MADZHAB SHAHABY DAN DZARI’AH PENGERTIAN DAN
KEHUJJAHANNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Diantara dalil-dalil
yang tidak disepakati oleh para ulama untuk dijadikan hujjah yaitu madzhab
shahabi dan adz-dzari’ah. Setelah Rasul wafat yang memberikan fatwa kepada
orang banyak pada waktu itu ialah sahabat. Mereka mengetahui fiqh, ilmu
pengetahuan dan apa-apa yang biasa disampaikan oleh Rasul. Memahami al-Qur’an
dan hukum-hukumnya. Inilah yang menjadi sumber dari fatwa-fatwa dalam
bermacam-macam masalah yang terjadi. Apakah fatwa itu menjadi sumber tasyri’
yang dilengkapi dengan nash atau hanya semata-mata hasil pemikiran pribadi yang
berkenaan dengan ijtihad, bukan hujjah terhadap kaum muslimin.
Mengenai adz-dzari’ah
bahwa setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti
mempunyai tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang
dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat
sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada serentetan
perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilalui. Persoalan yang diperbincangkan
para ulama adalah perbuatan perantara yang tidak mempunyai dasar hukumnya.
BAB I
PEMBAHASAN
A. MADZHAB
SHAHABI
1. Pengertian
Madzhab Shahabi
Madzhab
Shahabi merupakan pendapat sahabat Rasulullah saw
tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Secara sederhana yang dimaksud dengan madzhab
shahabi ialah fatwa atau pendapat sahabat secara perseorangan.[1]
Yang dimaksudkan dengan sahabat menurut ulama ushul fiqh adalah seorang yang bertemu
dengan Rasulullah saw dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup
bersamanya dalam waktu yang panjang serta dijadikan rujukan oleh generasi
sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah saw.[2]
2. Objek
Madzhab Shahabi
Menurut
Ibnu Qayyim bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari 6 bentuk berikut:
a. Fatwa
yang didengar sahabat dari Nabi Muhammad saw.
b. Fatwa
yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi Muhammad saw.
c. Fatwa
yang didasarkan atas pemahamannya terhadap ayat al-Qur’an yang masih belum
jelas maksudnya bagi kita
d. Fatwa
yang disepakati oleh tokoh-tokoh sahabat yang smpai kepada kita melalui salah
seorang sahabat.
e. Fatwa
yang didasarkan pada kesempurnaan ilmunya, baik bahasa maupun tingkah lakunya.
Kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi Muhammad saw dan maksud-maksudnya.
Kelima model fatwa ini adalah hujjah yang wajib diikuti dan
f. Fatwa
yang berdasarkan pamahaman yang tidak datang dari Nabi Muhammad saw, dan
pemahamannya itu salah. Yang seperti ini tidak menjadi hujjah.[3]
3. Kehujjahan
Madzhab Shahabi
Para
ulama sepakat bahwa pendapat para sahabat Nabi tidak menjadi alasan (hujjah)
bagi sahabat yang lain. Yang menjadi persoalan apakah pendapat sahabat itu
dapat dijadikan hujjah bagi orang yang hidup sesudah sahabat. Berkaitan dengan
ini ada 4 pendapat, yaitu :
a. Pendapat
sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara keseluruhan. Ini adalah
pendapat jumhur ulama, yang terdiri dari ulama asy’ariyah, mu’tazilah, syi’ah,
pendapat yang kuat dikalangan ulama syafi’iyah, salah satu riwayat Ahmad bin
Hanbal, ulama mutaakhirin hanafiyah dan malikiyah, dan Ibnu Hazm dari
Madzhab Zhahiri,
b. Pendapat
sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah dan didahulukan daripada qiyas. Pendapat
ini dikemukakan oleh beberapa ulama hanafiyah, malikiyah, qaul qadim
al-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal,
c. Pendapat
sahabat dapat dijadikan hujjah apabila tidak bertentangan dengan perkataan
sahabat yang lain. Dalam hal seperti ini, perkataan sahabat didahulukan
daripada qiyas. Akan tetapi jika berlawanan dengan perkataan sahabat yang lain,
maka dipilih yang sesuai dengan kandungan al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas.
Ini pendapat imam al-Syafi’i dalam qaul jadidnya, dan
d. Pendapat
sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah apabila bertentangan dengan qiyas,
karena dengan perlawanan itu berarti pendapat sahabat bukan bersumber dari
qiyas, tetapi dari sunnah. Pendapat terakhir ini bersumber dari akan
kalangan hanafiyah.[4]
B. ADZ-DZARI’AH
1. Pengertian
adz- Dzari’ah
Dari
segi bahasa, adz-dzari’ah berarti media yang menyampaikan
kepada sesuatu. Sedangkan dalam pengertian ushul fiqh, yang dimaksud adz-dzari’ah ialah
sesuatu yang merupakan media dan jalan untuk sampai kepada sesuatu yang
berkaitan dengan hukum syara’, baik yang haram maupun yang halal (yang terlarang
atau yang dibenarkan), dan yang menuju ketaatan atau kemaksiatan. Oleh karena
itu, dalam kajian ushul fiqh, adz-dzari’ah dibagi dua
yaitu sadd adz-dzariah dan fath adz-dzari’ah.
Yang
dimaksud dengan sadd adz-dzari’ah (menutup jalan) ialah
mencegah suatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan),
jika ia akan menimbulkan mafsadah. Contohnya adalah menjual anggur kepada orang
yang akan mengolahnya menjadi minuman keras.
Adapun
yang dimaksud fath adz-dzari’ah (membuka jalan) adalah
menganjurkan media atau jalan yang menyampaikan kepada sesuatu yang dapat
menimbulkan al-maslahah (manfaat/kebaikan), jika ia akan menghasilkan kebaikan.
Sebagai contoh, dianjurkan untuk membangun industri tekstil, karena hal itu
akan menghasilkan kebaikan, yaitu berguna membantu orang menutup auratnya.
Meskipun adz-dzari’ah dapat berarti sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah,
namun dikalangan ulama ushul fiqh, jika adz-dzari’ah disebut secara sendiri,
tidak dalam bentuk kalimat majemuk, maka kata itu selalu digunakan untuk
menunjuk pengertian sadd adz-dzari’ah.[5]
2. Objek
sadd adz-Dzari’ah
Pada
dasarnya yang menjadi objek sadd adz-dzari’ah adalah semua perbuatan yang
a. Ditinjau
dari akibat atau dampak yang ditimbulkannya yang dibagi menjadi 4, yaitu :
1) Dzari’ah
yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang
memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina yang
membawa kerusakan tata keturunan.
2) Dzari’ah
yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan buruk
yamg merusak, baik dengan sengaja seperti nikah muhallil, atau tidak sengaja
seperti mencaci sesembahan agama lain.
3) Dzari’ah
yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun
biasanya sampai juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari
kebaikannya, seperti berhiasnya seorang perempuan yang baru ditinggal mati
suaminya dalam masa ‘iddah.
4) Dzari’ah
yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan,
sedangkan kerusakannya lebih kecil daripada kebaikannya. Contoh dalam hal ini
yaitu melihat wajah perempuan saat dipinang.
b. Ditinjau
dari tingkat kerusakan yang ditimbulkan yang dibagi menjadi 4, yaitu:
1) Dzari’ah
yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan dzari’ah
itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya menggali lubang
di tanah sendiri dekat pintu rumah seseorang di waktu gelap, dan setiap orang
yang keluar dari rumah itu pasti akan terjatuh dalam lubang tersebut.
2) Dzari’ah
yang membawa kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalau dzari’ah itu
dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya
perbuatan yang dilarang. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik pengolahan
minuman keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang mencari musuhnya.
3) Dzari’ah
yang membawa kepada perbuatan yang terlarang menurut kebanyakannya. Hal ini
berarti bila dzari’ah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan
mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang terlarang. Umpamanya jual beli
kredit, memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun
dalam prakteknya sering dijadikan sarana untuk riba.
4) Dzari’ah
yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang. Dalam hal
ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan.
Umpamanya menggali lubang di kebun sendiri yang jarang dilalui orang.[6]
3. Kehujjahan
sadd adz-Dzari’ah
Hampir
seluruh ulama ushul mengkaji masalah dzari’ah dalm kitab-kitab ushul
fiqhnya.seluruh ulama menempatkan dzari’ah pada kajian dalil-dali yang
disepakati. Para ulama mengkaji masalah dzari’ah ini karena memang ayat-ayat
al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah banyak menyinggungnya, yaitu firman
Allah dalam surat al-Baqarah: 104:
104.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):
"Raa'ina", tetapi Katakanlah: "Unzhurna", dan
"dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.
Larangan
menyebut ra’ina, karena orang Yahudi menggunakan kata-kata ra’ina untuk
mmencela atau menghina Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu umat Islam dilarang
untuk mengatakan ra’ina sebagai suatu dzari’ah. Dari sini tampakbahwa sadd
adz-dzari’ah mempunyai dasar dari al-Qur’an, sedangkan dari sunnah diantaranya
adalah sebagai berikut:
1) Nabi
Muhammad saw melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik
dapat menyebabkan Nabi dituduh membunuh sahabat-sahabatnya.
2) Nabi
melarang kepada kreditur untuk mengambil atau menerima hadiah dari debitur,
karena cara demikian dapat berakibat jatuh kepada riba.
3) Nabi
melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan ditangguhkan sampai
selesainya perang karena memotong tangan pencuri pada waktu perang membawa
akibat tentara-tentara lari menggabungkan diri dengan musuh.
4) Nabi
melarang fakir miskin dari Bani Hasyim menerima bagian dari zakat,
kecuali apabila dia berfungsi sebagai amilin, karena dzari’ah, agar jangan
timbul fitnah bahwa Nabi memperkaya diri dan keluargnya melalui zakat,
5) Nabi
melarang penimbunan, karena penimbunan ini menjadi dzari’ah kepada kesempitan
atau kesulitan manusia.[7]
Tentang
kehujjahan sadd adz-dzari’ah ada beberapa pendapat
a. Imam
Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hanbal dikenal sebagai dua orang Imam yang memakai
sadd adz-dzari’ah. Oleh karena itu, kedua Imam ini menganggap bahwa sadd
adz-dzari’ah dapat menjadi hujjah. Khususnya Imam Malik yang dikenal selalu
mempergunakannya di dalam menetapkan hukum-hukum syara’.
b. Imam
Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa penggunaan sadd adz-dzari’ah merupakan satu hal
yang penting sebab mencakup Amar (perintah) dan Nahi (larangan).
c. Ulama
Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Syi’ah menerima sadd adz-dzari’ah sebagai dalil
dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam
al-Syafi’i, membolehkan seseorang yang kena udzur, seperti sakit dan musafir,
untuk meninggalkan sholat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dzuhur. Akan
tetapi, menurutnya ia secara tersembunyi dan diam-diam mengerjakan sholat
Dzuhur tersebut agar tidak dituduh sengaja meninggalkan sholat Jum’at.[8]
d. Madzhab
Zhahiri tidak mengakui kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menggunakan nash secara harfiyah saja, dan tidak menerima campur tangan logika
dalam masalah hukum.[9]
PENUTUP
Madzhab
Shahabi merupakan pendapat sahabat Rasulullah saw tentang suatu kasus dimana
hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Secara sederhana yang dimaksud dengan madzhab Shahabi ialah fatwa atau pendapat
sahabat secara perseorangan. Pendapat sahabat tidak menjadi hujjjah atas
sahabat lainnya. Hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan
ialah apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atas tabiin dan orang-orang
yang datang sesudah tabiin. Ada pendapat yang menerimanya dan ada yang menolaknya.
Dan diantara kedua pendapat yang bertentangan tersebut dapat dicarikan jalan
tengahnya yaitu madzhab Shahabi yang semata-mata merupakan hasil ijtihad
perseorangan, bukanlah merupakan hujjah syar’iyyah yang berdiri sendiri sebab,
sebagai hasil ijtihad ia dapat benar dan dapat salah. Oleh karena itu, pendapat
sahabat yang bersifat hasil ijtihad perorangan hanya menjadi hujjah yang wajib
diikuti, apabila memiliki sandaran dalam bentuk nash al-Qur’an atau Sunnah.
Adz-dzari’ah berarti media atau jalan menuju sesuatu. Adz-dzari’ah dibagi
menjadi dua yaitu sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Bila adz-dzari’ah
disebut secara sendiri, tidak dalam bentuk kalimat majemuk maka kata itu selalu
digunakan untuk menunjuk pengertian sadd adz-dzari’ah berpegang kepada dzari’ah
tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang yang tenggelam didalamnya bisa
saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah,sunnah bahkan wajib karena
khawatir terjerumus dalam juarang kedzaliman. Denga demikian maka mukalaf wajib
benar-benar mengetahui akan bahaya menggunakan atau meninggalkan dzari’ah
DAFTAR
PUSTAKA
Effendi,
Satria dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: prenada Media.
Dahlan,
Abdul Rahman. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Djaliel,
Maman Abdul.2000. Ushul Fiqh 1. Bandung: Pustaka Setia.
Rohayana,
Ade Dedi.2006. Ilmu Ushul Fiqh. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.
Syarifuddin,
Amir. 2009. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana.
CATATAN KAKI
0 komentar:
Post a Comment