MAKALAH SYAR’UN MAN QABLANA PENGERTIAN KEDUDUKAN DAN MACAM DAN KEHUJJAHANNYA


SYAR’UN  MAN QABLANA PENGERTIAN KEDUDUKAN DAN MACAM DAN KEHUJJAHANNYA








BAB 1
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Al-Qur’an dan sunnah shahih itu telah mengisahkan tentang salah satu dari hukum syar’i, yang di syari’atkan Allah SWT kepada umat yang telah dahulu dari kita. Ada hal-hal dan nash-nash yang disampaikan kepada Nabi SAW juga oleh Tuhan telah disampaikan kepada umat-umat dahulu kala. Ada hal-hal yang tidak berbeda menurut apa yang disyari’atkan kepada kita berupa peraturan-peraturan yang wajib kita ikuti.
Al-Qur’an dan sunnah telah memisahkan salah satu diantara hukum ini dalil syar’i, ditegakkan untuk mencabut dan membuangnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan. Tidak disyri’atkan kepada kita kalau tidak dengan dalil nashih.
Setelah Rasul wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah jema’ah Sahabat atau yang disebut dengan syar’u man qablana dan mazhab shahabat. Mereka itu mengetahui fiqih ilmu pangetahuan dan apa-apa yang biasa yang disampaikan oleh rasul. Memahami Al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Inilah yang menjadi sumber dari fatwa-fatwa dalam bermacam-macam masalah yang terjadi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat syar’u man qablana
dan mazhab sahabat, yang mencakup pengertian, macam-macam, kehujjahan, dan lain sebagainya.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.  Bagaimana Definisi dari  Syar’u Man Qablana dan Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana?
2.  Apa macam-macam dari Syar’u Man Qablana ?
3.  Bagaimana definisi dari Mazhab Shahabat ?
4.  Bagaimana Kehujjahan dari Mazhab Sahabat ?
                        



BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN SYAR’U MAN QABLANA
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as.[1]
Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqoroh ayat 183:
ياَاَيُّهَا الَّذِينَ أَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَماَ كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُونَ                                                   
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).
                                                 
B.  PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG SYAR’U MAN QABLANA
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum islam itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an, bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu. Alasan yang di kemukakan adalah:[2]
                                           
1.  Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَا وَمُوسَ وَعِيْسَ أَنْ أقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى اْلمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِيْ إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ يُنِيْبُ
 “Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)
2.  Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:
   
ثُمَّ أَوْ حَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَبِحْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَا نَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agam Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl/16:123).[3]
C.  PENGELOMPOKAN SYAR’U MAN QABLANA
Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
1.  Syariat terdahulu yang terdapat dalam al-qur’an atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum  Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam al-qur’an atau hadis  Nabi bahwa yang demikian telah di-nasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad.  seperti firman allah dalam surat al-an’am (8): 146:


وَعَلَى الَّذيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ
شُحُوْ مَهُمَا
“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap binatang yang punya kuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya”.

Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu. kemudian dijelaskan pula dalam al-qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat Al-An’am (6): 145:

قُلْ لاَأَجِدُفِيْ مَاأُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًاعَلَى طَاعِمٍل يَطْعَمُهُ إِلاَّأَنْ يَكُوْنُ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوْ حًاأَوْلَحْمَ خِنْزِيْرٍ
2.  Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an maupun hadis nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan berlaku untuk selanjutnya.
                                            
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertakwa’’.
            
Dalam ayat  ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad

3.  Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau hadis nabi, dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh.[4]



D. Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:
1.  Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
2.  Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa. 
3.  Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat kita.[5]

E.  KEDUDUKAN SYAR’U MAN QABLANA
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dalam firman Allah surat Al-Syura : 13
“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.[6]
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syariat Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.[7]


F.  KEHUJJAHAN SYAR’U MAN QABLANA  S
yari’at umat sebelum kita kedudukannya dapat menjadi syariat kita jika Al-Qur’an dan sunnah telah menegaskan bahwasannya syari’at ini di wajibkan baik untuk mereka (orang yang sebelum kita) dan juga kepada kita utuk mengamalkannya, seperti puasa dan qishas. Tetapi jika seandainya  Al-Qur’an dan Sunnah Nabi menegaskan bahwa syariat orang sebelum kita telah di nasakh       (di hapus) hukumnya maka tidak ada perselisihan lagi bahwa syari’at orang sebelum kita itu bukan syari’at kita. Seperti syar’iat Nabi Musa, yang menghukum bahwa orang yang berdosa tidak dapat menebus dosanya kecuali ia harus membunuh dirinya sendiri, pakaian yang terkena  najis tidak dapat di sucikan kecuali memotong bagian bagian yang terkena najis. Dua syari’at Nabi Musa tersebut di atas tidak berlaku bagi umat Muhammad. Allah mengharamkan bagi orang Yahudi setiap binatang yang berkuku, sapi dan domba. Syari’at ini tidak berlaku bagi umat Muhammad. Selin itu juga, terdapat beberapa perbedaan syari’at orang sebelum kita dengan syari’at kita seperti format ibadah.[8]
Menurut Abu Zahrah bberapa ketentuan yang harus di perhatikan dalam   melihat syari’at orang. Sebelumkita dengan syari’at orang sebelum kita, sehingga syar’u man qablana itu layak untuk diikuti atau d tinggalkan. Untukmemutuskan itu sedikitnya ada tiga hal yang harus jadi pertimbangan :
1.  Syari’at orang sebelum kita harus di ceritakan dengan berdasarkan kepada sumber-sumber yang menjadi pedoman ajaran Islam. Yang tidak dinukil dari sumber-sumber Islam, makatidak dapat di jadikan hujan bagi umat Islam. Demikian hasil kesepakatan para fuqaha.
2.  Apabila syari’at orang sebelum kita itu telah di naskh (di hapus), maka tidak boleh di amalkan. Demikian juga jika terddapat dalil yang menunjukkan kekhususan bagi umat terdahulu, maka syari’at itu khusus untuk mereka dan tidak berlaku bagi kita seperti Allah sebagian daging bagi orang bani Israil.
3.  Bahwa di lakukan syariat itu untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga berlaku untuk kita itu di dasari oleh nas islam bukan oleh cerita orang-orang terdahulu. Seperti kewajiban berpuasa Ramadhan.[9]
Sebagian sahabat abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau sunnah nabi meskipun tidak  diharamkan untuk umat nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat nabi Muhammad.
Jadi Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat dalam al-qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :
1.  Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada al-qur’an dan sunnah yang         shahih, maka ia termasuk dalam syari’at samawi
2.  Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan penolakan dan tanpa nasakh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at nabi Muhmmmad
3.  Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-kitab taurat dan injil
BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as. Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah.
Yang dimaksud dengan mazhab sahabat ialah pendapat sahabat  Rasulullah SAW. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum sutau kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ di antara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’ mereka.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaa dari dosa).






DAFTAR PUSTAKA
Efendi, Satria, ushul fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Groub, 2009.
Syarifuddin, Amir, ushul fiqh, jilid 2, Jakarta : Kencana Prenada Media Groub, 2009.
Nasrun, Haroen, ushul fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010.




[1] Satria Effendi, ushul fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 162-163.
[2] Nasrun Haroen, ushul fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 152.
[3] Satria Effendi, ushul fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 165-166.
[4] Amir Syarifuddin, ushul fiqh, jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 417-419.
[6] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009, revisi. 3) hal. 112
[7] http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih
[8] Musnad Rozin.Usul Fiqih.Stain Jurai Siwo Metro Lampung. Hal159
[9] Ibid, 160

Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

4 komentar:

  1. Mohon izin kami menggunakan untuk refrensi kak

    ReplyDelete
  2. How to make money on online casinos and make money using
    Find the 샌즈카지노 best 메리트카지노 ways to make money online casino games using a simple website หารายได้เสริม and earn money. to make money playing casino games.

    ReplyDelete
  3. Mohon izin saya gunakan kak buat referensi

    ReplyDelete