MAKALAH ‘ILLAT DAN ISTIHSAN, PENGERTIAN, MACAM, KEKUATAN DAN KELEMAHAN


‘ILLAT DAN ISTIHSAN, PENGERTIAN, MACAM, KEKUATAN DAN KELEMAHAN










BAB I
PENDAHULUAN
A.       LATAR BELAKANG
Diantara hal-hal yang perlu diperhatikan bahwa sebagian ulama ushul menjadikan sebab dan illat itu sebagai sesuatu yang sama dan bermakna sama. Tetapi sebagian besar dari mereka tidak sependapat. Mereka berpendapat bahwa masing-masing dari illat dan sebab itu memiliki tanda atas suatu hukum, masing-masing menjadi dasar hukum dan mengikat hukum berdasarkan ada dan tidak ada.
Bagi pembuat hukum, masing-masing memilki hikmah dalam mengikat suatu hukum dan menjadikannya sebagai dasar hukum. Akan tetapi jika hubungan dalam ikatan hukum itu mampu ditangkap oleh akal kita maka disebut illat dan sebab. Dan jika tidak mampu ditangkap oleh akal kita maka disebut sebab saja, tidak disebut illat. Semua illat adalah sebab dan tidak semua sebab adalah illat.
Istihsan menjadi bagian sangat penting dalam hukum islam mengingat ada hal-hal tertentu dalam agama yang tidak dijelaskan secara spesifik. Untuk itu dibutuhkan pendapat dari para ulama terkemuka untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak bahaya secara khusus.
Pada hakekatnya istihsan tidaklah berarti beramal dengan keluar dari dalil syara, melainkan beramal dengan dalil syara itu sendiri, dan meninggalkan dalil syara yang lain.
Ada banyak pendapat ulama besar mengenai kehujjaan istihsan itu sendiri, ada yang mendukung, menolak dan ada juga yang tidak membahasnya sama sekali. Berbagai pendapat ulama itu sendiri tentunya berpengaruh luas terhadap sikap umat muslim di berbagai penjuruh dunia, mengingat mereka adalah sumber bertanya sekaligus panutan bagi umat islam yang lain. Karena itu, penting bagi kita untuk membahas istihsan lebih mendalam.
Untuk memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong atau alasan-alasan logis dari semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu, maka para ulama Ushul Fiqh berupaya meneliti nash Al-Qur’an dan Sunnah dengan melihat hubungan antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang mendasar. Upaya ini, pada akhirnya melahirkan suatu teori yang kemudian dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan ‘Illat.
Maka dalam makalah ini kami akan memahas  tentang illat dan istishab.
B.       RUMUSAN MASALAH
1.        Apa itu istishan?
2.        Apa itu Illat?
C.       TUJUAN
1.        Untuk mengetahui istihsan
2.        Untuk mengetahui Illat





BAB II
PEMBAHASAN
A.       ILLAT
1.        Pengertian
Secara etimologi ‘illat berasal dari kata علة-عل yang berarti sakit, yang menyusahkan, sebab, udzur.[1] Secara terminologi menurut Atho bin Khalil ‘illat adalah sesuatu yang keberadaanya maka hukum menjadi ada. Atau perkara yang memunculkan hukum berupa pensyariatan suatu hukum. Illat adalah dalil, tanda, dan yang memberi tahu adanya hukum.
‘Illat ialah  sifat yang ada pada hukum ashal yang digunakan menjadi dasar hukum, yang dengan ‘illat itu dapat diketahui hukum didalam cabang. Contohnya memabukkan merupakan ‘illat yang ada pada khamar. Kemudian dijadikan pegangan untuk mengharamkan khamar. Maka dengan ‘illat itu dapat diketahui tentang haramnya semua minuman yang memabukkan.[2]
Sesuai firman Allah SWT. فاجتنبوه (maka jauhilah) karena sifatnya yang memabukkan. Perasan anggur adalah far’un (فرع) yang tidak disebutkan hukumnya tetapi sifatnya saja yaitu memabukkan. Karena sifatnya sama maka perasan anggur dan semua makanan dan minuman yang memiliki sifat memabukkan hukumnya disamakan dengan khamar
‘illat Menurut para ulama:[3]
v  Menurut Muhammad Abu Zahrah, ‘Illat adalah sifat zahir dan terukur yang bersesuaian dengan hukum.
v  Menurut mayoritas Ulama’ Hanafiyah, sebagian Ulama’ Hanabilah Imam Baidhawi dari kalangan Syafi’iyah, ;Illat ialah: suatu sifat yang berfungsi sebagai pengenal bagi suatau hukum.
v  Menurut Imam Al-Ghozali, ‘Illat adalah sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas perbuatan syari’.
Maka dapat disimpulkan ‘illat ialah sesuatu yang memberikan batasan terhadap hukum, sehingga disebut juga tanda yang dijadikan dasar hukum, jadi hukum itu disyariatkan karena adanya ‘illat.
Contoh Illat adalah sebagai berikut:
a.    Seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan harapannya hukum menjual harta anak yatim.[4]
b.   Sifat memabukkan pada khamr, sehingga semua yang memabukkan dihukumi sebagai khamr. [5]
c.    Atau pembunuhan sengaja dengan pedang sebagai ‘illat qishas, sebab tindak pidana yang diancam dengan hukuman qishas ialah segala bentuk penganiayaan dengan alat atau senjata yang mematikan.[6]
2.        Macam-macam
macam-macam ‘illat yang akan dituturkan dibawah ini yaitu sebagai berikut:
Pertama, ‘Illat yang terdapat secara jelas (Shurahatan), contonya:
ان كنتم ثلاثة فلا يتنا ج اثنان دون الثالث من اجل ان ذلك يحزنه
Artinya: “ Apabila tiga orang diantara kalian sedang berkumpul maka tidak boleh dua orang di antara kalian saling berbisik tanpa melibatkan orang yang ketiga karena hal itu akan membuatnya sedih.”( HR. Ahmad).
‘Illat pada hadits ini adalah karena perkara itu akan membuatnya sedih. Termasuk ‘illat karena menggunakan lafazh yang sharih, yaitu lafazh min ajli.
Kedua, Illat yang terdapat pada nash secara dilalah (penunjukan), contohnya dalam firman Allah SWT: (QS.Al-Anfal:60).
وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهٖ عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ وَاٰخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْۚ لَا تَعْلَمُوْنَهُمْۚ اَللّٰهُ يَعْلَمُهُمْۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يُوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ
Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Kata menggentarkan musuh adalah sifat yang sesuai dengan mafhum bagi keharusan untuk mengadakan persiapan menghadapi musuh, lafazh tersebut merupakan ‘illat dilalah.
Ketiga, ‘illat yang terdapat dalam nash dengan jalan istinbath (mustanbath), contohnya dalam sabda Rasulullah SAW:
ارايت لو تمضمضت هل يفسد صومك ؟ قال : لا . قال: فكذلك القبلة
Artinya: “Apa pendapatmu andaikata engkau berkumur-kumur (pada saat berpuasa) apakah akan rusak berpuasamu?” Umar menjawab” Tidak”. Beliau bersabda begitu juga mencium.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah)
Dari nash ini digali bahwa ‘illat batalnya puasa karena mencium adalah keluarnya sperma. Apabila seseorang mencium istrinya tidak keluar sperma maka tidak membatalkan puasa. Jadi Al-Inzal adalah ‘illat istinbatiyyah karena sama seperti berkumur-kumur.
Keempat, ‘Illat melalui qiyas, contohnya:
نهى رسول الله ص م ان يبيع حا ضر لباد
Artinya: “ Rasulullah SAW melarang orang kota (menyongsong guna membeli barang) kepada orang yang datang dari pelosok (pedesaan)”. (HR. Bukhari Muslim).
Dari segi syar’i telah menganggap sifat itu sesuai atau tidak, maka Ulama Ushul telah membagi sifat yang sesuai itu menjadi empat macam:
1)     Sesuai dan berpengaruh ( Al-Munasib Al-Mu’tsir), yaitu sifat yang sesuai yang oleh syar’I telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, baik dalam nash maupun ijma’. Sifat tesebut telah ditetapkan sebagai ‘illat hukum. Seperti firman Allah: (QS. Al-Baqarah: 222).
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Hukum pasti dalam nash ini adalah keharusan menghindari wanita di waktu haidh dan telah tersusun sebagi dasar, bahwa ia adalah kotoran (adza). Sedangkan sighat nash telah jelas bahwa ‘illat hukum ini adalah kotoran. Maka oleh karena itu kotoran yang menjadi sebab keharusn menghindari wanita di waktu haidh adalah sifat yang sesuai dan mempengaruhi (munasib dan mu’tsir).
2)     Sesuai dan sepadan ( Al-Munasib Al-Mula’im), yaitu sifat yang sesuai yang oleh syar’I telah disusun hukum yang sesuai dengan hukum itu. Dan nash atau ijma’ belum menetapkannya sebagai ‘illat hukum yang telah disusun atas dasar sesuai dengannya. Contoh sifat yang sesuai yaitu keadaan seorang perempuan yang masih kecil sebagai ketetapan kewalian ayah dalam mengawinkan perempuan yang masih kecil hal ini telah terdapat ketetapan nash bahwa kewalian ayah adalah mengawinkan anak perempuan yang masih kecil dan perawan itu. Jadi hukumnya ialah ketetapan kekuasaan yang disusun atas dasar menyesuaikan sifat perawan dan kecil.
3)     Sesuai dan dibiarkan (Al-Munasib Al-Mursal), yaitu sifat yang oleh syar’I tidak disusun hukum yang sesuai dengannya. Tidak pula terdapat dalil syara’ yang menunjukkan pengakuannya atau menyia-nyiakan pengakuannya bahawa sifat itu munasib, artinya dapat menunjukkan maslahah, namun ia mursal, artinya terlepas dari dalil pengakuan dan dalil pembatalan (ilgha’) yang disebut dengan al-Maslahatul Mursalah. Contohnya, kemslahatan-kemaslahatan yang oleh sahabat dijadikan dasar pensyariatan keharusan pajak bagi tanah pertanian, mencetak uang, pembukuan Al-Qur’an dan prenyebarannya.
4)   Sesuai dan disia-siakan (Al-Munasib Al Mulgha’), yaitu sifat yang nyata bahwa pendasaran hukum adalah mewujudkan kemaslahatan hukum. Contohnya, menetapkan seseorang yang berbuka pada bulan Ramadhan secara sengaja dengan hukuman secara khusus adalah pengajaran baginya.[7]
3.        Kekuatan dan Kelemahan
Sifat illat itu hendaknya nyata masih terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara' (al-far'). Seperti sifat menghahiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashal (al-ashl)) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahw illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara'(al-far'l) Jika sifat illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan adadan tidaknya hukum pada ashal (al-ashl).
Sifat illat itu hendaklah pasti, tertentu, Terbatas dan dapat dibuktikan bahwa illat itu ada pada fara'(al-fara'). Karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal (al-ashl) dan fara'(al-far’).Seperti pembunuhan sengaia dtlakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena ltu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima maksiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
'illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamar. Karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash. Karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukumyaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
Illat ltu tidak hanya terdapat pada ashal (al-ashl) saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula dlterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal (al-ashl) itu. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad Saw tidak dijadikan dasar qiyas Misalnya mengawini wanita Iebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tdak herlaku bagi orang lain. Larangan isteri-isteri Rasulullah Saw. Kawin dengan laki-laki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.
B.       ISTISHAN
1.        Pengertian
Istihsan menurut Etimologis (lughowi/bahasa)  adalah menganggap baik sesuatu[8]. “Memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”, atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau  “”mencari yang lebih baik untuk di ikuti, karena memang di suruh untuk itu”[9]Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun  hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain[10]
Dari lughawi di atas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang di anggapnya lebih baik untuk diamalkan.
Istihsan menurut terminologi/istilah ulama’ ushul adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum kepada perkecualian karena  ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu[11]. Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf.[12]
هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
 “Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut”.
Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian kasus tertentu.
Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan bahwa istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully[13].Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat.[14]
Apabila terjadi sesuatu peristiwa yang tidak dapat nash hukumnya, maka dalam pembahasannya ada dua pendapat yang berbeda: sudut pandang lahiriyah yang menghendaki suatu hukum. Dan sudut pandang secara tersembunyi yang menuntut hukum yang lain. Seorang mujtahid menemukan dalil yang memenangkan pandangan  secara tersembunyi, lalu pindah ke sudut pandang lahiriyah. Inilah yang menurut syara’ yang disebut alistihsan. Demikian juga jika hukum itu bersifat umum, sedangkan dalam diri mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian atas sebagian hukum umum ini, lalu ia menghukumi perkecualian itu dengan hukum yang lain. Maka ini juga di sebut al ihtisan.
2.        Macam-macam
Dari definisi istihsan menurut syara’, jelaslah bahwasanya istihsan ada dua macam, yaitu:
a.    Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jail (nyata) karena adanya suatu dalil.[15]
Contohnya: Fuqoha Hanafiyah menyebutkan, bahwasanya sisa minuman binatang buas, seperti burung nasar, burung gagak, burung elang, burung rajawali, adalah suci berdasarkan Istihsan, dan najis berdasarkan qiyas. Segi pengqiyasannya ialah bahwasanya ia merupakan sisa minuman binatang yang dagingnya haram dimakan, sebagaimana sisa minuman buas seperti: harimau, macan tutul, singa, dan serigala. Hukum sisa makanan binatang mengikuti hukuman dagingnya.
Sedangkan segi Istihsannya adalah bahwasanya jenis burung yang buas, meskipun dagingnya diharamkan, hanya saja air liurnya yang keluar dari dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya, karena ia meminum dengan paruhnya, padahal paruh tersebut termasuk dalam tulang yang suci. Adapun binatang buas, maka ia minum dengan lidahnya yang bercampur dengan air liurnya. Oleh karena inilah sisa minumannya najis.[16]
Dari contoh tersebut, terdapat pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang pertama adalah qiyas yang nyata yang mudah difahami, dan kedua adalah qiyas yang tersembunyi, kemudian ia berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”. Dan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi istihsannya.
2.     Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum) dengan adanya suatu dalil.[17]
Contohnya: Syari’ (Pembuat hukum: Allah) melarang terhadap jual beli benda yang tidak ada, namun Dia memberikan kemurahan secara istihsan kepada salam (pemesanan), sewa menyewa, muzara’ah(akad bagi hasil penggarapan tanah, musaqat (akad bagi hasil penyiraman tanaman), dan istishna’(akad jasa pengerjaan sesuatu). Semuanya itu adalah akad berlangsung. Segi istihsannya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
Pada contoh diatas, ada pengecualian kasus dari hukum kulli (umum) karena ada dalil. Inilah yang menurut istilah disebut dengan istihsan.
3.        Kekuatan
Menurut imam Syafi'I bahwa istthsan tidak dapat dijadikan metode dalam berijtihad. Jlka itu menyalahi qiyas dengan alasan jlka orang awam tidak menemukan keterangan hukum maka ia akan menggunakan istihsan. Menurut Syarkhisi (dari kalangan hanafiyah. Malikiyah hanabtlah) menggunakan lstihsan sebagai metode pengambilan hukum dan menyanggah tudingan ulama'syafi'i yang mengatakan istihsan itu mengikuti dan bertolak dari kehendak hawa nafsu karena dianggap Istthsan adalah metode yang kontroversial, alasannya:
a.    Istihsan bentuk pertama menggunakan ijtihad dan pendapat padaumumnya datam menghadapi kasus yang oleh syara' sendiri diserahkan pada pendapat kita untuk mencntukan hukumnya.
b.   Istihsan bentuk kedua adalah memilih dalil yang menyalahi qiyasjali dan ini menimbulkan prasangka buruk sebelum adanya penelitian secara mendalam. Akan tetapi jlka telah ditelitl, maka akan tampak bahwa dalityang menyalahi dalil itu justru lebth kuat.
Perbedaan pendapat ini hanya ada bila istihsan diartikan sebagai : beralih dari menetapkan hukum berdasarkan dalil kepada adat kebiasaan Jika yang dimaksud adat disini adalah yang disepakat golongan Ahlu al-Halli wa al-Aqdi maka berarti beralih dari dalil kepada ljma' yang disepakati kebolehannya. Bila yang dtmaksud adat disini adalah adat yang tidak bisa d ijadikan hujjah seperti kebiasaan yang berlaku maka tidak boleh meninggalkan syara', karena memilih menggunakan adat tersebut.
4.   Kelemahan
Dan jika kita kembali mencermatl pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka Jika seorang mujahid terjebak datam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa istihsan sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. 
Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenamya hanya menolak istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata. Tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.



BAB III
PENUTUP
A.       KESIMPULAN
Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jail (qiyas nyata) kepada qiyas khafi Atau dan hukum kulti (umum) kepada pengecualian. Karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya, dan memenangkan bagiannya perpindahan lm Al-maslahah sebagai dalil hukum mengandung arti bahwa al-maslahah menjadi landasan dan tolok ukur dalam penetapan hukum. Menurut Imam Muhammad Hasbih As-Siddiqi, maslahah mursalah ialah memelihara tujuan dengan Jalan menolak segala sesuatu yangmerusak makhluk
Sedangkan masalikul 'illat yaitu cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu peristlwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Dan yang terakhir yaitu Qawadih  illat adalah sesuatu yang mempengaruhi atau mencacatkan pada dalil dari segi 'illat atau yang lainnya.
B.       SARAN
Demikianlah makalah ini kami buat semoga dapat menambah pengetahuan wawasan serta bermanfaat bagi kita semua. Saya menyadari akan ketidak keempurnaan makalah ini, untuk itu kritik dan saran dari teman-teman yang membangun sangat bermanfaat untuk memperbaiki makalah selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyah, 1972)
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Toha Putra, 1994.
Swarjin, Ushul Fiqh, Yogyakarta : Teras, 2012, hlm 79
Mu’in Umar dkk.Ushul Fiqh. (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985)
http://arsip.kotasantri.com/mimbar.php diakses tanggal 22 februari 2019
Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008)
Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kidah Hukum Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)..
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003).
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011).
Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah,1991)
Syaikh Muhammad al-Khudari Biek, Ushul Fiqih, Jakarta, 2007.




[1] Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyah, 1972) hal: 276.
[2] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Toha Putra, 1994, Hlm. 85
[3] Swarjin, Ushul Fiqh, Yogyakarta : Teras, 2012, hlm 79
[4] Mu’in Umar dkk.Ushul Fiqh. (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985)hal: 121
[5] http://arsip.kotasantri.com/mimbar.php diakses tanggal 22 februari 2019
[6] Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) hal: 364
[7] Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kidah Hukum Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hal: 105-112).
[8] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 104
[9] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.324
[10] Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117
[11] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih, Hal. 104
[12] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah,1991), hal.79
[13] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999) hlm.402
[14] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, hal. 401
[15] Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, 1994, hlm. 110
[16]Syaikh Muhammad al-Khudari Biek, Ushul Fiqih, Jakarta, 2007, hlm. 734
[17] Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, 1994, hlm. 110

Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment