‘ILLAT DAN ISTIHSAN, PENGERTIAN, MACAM,
KEKUATAN DAN KELEMAHAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diantara hal-hal yang perlu diperhatikan bahwa sebagian ulama ushul
menjadikan sebab dan illat itu sebagai sesuatu yang sama dan bermakna sama.
Tetapi sebagian besar dari mereka tidak sependapat. Mereka berpendapat bahwa
masing-masing dari illat dan sebab itu memiliki tanda atas suatu hukum,
masing-masing menjadi dasar hukum dan mengikat hukum berdasarkan ada dan tidak
ada.
Bagi pembuat hukum, masing-masing memilki hikmah dalam mengikat suatu hukum
dan menjadikannya sebagai dasar hukum. Akan tetapi jika hubungan dalam ikatan
hukum itu mampu ditangkap oleh akal kita maka disebut illat dan sebab. Dan jika
tidak mampu ditangkap oleh akal kita maka disebut sebab saja, tidak disebut
illat. Semua illat adalah sebab dan tidak semua sebab adalah illat.
Istihsan menjadi
bagian sangat penting dalam hukum islam mengingat ada hal-hal tertentu dalam
agama yang tidak dijelaskan secara spesifik. Untuk itu dibutuhkan pendapat dari
para ulama terkemuka untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak bahaya secara
khusus.
Pada hakekatnya
istihsan tidaklah berarti beramal dengan keluar dari dalil syara, melainkan
beramal dengan dalil syara itu sendiri, dan meninggalkan dalil syara yang lain.
Ada banyak
pendapat ulama besar mengenai kehujjaan istihsan itu sendiri, ada yang
mendukung, menolak dan ada juga yang tidak membahasnya sama sekali. Berbagai
pendapat ulama itu sendiri tentunya berpengaruh luas terhadap sikap umat muslim
di berbagai penjuruh dunia, mengingat mereka adalah sumber bertanya sekaligus
panutan bagi umat islam yang lain. Karena itu, penting bagi kita untuk membahas
istihsan lebih mendalam.
Untuk memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong
atau alasan-alasan logis dari semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu,
maka para ulama Ushul Fiqh berupaya meneliti nash Al-Qur’an dan Sunnah dengan
melihat hubungan antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang mendasar.
Upaya ini, pada akhirnya melahirkan suatu teori yang kemudian dalam Ilmu Ushul
Fiqh disebut dengan ‘Illat.
Maka dalam makalah ini kami akan memahas tentang illat dan istishab.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa itu istishan?
2.
Apa itu Illat?
C.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui istihsan
2.
Untuk mengetahui Illat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ILLAT
1.
Pengertian
Secara etimologi ‘illat berasal dari kata علة-عل yang berarti sakit, yang menyusahkan,
sebab, udzur.[1]
Secara terminologi menurut Atho bin Khalil ‘illat adalah sesuatu yang
keberadaanya maka hukum menjadi ada. Atau perkara yang memunculkan hukum berupa
pensyariatan suatu hukum. Illat adalah dalil, tanda, dan yang memberi tahu
adanya hukum.
‘Illat ialah sifat
yang ada pada hukum ashal yang digunakan menjadi dasar hukum, yang dengan
‘illat itu dapat diketahui hukum didalam cabang. Contohnya memabukkan merupakan
‘illat yang ada pada khamar. Kemudian dijadikan pegangan untuk mengharamkan
khamar. Maka dengan ‘illat itu dapat diketahui tentang haramnya semua minuman
yang memabukkan.[2]
Sesuai firman Allah SWT. فاجتنبوه (maka jauhilah) karena sifatnya yang
memabukkan. Perasan anggur adalah far’un (فرع) yang tidak disebutkan hukumnya tetapi
sifatnya saja yaitu memabukkan. Karena sifatnya sama maka perasan anggur dan
semua makanan dan minuman yang memiliki sifat memabukkan hukumnya disamakan
dengan khamar
‘illat Menurut para ulama:[3]
v Menurut Muhammad Abu Zahrah, ‘Illat
adalah sifat zahir dan terukur yang bersesuaian dengan hukum.
v Menurut mayoritas Ulama’ Hanafiyah,
sebagian Ulama’ Hanabilah Imam Baidhawi dari kalangan Syafi’iyah, ;Illat ialah:
suatu sifat yang berfungsi sebagai pengenal bagi suatau hukum.
v Menurut Imam Al-Ghozali, ‘Illat adalah
sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas
perbuatan syari’.
Maka dapat disimpulkan ‘illat ialah sesuatu yang memberikan
batasan terhadap hukum, sehingga disebut juga tanda yang dijadikan dasar hukum,
jadi hukum itu disyariatkan karena adanya ‘illat.
Contoh
Illat adalah sebagai berikut:
a.
Seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat
yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk
menetapkan harapannya hukum menjual harta anak yatim.[4]
b.
Sifat memabukkan pada khamr, sehingga semua yang memabukkan
dihukumi sebagai khamr. [5]
c.
Atau pembunuhan sengaja dengan pedang sebagai ‘illat qishas,
sebab tindak pidana yang diancam dengan hukuman qishas ialah segala bentuk
penganiayaan dengan alat atau senjata yang mematikan.[6]
2.
Macam-macam
macam-macam ‘illat yang akan dituturkan dibawah ini yaitu
sebagai berikut:
Pertama, ‘Illat yang terdapat secara jelas
(Shurahatan), contonya:
ان كنتم ثلاثة فلا يتنا ج اثنان دون
الثالث من اجل ان ذلك يحزنه
Artinya: “ Apabila tiga orang diantara kalian sedang
berkumpul maka tidak boleh dua orang di antara kalian saling berbisik tanpa
melibatkan orang yang ketiga karena hal itu akan membuatnya sedih.”( HR.
Ahmad).
‘Illat pada hadits ini adalah karena perkara itu akan
membuatnya sedih. Termasuk ‘illat karena menggunakan lafazh yang sharih, yaitu
lafazh min ajli.
Kedua,
Illat yang terdapat pada nash secara dilalah (penunjukan), contohnya dalam
firman Allah SWT: (QS.Al-Anfal:60).
وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ
رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهٖ عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ وَاٰخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْۚ لَا
تَعْلَمُوْنَهُمْۚ اَللّٰهُ يَعْلَمُهُمْۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فِيْ
سَبِيْلِ اللّٰهِ يُوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ
Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan
apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang
(yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan
orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Kata menggentarkan musuh adalah sifat yang sesuai dengan
mafhum bagi keharusan untuk mengadakan persiapan menghadapi musuh, lafazh
tersebut merupakan ‘illat dilalah.
Ketiga,
‘illat yang terdapat dalam nash dengan jalan istinbath (mustanbath), contohnya
dalam sabda Rasulullah SAW:
ارايت لو تمضمضت هل يفسد صومك ؟ قال :
لا . قال: فكذلك القبلة
Artinya: “Apa pendapatmu andaikata engkau berkumur-kumur (pada
saat berpuasa) apakah akan rusak berpuasamu?” Umar menjawab” Tidak”. Beliau
bersabda begitu juga mencium.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah)
Dari nash ini digali bahwa ‘illat batalnya puasa karena
mencium adalah keluarnya sperma. Apabila seseorang mencium istrinya tidak
keluar sperma maka tidak membatalkan puasa. Jadi Al-Inzal adalah ‘illat
istinbatiyyah karena sama seperti berkumur-kumur.
Keempat,
‘Illat melalui qiyas, contohnya:
نهى رسول الله ص م ان يبيع حا ضر لباد
Artinya: “ Rasulullah SAW melarang orang kota (menyongsong
guna membeli barang) kepada orang yang datang dari pelosok (pedesaan)”. (HR.
Bukhari Muslim).
Dari segi syar’i telah menganggap sifat
itu sesuai atau tidak, maka Ulama Ushul telah membagi sifat yang sesuai itu
menjadi empat macam:
1)
Sesuai dan berpengaruh ( Al-Munasib Al-Mu’tsir), yaitu sifat
yang sesuai yang oleh syar’I telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu,
baik dalam nash maupun ijma’. Sifat tesebut telah ditetapkan sebagai ‘illat
hukum. Seperti firman Allah: (QS. Al-Baqarah: 222).
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى
يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu
tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci apabila mereka Telah suci,
Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.
Hukum pasti dalam nash ini adalah keharusan menghindari
wanita di waktu haidh dan telah tersusun sebagi dasar, bahwa ia adalah kotoran
(adza). Sedangkan sighat nash telah jelas bahwa ‘illat hukum ini adalah
kotoran. Maka oleh karena itu kotoran yang menjadi sebab keharusn menghindari
wanita di waktu haidh adalah sifat yang sesuai dan mempengaruhi (munasib dan
mu’tsir).
2)
Sesuai dan sepadan ( Al-Munasib Al-Mula’im), yaitu sifat
yang sesuai yang oleh syar’I telah disusun hukum yang sesuai dengan hukum itu.
Dan nash atau ijma’ belum menetapkannya sebagai ‘illat hukum yang telah disusun
atas dasar sesuai dengannya. Contoh sifat yang sesuai yaitu keadaan seorang
perempuan yang masih kecil sebagai ketetapan kewalian ayah dalam mengawinkan
perempuan yang masih kecil hal ini telah terdapat ketetapan nash bahwa kewalian
ayah adalah mengawinkan anak perempuan yang masih kecil dan perawan itu. Jadi
hukumnya ialah ketetapan kekuasaan yang disusun atas dasar menyesuaikan sifat
perawan dan kecil.
3)
Sesuai dan dibiarkan (Al-Munasib Al-Mursal), yaitu sifat
yang oleh syar’I tidak disusun hukum yang sesuai dengannya. Tidak pula terdapat
dalil syara’ yang menunjukkan pengakuannya atau menyia-nyiakan pengakuannya
bahawa sifat itu munasib, artinya dapat menunjukkan maslahah, namun ia mursal,
artinya terlepas dari dalil pengakuan dan dalil pembatalan (ilgha’) yang
disebut dengan al-Maslahatul Mursalah. Contohnya, kemslahatan-kemaslahatan yang
oleh sahabat dijadikan dasar pensyariatan keharusan pajak bagi tanah pertanian,
mencetak uang, pembukuan Al-Qur’an dan prenyebarannya.
4)
Sesuai dan disia-siakan (Al-Munasib Al Mulgha’), yaitu sifat
yang nyata bahwa pendasaran hukum adalah mewujudkan kemaslahatan hukum.
Contohnya, menetapkan seseorang yang berbuka pada bulan Ramadhan secara sengaja
dengan hukuman secara khusus adalah pengajaran baginya.[7]
3.
Kekuatan dan Kelemahan
Sifat
illat itu hendaknya nyata masih terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini
diperlukan karena illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada
fara' (al-far'). Seperti sifat menghahiskan harta anak yatim, terjangkau oleh
pancaindera dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashal
(al-ashl)) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahw illat itu ada
pada menjual harta anak yatim (fara'(al-far'l) Jika sifat illat itu
samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan
untuk menetapkan adadan tidaknya hukum pada ashal (al-ashl).
Sifat
illat itu hendaklah pasti, tertentu, Terbatas dan dapat dibuktikan bahwa illat
itu ada pada fara'(al-fara'). Karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan
illat antara ashal (al-ashl) dan fara'(al-far’).Seperti pembunuhan sengaia
dtlakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakekatnya
adalah pasti, karena ltu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan
yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima maksiat terhadap orang yang telah
memberi wasiat kepadanya.
'illat
harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti
bahwa keras dugaan bahwa illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti
memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamar. Karena dalam
hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan
menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan
keharusan adanya qishash. Karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah
hukumyaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
Illat
ltu tidak hanya terdapat pada ashal (al-ashl) saja, tetapi haruslah berupa
sifat yang dapat pula dlterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal
(al-ashl) itu. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad Saw
tidak dijadikan dasar qiyas Misalnya mengawini wanita Iebih dari empat orang,
berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tdak herlaku bagi orang lain.
Larangan isteri-isteri Rasulullah Saw. Kawin dengan laki-laki lain setelah
beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.
B.
ISTISHAN
1.
Pengertian
Istihsan menurut Etimologis
(lughowi/bahasa) adalah menganggap baik sesuatu[8].
“Memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”,
atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau “”mencari yang lebih
baik untuk di ikuti, karena memang di suruh untuk itu”[9]. Istihsan secara
bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun
yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti
“kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini
bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal
itu dianggap tidak baik oleh orang lain[10]
Dari lughawi di atas
tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun
ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan
untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang di anggapnya lebih baik
untuk diamalkan.
Istihsan menurut
terminologi/istilah ulama’ ushul adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid
dari tuntutan kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum
kepada perkecualian karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian
memenangkan perpindahan itu[11]. Adapun
pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab
Khalaf.[12]
هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى
قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
“Istihsan
adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas)
kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum)
kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut
pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki
perpindahan tersebut”.
Definisi istihsan Menurut imam Abu Al
Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu
masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada
masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki
dilakukannya penyimpanagan itu.
Definisi istihsan menurut Ibnul Araby
ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan hukum sebaliknya,
karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian kasus
tertentu.
Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih
dari madhab Maliky memberi definisi istihsan bahwa istihsan adalah memilih
menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully[13].Istihsan merupakan
sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam
madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu
Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat.[14]
Apabila terjadi sesuatu peristiwa yang
tidak dapat nash hukumnya, maka dalam pembahasannya ada dua pendapat yang
berbeda: sudut pandang lahiriyah yang menghendaki suatu hukum. Dan sudut
pandang secara tersembunyi yang menuntut hukum yang lain. Seorang mujtahid
menemukan dalil yang memenangkan pandangan secara tersembunyi, lalu
pindah ke sudut pandang lahiriyah. Inilah yang menurut syara’ yang
disebut alistihsan. Demikian juga jika hukum itu bersifat
umum, sedangkan dalam diri mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian atas
sebagian hukum umum ini, lalu ia menghukumi perkecualian itu dengan hukum yang
lain. Maka ini juga di sebut al ihtisan.
2.
Macam-macam
Dari definisi istihsan menurut syara’, jelaslah
bahwasanya istihsan ada dua macam, yaitu:
a. Pentarjihan qiyas
khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jail (nyata)
karena adanya suatu dalil.[15]
Contohnya: Fuqoha
Hanafiyah menyebutkan, bahwasanya sisa minuman binatang buas, seperti burung
nasar, burung gagak, burung elang, burung rajawali, adalah suci berdasarkan
Istihsan, dan najis berdasarkan qiyas. Segi pengqiyasannya ialah bahwasanya ia
merupakan sisa minuman binatang yang dagingnya haram dimakan, sebagaimana sisa
minuman buas seperti: harimau, macan tutul, singa, dan serigala. Hukum sisa
makanan binatang mengikuti hukuman dagingnya.
Sedangkan segi Istihsannya adalah
bahwasanya jenis burung yang buas, meskipun dagingnya diharamkan, hanya saja
air liurnya yang keluar dari dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa
minumannya, karena ia meminum dengan paruhnya, padahal paruh tersebut termasuk
dalam tulang yang suci. Adapun binatang buas, maka ia minum dengan lidahnya
yang bercampur dengan air liurnya. Oleh karena inilah sisa minumannya najis.[16]
Dari contoh tersebut, terdapat
pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang pertama adalah qiyas yang
nyata yang mudah difahami, dan kedua adalah qiyas yang tersembunyi, kemudian ia
berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”. Dan dalil
yang menjadi dasarnya adalah segi istihsannya.
2. Pengecualian
kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum) dengan adanya suatu
dalil.[17]
Contohnya: Syari’ (Pembuat
hukum: Allah) melarang terhadap jual beli benda yang tidak ada, namun Dia
memberikan kemurahan secara istihsan kepada salam (pemesanan), sewa
menyewa, muzara’ah(akad bagi hasil penggarapan tanah, musaqat (akad
bagi hasil penyiraman tanaman), dan istishna’(akad jasa pengerjaan
sesuatu). Semuanya itu adalah akad berlangsung. Segi istihsannya adalah
kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
Pada contoh diatas, ada pengecualian kasus dari hukum
kulli (umum) karena ada dalil. Inilah yang menurut istilah disebut dengan
istihsan.
3.
Kekuatan
Menurut imam Syafi'I bahwa istthsan
tidak dapat dijadikan metode dalam berijtihad. Jlka itu menyalahi qiyas dengan
alasan jlka orang awam tidak menemukan keterangan hukum maka ia akan
menggunakan istihsan. Menurut Syarkhisi (dari kalangan hanafiyah. Malikiyah
hanabtlah) menggunakan lstihsan sebagai metode pengambilan hukum dan menyanggah
tudingan ulama'syafi'i yang mengatakan istihsan itu mengikuti dan bertolak dari
kehendak hawa nafsu karena dianggap Istthsan adalah metode yang kontroversial,
alasannya:
a.
Istihsan bentuk pertama menggunakan ijtihad dan pendapat
padaumumnya datam menghadapi kasus yang oleh syara' sendiri diserahkan pada
pendapat kita untuk mencntukan hukumnya.
b.
Istihsan bentuk kedua adalah memilih dalil yang menyalahi
qiyasjali dan ini menimbulkan prasangka buruk sebelum adanya penelitian secara
mendalam. Akan tetapi jlka telah ditelitl, maka akan tampak bahwa dalityang
menyalahi dalil itu justru lebth kuat.
Perbedaan pendapat ini hanya ada bila
istihsan diartikan sebagai : beralih dari menetapkan hukum berdasarkan dalil
kepada adat kebiasaan Jika yang dimaksud adat disini adalah yang disepakat
golongan Ahlu al-Halli wa al-Aqdi maka berarti beralih dari dalil kepada ljma'
yang disepakati kebolehannya. Bila yang dtmaksud adat disini adalah adat yang
tidak bisa d ijadikan hujjah seperti kebiasaan yang berlaku maka tidak boleh
meninggalkan syara', karena memilih menggunakan adat tersebut.
4.
Kelemahan
Dan jika kita kembali mencermatl
pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita dapat melihat bahwa
yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran
mereka Jika seorang mujahid terjebak datam penolakan terhadap nash dan lebih
memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab
dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa istihsan sendiri mempunyai batasan
yang harus diikuti.
Dengan kata lain, para pendukung
pendapat kedua ini sebenamya hanya menolak istihsan yang hanya dilandasi oleh
logika semata. Tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Istihsan adalah berpindahnya seorang
mujtahid dari tuntutan qiyas jail (qiyas nyata) kepada qiyas khafi Atau dan
hukum kulti (umum) kepada pengecualian. Karena ada dalil yang menyebabkan dia
mencela akalnya, dan memenangkan bagiannya perpindahan lm Al-maslahah sebagai
dalil hukum mengandung arti bahwa al-maslahah menjadi landasan dan tolok ukur
dalam penetapan hukum. Menurut Imam Muhammad Hasbih As-Siddiqi, maslahah mursalah
ialah memelihara tujuan dengan Jalan menolak segala sesuatu yangmerusak makhluk
Sedangkan masalikul 'illat yaitu cara
atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu peristlwa
atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Dan yang
terakhir yaitu Qawadih illat adalah sesuatu
yang mempengaruhi atau mencacatkan pada dalil dari segi 'illat atau yang
lainnya.
B.
SARAN
Demikianlah makalah ini kami buat semoga dapat menambah pengetahuan
wawasan serta bermanfaat bagi kita semua. Saya menyadari akan ketidak
keempurnaan makalah ini, untuk itu kritik dan saran dari teman-teman yang membangun
sangat bermanfaat untuk memperbaiki makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia.
(Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyah, 1972)
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang : Toha Putra, 1994.
Swarjin, Ushul Fiqh, Yogyakarta :
Teras, 2012, hlm 79
Mu’in Umar dkk.Ushul Fiqh. (Jakarta:
Departemen Agama RI, 1985)
http://arsip.kotasantri.com/mimbar.php
diakses tanggal 22 februari 2019
Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh.
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008)
Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kidah
Hukum Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)..
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih,
(Jakarta : Pustaka Amani, 2003).
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid II,
(Jakarta: Kencana, 2011).
Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih
(Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah,1991)
Syaikh Muhammad al-Khudari Biek, Ushul
Fiqih, Jakarta, 2007.
[7] Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kidah Hukum
Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hal: 105-112).
0 komentar:
Post a Comment