajaran Ilmu tasawwuf telah mendapat kedudukan yang tetap dan tidak terlepas lagi dari masyarakat ummat Islam sepanjang masa.Sedang menurut versi yang lain, munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyim al-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor,sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman13[13].
Sementara itu Abu al’ala Afifi mencatat empat pendapat para peneliti tentang faktor atau asal –usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untuk faktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup wara’14[14], taqwa dan zuhud.Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap system sosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar ke berbagai negara yang sudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu,seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah,yang bermula dari al-fitnah al-kubraI yang menimpa khalifah ketiga, Ustman ibn Affan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu diteliti lebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalamIslam, seperti ilmu fiqih dan ilmu kalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih,yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam15[15].
Menurut hemat penulis,zuhud itu meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai nash agama yangmemberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka (QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS. Al-Nazi’aat : 37 – 40).
Berikut ini pokok-pokok ajaran tasawuf dalam struktur yang umum dan global, serta singkat. Tujuan pembuatan tulisan ini adalah supaya tergambar secara menyeluruh dan terstruktur ajaran-ajaran kaum sufi. Memang dalam beberapa bagiannya ada ajaran-ajaran yang cukup kontroversial. Untuk itu perlu pembahasan lebih lanjut. Insya Allah selanjutnya akan lebih dibahas secara detail tiap-tiap ajaran tersebut.


a.       Takhalli: membersihkan diri dari sifat-sifat tercela.
b.      Tahalli: mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji.
c.       Tajalli: terungkapnya nur gaib untuk hati.
d.      Munajat: melaporkan aktifitas diri pada Allah.
e.       Muraqabah dan muhasabah: meneliti dengan cermat apakah perbuatan sehari-hari telah
sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya dan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati,yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah.
f.       Tafakkur: merenung/meditasi.

Beberapa istilah praktis;
a.       Syari'ah: mengikuti hukum agama.
b.      Thariqah: perjalanan menuju Allah.
c.       Haqiqah: aspek batiah dari syari'ah.
d.      Ma'rifah: pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati.

Jalan mendekatkan diri kepada Allah;
a.       Maqamat: tahapan, tingkatan.
b.      Taubah: pembersihan diri dari dosa.
c.       Zuhud: sederhana dalam hal duniawi.
d.      Sabar: pengendalian diri.
e.       Tawakal: berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
f.       Ridla: menerima qada’ dan qadar dengan rela.
g.      Mahabah: cinta kepada Allah.
h.      Ma'rifah: mengenal ke Esa-an Tuhan.
i.        Ahwal: kondisi mental.
j.        Khauf: merasa takut kepada Allah.
k.      Raja': optimis terhadap karunia Allah.
l.        Syauq: rindu pada Allah.
m.    Uns: keterpusatan hanya kepada Allah.
n.      Yaqin: mantapnya pengetahuan tentang Allah.


a.       Fana' dan Baqa': lenyapnya kesadaran dan kekal.
b.      Ittihad: persatuan antara manusia dengan Tuhan.
c.       Hulul: penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan.
d.      Wahdah al-Wujud: alam dan Allah adalah sesuatu yang satu.
e.       Isyraq: pancaran cahaya atau iluminasi.

E.     Tokoh-tokoh Ilmu Tasawuf Klasik
Tokoh-tokoh ilmu tasawuf yang tersohor pada zaman dahulu adalah :
  1. Ibn Athaillah as Sakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M), dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.
  1. Al Muhasibi
Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.
  1. Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166)
Beliau adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak. Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban). Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.



  1. Al Hallaj
Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur Al Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum mati. Al Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari, kemudian berganti guru pada Syeikh Al Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi murid Al Junaed Al Baghdadi, tetapi ditolak. Al Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid " Al Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al Hallaj tetap menjadi teka-teki ataumisteri karena masih pro dan kontra.

Tasawuf Sunni (moderat) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini (Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah.Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.

1.      Junaid Al-Baghdadi

Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia adalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tukoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi. Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum. Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan.
Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan  Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.

2.      B. Al-Qusyairi An-Naisabury

Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.  Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini, lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim. Disamping berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-Ashfarayain. Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri Perburuan terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo,1983).Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.

3.      C. Al-Harawi

Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj. Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya. Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut. Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.

Maraknya pengajian tasawuf dewasa ini, dan kian bertambahnya minat masyarakat terhadap tasawuf memperlihatkan bahwa sejak awal tarikh Islam di Nusantara tasawuf berhasil memikat hati masyarakat luas. Minat tersebut boleh serius, boleh setengah serius, atau sekadar ingin tahu. Namun yang jelas pengaruh dan peranan tasawuf, yang menjamin keberadaan dan relevansinya, ternyata tidak pudar sejak dulu sampai sekarang. Itu pun juga dengan sedikit mengabaikan penyimpangan-penyimpangan, yang boleh saja terjadi, sebagaimana penyimpangan boleh juga terjadi dalam amalan ilmu dan gerakan keagamaan nontasawuf.Dalam Hikayat Aceh, yang ditulis atas titah Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), dipaparkan, betapa tua muda, kalangan menengah atas, dan bawah sama-sama bergairah mempelajari ilmu tasawuf. Kala itu justru pada saat Kesultanan Aceh Darussalam berada di puncak kejayaannya, dan minat tasawuf tidak menyebabkan kegiatan ekonomi dan perdagangan mundur. Begitu juga kegiatan pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu agama dan pengetahuan umum.
Perdebatan tentang tasawuf juga sering terjadi dan kadang-kadang tampak sengit. Hasil kalam para sastrawan dan ulama sejak abad ke-15 M sampai abad ke-19 M, yaitu kitab-kitab keagamaan, ilmu dan sastra, juga menunjukkan betapa mendalamnya pengaruh tasawuf pada masyarakat terpelajar dan menengah Muslim Nusantara yang menganut mazhab Sunni aliran Syafii.   Dalam banyak buku sejarah diuraikan bahwa tasawuf telah mulai berperanan dalam penyebaran Islam sejak abad ke-12 M. Peran tasawuf kian meningkat pada akhir abad ke-13 M dan sesudahnya, bersamaan munculnya kerajaan Islam pesisir seperti Pereulak, Samudra Pasai, Malaka, Demak, Ternate, Aceh Darussalam, Banten, Gowa, Palembang, Johor Riau dan lain-lain. Ismail Faruqi dalam bukunya Atlas Budaya Islam menghubungkan hal ini dengan perpindahan besar-besaran orang Islam dari negeri-negeri yang ditaklukkan oleh Jengis Khan dan pasukan Mongolnya. Bersama mereka juga pindah para ulama, ahli tasawuf, cendekiawan, tabib, pedagang, dan bekas panglima perang. Tidak sedikit di antara jutaan pengungsi itu pada akhirnya memilih pesisir Sumatra, semenanjung Melayu, dan Pulau Jawa sebagai tempat tinggal baru.Tidak mengherankan tasawuf ikut berkembang di kepulauan Nusantara. Sebab sejak abad ke-12 M, peranan ulama tasawuf memang sangat dominan di dunia Islam. Hal ini antara lain disebabkan pengaruh pemikiran Islam al-Ghazali (wafat 111 M), yang berhasil mengintegrasikan tasawuf ke dalam pemikiran keagamaan madzab Sunnah wal Jamaah menyusul penerimaan tasawuf di kalangan masyarakat menengah.

Bukti-bukti arkeologi, seperti tulisan pada makam raja-raja dan bangsawan Pasai (1272-1400 M) membuktikan besarnya pengaruh tasawuf sejak awal tarikh Islam. Pada makam-makam kuno itu tertulis bukan saja ayat-ayat Al-Quran yang sufisfik, tetapi juga sajak-sajak sufisfik karangan Sayidina Ali dan penyair Sufi Persia abad ke-13 M, Mulla Sa`di. Sumber-sumber sejarah Melayu seperti Hikayat Raja-raja Pasai (anonim, abad ke-15 M), Shalat al-Salatin (karangan Tun Sri Lanang, abad ke-16 M), Hikayat Aceh (anomin), Babad Banten dan lain-lain, juga memaparkan aktivitas para Sufi dan besarnya pengaruh mereka dalam kehidupan masyarakat Muslim.
Menurut Tun Sri Lanang, Sultan Malaka Mansyur Syah (1459-1477 M) adalah seorang pengikut ajaran tasawuf yang terkemuka. Beliau pernah memerintahkan agar memperbanyak sebuah kitab tasawuf karangan Abu `Isyaq, seorang ulama Arab terkemuka abad ke-14, berjudul Dur al-Manzum (Untaian Mutiara Puisi). Nuruddin al-Raniri dalam Bustan al-Salatin menyatakan bahwa pada akhir abad ke-16 di Aceh terjadi perbincangan seru tentang ajaran Wujudiyah Ibn `Arabi. Seorang ulama Arab terkemuka menulis buku tasawuf berjudul Syaf al-Qati (Pedang Tajam) untuk meluruskan pemahaman tentang paham Wujudiyah.Sultan Aceh, kakek Iskandar Muda, Alauddin Ri`ayat Syah (1589-1604 M) adalah tokoh Tarekat Qadiriyah. Pada mulanya beliau adalah seorang saudagar kaya, yang dilantik oleh musyawarah orang-orang kaya menjadi raja, untuk mengisi takhta kerajaan Aceh yang lowong disebabkan sengketa dan krisis politik yang berkepanjangan. Begitu pula Sultan Iskandar Muda, seorang penggemar sufi kelas berat. Pendamping Sultan ini dalam pemerintahan ialah Syamsudin Pasai, seorang Sufi terkemuka dan penganjur ajaran Martabat Tujuh perdana menteri yang disegani.Sultan Banten Zainal Abidin yang memerintah pada akhir abad ke-17 adalah juga seorang pengikut tasawuf dan kolektor kitab sufi terkemuka. Pangeran Diponegoro (w. 1855), juga pengikut Tarekat Qadiriyah sebagaimana penentang kolonial Belanda pendahulunya, yaitu Pangeran Trunojoyo (w. 1211). Di antara tarekat yang berpengaruh ialah tarekat-tarekat yang muncul pada abad ke-13 M. Misalnya Tarekat Rifa`iyah, Qadiriyah, Syadiliyah, Naqsyabandiyah, Sattariyah, Khalwatiyah lain-lain. Tokoh-tokoh tarekat ini, khususnya Ahmad Riaf`i, Abdul Qadir al-Jilani, Naqsyabandi dan lain-lain dipengaruhi Imam al-Ghazali.

Kitab tasawuf paling awal yang muncul di Nusantara ialah Bahar al-Lahut (lautan Ketuhanan) karangan `Abdullah Arif (w. 1214). Isi kitab ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang wujudiyah Ibn `Arabi dan ajaran persatuan mistikal (fana) al-Hallaj. Syekh Abdullah Arif adalah pemuka tasawuf dari Arab. Beliau tiba di Sumatra (Perulak, Pasai) pada tahun 1177. Menurut T. Arnold dalam The Preaching of Islam (1036), Syekch Abdullah Arif termasuk Sufi paling awal yang menyebarkan Islam bercorak tasawuf di Sumatra.Namun, baru pada abad ke-16 muncul kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu. Sedangkan kitab-kitab yang ada sebelumnya ditulis dalam bahasa Arab. Di antara kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu yang berpengaruh ialah Syarab al-Asyiqin (Minuman Orang Berahi), Asrar al-ARifin (Rahasia Ali Makrifat) dan al-Muntahi karangan Hamzah Fansuri (wafat awal abad ke-17) dan sebagainya.

Tasawuf ialah perwujudan spiritualitas Islam, yang mengambil bentuk sebagai ilmu falsafah, gerakan sastra dan estetik, ajaran tentang jalan kerohanian atau tarekat. Sebagai pengetahuan kerohanian, tasawuf membicarakan masalah tatanan rohani kehidupan, mencakup kewujudan Yang Satu keesaan-Nya dan hubungan Tuhan dengan dunia ciptaan. Walaupun tasawuf tertuju pada alam kerohanian, namun sebagai ilmu ia tidak hanya membicarakan masalah rohani dan jiwa manusia, tetapi juga tatanan yang berbeda-beda di alam benda dan dunia.Rumi mengatakan bahwa tujuan tasawuf ialah untuk memperteguh jiwa manusia. Caranya ialah dengan meningkatkan cinta dan keimanan, moral dan pengetahuan rohani, memperbanyak ibadah dan amal saleh. Cinta yang dimaksud ialah cinta ilahi atau gairah ketuhanan. Ia harus dihidupkan dalam diri manusia. Adapun moral yang dimaksud ialah moral yang benar kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan sekitar dan diri sendiri. Secara garis besarnya ringkas ajaran Sufi dapat diringkas sebagai berikut.
Pertama, hakikat segala sesuatu, dari mana semua keberadaan berasal ialah satu. Yang satu disebut Wujud Wajib, artinya ada-Nya merupakan keharusan, agar yang banyak selain-Nya juga memperoleh keberadaan. Sebagi Wujud Wajib (al-wajib al-wujud) Yang satu meliputi segala sesuatu dengan ilmu atau pengetahuan dan cinta-Nya.Di sini Sufi meyakini bahwa sebagai Dzat Tunggal, Tuhan itu bersifat transenden; sedangkan pengejawantahan pengetahuan dan cinta-Nya di alam ciptaan merupakan sesuatu yang immanen (tasybih).Kedua, segala sesuatu sesungguhnya dicipta karena Dia (yaitu lautan ilmu-Nya yang tak terhingga) ingin diketahui dan diabdi. Dengan mencipta segala sesuatu, maka cinta-Nya atau kehendak-Nya, dapat dikenal. Paham Wujudiyah misalnya mengatakan bahwa Wujud Tuhan itu sendiri ialah Cinta. Ini tertera dalam kalimat Basmallah, berupa al-rahman (Pengasih) dan al-rahim (Penyayang).Pengasih adalah cinta Tuhan yang esensial, artinya diberikan kepada semua makhluknya dan semua umat manusia: Melayu, Arab, Eropah, Cina, Persia ataupun Jawa; atau Yahudi, Buddha, Hindu, Kristen, dan Islam. Sedang Penyayang (al-rahim) ialah cinta yang wajib, artinya diberikan hanya kepada yang beriman, bertakwa dan banyak beramal saleh.Ketiga, hakikat diri manusia ialah makhluk kerohanian dengan potensi kerohanian yang luar biasa besar.Keempat, tujuan hakiki kehidupan ialah mencapai Pengetahuan Tertinggi, yaitu mengenal keesaan Tuhan dalam arti sesungguhnya, mengenal hakikat diri sebagai makhluk rohani dan mengenal dunia sebagai hamparan ayat-ayat Tuhan.Kelima, jalan cinta ditempuh dengan menyucikan jiwa (nafsu) hingga dapat dikendalikan: memurnikan pikiran, yaitu keterpukauan berlebihan pada yang selain Tuhan; dan membeningkan kalbu hingga menjadi penglihatan rohani yang tajam.Keenam, cinta dalam tahapan tertentu dapat disamakan dengan iman, kepatuhan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi laranganya.Ketujuh, aspek-aspek Cinta mencakup rasa rindu, karib, penuh hasrat, majenun (rindu dendam), kepada Yang Satu. Seorang sufi ingin menyatukan kehendak, pikiran, rasa dan arah hidup kepada Yang Satu. Cinta memberikan sifat-sifat mulia kepada seseorang; ikhlas, tawadduk, tidak egosentris, penuh pengorbanan, bersemangat kesatria (futuwwa) dalam hidup; dan merdeka, dalam arti merdeka dari selain Tuhan, dan hanya tergantung kepada-Nya.

















Tasawuf adalah ilmu yang mengandung ajaran-ajaran tentang kehidupan keruhanian, kebersihan jiwa, cara-cara membersihkannya dari berbagai penyakit hati, godaan nafsu, kehidupan duniawi, cara-cara mendekatkan diri kepada Allah seta fana dalam kekekalan-Nya sehingga sampai kepada pengenalan hati yang dalam akan Allah. Sufi adalah orang yang menjalankan tasawuf. Sedangkan tarekat adalah  jalan yang ditempuh oleh para sufi untuk dapat dekat kepada Allah. Thariqah juga mengandung pengertian organisasi.
Para ahli sejarah tasawuf menilai bahwa timbulnya tasawuf tidak terlepas dari kondisi kehidupan masyarakat-terutama di kalangan istana Bani Umayyah- yang oleh sahabat dinilai telah menyimpang terlalu jauh dari kehidupan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat besar yang saleh dan sederhana.Tasawuf bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah walaupun dalam perkembangannya dipengaruhi oleh unsur asing. Tasawuf telah berkembang sejak akhir abad ke dua Hijriah walaupun pada abad pertama hijriyah telah kelihatan dalam bentuk kehidupan asketis (zuhud) yang dipraktekkan Rasulullah dan para sahabat.Berbagai variasi praktek yang dilakukan para sufi dalam tasawuf seperti tarekat Naqsabandy yaitu dengan melakukan dzikir, suluk 40 hari, Rabithah dan tidak makan daging dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Tujuan akhir mempelajari ajaran tasawuf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) dalam rangka mencapai ridha-Nya, dengan mujahadah malalui latihan (riyadhah) spiritual dan pembersihan jiwa, atau hati (tazkiyah al-anfus).Menurut Adams pendekatan utama dalam kajian tasawuf adalah dengan pendekatan fenonemologi sedangkan menurut Harun Nasution kajian tasawuf dapat dilakukan dengan pendekatan tematik.Tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf diantaranya adalah Imam Al-Ghazali dengan karya momentalnya Ihya ‘Ulum al-Din, Ibnu Arabi dengan karyanya Al-Futuhat al- Makkiyah dan Fushush al-Hikam dan lain-lain yang telah disebutkan sebelumnya.
Perkembangan mutakhir tasawuf bermula dari pemikiran Fazlur Rahman dengan konsep neo sufisme. Di Indonesia, Hamka telah menampilkan istilah tasawuf modern dalam bukunya “Tasawuf Modern”. Kalau Al-Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar seorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif di berbagai aspek kehidupan masyarakat.


#sumber :https://www.academia.edu/30411370/MAKALAH_ILMU_TASAWUF
Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment