IJMA' DAN QIYAS: PENGERTIAN, SYARAT, MACAM ,KEHUJAHAN, CARA PENERAPAN DAN KEDUDUKAN HUKUM MENGINGKARINYA


IJMA' DAN QIYAS: PENGERTIAN, SYARAT, MACAM ,KEHUJAHAN, CARA PENERAPAN DAN KEDUDUKAN HUKUM MENGINGKARINYA












BAB I
 PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pada masa Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasalam, permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah karena saat itu. Akan tetapi, setelah beliau, Rasulullah wafat, para sahabat agak  kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks, sehingga munculah Ijma’ dan Qiyas.

B.      Rumusan Masalah
      Dari uraian di atas dapat kita munculkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah Ijma’ itu dan bagaimanakah kehujjahan dari Ijma’?
2.      Apakah saat ini masih mungkin terjadi Ijma’?
3.      Apakah Qiyas itu dan bagaimana kehujjahan Qiyas?
4.    Apakah saat ini masih mungkin terjadi Qiyas?

C.      Tujuan
   Adapun tujuan dari makalah Ijma dan Qiyas ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui penjelasan tentang ijma’ dan kehujjahannya.
2.      Untuk mengetahui apakah Ijma’ masih mungkin terjadi.
3.      Untuk mengetahui penjelasan tentang qiyas dan kehujjahannya.
4.    Apakah saat ini masih mungkin terjadi Qiyas?










BAB II
IJMA’

A.    Definisi Ijma’
Ijma secara etimologi adalah sepakat. Sedangkan menurut  ulama ushul fiqih adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka sepakat memustuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut ijma’. kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil bahwa hukum itu adalah hokum syara’ atas suatu kejadian . dalam definisi disebutkan “setelah wafatnya Rasul” karena semasa hidupnya, beliau sendiri adalah sebagai rujukan hukum syara’, sehingga tidak mungkin ada perbedaan hukum syara’ juga tidak ada kesepakatan. Karena kesepakatan hanya bisa terwujud dari beberapa orang[1].
B.       SYARAT-SYARAT IJMA’[2]
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
a.       Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
b.      Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
c.       Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
d.      Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
e.       Menguasai ilmu bahasa.

C.    Unsur-unsur
Dalam definisi  telah disebutkan bahwa ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa atas hukum syara’. Dari sini dapat diambil kesimpulan,bahwa ijma’ dianggap sah menurut syara’ bila mencakup empat unsur :
a.   Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena kesepekatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian. Bila pada waktu itu tidaka ada beberapa mujtahid, tidaka ada sama sekali atau hanya seorang mujtahid saja, maka menurut syara’ ijma’ tersebut tidak sah. Oleh karena itu tidak ada ijma’, karena beliau sendirian sebagai mujtahid.
b.   Kesepakatan hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan atau kelompoknya. Bila ada kesepakatan atas hokum syara’ mengenai suatu peristiwa oleh hanya mujtahid Haramain, Iraq, Hijaz, keluarga Nabi, atau mujtahid Ahlus Sunnah tidak termasuk Syi’ah, maka kesepakatan masing-masing Negara. Kelompok dan golongan tersebut tidak sah menurut hokum syara’. Karena ijma’ tidak sah kecuali dengan kesepakatan umum dari semua (yang memiliki kapasitas sebagai) mujtahid dunia islampada masa terjadinyaperistiwa itu,.
c.   Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid. Pendapat itu diungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas suatu peristiwa, atau diungkpakn perseorangan mujtahid, kemudian setelah pendapat masibg-masing dikumpulkan ditemukan adanya kesepakatan. Atau diungkapakan secara kolektif, yaitu semua mujtahid dunia Islam berkumpul pada masa terjadinya suatu peristiwa kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar pendapat dari berbagai sudut pandang, mereka semua sepakat atas satu hukum mengenai peristiwa tersebut.
d.    Kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia Islam. Bila yang beersepakat hanya mayoritas , maka kesepakatan itu tidak tidak disebut ijma’ meskipun yang tidak sepakat adalah mioritas dan yang sepakat adalah mayoritas. Karena jika masih ada pertentangan, maka dimungkinkan benar dalam satu segi dan salah dalam segi yang lain. Kesepakatan mayoritas bukanlah hujjah yang menjadi dasar hokum syara’ yang memiliki kepastian wajib diikuti[3].

D.    Kekuatan Ijma’ Sebagai Hujjah
Bila kekempat unsur  ijma’ tersebut terpenuhi yakni setelah wafatnya Rasul dapat di data jumlah seluruh mujtahid dunia Islam dari berbagai Negara, bangsa dan kelompok, kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka unutk mengetahui hukumnya, dan seluruh mujtahid tersebut mengemukakan pendapat hukumnya secara jelas dengan perkataan atau perbuatan, berkelompok atau perorangan. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan pada kehujjahan Ijma’ akan kita paparkan sebagai berikut :
a.   Demikian juga sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dari sahabat Umar bin Khatab:
الا فمن سره بحجة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الفذ وهو من الاثنين ابعد
Artinya : “Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih jauh dari 2 orang dari pada orang yang menyendiri”.
Firman Allah  :
ومن يشاقف الرسول من بعد ما تبين الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وسأت مصيرا ( النساء :115 )
Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenarannya baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti pendapat orang-orang mukmin berati suatu hal yang ditetapkan berdasarkan Ijma’. Dengan demikian Ijma’ dapat dijadikan hujjahyang harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’ (istinbath) dari nash-nash Syara’.

E.    Macam-macam Ijma’
Macam-macam ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam Ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam yaitu :
1.             Ijma Sharih maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya[4].
2.             Ijma Sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria di bawah ini :
a)      Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkanadanya kesepatakan atau penolakan
b)     Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama
c)      Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebutadalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalilyang bersifat zhanni.

F.    Kemungkinan terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya ijma’ dan nilai argumentasinya. Mengapa? Karena terjadinya perbedan pendapat dalam mengartikan ijma’. Diantaranya berpendapat bahwa : Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid pada setiap masa terhadap hukum syara’ jika demikian maka ijma’ tersebut tidak mungkin terjadi. Tetapi jika yang dimaksud ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid terhadap hukum-hukum syara tetap ditetapkan berdasarkan dalil nash yang qoth’i. Seperti: Kesepakatan mereka tentang wajibnya mereka shalat menghadapi qiblat, kewajiban puasa, zakat, ibadah haji dan lain-lain. Maka hal tersebut mungkin terjadi. Dalam hal ini yang menjadi argumentasi (hujjah) bukan ijma’, melainkan dalil-dalil nash qoth’i. Dengan demikian ijma’ tidak memiliki peran apa-apa karena ijma’ bisa di katakan berfungsi jika ia mampu meningkatkan hukum yang bersifat dhonny menuju Qoth’i. Hukum-hukum seperti disebutkan di atas seperti wajibnya shalat, puasa dan sebagainya pada dasarnya sudah bersifatqoth’i.
Kemudian siapakah orang-orang yang ijma’nya bisa diterima? Dan bagaimana kriteria mujtahid yang ijma’nya dapat diterima? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini beliau imam Syafi’i membuka dialog dalam kitab Jima’ul Ilmu : “Siapakah diantara ulama ijma’nya dapat dijadikan hujjah ialah orang-orang yang diakui (diangkat) oleh penduduk suatu Negara sebgai ahli fiqih yang fatwa-fatwanya dapat diterima oleh penduduk tersebut dengan senang hati. Akan tetapi jawaban tersebut diangkat oleh imam Syafi’i, karena tidak ada ulama’ yang memiliki sifat-sifat diatas walaupun ada ahli fiqh yang diakui sebagian penduduk dalam suatu negara namun dianggap orang bodoh yang tidak berhak memberikan fatwa oleh sebagian penduduk lain. Apalagi ulama’ yang fatwanya diterima secara bulat oleh seluruh penduduk antar Negara[5].
Dengan adanya pernyataan-pernyataan diatas beliau Imam Syafi’i cenderung menolak ijma’ dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1.   Para Fuqoha berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan, sehingga  
mereka tidak mungkin dapat bertemu.
2.   Terjadinya perbedaan pendapat diantara para fuqoha yang tersebar diberbagai daerah diseluruh Negara-negara Islam.
Tidak ada kesepakatan ulama’ tentang orang-orang yang diterima ijma’nya. Dengan demikian ijma’ yang dapat dijadikan argumentasi (Hujjah) hanyalah ijma’ para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili dalam suatu jazirah dan belum berpencar di berbagai negara sehingga memungkinkan terjadinya ijma’. Akan tetapi pada masa tabi’in berhubung sudah berpencar di berbagai negara hingga sulit mengadakan pertemuan diantara mereka. Maka benarlah sesungguhnya jika ulama mengatakan bahwa tidak ada ijma’ yang dispakati dan diterima oleh semua ulama, kecuali ijma’nya para sahabat. Dan dapat disimpulkan bahwa masa sekarang ini tidak mungkin terjadinya ijma’.




BAB III
QIYAS

A.    Definisi Qiyas
Qiyas menurut bahasa arab artinya menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B , karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya. Qiyas menurut ulama ushul adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada sesuatu yang ada nash- dalam hukum yang ditetapkan oleh nash karena ada kesamaan dalam dua kejadian dalam illat hukumnya (Abdul Wahhab Khallaf, 1985: 76), mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yanag tidaka ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnyakarena adanya persamaan illat hukum. (Muhammad Abu Zahrah, 1996: 173)[6].

B.  Macam-macam Qiyas
a.   Kelompok  jumhur, mereka menggunakan qiyas sebgai dasar hukum pada hal-hal yang tidak nashnya baik Al-Qur’an, hadits, pendapat sahabat maupun ijma’ ulama.
b.   Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
c.   Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al-Qur’an dan hadits. (Muhammad Abu Zahrah, 1996: 175)[7].



C.  Rukun-rukun Qiyas
Setiap qiyas terdiri dari empat rukun yaitu :
1.   Al-ashlu, yaitu : Sesuatu yang ada nash hukumnya. ia disebut juga al-maqis ‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ‘alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya).
2.   Al-far’u, yaitu : Sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. ia juga disebut al-maqis (yang diqiyaskan), al-mahmul (yang dipertanggungkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).
3.   Hukum Ashl, yaitu : Hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl (pokok)nya, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-far’u (cabangnya).
4.   Al-‘illat, yaitu : Suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang (far’u), maka ia disamakandengan pokoknya dari segi hukumnya[8].

D.  Macam-macam Illat
Dari segi adanya anggapan dan ketiadaan anggapan syar’i terhadap sifat yang sesuai, maka para ahli ilmu ushul fiqh membagi sifat yang sesuai (munasib) menjadi empat macam, yaitu :
1.   Munasib muatstsir (sifat yang sesuai yang memberikan pengaruh).
2.   Munasib mulaim (sifat yang sesuai lagi cocok).
3.   Munasib mursal (sifat yang sesuai lagi bebas).
4.   Munasib mulgha (sifat yang sesuai yang sia-sia).
Berikut ini adalah penjelasan empat macam illat dan contoh-contohnya. :
1.   Munasib muatstsir : yaitu suatu sifat yang sesuai dimana syari’ telah menyusun hukum sebagai illat hukm yang disusun berdasarkan kesesuaiannya dengannya misalnya, Firman Allah :
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلمَحِيْضِ.قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوْاالنِّسَاءَ فِى المَحِيْضِ.
Artinya : “Mereka  bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah haidh itu adalah suatu kotoran, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh….” (Qs.  Al-Baqarah (2) : 222).
2.   Munasib mulaim. Yaitu suatu sifat yang sesuai yang mana syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, namun tidak ada nash maupun ijma’ yang menetapkannya sebagai illat hukum menurut pandangan syari’itu sendiri, yang disusun sesuai dengan sifat itu. Hanya saja berdasarkan nash atau ijma’ diperoleh ketetapan bahwa sifat itu dianggap illat hukum dari hukm sejenis yang oleh syari’ telah disusun hukumnya sesuai dengan sifat itu.
3.   Munasib mursal. : Suatu sifat yang mana syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat itu, dan tidak ada dalil syari’ yang menunjukkan akan anggapan-Nya dengan salah satu bentuk anggapan maupun dengan penyia-nyiaan anggapan-Nya. Ia adalah munasib, artinya berusaha mewujudkan kemaslahatan, akan tetapi ia juga mursal, contohnya : maslahatan yang menjadi dasar para sahabat dalam membentuk hukum pembayaran pajak atas tanah pertanian, pembuatan mata uang, pentatwinan Al-qur’an, dan penyabarannya.
4.   Munasib mulgha, yaitu : Suatu sifat yang ternyata bahwasanya mendasarkan hukum atas sifat itu terdapat perwujudan kemaslahatan, namun syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengannya, dan syari’ tidak menunjukkan berbagai dalil yang menunjukkan pembatalan anggapannya, misalnya menetapkan hukuman khusus bagi orang yang berbuka puasa dengan sengaja pada bulan ramadhan, untuk masuk menjerakannya.

E.  Dalil Kehujjahan Qiyas
Tidak diragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan paling kuat. Mengapa? Dikarenakan argumentasinya berdasarkan atas prinsip berpikir logis disamping tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan petunjuk Rasulullah. Dalil Al-qur’annya adalah sebagai berikut:
ياايها الذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واول الامر منكم فإن تنازعتم فى سيء فردواه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخر.
(النساء : 59)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah) jika kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena didalamnya terdapat ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan tidak bukan adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan jalan mencari illat hukum yang dinamakan qiyas.
Kemudian dalil Al-qur’annya sebagai berikut:
لقد كان فى قصصهم عبرة (يوسف : 111)
Sesungguhnya dalam kisah mereka terdapat pelajaran....
Di dalam lafadz ‘itibar di atas ditafsirkan dengan makna Al-itt’azh (mengambil pelajaran). Hal itu tidak lain adalah penetapan terhadap firman Allah dan ciptaan-Nya yaitu bahwa sesuatu yang berlaku bagi contoh, maka ia berlaku pula pada yang menjadi contohnya. Analoginya adalah seperti ini: Apabila seorang pegawai dijatuhi hukuman karena menerima suap, lalu sang kepala berkata kepada teman-teman sekantor “Sesungguhnya ini adalah suatu pelajaran bagi kamu, maka ambilah sebagai pelajaran”. Maka dapat dipahami dari kata-kata Sang Kepala tersebut kamu akan sepertinya, jika kamu melakukan hal yang sama, kamu akan dihukum sebagaimana hukuman yang menimpanya, dan juga sebuah hadist Rasulullah:
ان رسول الله ص.م لما اراد ان يبعثه الى اليمن. قال له ليف تقضى اذا عرض له قضاء, قال : اقضى بكتاب الله فإن لم أجد فبسنة رسول الله ص.م على صدره قال : الحمد لله الذى وفق رسول الله لما يرضى رسول الله ص.م
Artinya : “Bahwasannya Rasulullah, ketika hendak mengutus Muadz menuju negeri Yaman, berkata kepadanya : Bagaimanakah kau memberi putusan? Muadz menjawab : “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah. Jika saya tidak menemukannya, saya memutuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah, kemudian jika saya tidak menemukannya, maka saya akan berijtihad dan saya tidak akan sembrono. Lantas Rasulullah Saw menepuk-nepuk dadanya dan berkata : “Segala puji adalah bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah kepada apa yang diridhoi oleh Rasulullah”.
Dari hadist di atas Rasulullah mengakui Muadz untuk berijtihad, bila dia tidak menemukan nash yang dia gunakan untuk memberi putusan baik Al-Qur’an ataupun As-Sunnah. Sedang ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum. Dan Ijtihad juga meliputi qiyas. Dengan adanya dalil kehujjahan qiyas diatas, dapat kita simpulkan bahwasannya pada saat sekarangpun qiyas masih terjadi[9].






BAB IV
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan materi Ijma’ dan Qiyas yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa, Ijma secara etimologi adalah sepakat. Sedangkan menurut  ulama ushul fiqih adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Ijma terbagi atas dua macam yaitu ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Ijma’ yang disepkati/disetujui oleh ulama adalah hanya ijma’nya shahabat. Dan pada masa sekarang ini ijma’ sudah tidak terjadi, tetapi ijma’ berlaku sebagai dalil syara’ satu tingkat di bawah As-sunnah.
Kemudian Qiyas menurut bahasa arab artinya menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B , karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas menurut ulama ushul adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada sesuatu yang ada nash- dalam hukum yang ditetapkan oleh nash karena ada kesamaan dalam dua kejadian dalam illat hukumnya. Qiyas terbagi atas 3 macam yaitu kelompok  Jumhur, mazhab Zhahiriyah dan kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, dan memiliki 4 unsur diantaranya Al-ashlu, Al-far’u, Hukum Ashl dan Al-‘illat. Qiyas untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.














DAFTAR PUSTAKA


Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. Pustaka Amani: Jakarta 2003.
Amir Sabri. Ushul Fiqh: Ijma dan Qiyas dalam http://amirsabri.blogspot.com diakses pada tanggal 3 April 2014, pukul 21.00 WITA.
Siswady. Ijma dan Qiyas dalam http://siswady.wordpress.com diakses pada tanggal 3 april 2014, pukul 21.22 WITA.
Syamsul Arifin. Modul Ushul Fiqh. IAIN Mataram: Mataram. 2014.







[1] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta,Pustaka Amani, 2003), hal.54
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hal. 70
[3] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta,Pustaka Amani, 2003), hal.54
[4] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta,Pustaka Amani, 2003), hal.62
[5] Amir Sabri, Ushul Fiqh: Ijma dan Qiyas dalam http://amirsabri.blogspot.com diakses pada tanggal 3 April 2014, pukul 21.00 WITA.
[6] Syamsul Arifin, Modul Ushul Fiqh, (Mataram, IAIN Mataram, 2014), hal.
[7] Ibid, hal.
[8] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta,Pustaka Amani, 2003), hal.77.
[9] Siswady, Ijma dan Qiyas dalam http://siswady.wordpress.com diakses pada tanggal 3 april 2014, pukul 21.22 WITA.

Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment