IJMA'
DAN QIYAS: PENGERTIAN, SYARAT, MACAM ,KEHUJAHAN, CARA PENERAPAN DAN KEDUDUKAN
HUKUM MENGINGKARINYA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada masa
Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasalam, permasalahan yang timbul selalu bisa
ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan
Rasulullah. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh
para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda
Rasulullah karena saat itu. Akan tetapi, setelah beliau, Rasulullah wafat, para
sahabat agak kesulitan dalam memutuskan
permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat
dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks,
sehingga munculah Ijma’ dan Qiyas.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat kita munculkan rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Apakah Ijma’ itu dan bagaimanakah kehujjahan dari Ijma’?
2.
Apakah saat ini masih mungkin terjadi Ijma’?
3.
Apakah Qiyas itu dan bagaimana kehujjahan Qiyas?
4.
Apakah saat ini masih mungkin terjadi Qiyas?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari makalah Ijma dan Qiyas
ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui penjelasan tentang ijma’ dan kehujjahannya.
2.
Untuk mengetahui apakah Ijma’ masih mungkin terjadi.
3.
Untuk mengetahui penjelasan tentang qiyas dan kehujjahannya.
4.
Apakah saat ini masih mungkin terjadi Qiyas?
BAB II
IJMA’
A. Definisi Ijma’
Ijma’ secara etimologi adalah sepakat. Sedangkan menurut
ulama ushul fiqih
adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah atas
hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat
terjadinya diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka sepakat memustuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka
kesepakatan mereka disebut ijma’. kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan
sebagai dalil bahwa hukum itu adalah hokum syara’ atas suatu kejadian . dalam
definisi disebutkan “setelah wafatnya Rasul” karena semasa hidupnya, beliau
sendiri adalah sebagai rujukan hukum syara’, sehingga tidak mungkin ada
perbedaan hukum syara’ juga tidak ada kesepakatan. Karena kesepakatan hanya
bisa terwujud dari beberapa orang[1].
Mujtahid
hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
a. Memiliki
pengetahuan tentang Al Qur’an.
b. Memiliki
pengetahuan tentang Sunnah.
c. Memiliki
pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
d. Memiliki
pengetahuan tentang ushul fikih.
e. Menguasai
ilmu bahasa.
C. Unsur-unsur
Dalam
definisi telah disebutkan bahwa ijma’
adalah kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa atas hukum syara’.
Dari sini dapat diambil kesimpulan,bahwa ijma’ dianggap sah menurut syara’ bila
mencakup empat unsur :
a.
Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa.
Karena kesepekatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang
saling memiliki kesesuaian. Bila pada waktu itu tidaka ada beberapa mujtahid,
tidaka ada sama sekali atau hanya seorang mujtahid saja, maka menurut syara’
ijma’ tersebut tidak sah. Oleh karena itu tidak ada ijma’, karena beliau
sendirian sebagai mujtahid.
b.
Kesepakatan hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat
terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan atau
kelompoknya. Bila ada kesepakatan atas hokum syara’ mengenai suatu peristiwa
oleh hanya mujtahid Haramain, Iraq, Hijaz, keluarga Nabi, atau mujtahid Ahlus
Sunnah tidak termasuk Syi’ah, maka kesepakatan masing-masing Negara. Kelompok
dan golongan tersebut tidak sah menurut hokum syara’. Karena ijma’ tidak sah
kecuali dengan kesepakatan umum dari semua (yang memiliki kapasitas sebagai)
mujtahid dunia islampada masa terjadinyaperistiwa itu,.
c.
Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat
masing-masing mujtahid. Pendapat itu diungkapkan dalam bentuk perkataan seperti
fatwa atas suatu peristiwa, atau diungkpakn perseorangan mujtahid, kemudian
setelah pendapat masibg-masing dikumpulkan ditemukan adanya kesepakatan. Atau
diungkapakan secara kolektif, yaitu semua mujtahid dunia Islam berkumpul pada
masa terjadinya suatu peristiwa kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka,
dan setelah mereka bertukar pendapat dari berbagai sudut pandang, mereka semua
sepakat atas satu hukum mengenai peristiwa tersebut.
d.
Kesepakatan itu
benar-benar dari seluruh mujtahid dunia Islam. Bila yang beersepakat hanya
mayoritas , maka kesepakatan itu tidak tidak disebut ijma’ meskipun yang tidak
sepakat adalah mioritas dan yang sepakat adalah mayoritas. Karena jika masih
ada pertentangan, maka dimungkinkan benar dalam satu segi dan salah dalam segi
yang lain. Kesepakatan mayoritas bukanlah hujjah yang menjadi dasar hokum
syara’ yang memiliki kepastian wajib diikuti[3].
D. Kekuatan Ijma’ Sebagai Hujjah
Bila kekempat
unsur ijma’ tersebut terpenuhi yakni
setelah wafatnya Rasul dapat di data jumlah seluruh mujtahid dunia Islam dari
berbagai Negara, bangsa dan kelompok, kemudian peristiwa itu diajukan kepada
mereka unutk mengetahui hukumnya, dan seluruh mujtahid tersebut mengemukakan
pendapat hukumnya secara jelas dengan perkataan atau perbuatan, berkelompok
atau perorangan. Adapun dalil-dalil
yang menunjukkan pada kehujjahan Ijma’ akan kita paparkan
sebagai berikut :
a. Demikian juga sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh
Imam Syafi’i dari sahabat Umar bin Khatab:
الا
فمن
سره
بحجة
الجنة
فليلزم
الجماعة
فإن
الشيطان
مع
الفذ
وهو
من
الاثنين
ابعد
Artinya
: “Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah
(ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan
lebih jauh dari 2 orang dari pada orang yang menyendiri”.
Firman
Allah :
ومن يشاقف
الرسول
من
بعد
ما
تبين
الهدى
ويتبع
غير
سبيل
المؤمنين
نوله
ما
تولى
ونصله
جهنم
وسأت
مصيرا ( النساء :115 )
Artinya
: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenarannya
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan
ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia
ke dalam neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Oleh karena itu
bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti pendapat orang-orang mukmin berati suatu
hal yang ditetapkan berdasarkan Ijma’. Dengan demikian Ijma’ dapat
dijadikan hujjahyang harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’
(istinbath) dari nash-nash Syara’.
E. Macam-macam Ijma’
Macam-macam
ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam Ijma’ bila dilihat dari cara
terjadinya ada dua macam yaitu :
1.
Ijma Sharih maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat
mereka masing-masing, kemudian menyepakati
salah satunya[4].
2.
Ijma Sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria di
bawah ini :
a)
Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak
menunjukkanadanya kesepatakan atau penolakan
b)
Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama
c)
Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebutadalah
permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalilyang bersifat zhanni.
F.
Kemungkinan
terjadi Ijma’
Para ulama
berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya ijma’ dan nilai argumentasinya.
Mengapa? Karena terjadinya perbedan pendapat dalam mengartikan ijma’.
Diantaranya berpendapat bahwa : Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid pada
setiap masa terhadap hukum syara’ jika demikian maka ijma’ tersebut tidak
mungkin terjadi. Tetapi jika yang dimaksud ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid terhadap
hukum-hukum syara tetap ditetapkan berdasarkan dalil nash yang qoth’i.
Seperti: Kesepakatan mereka tentang wajibnya mereka shalat menghadapi qiblat,
kewajiban puasa, zakat, ibadah haji dan lain-lain. Maka hal tersebut mungkin
terjadi. Dalam hal ini yang menjadi argumentasi (hujjah) bukan ijma’,
melainkan dalil-dalil nash qoth’i. Dengan demikian ijma’ tidak
memiliki peran apa-apa karena ijma’ bisa di katakan berfungsi jika ia mampu
meningkatkan hukum yang bersifat dhonny menuju Qoth’i.
Hukum-hukum seperti disebutkan di atas seperti wajibnya shalat, puasa dan
sebagainya pada dasarnya sudah bersifatqoth’i.
Kemudian
siapakah orang-orang yang ijma’nya bisa diterima? Dan bagaimana kriteria
mujtahid yang ijma’nya dapat diterima? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini
beliau imam Syafi’i membuka dialog dalam kitab Jima’ul Ilmu :
“Siapakah diantara ulama ijma’nya dapat dijadikan hujjah ialah
orang-orang yang diakui (diangkat) oleh penduduk suatu Negara sebgai ahli fiqih
yang fatwa-fatwanya dapat diterima oleh penduduk tersebut dengan senang hati.
Akan tetapi jawaban tersebut diangkat oleh imam Syafi’i, karena tidak ada
ulama’ yang memiliki sifat-sifat diatas walaupun ada ahli fiqh yang diakui
sebagian penduduk dalam suatu negara namun dianggap orang bodoh yang tidak
berhak memberikan fatwa oleh sebagian penduduk lain. Apalagi ulama’ yang
fatwanya diterima secara bulat oleh seluruh penduduk antar Negara[5].
Dengan adanya
pernyataan-pernyataan diatas beliau Imam Syafi’i cenderung menolak ijma’ dengan
alasan-alasan sebagai berikut :
1. Para Fuqoha berdomisili di berbagai
tempat yang saling berjauhan, sehingga
mereka tidak mungkin dapat bertemu.
2. Terjadinya perbedaan pendapat diantara para fuqoha yang
tersebar diberbagai daerah diseluruh Negara-negara Islam.
Tidak ada
kesepakatan ulama’ tentang orang-orang yang diterima ijma’nya. Dengan
demikian ijma’ yang dapat dijadikan argumentasi (Hujjah) hanyalah ijma’
para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili dalam suatu jazirah
dan belum berpencar di berbagai negara sehingga memungkinkan terjadinya ijma’.
Akan tetapi pada masa tabi’in berhubung sudah berpencar di berbagai negara
hingga sulit mengadakan pertemuan diantara mereka. Maka benarlah sesungguhnya
jika ulama mengatakan bahwa tidak ada ijma’ yang dispakati dan diterima oleh
semua ulama, kecuali ijma’nya para sahabat. Dan dapat disimpulkan bahwa masa
sekarang ini tidak mungkin terjadinya ijma’.
BAB III
QIYAS
A. Definisi Qiyas
Qiyas menurut bahasa arab artinya menyamakan, membandingkan
atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B , karena kedua orang itu
mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan
sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter
atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang
lain dengan mencari persamaan-persamaannya. Qiyas menurut ulama ushul adalah menghubungkan suatu
kejadian yang tidak ada nashnya kepada sesuatu yang ada nash- dalam hukum yang
ditetapkan oleh nash karena ada kesamaan dalam dua kejadian dalam illat
hukumnya (Abdul Wahhab Khallaf, 1985: 76), mereka juga membuat definisi lain,
Qiyas adalah menyamakan sesuatu yanag tidaka ada nash hukumnya dengan sesuatu yang
ada nash hukumnyakarena adanya persamaan illat hukum. (Muhammad Abu Zahrah,
1996: 173)[6].
B. Macam-macam Qiyas
a.
Kelompok jumhur,
mereka menggunakan qiyas sebgai dasar hukum pada hal-hal yang tidak nashnya
baik Al-Qur’an, hadits, pendapat sahabat maupun ijma’ ulama.
b.
Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali
tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adanya illat nash dan
tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap
alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan
illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
c.
Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang
berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah
tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai sebagai pentakhsih dari
keumuman dalil Al-Qur’an dan hadits. (Muhammad Abu Zahrah, 1996: 175)[7].
C.
Rukun-rukun
Qiyas
Setiap qiyas terdiri dari empat
rukun yaitu :
1. Al-ashlu, yaitu : Sesuatu yang ada nash hukumnya. ia
disebut juga al-maqis ‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ‘alaih (yang
dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya).
2. Al-far’u, yaitu : Sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya. ia juga disebut al-maqis (yang diqiyaskan), al-mahmul (yang dipertanggungkan),
dan al-musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum Ashl, yaitu : Hukum syara’ yang ada nashnya pada
al-ashl (pokok)nya, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-far’u
(cabangnya).
4. Al-‘illat, yaitu : Suatu sifat yang dijadikan dasar
untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada
cabang (far’u), maka ia disamakandengan pokoknya dari segi hukumnya[8].
D.
Macam-macam
Illat
Dari segi adanya anggapan dan ketiadaan anggapan
syar’i terhadap sifat yang sesuai, maka para ahli ilmu ushul fiqh membagi sifat
yang sesuai (munasib) menjadi empat macam, yaitu :
1. Munasib muatstsir (sifat yang sesuai yang memberikan
pengaruh).
2. Munasib mulaim (sifat yang sesuai lagi cocok).
3. Munasib mursal (sifat yang sesuai lagi bebas).
4. Munasib mulgha (sifat yang sesuai yang sia-sia).
Berikut ini adalah penjelasan empat macam illat dan
contoh-contohnya. :
1. Munasib muatstsir : yaitu suatu sifat yang sesuai
dimana syari’ telah menyusun hukum sebagai illat hukm yang disusun berdasarkan
kesesuaiannya dengannya misalnya, Firman Allah :
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلمَحِيْضِ.قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوْاالنِّسَاءَ
فِى المَحِيْضِ.
Artinya : “Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah haidh itu adalah suatu kotoran,
oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh….”
(Qs. Al-Baqarah (2) : 222).
2.
Munasib mulaim.
Yaitu suatu sifat yang sesuai yang mana syari’ telah menyusun hukum yang sesuai
dengan sifat itu, namun tidak ada nash maupun ijma’ yang menetapkannya sebagai
illat hukum menurut pandangan syari’itu sendiri, yang disusun sesuai dengan
sifat itu. Hanya saja berdasarkan nash atau ijma’ diperoleh ketetapan bahwa
sifat itu dianggap illat hukum dari hukm sejenis yang oleh syari’ telah disusun
hukumnya sesuai dengan sifat itu.
3. Munasib mursal. : Suatu sifat yang mana syari’ tidak
menyusun hukum sesuai dengan sifat itu, dan tidak ada dalil syari’ yang
menunjukkan akan anggapan-Nya dengan salah satu bentuk anggapan maupun dengan
penyia-nyiaan anggapan-Nya. Ia adalah munasib, artinya berusaha mewujudkan
kemaslahatan, akan tetapi ia juga mursal, contohnya : maslahatan yang menjadi
dasar para sahabat dalam membentuk hukum pembayaran pajak atas tanah pertanian,
pembuatan mata uang, pentatwinan Al-qur’an, dan penyabarannya.
4. Munasib mulgha, yaitu : Suatu sifat yang ternyata
bahwasanya mendasarkan hukum atas sifat itu terdapat perwujudan kemaslahatan,
namun syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengannya, dan syari’ tidak
menunjukkan berbagai dalil yang menunjukkan pembatalan anggapannya, misalnya
menetapkan hukuman khusus bagi orang yang berbuka puasa dengan sengaja pada
bulan ramadhan, untuk masuk menjerakannya.
E.
Dalil Kehujjahan
Qiyas
Tidak diragukan
lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan paling kuat. Mengapa?
Dikarenakan argumentasinya berdasarkan atas prinsip berpikir logis disamping
tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan petunjuk Rasulullah. Dalil Al-qur’annya
adalah sebagai berikut:
ياايها الذين
امنوا
اطيعوا
الله
واطيعوا
الرسول
واول
الامر
منكم
فإن
تنازعتم
فى
سيء
فردواه
الى
الله
والرسول
ان
كنتم
تؤمنون
بالله
واليوم
الاخر.
(النساء : 59)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman.
Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur
‘an) dan rasul (sunnah) jika kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari
kemudian.
Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena
didalamnya terdapat ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak
lain dan tidak bukan adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa
sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan
jalan mencari illat hukum yang dinamakan qiyas.
Kemudian dalil Al-qur’annya sebagai berikut:
لقد
كان
فى
قصصهم
عبرة (يوسف : 111)
Sesungguhnya
dalam kisah mereka terdapat pelajaran....
Di dalam lafadz ‘itibar di atas
ditafsirkan dengan makna Al-itt’azh (mengambil pelajaran). Hal
itu tidak lain adalah penetapan terhadap firman Allah dan ciptaan-Nya yaitu
bahwa sesuatu yang berlaku bagi contoh, maka ia berlaku pula pada yang menjadi
contohnya. Analoginya adalah seperti ini: Apabila seorang pegawai dijatuhi
hukuman karena menerima suap, lalu sang kepala berkata kepada teman-teman
sekantor “Sesungguhnya ini adalah suatu pelajaran bagi kamu, maka ambilah
sebagai pelajaran”. Maka dapat dipahami dari kata-kata Sang Kepala tersebut
kamu akan sepertinya, jika kamu melakukan hal yang sama, kamu akan dihukum
sebagaimana hukuman yang menimpanya, dan juga sebuah hadist Rasulullah:
ان
رسول
الله
ص.م لما
اراد
ان
يبعثه
الى
اليمن.
قال
له
ليف
تقضى
اذا
عرض
له
قضاء,
قال
: اقضى
بكتاب
الله
فإن
لم
أجد
فبسنة
رسول
الله
ص.م على صدره
قال
: الحمد
لله
الذى
وفق
رسول
الله
لما
يرضى
رسول
الله
ص.م
Artinya : “Bahwasannya
Rasulullah, ketika hendak mengutus Muadz menuju negeri Yaman, berkata kepadanya
: Bagaimanakah kau memberi putusan? Muadz menjawab : “Saya akan memutuskan
berdasarkan kitab Allah. Jika saya tidak menemukannya, saya memutuskan
berdasarkan Sunnah Rasulullah, kemudian jika saya tidak menemukannya, maka saya
akan berijtihad dan saya tidak akan sembrono. Lantas Rasulullah Saw
menepuk-nepuk dadanya dan berkata : “Segala puji adalah bagi Allah yang telah
memberi taufiq kepada utusan Rasulullah kepada apa yang diridhoi oleh
Rasulullah”.
Dari hadist di atas Rasulullah mengakui Muadz
untuk berijtihad, bila dia tidak menemukan nash yang
dia gunakan untuk memberi putusan baik Al-Qur’an ataupun As-Sunnah. Sedang
ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum. Dan
Ijtihad juga meliputi qiyas.
Dengan adanya dalil kehujjahan qiyas diatas, dapat kita
simpulkan bahwasannya pada saat sekarangpun qiyas masih terjadi[9].
BAB IV
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan materi Ijma’ dan Qiyas yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan
bahwa, Ijma’ secara etimologi adalah sepakat. Sedangkan menurut
ulama ushul fiqih
adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah atas
hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Ijma terbagi atas dua macam yaitu
ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Ijma’ yang disepkati/disetujui oleh ulama adalah hanya ijma’nya
shahabat. Dan pada masa sekarang ini ijma’ sudah tidak terjadi, tetapi ijma’
berlaku sebagai dalil syara’ satu tingkat di bawah As-sunnah.
Kemudian Qiyas menurut bahasa arab artinya
menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B ,
karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama,
wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas menurut ulama ushul adalah menghubungkan
suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada sesuatu yang ada nash- dalam hukum
yang ditetapkan oleh nash karena ada kesamaan dalam dua kejadian dalam illat
hukumnya. Qiyas terbagi atas 3 macam yaitu kelompok Jumhur, mazhab Zhahiriyah dan kelompok yang
lebih memperluas pemakaian qiyas, dan memiliki 4 unsur diantaranya Al-ashlu,
Al-far’u, Hukum Ashl dan Al-‘illat. Qiyas untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai
metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. Pustaka
Amani: Jakarta 2003.
Amir Sabri. Ushul Fiqh: Ijma dan Qiyas dalam http://amirsabri.blogspot.com
diakses pada tanggal 3 April 2014, pukul 21.00 WITA.
Siswady. Ijma dan Qiyas dalam http://siswady.wordpress.com
diakses pada tanggal 3 april 2014, pukul 21.22 WITA.
Syamsul Arifin. Modul
Ushul Fiqh. IAIN Mataram: Mataram. 2014.
[5] Amir Sabri,
Ushul Fiqh: Ijma dan Qiyas dalam http://amirsabri.blogspot.com
diakses pada tanggal 3 April 2014, pukul 21.00 WITA.
[9] Siswady,
Ijma dan Qiyas dalam http://siswady.wordpress.com
diakses pada tanggal 3 april 2014, pukul 21.22 WITA.
0 komentar:
Post a Comment