AL-QUR'AN
SEBAGAI SUMBER DAN DALIL HUKUM SYARA’, DALIL QATH’I DAN DZONNI, DALIL KULLI DAN
JUZ’I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan
nama kitab suci Allah Swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan
perantaraan malaikat Jibril. Dalam kajian ushul fiqih, Al-Qur’an juga disebut
beberapa nama seperti : Al-Qur’an adalah kalam Allah berbahasa Arab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perantaraan malaikat Jibril serta
diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.
Pembahasan
Qath’i dan Dzanni, Kully dan Juz’i hanya dapat ditemukan di kalangan ahli ushul
fiqh ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu dalil serta kandungan
makna dalil itu sendiri. Dalam kitab-kitab Ushul fiqh, telah
disepakati para ulama ushul, bahwa Qath’i adalah yang secara tegas telah
ditentukan oleh nash. Dalam pengertian yang lebih sesuai, Qath’i dalam hukum
Islam adalah sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu
bersifat fundamental, yakni nilai kemaslahatan atau keadilan. Sementara Dzanni secara
harfiyah berarti persangkaan atau hipotesis yang merupakan kebalikan dari yang
Qath’i (kategori). Yakni
ajaran atau petunjuk agama baik dari al-Qur'an maupun Hadits Nabi yang bersifat
jabaran (implementatif) dari prinsip-prinsip yang universal.Dalil kully adalah
dalil yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu
persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf [1].
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi
dalil Qath’i.
2. Bagaimana definisi
dalil Dzanni.
3. Bagaimana definisi
dalil Qully.
4. Bagaimana definisi
dalil Juz’i.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dalil
Qath’i
Qath’I menurut bahasa
mempunyai arti putus, pasti atau diam. Sedangkan menurut istilah
adalah dalil yang jelas dan terbentuk hanya memiliki satu makna dan tidak
membuka penafsiran yang lain.[2]
Nash-nash Al-Qur’an,
seluruhnya bersifat qoth’i dari segi kehadiranya dan ketetapanya , dan
periwayatanya dari Rosulullah.[3]
Menurut Abdul Wahab
Khallaf Qath’I adalah sesuatu yang menunjukan kepada makna tertentu yang
harus dipahami dari teks (ayat atau hadist). Qath’I dan Zhonnimerupakan
salah satu bahasan yang cukup rumit dikalangan ahli ushul fiqh ketika mereka
berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujjah suatu dalil) atau sumber suatu
dalil.
Dalam dalil Qath’I ada
ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an mengenai rukun-rukun agama seperti shalat
dan puasa, bagian-bagian tertentu dalam kewarisan dan hukum-hukum yang
telah ditetapkan semuanya yang tidak mungkin dibantah oleh siapapun, setiap
orang wajib mengikutinya dan ketentuan-ketentuan ini tidak membuka peluang bagi
ijtihad.
Nash-nash yang qoth’i
adalah nash-nash yang menunjukkan kepada suatu arti yang pemahamannya tertentu
, tidak mungkin ditakwilkan dan tidak mungkin diphahamkan lain.seperti ayat
dibawah ini :
Tentang
warisan
Artinya :Dan bagimu (suami-suami) seper
dua dari harta yang ditiggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai
anak (an-Nisa')
Ayat ini qoth’i
dalalahnya karena dengan tegas hak suami yang ditinggalkan oleh
mati istrinya yang tidak punya anak, artinya bahwa bagian suami
dalam keadaan seperti ini adalah seperdua, tidak yang lain.
Tentang hukuman had
zina
Artinya : Pezina
perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus
kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan
hari Kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sebagian orang-orang yang beriman. (an-Nur : 2)
Ayat-ayat yang
menyangkut hal-hal tersebut, maknanya jelas dan tegas dan menujukkan arti
dan maksud tertentu dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad.
Tentang hukuman
menuduh berzina
Artinya “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Bahwa
seorang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina, sedangkan ia tidak memiliki 4 orang saksi maka ia didera sebanayak
80 kali deraan sebagai hukuman telah menuduh. Kata “delapan
puluh” merupakan kata yang sudah jelas dan tidak mungkin kata tersebut dita’wil menjadi kalimat lain.
B. Pengertian Dalil
Dzanni
Secara bahasa yang
dimaksud dengan Dzanni adalah perkiraan, sangkaan (antara benar dan salah).
Adapun Dzanni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadis) yang
menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.
Dalil dzanni adalah
suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya
(ad-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah)
diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas
keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.
Sedangkan nash-nash
yang dzanny dalalahhnya adalah nash-nash yang menunjukkan kepada suatu arti
akan tetapi ada kemungkinan bisa ditakwilkan[4].
Contoh-contoh Dalil
Dzanni
Al Baqarah : 228
Artinya
: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. (Al
Baqarah : 228)
Lafadz quru dalam
bahasa arab adalah musytarak (satu kata dua artinya atau
lebih). Di dalam ayat tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa
haidh) pada nash tersebut memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus
menunggu tiga kali quru’.
Dalam hal ini sangatlah wajar apabila para ulama’ berbeda
pendapat , lafazd ‘am, dan yang sewmacamnya mengandung pemahaman yang yang
dzanny, karena meskipun menunjuk pada suatu arti , akan tetapi ada kemungkinan
pemahaman yang lain,
Al Maidah : 3
Artinya : “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan
darah”. (Al-Maidah : 3).
Lafadz Al-Maitatu di
dalam ayat tersebut ‘Am, yang mempunyai kemungkinan mengharamkan setiap bangkai atau keharaman itu dikecualikan
selain bangkai binatang laut/air. karenanya nash yang dimaksud ganda atau
lafadz ‘Am mutlak dan yang seperti itu maka disebut zhanni dalalahnya. hal ini
disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai suatu arti tetapi juga mungkin
berarti lain.
Dengan demikian
istilah qoth’i dan dzanni menyangkut soal nilai suatu dalil , hal-hal yang
qoth’i tidak diragukan lagi, sudah tentu berbeda dengan yang dzanni baik
didalam fungsinya maupun didalam tenpatnya
C. DALIL KULLY
Dalil kully adalah
dall yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu
persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf [5]. Dalil kully ini ada
kalanya ayat al-qur’an, as-sunnah, dan kaidah fiqhiyyah.
Dalil kully adakalanya
berupa ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah, dan kaidah fiqhiyah . Contoh dari
ketiganya ialah:
Firman Allah surah
al-Baqarah ayat 29:
“Dialah Allah yang
menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu.”
Ayat di atas
menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini boleh untuk
dipergunakan oleh manusia. Kata
مَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا (segala sesuatu yang ada di bumi)
bersifat umum mencakup
semua yang ada
di darat dan di laut.
Dari ayat ini diambil
dasar kaidah:
الأَصْلُ فِى الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ
“Pokok hukum segala
sesuatu adalah membolehkan”.
Hadist Nabi yang
berbunyi:
عَنْ أَبِى سَعِيْدِ بْنِ مَالِكٍ بْنِ سَنَانٍ الخُدْرِى قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ :لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Dari Abu Sa’id bin Malik bin Sanan
al-Khudriy, bersabda Rasulullah saw: “Tidak boleh memadlaratkan diri sendiri
dan tidak boleh dimadlaratkan orang lain” (H.R. Ibnu Majah dan Daru Quthniy).[6]
Hadits di atas
melahirkan kaidah kemaslahatan, yakni membina segala ketetapan dibangun atas
dasar kemaslahatan.
Kaidah fikih yang
berbunyi:
“Kesukaran
itu mendatangkan kemudahan”.
Di antara contoh dalil
yang juz’iy adalah ayat:
“Hai orang-orang yang
beriman! Diwajibkan puasa atas kamu sekalian”.
Dalam pembahasan
mengenai kedua dalil ini harus dibedakan antara dalil yang kully dengan
lafadz ‘am,dan dalil yang juz’iy dengan lafadz khas. Istilah ‘am dan khas, dikenal
di dalam kajian lafadz atau pendekatan linguistik (kebahasaan) terhadap
ayat-ayat al-Qur’an, di mana yang difokuskan adalah makna ayat dari sudut
pandang kata perkata.[7]
D. Dalil Juz’i
Dalil juz’I atau
tafsili adalah dalil yang menunjukkan kepada suatu persoalan dengan satu hukum
tertentu.
Contohnya :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu, agar kamu bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqoroh :183)
Ayat diatas termasuk kedalam dalil
juz’I, karena hanya menunjukkan kepada perintah puasa saja.[8]
Al-Qur’an sebagai
sumber utama hukum Islam menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya
dengan cara:
Penjelasan rinci (juz’i) terhadap
sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah
akidah, hukum waris, hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud, dan
kaffarat. Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqih disebut
sebagai hukum ta’abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
Penjelasan
Al-Qur’an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat global (kulli),
umum , dan mutlak, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci beberapa
kali sehari dikerjakan, berapa rakaat untuk satu kali shalat, apa rukun dan
syaratnya. Demikian juga dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci,
dan berapa benda yang wajib dizakatkan, berapa nisab zakat, dan berapa kadar
yang harus di zakatkan. Untuk hukum-hukum yang bersifat global, umum dan mutlak
ini, Rasulullah Saw, melalui sunnahnya, bertugas menjelaskan, mengkhususkan,
dan membatasi.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian yang dipaparkan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa dalil syar’iyyah merupakan sumber rujukan bagi penetapan
hukum. dalil merupakan bukti, indikasi atau petunjuk yang terdapat didalam
didalam sumber-sumber dimana ketentuan syariat atau hukum, di simpulkan.
Sehingga segala sesuatu perbuatan yang dikerjakan oleh mukallaf dapat dikanai
hukum syara.
Adapun pembagian dalil dapat dilakukan dalam berbagai
aspek. Jika Ditinjau dari segi asalnya dalil dapat dikelompokkan menjadi dua :
Dalil naqli dan Dalil aqli. Ditinjau dari ruang lingkupnya yaitu : Dalil kulli
dan Dalil juz’I, dan jika Ditinjau dari segi daya kekuatannya digolongkan
kedalam Dalil qoth’I dan Dalil dhonni.
Qath’I
menurut bahasa mempunyai arti putus, pasti atau diam. Sedangkan menurut istilah
adalah dalil yang jelas dan terbentuk hanya memiliki satu makna dan tidak
membuka penafsiran yang lain.
Dalil dzonni adalah suatu dalil yang asal-usul
historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (ad-dalalah), atau kekuatan
argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar,
seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak
mustahil melakukan kekeliruan.
Dalil kully adalah dall yang mempunyai sifat
keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari
perbuatan mukalaf [10]. Dalil kully ini ada kalanya ayat
al-qur’an, as-sunnah, dan kaidah fiqhiyyah.
Dalil juz’I atau tafsili adalah dalil yang menunjukkan
kepada suatu persoalan dengan satu hukum tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, Prof. Drs.
H.A., Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih,(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta:
PT. Raja Grafindo
Persada,2014).
Wahhab Khallaf, Abdul,
Prof., Ilmu Ushul Hadits, (
Semarang : Dina Utama Semarang , 1994 )
Www. Makalah Ushul
Fiqih Dalil Qoth’i Dan Dzonni 21/11/2018
Www.Dalilkullydanjuz’i.com,(30,09,2018)
CATATAN KAKI
[1] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I.
Nurol aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada), halaman 86.
[3] Prof. Abdul Wahhab Khallaf., Ilmu
ushul hadits, ( Semarang : Dina
Utama Semarang , 1994 ), halaman 36.
[4] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol
Aen M. A ,Ushul Fiqih,(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2014), halaman 85-86.
[5] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol
Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,2014), halaman 86.
[6] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol
Aen M. A ,Ushul Fiqih, (Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2014).
[7] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul
Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014).
[8] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol
Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada).
[10] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol
aen M. A ,ushul fiqih(metodologi hukum islam),(jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2014),halaman 86.
0 komentar:
Post a Comment