MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT ISLAM





BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Metode terbaik untuk memperoleh pengetahuan adalah metode ilmiah (sciennific method ), yang untuk memahaminya terlebih dahulu harus dipahami pengertian ilmu. Ilmu dalam arti science dapat dibedakan dengan ilmu dalam arti pengetahuan (knowledge).
Filsafat merupakan ilmu yang sangat istimewa yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak mampu dijawab oleh pengetahuan biasa. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu sistim yang meliputi kenyataan, strukyur, membedakan bagian-bagian dan hukum-hukum tentang obyek kajian yang diteliti yaitu alam, manusia, dan agama sejauh yang dapat dijangkau oleh akal manusia dengan dibantu panca indera yang kebenarannya diuji secara emperis, riset dan eksperimental..[1]
Menurut beberapa penulis, seperti Oliver Leaman, CA.Qodir, dan Al-Jabiri, pemikiran rasional Arab-Islam (filsafat) tidak bersumber atau diimport dari “filsafat”Y unani, tapi benar-benar berdasar pada ajaran-ajaran pokok Islam sendiri, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.Meski demikian, diakui bahwa rasionalisme tersebut kemudian menjadi lebih berkembang pesat setelah bertemu dengan logika-logika Yunani lewat penterjemah-penterjemahan yang dilakukan.
B.       Rumusan Masalah
1)        Apa definisi filsafat Islam?
2)        Apa  obyek kajian dan tujuan filsafat ilmu Islam?
3)        Bagaimana sejarah perkembangan filsafat Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Definisi Filsafat Islam.
Asal kata filsafat dapat kita terangkan, bahwa perkataan “filsafat” berasal dari perkataan Yunani, yang digunakan orang Arab dalam masa ke-emasan islam, yang biasa dinamakan juga “zaman terjemah” yaitu antara tahun 878-950 M[2]. Al-Farabi menerangkan, bahwa perkataan “filsafat” itu berasal dari bahasa Yunani masuk dan digunakan sebagai bahasa Arab. Perkataan asal adalah “philosophia” yang terdiri dari dua perkataan, yaitu  “philo” yang berarti cinta dan “Sophia” yang berarti hikmah atau kebenaran. Jadi “philosophia” atau “filsafat”berarti “cinta-kebenaran”.[3]
Apakah ada pikiran yang lain mengenai perkataan filsafat itu? The Dictionary of Philosophy, karangan Dagobert D. Runes (New York, 1942) menerangkan bahwa, filsafat itu berasal dari bahasa Yunani “philein” yang berarti cinta dan “Sophia” yang berarti wisdom atau kebijaksanaan. Filsafat diartikan ilmu-pengetahuan yang paling umum dan luas.Tetapi filsafat itu tidak hanya berarti mencari kebenaran, tapi juga berfikir secara benar. Filsafat juga boleh diartikan, menerangkan segala sesuatu dalam arti mencari fakta-fakta kebenaran yang merupakan hakikat daripada sesuatu itu.[4]
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “kaum filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam” (Falasifatul-Islam, atau Al-falasifatul Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain.
Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”[5].
Pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum Muslimin lebih tepat disebut Filsafat Islam, pengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga kebudayaan. Pemikiran filsafat sudah barang tentu terpengaruh oleh kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran tersebut adalah Islam baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan. Dan dalam pemakaian istilah “Filsafat Islam” lebih banyak dipahami dalam buku-buku filsafat, seperti an-Najat dan as-Syifa dari Ibn Sina, dalam buku al-Milal wan-Nihal dari as-Syihrisaani, dalam buku Akhbar al-Hukuma dari al-Qafi dan Muqqadimah Ibni Khaldun.[6]
Dengan demikian disimpulkan bahwa filsafat yang muncul dalam kehidupan Islam yang banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab adalah Filsafat Islam, karena kegiatan pemikirannya bercorak Islam. Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman, tetapi karena mereka dalam daulah Islamiyah.
B.       Obyek Kajian dan Tujuan Filsafat Islam
Ilmu islam sebagai suatu bangunan keilmuan sudah pasti memiliki obyek kajian, metodologi, pendekatan dan kerangka teori. Seperti halnya ilmu-ilmu yang lain, ilmu Islam (Islamic studies) mestinya juga memiliki kajian filosofis terhadap bangunan keilmuan Islam tersebut[7].
M. Amin Abdullah mempunyai pandangan yakni, semua ilmu yang disusun, dikonsepso, ditulis secara sistimatis, kemudian dikomunikasikan, diajarkan, dan disebarluaskan baik lewat lisan maupun tulisantidak mungkin lepas dari paradigm kefilsafatan. Ilmu Islam adalah bangunan keilmuan biasa, karena ia disusun dan dirumuskan oleh ilmuan agama, ulama, fuqaha, mutakallim, mutasawwirin, mufassirin, muhaddisin, dan cerdik pandai pada era yang lalu untuk menjawab tantangan kemanusiaan dan keagamaan saat itu. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk menghindarkan dari pertemuan, perbincangan dan pergumulan dengan tela’ah filsafat ilmu.[8]
Obyek filsafat ilmu setidaknya ada dua yang subtantif dan dua yang instrumentatif. Dua yang subtantif adalah kenyataan dan kebenaran, sedangkan dua yang instrumentatif adalah konfirmasi dan logika inferensi.
1.    Kenyataan atau fakta
Kenyataan atau fakta adalah emperi yang dapat dihayati oleh manusia, sesuatu sebagai nyata bagi positivisme bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan yang lain.Data yang masuk tersebut harus obyektif, tidak boleh masuk subyektif.
2.    Kebenaran
Benar mana yang hendak dijangkau oleh filsafat ilmu: benar epistimologik, ontologik, atau benar aksiologik?berbagai metode tersebut akan beda tela’ahnya.
3.    Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan dating atau member pemaknaan-pemaknaan tersebut dapat ditampilkan secara absolute untuk mengejar kepastian.
4.    Logika inferensi
Logika paradigm dengan menggunakan ragam pola piker terutama yang menyebar dan horizontal,serta mengembangkan pemaknaan menjangkau kebenaran etik dan diluar kesanggupan manusia biasa[9].
Sedangkan objek Filsafat Islam ialah objek kajian filsafat pada umumnya yaitu realitas, baik yang material maupun yang ghaib. Perbedaannya terletak pada subjek yang mempunyai komitmen Qur’anik.[10]
Dalam hubungan ini objek kajian Filsafat Islam dalam tema besar adalah Tuhan, alam, manusia dan kebudayaan. Tema besar itu hendaknya dapat dijabarkan lebih spesifik sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga dapat ditarik benang merah dari perkembangan sejarah pemikiran kefilsafatan yang hingga sekarang. Setiap zaman mempunyai semangatnya sendiri-sendiri.
Dalam mempelajari filsafat Islam ada tujuan dan manfaat tersendiri bagi yang mempelajarinya. Tujuan mempelajari filsafat Islam secara umum ialah agar mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Tujuan mempelajari filsafat antara lain sebagai berikut:
1.    pengkajian filsafat dapat membawa kepada perubahan keyakinan dan nilai-nilai dasar seseorang, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi arah kehidupan yang lebih baik.
2.    pengkajian filsafat dapat membuahkan kebebasan dari dogmatisme, toleransi terhadap pandangan-pandangan orang yang berbeda, serta kemandirian intelektual.
3.    kebebasan intektual dan sikap-sikap lainnya yang berkaitan, akan kita peroleh dengan mengkaji persoalan-persoalan filsafat secara mendalam.
4.    adalah penilaian kritis. Tujuan berfilsafat bukan sekedar meninjau berbagai macam teori, tetapi juga menilainya secara kritis. Sehingga, sikap kritis akan senantiasa kita peroleh.


C.      Sejarah Perkembangan Filsafat Islam.
Auguste Comte menerangkan bahwa, tiap-tiap pribadi atau bangsa tumbuh dalam tiga tingkat kemajuan: pertama, tingkat agama atau dogma, dimana manusia menerima keyakinan dari mulut ke mulut dan menjalankannya, kedua tingkat filsafat, dimana manusia menggunakan pikirannya untuk memikirkan apakah yang menjadi hakekat kebenaran, dan yang ketiga, tingkat ilmu pengetahuan, dimnana manusia yang menggunakan pikiran itusudah sampai pada tingkat yakin, dan bahwa yang diyakini itu adalah kebenaran yang mutlak.[11]
Peradaban dan pemikiran Yunani, termasuk filsafat, menurut catatan para sejarawan, telah mulai dikenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara) juga di Nisibis dan Ras’aina sejak abad ke IV M. Buku-buku dan ilmu Yunani yang diterjemahkan dalam bahasa Arab,yakni pada masa bani Ummayah, khususnya pada masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M) terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan,demi mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Benzaitun-Persia.
Selanjutnya buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia dan antropologi.[12]
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah pemerintahan bani Abas, khususnya sejak dilakukan program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan Al-Makmun  (811-833 M), suatu program yang oleh al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistimologi burhani Yunani dengan epistimologi bayani Arab.
Program penterjemahan dan kebutuhan akan penggunaan metode filsafat itu sendiri didasarkan atas tuntutan yang ada, bahwa muncul banyak doktrin-doktrin yang hiterodok, akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan yang lainnya yang dikategorikan dalam istilah ”zindiq”. Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama) merasa perlu mencari sistim berfikir rasional dan argumen-argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya “bayani” sudah tidak mampu lagi menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam dan tidak dikenal sebelumnya.[13]
Metode pemikiran filsafat Yunani dalam pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan oleh Al-Kindi (806-875), dalam pengantar buku “filsafat pertama” (al-falsafah al-Ula), yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu’tashim (833-842). Namun karena begitu dominannya kaum bayani (fuqaha), ditambah masih minimnya refrensi filsafat yang diterjamahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam.
Metode rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai salah satu sistim pemikiran Arab-Islam pada masa al-Razi (865-925). Ia dikenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal.Menurutnya, semua pengetahuan padaprinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yangmenjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk, setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong,dugaan belaka dan kebohongan.
Meski demikian, perkembangan yang pesat pada ilmu Yunani dalam Islam, bukannya tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibn Hambal, seorang madzhab fiqh, dan orang-orang yang sepaham dari kalangan ortodoks, menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani.Menurut George N. Atiyeh, pertentangan kalangan ortodoks disebabkan pertama, adanya ketakutan di kalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu yunani adalah orang non-muslim,sehingga muncul kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh machieanisme Persia khususnya, maupun paham-paham lain yangdinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam, yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani.[14]
Kecurigaan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani bukannya tanpa dasar, kenyataannya tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang Islam sendiri. Salah satunya Ibn Rawandi, ia menolak adanya kenabian setelah belajar filsafat. Begitu juga al- Razi yang menolak adanya kenabian dengan tiga alasan,
1.    Akal telah memadahi membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik.
2.    Tidak ada pembenaran untuk pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua  orang terlahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan.
3.    Bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.[15]
Selanjutnya al Farabi, seorang filosof yang berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai dasar filsafat Islam dianggap sebagai “guru kedua” dan menempatkan burhani sebagai metode yang paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya disbanding ilmu-ilmu agama. Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan: ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu filsafat berada pada hierakiri yang paling tinggi,  kemudian ilmu religius dan bahasa.
Seperti halnya al Farabi, Ibn Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme di atas dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus, di mana dalam bangunan tersebut digabungkan konsep pembangunan alam wujud merurut faham emanasi. Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian, dengan menyatakan bahwa, kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut ‘akal’, berbeda dengan alFarabi yang menyatakan bahwa kenabian kenabian adalah suatu bentuk imajenasi tertinggi. Dengan prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat,Ibn Sina kemudian dijuluki “Guru Utama” (al-Syaikh al-Rais).[16]
Setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan dari al-Ghazali, lewat tulisannya Tahafut al-Falasifah yang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalal. Meski al-Ghazali sebenarnya hanya menyerang  persoalan metafisika, khususnya pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina, dan juga para filosof Yunani purba, yang dengan mudah bias dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam,bukan ilmu logika atau epistimologinya. Karana al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama.[17]
Kemudian filsafat Yunani khususnya Aristotelian, kembali muncul dalam pemikiran Islam pada masa Ibn Rusyd, lewat tulisannya Tahafut al-Tahafut, dalam bandingannya dengan epistimologi Arab-Islam, Ibn Rusyd lebih mengunggulkan epistimologi filsafat disbanding epistimologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang bagus dan berguna untuk kalangan elite terpelajar, sedangkan metode dialektika (jadal) yang dipakai dalam teologi dan yurispudensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menengah dan awam.[18]


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Filsafat berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Yunani yaitu philo yang artinya cinta, dan shopia yang berarti hikmah atau kebenaran.
Filsafat itu tidak hanya berarti mencari kebenaran,tapi juga berfikir secara benar.Filsafat juga boleh diartikan, menerangkan segala sesuatu dalam arti mencari fakta-fakta kebenaran yang merupakan hakikat daripada sesuatu itu.
Filsafat Islam ialah pemikiran filsafat yang lahir lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam
Interaksi logika dan filsafat Yunani kedalam pemikiran Arab-Islam ternyata mengalami pasang surut, pertama disambut baik lewat penterjemahan karena untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi pemikiran aneh, tapi kemudian dicurigai karena digunakan menyerang agama yang dianggap baku, tapikemudian bangkit lagi.
Filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, tidak hanya logika Aristoteles, tapi juga pemikiran mistik Neo-Platonis dan yang lain. Hal ini bias dilihat dari beragamnya model filsafat yang ada dalam Islam[19].
B.       Penutup
Demikianlah makalah yang kami buat,tentunya dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kasempurnaan dan banyak kekurangannya.Oleh karena itu,saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan,demi perbaikan dalam pembuatan karya ilmiah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bisa memberi manfaat bagi yang membaca dan yang membuatnya, amin.


DAFTAR PUTAKA
Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988
A. Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990
A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004
Dr. H. Musa Asy-Arie., Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis, Perspektif, Yogyakarta, Lembaga studi Filsafat Islam, 1992
Fathul Mufid, Filsafat Ilmu Islam, Stain Kudus, Kudus



[1] Fathul Mufid, Filsafat Ilmu Islam, Stain Kudus, Kudus, hal. 2-4
[2] Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, c.v Ramadhani, Sala, 1982, hlm 3.
[3] Ibid, hlm 3.
[4] Ibid, hlm 4.
[5] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988, cet. ke-2, hlm. 6
[6] A. Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990, cet. ke-5, hlm. 11
[7] Fathul Mufid, Opcit, hal. 11
[8] Ibid, hlm. 9-12
[9] Ibid, hlm. 8
[10] Dr. H. Musa Asy-Arie., Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis, Perspektif, Yogyakarta, Lembaga studi Filsafat Islam, 1992, cet. ke-1, h. 15
[11] Ibid, hlm. 11
[12] A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 5-6
[13] Ibid, hlm. 7
[14] Ibid, hlm 8-9.
[15] Ibid, hlm. 9-10
[16] Ibid, hlm. 11-12
[17] Ibid, hlm. 12
[18] Ibid, hlm. 13
[19] Ibid, hlm. 14


sumber:http://makalahqw.blogspot.com/2014/05/filsafat-islam-definisi-obyek-kajian.html
Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment