BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
sejarah pemikiran Islam, filsafat digunakan dalam berbagai kepentingan. Para
teolog rasional (mutakallimûn) menggunakan filsafat untuk membela iman
khususnya dari para cendekiawan Yahudi dan Kristiani, yang saat itu sudah lebih
maju secara intelektual. Sedangkan para filosof mencoba membuktikan bahwa
kesimpulan-kesimpulan filsafat yang diambil dari gagasan filsafat Yunani tidak
bertentangan dengan iman. Para filosof berusaha memadukan ketegangan antara
dasar-dasar keagamaan Islam (Syari’ah) dengan filsafat, atau antara akal dengan
wahyu.
Para
filosof Muslim banyak mengambil pemikiran Aristoteles, Plato, maupun Plotinus,
sehingga banyak teori-teori filosof Yunani diambil oleh filosof Muslim.
Pengaruh filsafat Yunani inilah yang menjadi pangkal kontrafersi sekitar
masalah filsafat dalam Islam. Sejauh mana Islam mengizinkan masukan dari luar,
khususnya jika datang dari kalangan yang bukan saja Ahl al-kitab seperti Yahudi
dan Kristen, tetapi juga dari orang-orang Yunani yang “pagan” atau musyrik
(penyembah bintang).
Dengan
demikian filsafat Islam dalam perkembangannya menjadi lebih mandiri dalam
berfikir tentang sesuatu, ia dapat berkembang dengan subur, memiliki ciri khas
dan tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran pokok Islam, walaupun secara umum
disadari pula bahwa kebanyakan obyek pembahasannya sama, yaitu soal Tuhan,
manusia (mikro kosmos), dan alam (makro kosmos)
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang terkandung dalam pembahasan ini meliputi :
a. Bagaimana sejarah lahirnya filsafat Islam ?b . Bagaimana hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani ?.
c Bagaimana pandangan orientalis dan pandangan sejarah Islam tentang filsafat Islam ?
d Apa saja sumber-sumber filsafat Islam ?
C. Tujuan Pembahasan
Adapaun tujuan pembahasan yang akan dikaji dalam
makalah ini menjelaskan :
- Materi tentang sejarah lahirnya filsafat Islam
- Materi tentang hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani
- Materi tentang pandangan orientalis dan pandangan sejarah Islam tentang filsafat Islam
- Materi tentang sumber-sumber filsafat Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH LAHIRNYA FILSAFAT ISLAM
Sebelum
mengkaji lebih jauh mengenai filsafat Islam, memaparkan sejarah lahirnya
filsafat islam merupakan suatu tindakan yang sangat penting, tujuannya untuk
mencari bukti-bukti yang valid seputar persoalan sejarah pemikiran umat islam
pada umumnya. Secara historis, tarik-menarik kepentingan bahwa filsafat itu
murni atau tidak murni dari Islam adalah fakta yang tak bisa dihindari.
Saling
mengklaim antar ilmuwan Barat dan Islam menjadi lembaran panjang dalam
perjalanan filsafat, misalnya Oliver Leaman yang berpendapat bahwa “filsafat
Yunani sebenarnya pertama kali diperkenalkan kepada dunia lewat karya-karya
terjemahan berbahasa Arab, lalu kedalam bahasa Yahudi, dan baru kemudian
kedalam bahasa Latin atau langsung dari bahasa Arab ke bahasa Latin”. Berbeda
dengan Al-Farabi yang berpendapat bahwa “filsafat berasal dari Irak terus Mesir
dan ke Yunani, kemudian diteruskan ke Syiria dan sampai ketangan orang-orang
Arab.”[1]
Namun
pada dasarnya, sebagian kalangan menganggap bahwa awalnya filsafat berkembang
di Yunani dengan 3 tokoh yang sangat terkenal yaitu: Sokrates, Plato dan
Aristoteles. Yang mana ditangan mereka filsafat tidak hanya membicarakan kosmosentris
(pemikiran yang terpusat pada alam) namun pengetahuan tentang keyakinan agama
dan ke-Tuhanan mulai dibicarakan.
Sesudah
abad ke-3 SM (sesudah masa Plato dan Aristoteles) tidak muncul pemikiran yang
benar-benar baru dalam filsafat Yunani sampai akhirnya tampil kaum Neo Platonis
kurun abad ke-3 M. Jika membuka ulang sejarah peradaban dunia, masa setelah
Aristoteles adalah masa kejayaan Alexander Agung (Raja Iskandar Zulkarnain),
kaisar Romawi yang pernah menjadi murid Aristoteles. Alexander menaklukan Asia
kecil, Syiria, Mesir, Babilonia, Persia, Samarkand, dan Punjab. Tiap kali
berhasil memenangkan ekspansi militer, Alexander mendirikan kota-kota yang
bercita rasa Yunani. Namun ketika kekuasaannya semakin meluas, Alexander
terpaksa menganjurkan pembaruan antara budaya Yunani dan budaya bangsa jajahan.
Inilah Hellenisme, yaitu suatu peristiwa menyatunya kebudayaan Yunani disegala
bangsa jajahan Romawi.
Setelah
Alexander meninggal, kerajaannya yang besar itu terbagi tiga: Macedonia di
eropa, kerajaan Ptolemeus di mesir, dan kerajaan Seleucid di asia. Petolemeus
dan seleucus berusaha meneruskan politk alexander untuk menyatukan peradaban
yunani dan iran sungguh pun usaha itu
tak berhasil kebudayaan dan peradaban yunani meninggalkanbekas besar di
daerah-daerah ini. Bahasa administrasi yang di pakai di sana ialah bahsa
yunani. Di mesir dan syiria bahasa ini tetap di pakai sesudah mauknya islam
kedalam dua daerah itu dan hanya baru ditukar dengan bahasa arab di abad ke 7 M
oleh khalifah bani umayah A. malik Ibnu Marwan (685-705M), khalifahke 5 dari
bani umayah. Alexanderia, Antiocah, dan Bactra kemudian menjadi pusat ilmu
pengetahuan dan filsafat yunani.
Di
abad ke 3 M pusat-pusat kebudyaan yunani ini di tambah dengan kota jundis hapur
yang letaknya tidak jauh dari Baghdad (di dirikan pada tahu 762 M). disana
sewaktu kota itu masuk kebawah kekuasaan Islam, telah terdapat suatu akademi
dan rumah sakit.
Harun
al-Rasyid menjadi khalifah ditahun 786 M, dan sebelumnya ia belajar di Persia
dibawah asuhan Yahya ibnu Khalid ibnu Barmak dan dengan demikian banyak
dipengaruhi oleh kegemaran keluarga barmak pada ilmu pengetahuan dan falsafat.
Keluarga Barmak dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu penegtahuan serta
falsafat dan condong pada paham Muktazilah. Dibawah pemerintahan Harun
al_rasyid, penerjemahan buku-buku ilmu pengertahuan Yunani kedalam bahasa Arabpun
dimulai. Pada mulanya yang dipentingkan ialah buku-buku mengenai kedikteran,
tetapi kemudian juga mengenai ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan lain dan
falsafat. Buku-buku itu diterjemahkan terlebih dahulu kedalam bahasa siria,
bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia di waktu itu, kemudian baru kedalam
bahasa Arab. Akhirnya penerjemahan diadakan langsung kedalam bahasa Arab.
Dengan
kegiatan penerjemahan inilah sebagian besar dari karangan-karangan Aristoteles,
Plato, Galen, serta karangan-karangan mengenai neoplatonisme dan ilmu
kedokteran dan juga karangan-karangan mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya
dapatlah dibaca oleh alim ulama Islam. Karangan-karangan tentang filsafat
banyak menarik perhatian kaum Muktazilah, sehingga banyak dipengaruhi oleh pemujaan
daya akal yang terdapat dalam filsafat yunani. Abu al-Huzail al-Allaf, Ibrahim
al-Nazzam, Bisr ibnu al-Mu’tamir dan lain-lain banyak membaca buku-buku
falsafat. Dalam pembahasan mereka mengenai teologi islam, daya akal atau logika
yang mereka jumpai dalam filsafat Yunani banyak mereka pakai. Tidak
mengherankan kalau teologi kaum Muktazilah mempunyai corak rasional dan
liberal.[2]
Tidak
lama kemudian timbullah dikalangan umat islam sendiri filosof-filosof dan
ahli-ahli ilmu pengetahuan, seperti:
a.
Al-Kindi (801-866).
b.
Al-Razi
(864-926).
c.
Al-Farabi
(870-950).
d.
Ibn Sina
(980-1037).
e.
Ibn Maskawaih
(W. 1030).
f.
Al-Ghazali
(1058-1111).
g.
Ibn Bajjah (w.
1138).
h.
Ibn Tufail
(1110-1185).
i.
Ibn Rasyd
(1126-1198).
Dalam
ilmu pengetahuan dikenal beberapa ahli seperti :
1.
Abu Abbas al-Syarkasyi
pada abad ke 9 M dibidang kedokteran.
2.
Muhammad, Ahmad
dan Hasan dibidang Matematika.
3.
Al-Asma (740-828
M) dibidang Ilmu alam.
4.
Jabir dibidang
Kimia.
5.
Al-Biruni
dibidang Astronomi, sejarah, geografi dan Matematika
6.
Ibnu Haitam
dibidang Optika.
B. HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM DENGAN FILSAFAT YUNANI
Mengkaji
hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani dapat diakatakan
“gampang-gampang susah”. Kesulitannya terletak
pada titik perbedaan yang nyata, yaitu doktrin keimanan. Kemudahannya
dapat ditelusuri dari aspek sejarah kelahiran kedua ilmu tersebut.
1. Hubungan
Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani: Kajian Historis
Dilihat
dari aspek sejarah, kelahiran ilmu filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya
usaha penerjemahan naskah-naskahilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah
dilakukan sejak masa klasik islam.
Usaha
ini melahirkan sejumlah filsuf besar muslim. Dunia Islam belahan timur yang
berpusat di Bagdad, Irak lebih dahulu melahirkan filsuf muslim daripada dunia
Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol.
Memperkuat
pernyataan di atas, Ahmad Salabi dan Louis Ma’luf menguraikan bahwa swjarah
kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang
Islam, kecuali setelah masa daulah Abbasiah pertama (132-232 H/750-847 M). ilmu
ini ditransfer kedunia Islam melalui penerjemahan dari buku-buku filsafat
Yunani yang telah tersebar di daerah-daerah Laut Puith seperti ; Iskandariah,
Anthakiah, dan Harran. Terlebih pada masa Al-makmun yang dikenal sangat
tertarik pada kemerdekaan berfikir, yang berkuasa antara 198-218 H/813-833 M
dan mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi Byzantium yang
beribukota di konstantinopel, yang juga dikenal sebagai kota “Al-Hikmah”, pusat
ilmu filsafat.
Para
cendikiawan ketika itu berusaha memasukan filsafat Yunani sebagai bagian dari
metodologi dalam menjelaskan Islam terutam aqidah, untuk memelihara peluasan
antara wahyu dan akal.
Tentu
saja aktivitas para filsuf Muslim diatas bersentuhan dngan penafsiran
Al-qur’an. Al-Qur’an secara filosofis besar sekali. Al-kindi misalnya, yang
dikenal sebagai bapak filsuf Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahamo
al_qur’an denganbenar, isinya harus di tafsirkan secara Rasional, bahkan
filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang
mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan
makna yang lebih dalam dibalik terbit-tenggelamnya matahari,
berkembang-menyudutnya bulan, pasang surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan
ini merupakan seruan untuk berfilsafat. Seperti halnya Al-Kindi, Ibn Rusyd pun
berpendapat demikian. Lebih jauh Ibn Rusyd nmenyatakan bahwa tujuan dasar
filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar.
Dalam
hal ini fislafat sesuai dengan agama sebab tujuan agama pun tidak lain adalah
menjamin pengetahuan yang benar bagi umat Manusia dan menunjukkan jalan yang
benar bagi kehidupan yang praktis.
Itulah
sebabnya, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat
dalam islam adalah ajaran islam sendiri sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an
dan Sunnah. Meskipun memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam
sendiri, filsafat banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama Hellenisme
atau dunia pemikiran Yunani.
Uraian
di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam berkembang setelah
umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia Yunani. Pemakaian kata
“filsafat” di dunia Islam digunakan untuk menerjemahkan kata “hikmah” yang ada
dalam teks-teks kegamaan Islam, seperti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para
filsuf Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung
jawab pribadi dihadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme),
asal-usul penciptaan dan seterusnya, yang semua itu merupakan bagian integral dari
ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.
Tampak
jelas terlihat adanya hubungan yang bersifat akomodatif bahwa filsafat Yunani
member modal dasar dalam pelurusan berfikir yang ditopang sejatinya oleh
Al-Qur’an sejak dulu. Secara teologi dapat dikatakan bahwa sumber Al-Qur’an
secara azali telah ada maka filsafat Yunani hanya sebagai desain besar Allah
SWT. Akan tetapi, persoalan yang muncul adalah orisnaitas filsafat Islam,
apakah ia mengekor atau pelopor.
Nurcholis
madjid, yang mengutip pendapat Bertrand Russel, menyatakan bahwa memang disatu
pihak filsafat Islam merupakan “barang baru” di dunia Islam. Namun, di pihak
lain dalam pengembangan ilmu ini terdapat yang original, yang bukan milik
Barat. Bahkan, Barat meminjamnya dari Islam, seperti ilmu matematika dan kimia.
Tidak adanya orisinilitas yang mengesankan pada pemikiran kefilsafatan Islam
klasik. Sebab, para filsuf klasikmIslam, betapa pun pengembaraan intelektualnya
adalah orang-orang yang religious. Mungkin, tafsiran mereka atas beberapa
noktah ajaran agama tidak dapat diterima oleh para ulama ortodoks.
Karena
religiusitas mereka, pemikiran spekulatif kefilsafatan terjadi hanya dalam
batas-batas yang masih dibenarkan oleh agama, yang agama itu sendiri bagi
mereka telah cukup rasionalitas sebagaimana yang telah dituntut oleh filsafat.
Abdul Mun’im mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memberikan kebebasan
dalam membicarakan filsafat, berbeda dengan Kristen. Dengan demikian, orang
Arablah yang memberikan keutamaan dalam menyebarkan filsafat Yunani dan
menyiarkannya kepenjuru dunia. Dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat Yunani
adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak
Islam yang disebarkan keberbagai dunia Barat.
2.
Hubungan
Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani: Kajian Doktrin
Dalam
ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan banyak dipakai, bukan
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetaoi juga dalam
perekembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam itu sendiri. Hanya yang menjadi
masalah di sini adalah apakah penggunaan akal, seperti yang munculdalam istilah
Islam rasionalis atau rasionalis dalam Islam itu percaya kepada rasio
semata-mata dan tidak mengindahkan wahyu? Atau membuat akal lebih tinggi
daripada wahyu sehingga wahyu dapat dibatalkan oleh akal? Dalam pemikira Islam
, baik dalam filsafat atau ilmu kalam, apalagi dalam bidang ilmu fiqih, akal
tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu
tetap dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan
sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi
terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan member
interpretasi.
Menurut
Harun Nasution, yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya
bukan akal dan wahyu, baik oleh kaum Mutazilah maupun oleh kaum filsuf Islam.
Yang dipertentangkan hanyalah penafsiran dari teks wahyu dengan penafsiran lain
dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah
pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain tentang penafisran
wahyu. Dengan kata ijtihad ulama yang satu dengan yang lain.
Dalam
ajaran islam, pemakaian akal memang tidak diberi kebebasan mutlak sehingga
pemikir islam dapat melanggar garis-garis yang telah ditentukan oleh Quran dan
hadits, tetapi tidak pula diikat dengat ketat. Perlu ditegaskan di sini bahwa
pemakaian akal yang diperintahkan Al-Quran, seperti yang terdapat dalam
ayat-ayat kauniyah, mendorong manusia untuk meneliti alam-alam sekitarnya, dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Penggunaan akal yang maksimal dalam rangka
memahami hakikat wujud atas sesuatu itulah sesungguhnya dunia filsafat. Namun
demikian, peranan akal yang maksimal dalam pembahsan masalah-masalah keagamaan
islam itu dijumpai bukan hanya dalam filsafat, tetapijuga dalam bidang teologi,
dan bahkan dalam fiqih dan tafsir Al-Quran sendiri. Hanya saja perbedaan jika
dalam bidang fiqih dan teologi, akal banyak dipakai dalam memahami teks-teks
keagamaan dalam Al-Quran dan hadits, sedangkan dalam filsafat islam, sebagai
bentuk pemikiran yang sedalam-dalamnya, tentang wujud akal yang banyak dipakai
dan berguna pemakaiannya dalam ilmu fiqih dan teologi.
Ringkasnya,
dapat dikatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani, secara
doctrinal memiliki hubungan bahwa islam memiliki ajaran untuk mencari
pengetahuan dan alatnya adalah akal untuk menggali pemikiran yang benar. Begitu
pula, dalam filsafat yunani akal menjadi pusat pemikiran yang begitu bebas,
sementara dalam filsafat islam diberikan kelonggaran, meskipun terdapat
keketatan dalam penggunan rasio.[3]
Suatu
kebenaran yang tidak dapat ditolak adalah pengaruh peradaban Yunani, Persia,
dan India. Diantara ilmu-ilmu India yang besar pengaruhnya kepada intelektual
Islam adalah ilmu hitung, astronomi, ilmu kedokteran, dan matematika dengan
angka-angka yang oleh orang Arab disebut
angka India dan oleh orang Eropa kemudian dikenal dengan nama angka Arab.
Sedangkan dari Persia terdapat ilmu bumi, logika, filsafat, astronomi, ilmu
ukur, kedokteran, sastra, dan seni.
Pengaruh
terbesar yang diterima umat Islam dalam bidang ilmu dan filsafat, menurut Ahmad
Amin, adalah dari Yunani. Karena kontak umat Islam dengan kebudayaan Yunani
bersamaan waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam, maka masuklah ke dalamnya
unsur-unsur kebudayaan Yunani yang memberinya corak tertentu, terutama dalam
bentuk dan isi. Dalam bentuk, pengaruh logika Yunani besar sekali, ilmu-ilmu
Islam diberi warna baru, ditempa menurut pola Yunani dan Disusun sesuai dengan
sistem Yunani. Jadi, logika Yunani mempunyai pengaruh yang sangat besar pada
alam pikiran Islam di zaman Bani Abbas.
Perlu
ditegaskan bahwa pengaruh bukan berarti menjiplak. Betapa banyaknya para
filosof baik Islam maupun non-Islam terpengaruh oleh pemikiran filosof
sebelumya, namun mereka tidak menyandang predikat penjiplak atau pengembik.
Ibnu Sina walaupun terpengaruh berat oleh Aristoteles, tetapi ia juga memiliki
pemikiran filsafat tersendiri, yang tidak dimiliki oleh al mu’allim al-Awwal,
Aristoteles sendiri.
Dalam
rekaman sejarah, cara terjadinya kontak antar umat Islam dan filsafat Yunani
(juga sains) melalui daerah Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir. Filsafat
Yunani datang ke daerah-daerah ini ketika penaklukan Alexander yang agung ke
Timur pada abad keempat (331) sebelum Masehi. Ia juga mempersatukan orang-orang
Yunani dan Persia dalam satu Negara besar dengan cara berikut.
1.
Ia angkat
pembesar dan pembantunya dari orang Yunani dan Persia.
2.
Ia mendorong
perkawinan campuran antara Yunani dan Persia. Bahkan, ia pernah
menyelenggarakan perkawinan missal 24 jenderal dan 10.000 prajuritnya dengan
wanita-wanita Persia di Susa.
3.
Sementara itu,
ia sendiri kawin dengan Statira, putrid Darius, Raja Persia yang kalah perang.
4.
Ia mendirikan
kota-kota dan permukiman-permukiman yang dihuni bersama oleh orang-orang Yunani
dan Persia.
Dengan
demikian, bercampurlah kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia. Sebagai bukti
dalam hal ini kota Alexandria di Mesir, yang dalam bahasa Arab disebut al-Iskandaria,
merupakan warisan dari usaha di atas. ( Sirajuddin Zar: 2010 )
C. PANDANGAN ORIENTALIS DAN PANDANGAN SEJARAH ISLAM TENTANG FILSAFAT ISLAM
·
ORIENTALIS
A.
Pengertian
Orientalisme
adalah studi islam yang dilakukan oleh orang-orang barat. Kritikus orientalisme
Edward W Said menyatakan bahwa orientalisme adalah suatu cara untuk memahami
dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia barat
Eropa. Secara bahasa orientalisme berasal dari kata “orient” yang artinya
“timur” secara etnologis orientalisme bermakna “bangsa-bangsa di timur” dan
secara geografis “hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang
lingkupnya” orang yang menekuni dunia ketimuran disebut orientalis.
Orientalisme adalah suatu faham atau aliran yang berkeinginan
menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa timur beserta
lingkungannya.
B.
Latar Belakang
Munculnya
Orientalisme Salah satu penyebab munculnya orientalisme adalah perang
salib yakni ketika terjadi pergesekan politik dan agama antara islam dan kristen
barat di Palestina. Argumentasinya adalah permusuhan politik berkecamuk antara
umat islam dan kristen selama pemerintahan Nuruddin Zanki dan Shalahudin
al-Ayubi. Karena pihak kristen sering mengalami kekalahan atas umat
islam, maka dendam untuk membalas membara selama berabad-abad. Di sisi lain
faktor lain yang memunculkan munculnya orientalisme untuk kepentingan Barat
(Eropa) terhadap negara-negara Arab dan Islam di Timur, Afrika Utara dan Asia
Tenggara, serta adanya juga kepentingan dari mereka dalam memahami adat
istiadatdan agama, bangsa-bangsa jajahan yang tujuannya memperkuat kekuasaan
dan dominasi mereka di bidang ekonomi pada bangsa-bangsa jajahan.
C.
Dogma Orientalisme
Menurut
Amien Rais di dalam buku Metodologi Studi Islam karya Didin Saefudin Buchori,
sekurang-kurangnya terdapat enam dogma orientalisme.
Pertama,
ada perbedaan mutlak dan sistematik antar Barat yang rasional, maju, manusiawi,
dan superior dengan Timurg yang sesat, irrasional, terbelakang, dan inferior.
Menurut anggapan mereka, hanya orang Eropa dan Amerika yang merupakan
manusia-penuh, sedangkan orang Asia-Afrika hanya bertaraf setengah-manusia.
Kedua,
abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan pada teks-teks
klasik, dan hal ini lebih diutamakan daripada bukti-bukti nyata dari masyarakat
Timur yang konkret dan riil. Kenyataanya dalam masalah ini, para orientalis
tidak bisa mengelakkan tuduhan Edward W Said bahwa mereka tidak mau menyelidiki
perubahan yang terjadi dalam masyarakat Timur, namun lebih mengutamakan isi
teks-teks kuno sehingga orientalisme berputar-putar di sekitar studi tekstual,
tidak realistis. Philip K Hitti, umpamanya, mengatakan bahwa untuk mempelajari
islam dan umatnya tidak diperlukan kerangka teori baru karena, menurutnya,
masyarakat islam yang sekarang ini masih persis sama dengan masyarakat islam
Sembilan abad lalu.
Ketiga,
Timur dianggap begitu lestari (tidak berubah-ubah), seragam, dan tidak sanggup
mendefinisikan dirinya. Karena itu menjadi tugas Barat untuk mendefinisikan apa
sesungguhnya Timur itu, dengan cara sangat digeneralisasi, dan semua itu
dianggap cukup “obyektif”.
Keempat,
pada dasarnya Timur itu merupakan sesuatu yang perlu ditakuti, atau sesuatu
yang perlu ditaklukan. Apabila seorang orientalis mempelajari islam dan umatnya,
keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua dogma pokok lainnya.
Kelima,
al-Qur’an bukanlah wahyu ilahi, melainkan hanyalah buku karangan Muhammad yang
merupakan gabungan unsure-unsur agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab
pra-Islam. Dalam buku yang sama dijelaskan bahwa seorang orientalis bernama
Chateaubriand, misalnya, buku karangan Muhammad. Al-Qur’an tidak memuat
prinsip- prinsip peradaban maupun ajaran yang memperluhur watak manusia. Ia
bahkan mengatakan, al-Qur’an tidak mengutuk tirani dan tidak menganjurkan cinta
pada kemerdekaan.
Keenam,
kesahihan atau otentitas semua hadis harus diragukan. Malah ada yang mengkritik
syarat-syarat sahihnya hadis seperti yang dilakukan Joseph Schacht. Amin Rais
menyindir bahwa disamping ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim ada juga “hadis
riwayat Joseph Schacht”.
D.
Tujuan Orientalisme
Edward
W Said kritik keras terhadap orientalisme. Menurutnya (di dalam buku Metodologi
Studi Islam karya Didin Saefudin Buchori) orientalisme tidak terletak dalam
suatu ruang hampa budaya; ia merupakan kenyataan politik dan budaya. Barat,
tulis Said, 10 bertanggung jawab membentuk persepsi yang keliru
tentang dunia yang ingin mereka ”jelaskan”.
Secara
garis besar tujuan para orientalis menyajikan karya tulisannya terbagi tiga
yaitu:
pertama,
untuk kepentingan penjajahan, ini jelas tergambar dari penelitian-penelitian
yang serius yang dilakukan para orientalis. Contoh dalam kasus Indonesia,
Snouck Hurgronye begitu jelas. Nama ini, oleh pemerintah belanda diberi
kepercayaan untuk mengkaji Islam sedalam-dalamnya sehingga sempat menetap
di Mekkah bertahun-tahun. Namun tujuan pengkajiannya tidak lain kecuali untuk
melemahkan perlawanan umat Islam terhadap Belanda serta mengobrak-abrik
pertahanan dan persatuan kaum Muslimin dengan politik belah bambunya.
Kedua,
untuk kepentingan agama mereka, ini juga jelas karena semua penjajah yang
menguasai negara-negara Muslim adalah berlatar belakang agama Kristen.
Sekalipun ada teori bahwa para kolonialis tidak berambisi mengkristenkan
penduduk, namun setidak- tidaknya para penginjil telah menemukan momentumnya
dengan membonceng pihak kolonialis untuk menyebarkan Kristen ke tengah
penduduk.
Ketiga,
untuk kepentingan ilmu pengetahuan; memang para orientalis berasal dari para
intelek dan sarjana yang serius mengkaji masalah-masalah ketimuran. Hampir di
setiap universitas di Amerika selalu ada pusat-pusat kajian ketimuran seperti
pusat kajian ketimuran seperti pusat kajian Timur Tengah, Asia Tenggara, Asia
Tengah dan Asia Selatan. Tujuan yang ketiga dapat menghasilkan kesimpulan
yang netral dan fair tentang Islam sekalipun demi kenetralan ilmu mereka juga
dapat member kesimpulan kurang fair tentang Islam. Tujuan pertama dan kedua
sudah pasti akan menghasilkan penilaian yang miring, bias dan tidak fair tentang
Islam demi kepentingan colonial dan ekspansi agama merdeka.
v Sikap dan pandangan orientalis terhadap
filsafat islam
Kalangan
orientalis sering memutar balikkan maksud nash (teks) secara sengaja dengan
membuat kesimpulan yang menyesatkan. Historia est magistra vitae, sejarah
adalah guru kehidupan. Di antara bentuk penyimpangan yang sering dilakukan
kalangan orientalis ini adalah memutarbalikkan maksud nash (teks) secara
sengaja dengan tujuan membuat kesimpulan-kesimpulan yang tidak ada hubungannya
dengan nash tersebut. Bentuk penyimpangan lainnya adalah dengan cara menambah
atau menghilangkan beberapa kalimat, sehingga nash tersebut memberikan makna
yang tidak ada lagi kaitannya dengan nash itu sendiri.
Bagaimana
pandangan orientalis terhadap sejarah Islam. Misalnya Montgomery Watt,
orientalis Inggris, memberi interpretasi tentang Jihad dari kacamata
materialisme belaka, dengan mengaitkan untung ruginya. Disini dapat dilihat
bahwa ternyata dia tidak bisa melihat kenyataan bahwa perlawanan paling gigih dalam
menghadapi kolonialisme barat di timur, Islam merupakan motivator terpenting
yang hingga saat ini masih menggema di berbagai tempat. Seandainya ucapannya
benar, pasti Islam telah sirna dari muka bumi sejak lama dan tidak perlu
dipelajari lagi oleh kaum orientalis.Penggambaran yang salah ini sebagai
tonggak awal munculnya gerakan orientalisme. Orang-orang orientalis saling
bahu-membahu menyimpangkan bentuk islam dan potret yang sebenarnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Hal
ini digambarkan oleh seorang orientalis kondang bernama Montgomery watt
mengungkapkan dalam bukunya. Ia mengatakan sebagi berikut: sesungguhnya aqidah
ajaran islam terdiri dari bentuk penyimpangan dari ajaran kristen. Islam
adalah sebuah agama yang ganas dan tersebar melalui pedang. Agama islam
mengajak manusia agar menyibukkan diri dalam dunia nafsu, terutama nafsu
seksual. Dan dalam pribadi muhammad sendiri terdapat kelemahan akhlaq. Berarti
muhammad adalah seorang pendiri agama yang menyimpang. Karena itu hendaknya dijadikan
prinsip bahwasanya muhammad merupakam senjata atau tangan kananya setan. Bahkan
bangsa eropa pemeluk masehi pada abad pertengahan menamakanya setan.
Sudah
jelas bahwa tujuan mereka menyebarluaskan islam yang salah dan menyeramkan,
mencakup dua macam :
1. Mengadakan kesenjangan
sehingga islam tidak dapat tersiar dieropa seperti tersiarnya pada bangsa lain.
2. Menumbuhkan
keraguan dalam hati umat islam terhadap ajaran agamanya dan berusaha untuk
memurtadkan mereka dari islam dengan cara kristenisasi. Dan ini merupakan
tujuan yang paling penting.
Karena
itu tidaklah mengherankan bila disana ada kaitan antara gerakan kristenisasi
dengan orientalisme dibarat dan akhirnya orientalisme bergerak dengan resmi
dengan hasil dari usulan yang diajukan oleh seorang pembaptis bernama Reymond
lull. Dengan diterimanya usulan tadi menunjukkan bukti adanya gerakan
kristenisasi dibarat, khususnya setelah kegagalan mereka dalam peperangan
salib, yang dimaksudkan untuk mewujudkan angan-angan dan keinginan mereka yang
pokok, yaitu memurtadkan umat islam. Namun demikian jiwa dan semangat
kristenisasi dan permusuhanya terhadap islam tetap tumbuh membengkak dan
berkembang terus. Disampiing itu jiwa dan semangat gerakan kristenisasi dibarat
juga ikut menyuburkan pertumbuhan gerakan orientalisme, bahkan mengarahkan dan
menuntunya. Kemudian pada tahun 1636 M, didirikan fakultas khusus bahasa arab
diuniversitas Cambridge.
Dr.
Hitti melancarkan tuduhan bahwa nabi muhammad SAW.adalah seorang penipu yang
lihai. Uraian yang dikemukakanya tentang kehidupan beliau memberikan kesan
kepada pembacanya bahwa dia benar-benar telah merencanakan tulisan itu secara
cermat. Dalam komentarnya mengenai berbagai kejadian sesudah hijrah nabi. Dia
menulis sebagi berikut:
Di
madinah orang-orang yang menunggu beliau secara berangsur-angsur surut
kebelakang, karena munculnya tokoh politisi dan praktisi yang mengelola urusan
mereka. Suatu perubahan dalam sifat wahyu-wahyu tampak jelas. Wahyu-wahyu yang
tegas dan keras yang menekankan keesaan Allah, sifat-sifat-Nya dan kewajiban
manusia terhadap-Nya, dan yang disampaikan dalam gaya sastrawi dan penuh
berirama, sekarang berubah menjadi wahyu-wahyu berkepanjangan yang kurang
menarik berisi pembicaraan tentang persoalan-persoalan seperti ibadat dan
salat, perkawinan dan perceraian, budak dan tawanan perang. Dengan pretensinya
dengan penguasaan bidang studi itu, Dr. Hitti ternyata telah gagal
mengungkapkan makna yang sebenarnya dari peristiwa hijrah itu. Di mekkah nabi
muhammad telah lebih dari pada seorang penyampai suatu ajaran sedangkan di
madinah beliau mengorganisasikan orang-orang mukmin mejadi suatu masyarakat
yang bersatu dengan kuatnya, sehingga dengan perkataan lain beliau
menerjemahkan ajaran yang beliau bawa itu kedalam kehidupan nyata. Apa yang
terjadi di madinah setelah hijrah itu diyakini baik oleh orang-orang bukan
muslim maupun orang-orang muslim bahwa nabi muhammad SAW. Menduduki peringkat
tertinggi penegak hukum terbesar yang dikenal dalam sejarah. Dr. Hitti tidak
dapat memahami Allah yang telah menyelamatkan nabi muhammad dari ancaman para
pembunuh beliau di mekkah.
v Pandangan Sejarah filsafat islam
Dalam sejarah, pertemuan Islam (kaum muslimin)
dengan filsafat, terjadi pada abad-abad ke-8 masehi
atau abad ke-2 Hijriah, pada saat Islam berhasil mengembangkan sayapnya dan
menjangkau daerah-daerah baru. Dalam abad pertengahan, filsafat dikuasai oleh
umat Islam. Buku-buku filsafat Yunani, diseleksi dan disadur seperlunya, serta
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Minat dan gairah mempelajari filsafat dan
ilmu pengetahuan waktu itu begitu tinggi karena pemerintahlah yang menjadi
pelopor serta pioner utamanya.
Dua
imperium besar pada masa itu, yakni Abbasiyah dengan ibu kotanya Bagdad (di
Timur), dan Umayyah dengan ibu kotanya Kordova (di Barat) menjadi pusat
peradaban dunia yang menghasilkan banyak orang bergelut dalam dunia
kefilsafatan. Untuk mengetahui sejarah perkembangan filsafat Islam, maka
kehadiran para filosof muslim dalam dunia kefilsafatan dari masa ke masa harus
ditelusuri.
Dalam
sejarah perkembangan filsafat Islam, filosof pertama yang lahir dalam dunia
Islam adalah al-Kindi (796-873 M). Ide-ide al-Kindi dalam
filsafat misalnya, filsafat dan agama tidak mungkin ada pertentangan. Cabang
termulia dari filsafat adalah ilmu tauhid atau teologi. Filsafat membahas
kebenaran atau hakekat. Kalau ada hakekat-hakekat mesti ada hakekat pertama (الحق الأول) yakni Tuhan. Ia juga membicarakan tentang
jiwa dan akal.
Filosof
besar kedua dalam sejarah perkembangan filsafat Islam ialah al-Farabi (872-950 M). Dia banyak menulis
buku-buku tentang logika, etika, ilmu jiwa dan sebagainya. Ia menulis buku
“Tentang Persamaan Plato dan Aristoteles”, sebagai wujud keyakinan beliau bahwa
filsafat Aristoteles dan Plato dapat disatukan. Filsafatnya yang terkenal
adalah filsafat emanasi.
Selanjutnya,
filosof setelah al-Farabi adalah Ibnu Sina (980-1037 M). Nama Ibnu Sina
terkenal akibat dua karangan beliau yakni al-Qanun Fiy al-Tibb yang merupakan
sebuah Ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin pada abad ke-12 M, dan menjadi buku pegangan di
universitas-universitas Eropa, dan al-Syifa al-Qanun yang merupakan
Einsiklopedia tentang filsafat Aistoteles dan ilmu pengetahuan. Di dunia Barat,
beliau dikenal dengan Avicenna (Spanyol Aven Sina) dan popularitasnya di dunia
Barat sebagai dokter melampau popularitasnya sebagai filosof, sehingga ia
diberi gelar dengan “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam sendiri, ia
diberi gelar al-Syaikh al-Ra’is atau pemimpin utama dari filosof-filosof.
Filosof
selanjutnya adalah Ibnu Miskawaih (W. 1030 M). Beliau lebih dikenal
dengan filsafat akhlaknya yang tetuang dalam bukunya, Tahzib al-Akhlak.
Menurutnya, akhlak adalah sikap mental atau jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran yang dibawa sejak lahir. Kemudian ia
berpendapat bahwa jiwa tidak berbentuk jasmani dan mempunyai bentuk tersendiri.
Jiwa memiliki tiga daya yang pembagiannya sama dengan pembagian al-Kindi.
Kesempurnaan yang dicari oleh manusia ialah kebajikan dalam bentuk ilmu
pengetahuan dan tidak tunduk pada hawa nafsu serta keberanian dan keadilan.
Filosof
berikutnya adalah al-Ghazali. Selain filosof, al-Gazali juga
termasuk sufi. Jalan yang ditempuh al-Ghazali diakhir masa hidupnya
meninggalkan perasaan syak yang sebelumnya mengganggu jiwanya. Keyakinan yang
hilang dahulu ia peroleh kembali.
Berdasar
dari uraian-uraian terdahulu, maka dapat dipahami bahwa perkembangan filsafat
Islam, pada mulanya terwariskan dari karangan-karangan filosof Yunani, kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa Latin, dan berpengaruh bagi ahli-ahli fikir Eropa
sehingga ia diberi gelar penafsir (comentator), yaitu penafsir filsafat
Aristoteles.
Perkembangan
filsafat Islam, hidup dan memainkan peran signifikan dalam kehidupan
intelektual dunia Islam. Jamal al-Dīn al-Afgani, seorang murid Mazhab
Mulla Shadra saat di Persia, menghidupkan kembali kajian filsafat Islam di
Mesir. Di Mesir, sebagian tokoh agama dan intelektual terkemuka seperti Abd.
al-Halim Mahmud, Syaikh al-Azhar al-marhum, menjadi pengikutnya.
Filsafat
Islam di Persia, juga terus berkembang dan memainkan peran yang sangat penting
meskipun terdapat pertentangan dari kelompok ulama Syi’ah. Tetapi patut dicatat
bahwa Ayatullah Khoemeni, juga mempelajari dan mengajarkan al-hikmah (filsafat
Islam) selama berpuluh puluh tahun di Qum, sebelum memasuki arena politik, dan
juga Murtadha Muthahhari, pemimpin pertama Dewan Revolusi Islam, setelah
revolusi Iran 1979, adalah seorang filosof terkemuka. Demikian pula di Irak,
Muhammad Baqir al-Shadr, pemimpin politik dan agama yang terkenal, adalah juga
pakar filsafat Islam.
D. SUMBER-SUMBER FILSAFAT ISLAM
Tradisi
Filsafat Yunani merupakan sumber awal kelahiran Filsafat-Filsafat lain,
termasuk juga Filsafat Islam. Akan tetapi, hubangan antara Filsafat Islam dan
Filsafat Yunani tidak terjadi secara langsung tanpa perantara. Kebudayaan
Hellenistik yang berkembang di Iskandariah adalah perantara itu.
Seperti
sudah disebutkan dalam ringkasan sejarah kemunculan Filsafat Islam sebelumnya,
kerja-kerja penerjemahan terhadap karya-karya Filsafat Yunani yang di lakukan
umat Islam tidak mungkin terjadi tanpa adanya bantuan tidak langsung dari para
Filosof Iskandariah. Dengan kata lain, hubungan antara Filsafat Yunani dan
tradisi pemikiran Islam di dahului oleh kontak- budaya Islam dengan kebudayaan
Kristen Timur (mesir) yang sudah lebih
dulu menyerap inti Filsafat Yunani. Jika demikian adanya, maka apapun yang
menjadi sumber dalam Filsafat Yunani adalah juga sumber Filsafat Islam.
Filsafat
Islam tidak menolak keberadaan indera dan akal sebagai sumber pengetahuan
manusia. Dalam pembicaraan epistemologinya secara umum, indera dan pengalaman
inderawi di jadikan sebagai gerbang awal pengetahuan. Alat-alat indera
mengantarkan keseluruhan objek-objek terindera kepada alat kerja pengetahuan
yang lebih mempuni dalam penarikan kesimpulan yakni akal manusia. Tidak penting
untuk membicarakan kontroversi seputar definisi akal pada manusia jika
pembicaraan pengetahuan dikonsentrasikan pada mekanisme kerja pembentukan
pengetahuan berdasarkan data-data yang diterima oleh alat-alat indera, baik
indera bagian luar, maupun indera bagian dalam. Secara keseluruhan, para
Filosof dalam tradisi Islam tidak menolak aspek penting akal dalam Filsafat
Islam. Hanya saja, dalam kadar penggunaan kemampuan rasional, boleh jadi para
Filosof itu memang berbeda sesuai dengan karakter filsafat yang mereka usung.
Selain
pengalaman inderawi dan penalaran logis, dalam tradisi Filsafat Islam,
keberadaan wahyu juga diterima sebagai sumber pengetahuan. Bahkan, pengetahuan
yang diperoleh melalui wahyu memiliki setatus istimewa, karna seorang penerima
pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi
yang sering diistilahkan dengan Nabi atau Rasul Tuhan. Tentu saja, pengetahuan
semodel ini berbeda dengan pengetahuan manusia biasa yang berporos pada indera
dan akal. Namun demikian, keberadaan wahyu sebagai pedoman iman harus
dipercayai secara taken for granted, dan para filosof muslim berusaha untuk
memahami wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji dan diletakkan dalam
tataran teoritis.
Ditinjau
dari kondisi historis dan normativ wahyu ilahi menempati posisi sentral dalam
pemikiran umat Islam. Wahyu dijadikan sebagai pedoman dan pegangan nilai yang
mengarahkan, membimbing, dan meletakkan dasar relasi antara manusia dengan
realitas transenden, wahyu juga dipandang sebagai media bagi proses komunikasi
ilahiyah antara manusia dengan yang “di Atas” manusia. Jika wahyu diterima
sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan, termasuk juga
terhadap pertanyaan-pertanyaan Filosofis manusia, maka wahyu turun salalu dalam
kondisi historitas tertentu.
Thaha
Hussein pernah membagi wahyu kedalam dua dimensi: the first massage di
satu sisi, dan the second massage di sisi lain. Klasifikasi ini adalah
penjelasan yang menekankan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam mengatasi
persoalan-persoalan kemanusiaan. Dengan kata lain, penalaran logis menjadi hal
yang tidak bisa dihindari dalam urusan menerjemahkan maksud-maksud wahyu yang
terkadang diturunkan lewat rumusan-rumusan bahasa metaforis. Penalaran akal
kemanusiaanlah yang kemudian menghubungkan wahyu dengan fakta dan realitas
historis kemanusiaan di bumi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri perang saudara
antara pasukan Ali dan Mu’awiyah di Siffin dapat dijadikan bukti historis bahwa
wahyu memang sangat terbuka utuk interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika
interpretasi itu berpretensi untuk menyesatkan atau sekedar melakukan
pembangkangan metodis,
Fenomena
pewahyuan adalah persoalan yang banyak menyita waktu dan pikiran para Filosof
muslim. Naif untuk mengatakan bahwa para Filosof muslim menolak pewahyuan dan
Risalah kenabian,sebab jika sejarah para Filosof muslim yang menolak dibuka kembali, maka hanya akan dijumpai
sedikit nama saja yang menolak pewahyuan. Fakta ini berbanding terbalik dengan
fakta historis dan cerita-cerita tentang para Filosof yang justru memulai
keberangkatan pemikiran Filsafat melalui pedoman wahyu, dan demi kelangsungan
tafsiran atas wahyu.
Ketika
menjelaskan persoalan wahyu, al-Farabi mengatakan bahwa saat seorang Nabi
menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan: pertama,
intelek aktif sebagai entitas yang bertindak sebagai perantara transenden
antara Tuhan dan manusia. kedua,intelek perolehan (al’aql al mustafad)
yang dipeoleh Nabi hanya ketika jiwanya bersatu dengan intelek aktif. Ketiga,
intelek pasif (al aql al manfail) yang merupakan kondisi intelek
penerima wahyu. Penjelasan al Farabi ini adalah bukti bahwa proses pewahyuan
tidak untuk ditolak. Penjelasan ini dirasionalisasikan untuk memudahkan dan menanamkan keyakinan awam
pada tendensi pewahyuan.
Karena
wahyu telah diterima sebagai sumber pengetahuan dalam Filsafat Islam,maka
mau tidak mau, Filsafat Islam juga
selalu bersinggungan dengan bidang-bidang keilmuan Islam lain. Hal ini karna
keseluruhan objek kajian dalam al dirasah al Islamiyah merupakan
interpretasi atas pedoman dasar agama Islam. Dalam pada itu, perbedaan tiap
bidang kajian bermula tidak saja dari pemilahan objek dan ruang lingkupnya,
tetapi juga bermula dari penentuan metode yang digunakan dalam menyikapi kitab
suci.
Islam
merupakan agama yang paling memuliakan teks suci. Dalam berbagai forum pidato,
penulisan buku dan pergaulan sehari-hari, umat Islam kerap menukil dan
menyartakan kutipan-kutipan teks suci. Teks suci telah dijadikan sebagai
rujukan legitimasi berbagai wacana Ilmiah dan politik. Hal ini membawa masalah
baru ketika batas antara interpretasi, manipulasi dan apresiasi atas teks suci
tidak jelas dan kabur. Jika dikaitkan dengan prihal seni seni, karna Islam
menganut paham Ikonoklasme radikal, maka yang paling menonjol adalah seni
kaligrafi, berbeda dari keyakinan Hindu dan Kristen yang justru menjadikan
lukisan dan patung sebagai medium ritual.
Dalam
menyikapi teks suci, keragaman cara pernah muncul dan kesemuaannya membuktikan
bahwa umat Islam menjadikan teks sebagai turats yang dinamis. Teks
diyakini sebagai sumber inspirasi, resource dalam melakukan adaptasi dan
adjustment. Kebebasan dalam berpikir dan berkreasi telah melahirkan
peradaban Islam yang agresif dan ekspansif, digulirkan diatas teks suci sesuai
dengan kepetingan zaman dan diselenggarakan dalam upaya merealisasikan Islam
yang relavan di tiap zaman.
Teks
diyakini perlu untuk dibaca berulang-ulang untuk menemukan spirit yang
dikandungnya. Spirit yang terkandung dalam teks merupakan syarat untuk
merealisasikan Islam yang tidak interpretable ketika dihadapkan dengan
kebutuhan umat yang actual dan yang mungkin belum terjadi di masa-masa
terdahulu.
Jika
sumber dari sebuah tradisi adalah teks verbal yang dapat dibaca di wilayah
kultural yang berbeda dengan tanah asalnya, maka problem yang muncul dalam
kasus pembacaan teks di luar kultur aslinya adalah bagaimana menciptakan
kembali teks dan menyesuaikan dengan kultur pembaca. Penerjemahan dan
penafsiran adalah dua system yang selama ini diberlakukan dalam upaya
penciptaan kembali teks. Dalam system penerjemahan, suatu tradisi diciptakan
kembali dengan cara yang harfiah melalui penempatan teks sebagai inti dari
tradisi. Sedangkan dalam system penafsiran, tradisi diciptakan kembali dengan
membaca semangat dan nilai-nilai yang dikandung teks dalam situasi yang baru
dan melalui artikulasi simbolis yang juga baru. Unsur kreasi dalam system
penafsiran sedikit lebih menonjol dari pada penerjemahan. Hal ini dimungkinkan
karena dalam system penafsiran, tradisi dan masa lalu tidak dipandang sebagai
sesuatu yang paripurna dan telah diseleseikan.
Sampai
titik ini, jelas bahwa Filsafat Islam yang menerima keberadaan wahyu sebagai
dasar pengetahuan yang dituntut berinteraksi dengan teks suci agama Islam dengan
melakukan pembacaan yang berulang demi melahirkan pemikiran yang brilian
sebagai jawaban atas tiap pertanyaan filosofis.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Lahir
dan berkembangnya pemikiran filosofis dalam Islam merupakan sebuah realitas historis
yang niscaya karena adanya interaksi yang terbangun antar bangsa Arab Muslim
dengan daerah-daerah yang ditaklukan (bangsa non-Muslim), yakni bangsa Persia,
India dan terutama sekali adalah bangsa Yunani, sehingga filsafat Islam
dikatakan banyak mengandung unsur Hellenisme. Hasil dari proses interaksi
itulah kemudian melahirkan semangat intelektual untuk melakukan penerjemahan
terhadap berbagai karya-karya; baik Yunani, Persia, maupun India kedalam bahasa
Arab. Gerakan penerjemahan berkembang pesat karena mendapat dukungan penguasa
(khalifah). Dari hasil penerjemahan tersebut, lahirlah pemikiran-pemikiran
filosofis dalam Islam. Dalam pengembangan selanjutnya pemikiran-pemikiran para
filosof non-Muslim itu dikembangkan sesuai dengan akidah dan ajaran-ajaran
Islam, agar tidak bertentangan.
- Saran
Makalah
ini merupakan gerbang awal untuk memotivasi kita agar selalu rajin membaca
khususnya tentang Filsafat Islam. Makalah ini tentunya banyak sekali kekurangan
dan literature atau buku sumber yang kami kutif dalam makalah ini belumlah
cukup untuk mencapai kesempurnaan Oleh karena itu kami meminta kritik dan saran
dari pembaca pada umumnya dan khususnya kepada dosen pengampu dan rekan-rekan.
DAFTAR PUSTAKA
- Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2010
- Sirajuddin Zar, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010
- Hasan Basri & Zaenal Mufti, Filsafat Islam sejak Klasik hingga Modern, C.V. Insan Mandiri, Bandung, 2008
- Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1989
- Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam
- Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999
- Ahmad Mustofa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2004
[1] Dedi Suriyadi, Pengantar Filsafat Islam, CV Pustaka Setia,
Bandung, 2009, Hal. 23.
[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan
Bintang, 2010, hal. 5.
[3] Dedi Suriyadi, Pengantar Filsafat Islam, CV Pustaka Setia,
Bandung, 2009, Hal. 35.
sumber:http://filsafatkebingungan.blogspot.com/2015/10/filsafat-islam-sejarah-filsafat-islam.html
0 komentar:
Post a Comment