Tasawuf
merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia.
Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi
esoterik dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek Fiqih, khususnya bab
thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau
lahiriah yang selanjutnya disebut sebagai dimensi eksoterik. Islam sebagai
agama yang bersifat universal dan mencaku berbagai jawaban atas berbagai
kebutuhan manusia, selain menghendaki kebersihan lahiriah juga menghendaki
kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan
pada aspek batinnya. Hal ini misalnya terlihat pada salah satu syarat
diterimanya amal ibadah, yaitu harus disertai niat.
Melalui
studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan
pembersihan diri serta mengamalkannya dengan benar. Dari pengetahuan ini
diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai mengendalikan dirinya pada
saat berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat melakukan berbagai
aktivitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab,
kepercayaan dan sebagainya. Dari suasana yang demikian itu, tasawuf diharapkan
dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti
manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan,
penindasan.
Makalah
yang sederhana ini akan dipaparkan beberapa istilah kata-kata kunci seperti
tasawuf, sufi dan tariqat, sumber dan perkembangan pemikiran tasawuf, variasi
praktek tasawuf, pendekatan utama dalam kajian tasawuf, tokoh dan karya utama
dalam kajian tasawuf, hubungan ilmu tasawuf dan filsafat dan perkembangan
mutakhir studi tasawuf
1. Apa Pengertian Akhlak dan Tasawuf ?
2. Asal usul Timbulnya Studi Akhlak dan Tasawuf ?
3. Bagaimana Sejarah Perkembangan Akhlah dan Tasawuf ?
Makalah
ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi Tugas Kelompok dalam mata kuliah
Akhlak Tasawuf dengan tema “Latar Belakang Timbulnya Study Akhlak Tasawuf “ ,
supaya kita mengetahui lebih detail serta dapat memahami sejarah serta asal
usul Studi Akhlak Tasawuf itu muncul
Secara bahasa tasawuf
berarti:
1.
saf
(baris), sufi (suci), sophos (Yunani: hikmah),
2.
suf
(kain wol), sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup
sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan bersikap bijaksana.
Menurut Istilah:
1.
Upaya
mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan
perhatian hanya kepada Allah SWT.
2.
Kegiatan
yang berkenaan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.
Sumber Ajaran
Tasawuf:
1.
Unsur
Islam:
a. Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk: mencintai Tuhan
(QS. Al-Maidah: 54), bertaubah dan mensucikan diri (QS> At-Tahrim: 8),
manusia selalu dalam pandangan Allah dimana saja (QS. Al-Baqarah: 110), Tuhan
memberi cahaya kepada HambaNya (QS. An-Nur: 35), sabar dalam bertaqarrub kepada
Allah (QS. Ali Imran: 3)
b. Hadis Nabi seperti tentang rahasia penciptaan alam
adalah agar manusia mengenal penciptanya.
c. Praktek para sahabat seperti Abu Bakar Ash-shiddiq,
Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Talib, Abu Zar Al-Ghiffari, Hasan
Basri, dll.
2.
Unsur
Non Islam:
a. Nasrani: Cara kependetaan dalam hal latihan jiwa dan
ibadah.
b. Yunani: Unsur filsafat tentang masalah ketuhanan.
c. Hindu/Budha: mujahadah, perpindahan roh dari satu
badan ke badan yang lain.
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali
tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di
zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in).
Istilah ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. Abdul Hasan Al
Fusyandi mengatakan, "Pada zaman Rasulullah saw, tasawuf ada realitasnya,
tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak
ada realitasnya."
Ilmu tasawwuf menurut Ibn Khaldun merupakan
ilmu yang lahir kemudian dalam Islam, karena sejak masa awalnya para sahabat
dan tabiin serta generasi berikutnya telah memilih jalan hidayah (berpegang
kepada ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi) dalam kehidupannya, gemar beribadah, berdzikir
dan aktifitas rohani lainnya dalam hidupnya. Akan tetapi setelah banyak orang
islam berkecimpung dalam mengejar kemewahan hidup duniawi pada abad kedua dan
sesudahnya, maka orang-orang mengarahkan hidupnya kepada ibadat disebut
suffiyah dan mutasawwifin. Insan pilihan inilah kemudian yang mengembangkan dan
mengamalkan tasawwuf sehingga diadopsi pemikirannya sampai sekarang ini.
Berkata Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di
kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan
setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan
syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu
Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats
Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang
meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.”
Pernyataan ulama
dari kalangan tabi'in ini bisa menjadi acuan bagi kita. Memang benar, tidak ada
istilah tasawuf pada zaman Rasulullah saw. Namun, realitasnya ada dalam
kehidupan dan ajaran Rasulullah saw, seperti sikap Zuhud, Wara’ , Qona'ah,
Taubat, Ridho, Sabar, dll. Kumpulan dari sikap-sikap mulia seperti ini
dirangkum dalam sebuah nama yaitu Tasawuf.
Kelahiran tasawuf memiliki banyak fersi. Secara historis, yang pertama kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya ilmu tasawwuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf itu merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa mula-mula munculnya sufisme adalah dari Basrah di Irak. Di Basrah terjadi sikap berlebih-lebihan dalam kezuhudan dan ibadah yang tidak pernah ada di kalangan semua warga kota lainnya.
Kelahiran tasawuf memiliki banyak fersi. Secara historis, yang pertama kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya ilmu tasawwuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf itu merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa mula-mula munculnya sufisme adalah dari Basrah di Irak. Di Basrah terjadi sikap berlebih-lebihan dalam kezuhudan dan ibadah yang tidak pernah ada di kalangan semua warga kota lainnya.
Ibnul Jauzi
mengemukakan istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul
banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf
dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak
yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di
dunia dan pahala di akhirat.
Mengenali sejarah tasawuf sama
saja dengan memahami potongan-potongan sejarah Islam dan para pemeluknya,
terutama pada masa Nabi. Sebab, secara faktual, tasawuf mempunyai kaitan yang
erat dengan prosesi ritual ibadah yang dilaksanakan oleh para Sahabat di bawah
bimbingan Nabi. Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan
Tabi’in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya
tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal,
jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang.
Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme.Tasawuf
sebagai sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak
dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi’in pada hakikatnya sudah
sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga
tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
Ketika kekuasaan
Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah
orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum.
Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar pertengahan abad 2 Hijriah).
Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup.Mayoritas ahli
sejarah berpendapat bahwa terma tasawuf dan sufi adalah sebuah tema yang muncul
setelah abad II Hijriah. Sebuah terma yang sama sekali baru dalam agama Islam.
Pakar sejarah juga sepakat bahwa yang mula-mula menggunakan istilah ini adalah
orang-orang yang berada di kota Bagdad-Irak. Pendapat yang menyatakan bahwa
tema tasawuf dan sufi adalah baru serta terlahir dari kalangan komunitas Bagdad
merupakan satu pendapat yang disetujui oleh mayoritas penulis buku-buku
tasawuf.Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakam paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi
Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8
Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau
menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap
memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan
keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya,
yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri
terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk
pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih
berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut
paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut PAHAM SUFI,
SUFISME atau PAHAM TASAWUF, dan orangnya disebut ORANG SUFI.Sebagian pendapat
lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi
Muhammad. Berasal dari kata “beranda” (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl
al-suffa, seperti telah disebutkan di atas. Mereka dianggap sebagai penanam
benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad. Kemudian,
menurut catatn sejarah, diantara sekalian sahabat Nabi, maka yang pertama
sekali memfilsyafatkan ibadah dan menjadikan ibadah secara satu yang khusus,
adalah sahabat Nabi Yang bernama Huzaifa bin Al Yamani, salah seorang sahabat
Nabi yang Mulia dan terhormat. Beliaulah yang pertama kali menyampaikan
ilmu-ilmu yang kemudian hari ini kita kenal dengan Tasawuf dan beliaulah yang
membuka jalan serta teori-teori untuk tasawuf itu.Menurut cacatan sejarah, dari
sahabat Nabi Huzaifah bin al Yamani inilah pertama-tama mendirikan Madrasah
Tasawuf . tetapi pada masa itu belumlah terkenal dengan nama Tasawuf, masih
sangat sederhana sekali. Imam sufi yang pertama di dalam sejarah Islam
yaitu Al Hasan Al Basry seorang ulama besar Tabiin, adalah murid pertama
Huzaifah bin al Yamani dan adalah keluaran dari Madrasah yang pernah didirikan
oleh Huzaifah bin Al Yamani.
Selanjutnya, Tasawuf
itu berkembang yang dimulai oleh Madrasah huzaifah bin Al yamani di madinah,
kemudian diteruskan Madrasah Al Hasanul basry di basrah dan seterusnya oleh
Saad bin Al Mussayib salah seorang ulama besar Tabiin, dan masih banyak lagi
tokoh-tokoh ilmu Tasawuf lainnya. Sejak itulah pelajaran Ilmu tasawwuf telah
mendapat kedudukan yang tetap dan tidak terlepas lagi dari masyarakat ummat
Islam sepanjang masa.Sedang menurut versi yang lain, munculnya istilah tasawuf
baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyim al-Kufi (w.
250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam
sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran
zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.Harun Nasution
mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh
cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang
megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran
meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud
dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang
menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor,sehingga bisa
menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan
faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan
memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong
manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai
persatuan Atman dengan Brahman13[13].
Sementara itu Abu
al’ala Afifi mencatat empat pendapat para peneliti tentang faktor atau asal
–usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia.
Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal
atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda kemudian menjelma
menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untuk faktor yang
keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama, faktor
ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur’an dan
al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup wara’14[14],
taqwa dan zuhud.Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap system sosial
politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar
ke berbagai negara yang sudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi
tertentu,seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak
dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang
saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah,yang bermula dari al-fitnah
al-kubraI yang menimpa khalifah ketiga, Ustman ibn Affan (35 H/655 M). Dengan
adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya
tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu
terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam
pertikaian tersebut.Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, sebab
keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut
at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu diteliti lebih jauh, zuhud
bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya
gerakan keilmuan dalamIslam, seperti ilmu fiqih dan ilmu kalam dan sebaginya
muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara
sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II
Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih,yakni setelah tampilnya imam-imam
madzhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam15[15].
Menurut hemat
penulis,zuhud itu meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai
ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran
filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat
al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak
dijumpai nash agama yangmemberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat
dan terselamatkan dari siksa api neraka (QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dluha :
4),(QS. Al-Nazi’aat : 37 – 40).
Berikut ini pokok-pokok ajaran tasawuf dalam struktur
yang umum dan global, serta singkat. Tujuan pembuatan tulisan ini adalah supaya
tergambar secara menyeluruh dan terstruktur ajaran-ajaran kaum sufi. Memang
dalam beberapa bagiannya ada ajaran-ajaran yang cukup kontroversial. Untuk itu
perlu pembahasan lebih lanjut. Insya Allah selanjutnya akan lebih dibahas
secara detail tiap-tiap ajaran tersebut.
a. Takhalli: membersihkan diri dari sifat-sifat tercela.
b. Tahalli: mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji.
c. Tajalli: terungkapnya nur gaib untuk hati.
d. Munajat: melaporkan aktifitas diri pada Allah.
e. Muraqabah dan muhasabah: meneliti dengan cermat apakah
perbuatan sehari-hari telah
sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya
dan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia
dalam hati,yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada
Allah.
f. Tafakkur: merenung/meditasi.
Beberapa istilah praktis;
a. Syari'ah: mengikuti hukum agama.
b. Thariqah: perjalanan menuju Allah.
c. Haqiqah: aspek batiah dari syari'ah.
d. Ma'rifah: pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati.
Jalan mendekatkan diri kepada Allah;
a. Maqamat: tahapan, tingkatan.
b. Taubah: pembersihan diri dari dosa.
c. Zuhud: sederhana dalam hal duniawi.
d. Sabar: pengendalian diri.
e. Tawakal: berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
f. Ridla: menerima qada’ dan qadar dengan rela.
g. Mahabah: cinta kepada Allah.
h. Ma'rifah: mengenal ke Esa-an Tuhan.
i.
Ahwal:
kondisi mental.
j.
Khauf:
merasa takut kepada Allah.
k. Raja': optimis terhadap karunia Allah.
l.
Syauq:
rindu pada Allah.
m. Uns: keterpusatan hanya kepada Allah.
n. Yaqin: mantapnya pengetahuan tentang Allah.
a. Fana' dan Baqa': lenyapnya kesadaran dan kekal.
b. Ittihad: persatuan antara manusia dengan Tuhan.
c. Hulul: penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat
kemanusiaan.
d. Wahdah al-Wujud: alam dan Allah adalah sesuatu yang
satu.
e. Isyraq: pancaran cahaya atau iluminasi.
- Ibn Athaillah as Sakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as
Sakandary (w. 1350M), dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi
faqih dalam madzhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili.
Penguasaannya akan hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki
landasan nas dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan
diminati semua kalangan, diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab
lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya
Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir
(Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi
tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab
tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil
Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.
- Al Muhasibi
Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857).
Lahir di Basrah. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang
yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh
muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia
meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara
filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh
intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah
karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek
kehidupan spiritual.
- Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166)
Beliau adalah seorang Sufi yang sangat tekenal
dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan,
Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak. Abdul Qadir mulai menggunakan
dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah tharikat dengan
namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros
spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al Azham (pemberi
pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya
untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku
karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap
kegaiban). Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru
tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.
- Al Hallaj
Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur Al Hallaj
(857-932), seorang Sufi Persia dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh
khalifah dan oleh para pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum
mati. Al Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari,
kemudian berganti guru pada Syeikh Al Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi
murid Al Junaed Al Baghdadi, tetapi ditolak. Al Hallaj terkenal karena
ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak,
Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari
masalah ini Al Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud",
ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan
Tuhan. Menurut Junaid " Al Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb"
artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan
tetap menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan
tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj
disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al Hallaj tetap menjadi
teka-teki ataumisteri karena masih pro dan kontra.
Tasawuf Sunni (moderat) yaitu tasawuf yang benar-benar
mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari
batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan
dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi:
“Mazhab kami ini (Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”,
perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an dan
tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah
dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan
Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil
(moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan
Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka
adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca
Syari’ah.Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada
akhlak. Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua,
dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan
Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri
as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang
berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima
hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna,
kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu
metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi
sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.Tasawuf ini juga
dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi
kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf
nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan
bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara
terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.
1. Junaid Al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad
al-Kazzaz al-nihawandi. Dia adalah seorang putera pedagang barang pecah belah
dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia
meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tukoh sufi yang luar
biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa
kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia
apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah
seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu
membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah
dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam
kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi.
Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di
Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya
Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi. Kemampuan al-Junaid
untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus
gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam
memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum. Al-Junaid dikenal
dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid.
Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab
biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi:
“oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya
dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak
dan diperanakkan.
Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki.
Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal
ini dia menegaskan Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti
“allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.”
Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan
kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA.
55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap
bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada
habis-habisnya. Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan
karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
2. B. Al-Qusyairi An-Naisabury
Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang
hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk.
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn
Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan
Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M. Sedikit sekali informasi penulis
dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir
sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal
bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany.
Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah
kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada
awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini
dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan
masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan
mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan
meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar
untuk perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual
yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu
bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan
panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada
peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika
pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal
dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama
Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak
hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain.
Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan
gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy.
Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq
untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412
H/1014 – 1021 M. Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari
pernikahan ini, lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah,
Abu Said Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath
Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim. Disamping berguru
pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain.
Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M),
seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu
Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam
dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga
belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul
Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta
mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad
al-Ashfarayain. Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini
ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan
al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau
Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang
Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang
bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan
Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran
Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu,
Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah
Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu
Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri Perburuan terhadap para pemuka aliran
Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M.
Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk
sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’
al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas
Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah
al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi
yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul
(penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya,
dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang
selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin
dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya
daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak
demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa
al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa
al-Tauzi, Kairo,1983).Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan
kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat
Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang
sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan
karya monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa
sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud
menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya
sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu
Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang
berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang
tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang
membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf,
al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung
dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab
Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab
at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang
merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi,
Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir
al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai
pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi,
tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas Menurut
Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad,
tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa
beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20
tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan
selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak
ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa
tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah
Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
3. C. Al-Harawi
Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin
Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan.
Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab
hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai
tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas
doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan
pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan
ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj. Di antara karya-karya
beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam
dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah
para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal
dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa
tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal,
seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi.
Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya
terhadap al-Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham
sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan
keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya. Dalam kaitannya dengan masalah
ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam
ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh.
Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah
ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya.
Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat
orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan
ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang
diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl
al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat
mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat
dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak
tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu
akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan
tersebut. Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang
sufi pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di
sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba.
Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu
seorang nabi atau wali.
Maraknya pengajian tasawuf dewasa
ini, dan kian bertambahnya minat masyarakat terhadap tasawuf memperlihatkan
bahwa sejak awal tarikh Islam di Nusantara tasawuf berhasil memikat hati
masyarakat luas. Minat tersebut boleh serius, boleh setengah serius, atau
sekadar ingin tahu. Namun yang jelas pengaruh dan peranan tasawuf, yang
menjamin keberadaan dan relevansinya, ternyata tidak pudar sejak dulu sampai sekarang.
Itu pun juga dengan sedikit mengabaikan penyimpangan-penyimpangan, yang boleh
saja terjadi, sebagaimana penyimpangan boleh juga terjadi dalam amalan ilmu dan
gerakan keagamaan nontasawuf.Dalam Hikayat Aceh, yang ditulis atas titah Sultan
Iskandar Muda (1607-1636 M), dipaparkan, betapa tua muda, kalangan menengah
atas, dan bawah sama-sama bergairah mempelajari ilmu tasawuf. Kala itu justru
pada saat Kesultanan Aceh Darussalam berada di puncak kejayaannya, dan minat
tasawuf tidak menyebabkan kegiatan ekonomi dan perdagangan mundur. Begitu juga
kegiatan pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu agama dan pengetahuan umum.
Perdebatan tentang tasawuf juga
sering terjadi dan kadang-kadang tampak sengit. Hasil kalam para sastrawan dan
ulama sejak abad ke-15 M sampai abad ke-19 M, yaitu kitab-kitab keagamaan, ilmu
dan sastra, juga menunjukkan betapa mendalamnya pengaruh tasawuf pada
masyarakat terpelajar dan menengah Muslim Nusantara yang menganut mazhab Sunni
aliran Syafii. Dalam
banyak buku sejarah diuraikan bahwa tasawuf telah mulai berperanan dalam
penyebaran Islam sejak abad ke-12 M. Peran tasawuf kian meningkat pada akhir
abad ke-13 M dan sesudahnya, bersamaan munculnya kerajaan Islam pesisir seperti
Pereulak, Samudra Pasai, Malaka, Demak, Ternate, Aceh Darussalam, Banten, Gowa,
Palembang, Johor Riau dan lain-lain. Ismail Faruqi dalam bukunya Atlas Budaya
Islam menghubungkan hal ini dengan perpindahan besar-besaran orang Islam dari
negeri-negeri yang ditaklukkan oleh Jengis Khan dan pasukan Mongolnya. Bersama
mereka juga pindah para ulama, ahli tasawuf, cendekiawan, tabib, pedagang, dan
bekas panglima perang. Tidak sedikit di antara jutaan pengungsi itu pada
akhirnya memilih pesisir Sumatra, semenanjung Melayu, dan Pulau Jawa sebagai
tempat tinggal baru.Tidak
mengherankan tasawuf ikut berkembang di kepulauan Nusantara. Sebab sejak abad
ke-12 M, peranan ulama tasawuf memang sangat dominan di dunia Islam. Hal ini
antara lain disebabkan pengaruh pemikiran Islam al-Ghazali (wafat 111 M), yang
berhasil mengintegrasikan tasawuf ke dalam pemikiran keagamaan madzab Sunnah
wal Jamaah menyusul penerimaan tasawuf di kalangan masyarakat menengah.
Bukti-bukti arkeologi, seperti
tulisan pada makam raja-raja dan bangsawan Pasai (1272-1400 M) membuktikan
besarnya pengaruh tasawuf sejak awal tarikh Islam. Pada makam-makam kuno itu
tertulis bukan saja ayat-ayat Al-Quran yang sufisfik, tetapi juga sajak-sajak
sufisfik karangan Sayidina Ali dan penyair Sufi Persia abad ke-13 M, Mulla
Sa`di. Sumber-sumber sejarah Melayu seperti Hikayat Raja-raja Pasai (anonim,
abad ke-15 M), Shalat al-Salatin (karangan Tun Sri Lanang, abad ke-16 M),
Hikayat Aceh (anomin), Babad Banten dan lain-lain, juga memaparkan aktivitas
para Sufi dan besarnya pengaruh mereka dalam kehidupan masyarakat Muslim.
Menurut Tun Sri Lanang, Sultan
Malaka Mansyur Syah (1459-1477 M) adalah seorang pengikut ajaran tasawuf yang
terkemuka. Beliau pernah memerintahkan agar memperbanyak sebuah kitab tasawuf
karangan Abu `Isyaq, seorang ulama Arab terkemuka abad ke-14, berjudul Dur
al-Manzum (Untaian Mutiara Puisi). Nuruddin al-Raniri dalam Bustan
al-Salatin menyatakan bahwa pada akhir abad ke-16 di Aceh terjadi perbincangan
seru tentang ajaran Wujudiyah Ibn `Arabi. Seorang ulama Arab terkemuka menulis
buku tasawuf berjudul Syaf al-Qati (Pedang Tajam) untuk
meluruskan pemahaman tentang paham Wujudiyah.Sultan Aceh, kakek Iskandar Muda,
Alauddin Ri`ayat Syah (1589-1604 M) adalah tokoh Tarekat Qadiriyah. Pada
mulanya beliau adalah seorang saudagar kaya, yang dilantik oleh musyawarah
orang-orang kaya menjadi raja, untuk mengisi takhta kerajaan Aceh yang lowong
disebabkan sengketa dan krisis politik yang berkepanjangan. Begitu pula Sultan
Iskandar Muda, seorang penggemar sufi kelas berat. Pendamping Sultan ini dalam
pemerintahan ialah Syamsudin Pasai, seorang Sufi terkemuka dan penganjur ajaran
Martabat Tujuh perdana menteri yang disegani.Sultan Banten Zainal Abidin yang
memerintah pada akhir abad ke-17 adalah juga seorang pengikut tasawuf dan
kolektor kitab sufi terkemuka. Pangeran Diponegoro (w. 1855), juga pengikut
Tarekat Qadiriyah sebagaimana penentang kolonial Belanda pendahulunya, yaitu
Pangeran Trunojoyo (w. 1211). Di antara tarekat yang berpengaruh ialah
tarekat-tarekat yang muncul pada abad ke-13 M. Misalnya Tarekat Rifa`iyah,
Qadiriyah, Syadiliyah, Naqsyabandiyah, Sattariyah, Khalwatiyah lain-lain.
Tokoh-tokoh tarekat ini, khususnya Ahmad Riaf`i, Abdul Qadir al-Jilani,
Naqsyabandi dan lain-lain dipengaruhi Imam al-Ghazali.
Kitab tasawuf paling awal yang
muncul di Nusantara ialah Bahar al-Lahut (lautan Ketuhanan) karangan `Abdullah
Arif (w. 1214). Isi kitab ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang wujudiyah
Ibn `Arabi dan ajaran persatuan mistikal (fana) al-Hallaj. Syekh Abdullah Arif
adalah pemuka tasawuf dari Arab. Beliau tiba di Sumatra (Perulak, Pasai) pada
tahun 1177. Menurut T. Arnold dalam The Preaching of Islam (1036), Syekch
Abdullah Arif termasuk Sufi paling awal yang menyebarkan Islam bercorak tasawuf
di Sumatra.Namun, baru pada abad ke-16 muncul kitab-kitab tasawuf dalam bahasa
Melayu. Sedangkan kitab-kitab yang ada sebelumnya ditulis dalam bahasa Arab. Di
antara kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu yang berpengaruh ialah Syarab
al-Asyiqin (Minuman Orang Berahi), Asrar al-ARifin (Rahasia Ali Makrifat) dan
al-Muntahi karangan Hamzah Fansuri (wafat awal abad ke-17) dan sebagainya.
Tasawuf ialah perwujudan
spiritualitas Islam, yang mengambil bentuk sebagai ilmu falsafah, gerakan
sastra dan estetik, ajaran tentang jalan kerohanian atau tarekat. Sebagai
pengetahuan kerohanian, tasawuf membicarakan masalah tatanan rohani kehidupan,
mencakup kewujudan Yang Satu keesaan-Nya dan hubungan Tuhan dengan dunia
ciptaan. Walaupun tasawuf tertuju pada alam kerohanian, namun sebagai ilmu ia
tidak hanya membicarakan masalah rohani dan jiwa manusia, tetapi juga tatanan
yang berbeda-beda di alam benda dan dunia.Rumi mengatakan bahwa tujuan tasawuf
ialah untuk memperteguh jiwa manusia. Caranya ialah dengan meningkatkan cinta
dan keimanan, moral dan pengetahuan rohani, memperbanyak ibadah dan amal saleh.
Cinta yang dimaksud ialah cinta ilahi atau gairah ketuhanan. Ia harus
dihidupkan dalam diri manusia. Adapun moral yang dimaksud ialah moral yang
benar kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan sekitar dan diri sendiri. Secara
garis besarnya ringkas ajaran Sufi dapat diringkas sebagai berikut.
Pertama, hakikat segala sesuatu,
dari mana semua keberadaan berasal ialah satu. Yang satu disebut Wujud Wajib,
artinya ada-Nya merupakan keharusan, agar yang banyak selain-Nya juga
memperoleh keberadaan. Sebagi Wujud Wajib (al-wajib al-wujud) Yang satu
meliputi segala sesuatu dengan ilmu atau pengetahuan dan cinta-Nya.Di sini Sufi
meyakini bahwa sebagai Dzat Tunggal, Tuhan itu bersifat transenden; sedangkan
pengejawantahan pengetahuan dan cinta-Nya di alam ciptaan merupakan sesuatu
yang immanen (tasybih).Kedua, segala sesuatu sesungguhnya dicipta karena Dia
(yaitu lautan ilmu-Nya yang tak terhingga) ingin diketahui dan diabdi. Dengan
mencipta segala sesuatu, maka cinta-Nya atau kehendak-Nya, dapat dikenal. Paham
Wujudiyah misalnya mengatakan bahwa Wujud Tuhan itu sendiri ialah Cinta. Ini
tertera dalam kalimat Basmallah, berupa al-rahman (Pengasih) dan al-rahim
(Penyayang).Pengasih adalah cinta Tuhan yang esensial, artinya diberikan kepada
semua makhluknya dan semua umat manusia: Melayu, Arab, Eropah, Cina, Persia
ataupun Jawa; atau Yahudi, Buddha, Hindu, Kristen, dan Islam. Sedang Penyayang
(al-rahim) ialah cinta yang wajib, artinya diberikan hanya kepada yang beriman,
bertakwa dan banyak beramal saleh.Ketiga, hakikat diri manusia ialah makhluk
kerohanian dengan potensi kerohanian yang luar biasa besar.Keempat, tujuan
hakiki kehidupan ialah mencapai Pengetahuan Tertinggi, yaitu mengenal keesaan
Tuhan dalam arti sesungguhnya, mengenal hakikat diri sebagai makhluk rohani dan
mengenal dunia sebagai hamparan ayat-ayat Tuhan.Kelima, jalan cinta ditempuh
dengan menyucikan jiwa (nafsu) hingga dapat dikendalikan: memurnikan pikiran,
yaitu keterpukauan berlebihan pada yang selain Tuhan; dan membeningkan kalbu
hingga menjadi penglihatan rohani yang tajam.Keenam, cinta dalam tahapan
tertentu dapat disamakan dengan iman, kepatuhan menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi laranganya.Ketujuh, aspek-aspek Cinta mencakup rasa rindu, karib,
penuh hasrat, majenun (rindu dendam), kepada Yang Satu. Seorang sufi ingin
menyatukan kehendak, pikiran, rasa dan arah hidup kepada Yang Satu. Cinta
memberikan sifat-sifat mulia kepada seseorang; ikhlas, tawadduk, tidak
egosentris, penuh pengorbanan, bersemangat kesatria (futuwwa) dalam hidup; dan
merdeka, dalam arti merdeka dari selain Tuhan, dan hanya tergantung kepada-Nya.
Tasawuf
adalah ilmu yang mengandung ajaran-ajaran tentang kehidupan keruhanian,
kebersihan jiwa, cara-cara membersihkannya dari berbagai penyakit hati, godaan
nafsu, kehidupan duniawi, cara-cara mendekatkan diri kepada Allah seta fana
dalam kekekalan-Nya sehingga sampai kepada pengenalan hati yang dalam akan
Allah. Sufi adalah orang yang menjalankan tasawuf. Sedangkan tarekat adalah
jalan yang ditempuh oleh para sufi untuk dapat dekat kepada Allah.
Thariqah juga mengandung pengertian organisasi.
Para
ahli sejarah tasawuf menilai bahwa timbulnya tasawuf tidak terlepas dari
kondisi kehidupan masyarakat-terutama di kalangan istana Bani Umayyah- yang
oleh sahabat dinilai telah menyimpang terlalu jauh dari kehidupan yang
diajarkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat besar yang saleh dan
sederhana.Tasawuf bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah walaupun dalam
perkembangannya dipengaruhi oleh unsur asing. Tasawuf telah berkembang sejak
akhir abad ke dua Hijriah walaupun pada abad pertama hijriyah telah kelihatan
dalam bentuk kehidupan asketis (zuhud) yang dipraktekkan Rasulullah dan para
sahabat.Berbagai variasi praktek yang dilakukan para sufi dalam tasawuf seperti
tarekat Naqsabandy yaitu dengan melakukan dzikir, suluk 40 hari, Rabithah dan
tidak makan daging dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Tujuan
akhir mempelajari ajaran tasawuf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub
ila Allah) dalam rangka mencapai ridha-Nya, dengan mujahadah malalui
latihan (riyadhah) spiritual dan pembersihan jiwa, atau hati (tazkiyah
al-anfus).Menurut Adams pendekatan utama dalam kajian tasawuf adalah dengan
pendekatan fenonemologi sedangkan menurut Harun Nasution kajian tasawuf dapat
dilakukan dengan pendekatan tematik.Tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf
diantaranya adalah Imam Al-Ghazali dengan karya momentalnya Ihya ‘Ulum al-Din,
Ibnu Arabi dengan karyanya Al-Futuhat al- Makkiyah dan Fushush al-Hikam dan lain-lain
yang telah disebutkan sebelumnya.
Perkembangan
mutakhir tasawuf bermula dari pemikiran Fazlur Rahman dengan konsep neo
sufisme. Di Indonesia, Hamka telah menampilkan istilah tasawuf modern dalam
bukunya “Tasawuf Modern”. Kalau Al-Ghazali mensyaratkan uzlah dalam
penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar
seorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif di berbagai aspek kehidupan
masyarakat.
#sumber :https://www.academia.edu/30411370/MAKALAH_ILMU_TASAWUF
0 komentar:
Post a Comment