MAKALAH الفروق الدلالية












KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Segala puji bagi Allah Swt. atas segala karunia-Nya yang terdapat di antara langit dan bumi yang tak pernah surut. Selawat dan salam senantiasa tersiratkan untuk Baginda Rasul Muhammad Saw. yang telah dijadikan cahaya oleh Allah sebelum alam semesta diciptakan, kemudian dijadikan khalifah di bumi dan sebagai rahmat bagi seluruh alam.
lmu dilalah al-a’rabiyah merupakan satu disiplin ilmu baru bagi kami, yang membahas tentang lmu dilalah al-a’rabiyah.
Dalam makalah ini, kami memaparkan bahasan mengenai al-Furuq al-Lughawiyah. Sebagaimana kita tahu, bahkan dalam maknanya. Hanya saja dalam pembahasan tentang Pengertian Dalalah | Macam-Macam Dalalah.
Tak ada gading yang tak retak. Sebab itu pula dalam penyusunan makalah ini kami masih menggoreskan beberapa kekeliruan yang perlu dibenahi. Kritik dan saran akan terima demi perbaikan tugas selanjutnya.















DATAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………   i

KATA PENGANTAR………………………………………………..........   ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………    iii
BAB I PEMBUKAAN
A.    Latar Belakang………………………………………………………………  1
B.     Tujuan Pembahasan…………………………………………………………  1

BAB II PEMBAHASAN
A.  Pengertian al-Furuq al-Lughawiyah wa Dalalah  
B. Sejarah Munculnya Istilah al-Furuq al-Lughawiyah
C. Biografi Abu Hilal Al-Askari.
D. Hal-Hal Yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Makna pada Beberapa Lafazh yang Kelihatannya memiliki Makna yang Serupa.
E. Beberapa Contoh Tentang al-Furuq al-Lughawiyah dan Cakupan Dalalahnya.

BAB III PENUTUP
      Kesimpulan………………………………………………..…………….   12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………...……………   13
LAMPIRAN







BAB I
PENDAHULUAN
الفروق والمساحات الدلالية

Bahasa merupakan salah satu dari berbagai tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT yang dijadikan sarana untuk menciptakan ketenangan dan kedamaian bagi segenap makhluk ciptaan-Nya. Bahasa ditinjau dari sisi historicalnya merupakan ilham suci dari Allah sang Maha Pencipta yang Dia sampaikan langsung kepada Nabi Adam AS.
Ditinjau dari segi peranannya, bahasa merupakan alat komunikasi antara sesama makhluk untuk menginformasikan apa yang mereka pikirkan dan rasakan.
Studi seputar ilmu bahasa dan peranannya adalah sebuah kajian yang memiliki bahasan  yang sangat luas dan tajam. Disamping meneliti dan mengkaji tentang partikalnya, bahasa juga memiliki sisi lain yang masih memerlukan penelaahan yang mendalam. Seperti halnya pembahasan tentang al-Furuq al-Lughawiyah dalam bahasa Arab pada umumnya dan di dalam al-Qur’an pada khususnya.
Al-Furuq adalah sebuah materi terpenting dalam ilmu bahasa yang dimunculkan pertama kali oleh para ahli bahasa dari kelompok yang tidak menyetujui adanya taraduf dalam bahasa Arab. Pembahasan al-Furuq (perbedaan kata dalam makna dan penggunaannya), sangat memiliki keistimewaan sendiri, yang dengan menyelaminya seseorang akan sampai kepada maksud dan makna sebenarnya dari sebuah kata, serta dengan menguasainya seseorang akan mampu menganalisa perbedaan yang jelas dari beberapa kata yang kelihatannya serupa, sehingga ia tidak akan pernah keliru lagi dalam penggunaan dan pemilihan kosa kata dalam bahasa komunikasi yang digunakannya.
Pada  makalah ini akan dibahas tentang:
1.     Pengertian al-Furuq al-Lughawiyah wa Dalalah   
2.     Sejarah Munculnya Istilah al-Furuq al-Lughawiyah
3.     Biografi Abu Hilal Al-Askari.
4.     Hal-Hal Yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Makna pada Beberapa Lafazh yang Kelihatannya memiliki Makna yang Serupa.
5.     Beberapa Contoh Tentang al-Furuq al-Lughawiyah dan Cakupan Dalalahnya.

























    PEMBAHASAN
1.     Pengertian Al-Furuq al-Lughawiyah
Istilah al-Furuq al-Lughawiyah ini merupakan sebuah istilah yang terbentuk dan tersusun dari penggabungan dua kata, yaitu kata al-Furuq dan kata al-Lughah. Kata al-Furuq( الفروق ) adalah bentuk jama’ taksir dari kata al-Farq( الفرق ) yang berarti al-Fashli wa al-Tamyiz (memisahkan dan membedakan). Dikatakan:  فرق بين المتشابهين      فلان (Fulan menjelaskan sisi perbedaan antara dua hal yang serupa).[1]
Sedangkan kata al-Lughah secara etimologi berasal dari susunan tiga huruf hijaiyyah. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ia terdiri  huruf ل, غ , و, ada pula yang mengatakan bahwa ia berasal dari huruf, ي     . , غ     ل
Ibnu Manzhur melihat bahwa kata lagha-yalghu-laghwan wa laghan secara bahasa memiliki arti sesuatu yang gugur dan tidak diperhitungkan atau tidak  memiliki manfaat sedikitpun. Baik berupa ucapan maupun hal lainnya.[2]
Imam Al-Azhary mengatakan  bahwa kata al-laghwu, al-lagha atau al-laghwa berarti sebuah ucapan yang tidak berasal dari dalam hati dan tidak terniat untuk mengucapkannya.[3] Al-Laghwu dalam masalah sumpah sebagaimana tertera dalam firman Allah SWT:


225. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun[140].
                                                                                                      
[140] Halim berarti penyantun, tidak segera menyiksa orang yang berbuat dosa.
Imam an-Nawawi menjelaskan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:
إذا قلت أنصت و الإمام يخطب فقد لغوت . رواه أبو داود[4]
Artinya: Jika engkau mengatakan “diamlah” ketika imam sedang berkhutbah maka sesungguhnya engkau telah melakukan  al-laghw. (H.R. Abu Daud).
Bahwa yang dimaksud dengan al-laghwa pada hadits ini adalah perkataan yang bathil, tidak dibenarkan, tidak wajar, merusak ibadah dan tertolak.[5]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kata al-Lughah secara etimology berarti sesuatu yang jujur, tidak diperhitungkan, bathil, rusak, menyimpang dan tidak memberi manfaat, baik dari perkataan maupun hal lainnya.
Adapun secara terminologi, Imam al-Jurjaniy menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata al-Lughah adalah:
ما يعبر بها كل قوم عن أغراضهم[6]
"Adalah ungkapan yang digunakan setiap kelompok kaum untuk mengutarakan maksud dan tujuan mereka.
Demikian juga Ibnu Jinni mendefinisikan kata al-lughah, dia mengatakan bahwa al-lughah itu adalah:
أصوات يعبر بها كل قوم من أغراضهم .[7]
“Yaitu suara yang digunakan suatu kaum untuk mengutarakan    maksud dan tujuan mereka”.      
Sedangkan Ibrahim Anis mendefinisikan al-lughah (اللغة   ) yaitu:
عرفي لرموز صوتية يستغلها الناس في الإتصال بعضهم ببعض [8]نظام
“Susunan adat (‘uruf) untuk rumus suara yang dipergunakan oleh manusia dalam berhubungan satu sama lain”.
Kata al-Lughawiyyah merupakan bentuk na’at dari kata al-Furuq yang berada sebelumnya. Ia merupakan na’at jamid dengan cara menambahkan huruf ya nisbah pada akhir katanya.
Dengan menggabungkan pengertian dari dua kata di atas dapat kita jelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Furuq al-Lughawiyyah adalah perbedaan yang terdapat pada beberapa kata alam satu bahasa serta perbedaan pemakaiannya yang kelihatan serupa atau berdekatan dari segi makna, sehingga dapat menghantarkan seseorang kepada keputusan bahwa sebagian kata merupakan penjelasan atau pengkhususan bagi kata lain yang berdekatan makna dengannya.
Sedangkan pengertian Dalalah/ Dilalah ( الدلالة ) ada dua istilah yang harus dipahami yaitu al-Dal ( الدال ) dan al-Madlul ( المدلول ). Al-Dal adalah Lafazh, Al-Madlul adalah Makna Lafazh.[9]
Contoh: الصلاة  (shalat) ini namanya al-dal, dan madlulnya adalah adalah do’a (makna bahasa/ lughawi).
Dengan melihat dari pengertian di atas maka dalalah adalah:
الدلالة هي فهم امر من امر ويسمى الأمر الاول مدلولا والامر الثانى دالا
“Dalalah adalah proses pemahaman sesuatu dari sesuatu yang lain, sesuatu yang pertama disebut madlul (yang ditunjuk), sedangkan yang kedua disebut dal (yang menunjuk).
Al-Jurjaniy mendefinisikan dilalah:
الدلالة هي كون الشيء بحالة يلزم من العلم به العلم بشيء آخر ،و الشيء الأول هو الدال ،                          و الثاني هو المدلول[10]     Dilalah adalah keadaan sesuatu dengan hal yang melazimi dari ilmu, yang dengan ilmu itu juga melazimi sesuatu yang lain. Sesuatu yang pertama disebut al-Dal, dan sesuatu yang kedua disebut al-Madlul.

2.     Sejarah Munculnya Istilah al-Furuq al-Lughawiyah    
Istilah  al-Furuq al-Lughawiyah ini muncul sebagai reaksi terhadap perselisihan pendapat tentang adanya taraduf (persamaan makna kata) dalam bahasa Arab. Taraduf adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan satu benda yang memiliki banyak nama. Menurut bahasa taraduf (synonyme) berarti kata yang berbeda lafazhnya namun memiliki makna yang sama atau pemakaian yang bermacam-macam kata untuk suatu pengertian.[11] Taraduf berasal dari kata ردف setimbangan  تفاعل dengan makna musyarakah. Sedangkan menurut istilah, taraduf memiliki beberapa pengertian. Diantaranya:
a.      Menurut al-Jurjani ada beberapa definisi taraduf, yaitu:
·       Taraduf ialah sesuatu yang berarti satu tetapi maknanya banyak.
·       Taraduf ialah suatu ungkapan yang memiliki satu pemahaman.
Al-Jurjani menyebutkan bahwa hal ini dinamakan taraduf karena ia memiliki nama yang banyak untuk menunjukkan satu makna.

b.     Menurut Imam Fakhruddin, taraduf ialah lafazh tunggal yang memiliki satu pengertian. Pendapat lain mengatakan bahwa taraduf ialah satu makna dan berbeda lafazhnya.[12]
Dalam menyingkapi perbedaan pandangan seputar keberadaan taraduf ini dalam bahasa Arab dan dalam al-Qur’an para pakar linguistik Arab terbagi menjadi dua kelompok yang berseberangan pendapat, ada yang menyetujui dan mengakui bahwa taraduf adalah bukti kekayaan kosa kata Arab. Dan yang mengingkari keberadaannya sehingga mereka melahirkan sebuah kajian baru sebagai tandingannya, mereka namakan dengan istilah al-Furuq al-Lughawiyyah (perbedaan pemakaian kata dan maknanya dalam bahasa.). Salah seorang tokohnya yang terkenal adalah Abu Hilal al-Askari dalam kitabnya “Mu’jam al-Lughawiyyah.

3.     Biografi Abu Hilal Al-Askari
Abu Hilal al-Askari adalah salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam ilmu bahasa, sastra serta ilmu-ilmu lain yang banyak ia tuangkan dalam karya-karyanya. Al-Askari secara detail menjelaskan tentang adanya perbedaan antara dua kata berbeda yang mempunyai arti satu. Nama lengkap beliau adalah Al-Hasan bin ‘Abdillah bin Sahl bin Sa’id bin Yahya bin Mihran Abu Hilal al-‘Askari,  dinisbahkan kepada “Askari Mukaram” dari Kuri al- Ahwazi.[13]. seorang ahli bahasa di zamannya. Karangan beliau sangat banyak, ini semua menunjukkan kehebatannya dalam beberapa ilmu, khususnya ilmu sastra dan bahasa. Diantaranya karangan beliau adalah: al-Talkhis fil-Lughah, Mu’jam fil-Lughah, al-Has ‘ala Thalabi al-‘Ilmi, Kitab al-Shina’ataini: al-Nazham wan-Natsar (Kitab termasyhur diantara kitab-kitabnya), Syarah al-Himasah, al-Awail, al-Farqu Baina al-Ma’aniy, Al-Furuqu fil Lughah, dan lain-lainnya.[14] Dapat kita baca dalam kitab al-Furuqu al-Lughawiyah.
Tahun wafatnya tidak diketahui secara persis, namun beliau  diketahui masih hidup sampai tahun 395 H (1005 M). Sedang penyusun Furuq al-Lughat adalah Sayyid Nuruddin bin Sayyid Ni’matullah al-Jaza’iri, wafat tahun 1158 H.[15]

4.     Hal-hal yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Makna Pada Beberapa Lafazh yang Kelihatannya Memiliki Makna yang Serupa.
Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya perbedaan makna kata dan perbedaan pemakaiannya di dalam bahasa Arab, diantaranya :
a)     Perbedaan pada tarkib huruf yang dimiliki oleh beberpa lafazh yang berdekatan makna, seperti kata رجس yang berkaitan dengan amaliyyah dan نجس yang berkaitan dengan zat.
b)     Perbedaan pada keberadaan mad yang ada di beberapa kata, seperti perbedaan makna جاء yang berarti datang dengan pelan, dan kata أتى yang berarti datang dengan segera.
c)     Perbedaan pada shighat dari satu lafazh yang sama, seperti lafazh أنزل yang bermakna ta’diyah fi daf in wahid, dan lafazh نزل yang bermakna ta’diyah taktsiriyyah.
d)     Perbedaan pada dalalah yang dimiliki oleh masing-masing lafazh, seperti kata  الظهر  صلاة  yang berarti ibadah ritual umat Islam dengan kata  الصلاة النبى  على yang berarti rahmat.
e)     Perbedaan pada idiom kata, seperti kataفى   رغب yang berarti suka danعن   رغب yang berarti benci.[16]
5.     Beberapa Contoh Tentang al-Furuq al-Lughawiyah dan Cakupan Dalalahnya.
Contoh-contoh tentang al-Furuq al-Lughawiyah dan cakupan dalalahnya telah beliau jelaskan dalam karangan beliau yaitu kitab “Al-Furuq al-Lughawiyah yang mencakup 30 bab dilaliyah. Diantara contoh-contoh tersebut adalah:
1)     Perbedaan antara الدعاء  dan اانداء
النداء هو رفع الصوت بماله معنى                                                 
“Al-Nida’” adalah mengangkat/ meninggikan suara dengan tidak ada baginya makna.
Dan orang Arab berbicara kepada sahabatnya:  ناد معي karena itu ia menyeru dengan suara, artinya  أبعد له  (lebih jauh baginya). Sedangkan :  الدعاء adalah:
 برفع الصوت و خفضه                                                                        
“Doa” adalah mengangkat/ meninggikan suara dan merendahkannya. Contoh: دعوته من بعيد  (Aku menyerunya dari jauh), dan   في نفسي  الله  دعو ت (Aku berdo’a kepada Allah dalam diriku). Dan tidak dikatakan orang  ناديته في نفسي

2)     Perbedaan antara Najwa (  النجوى ), dan Sirru (  السر   )
النجوى اسم للكلام الخفي الذي تناجي به صاحبك كأنك ترفعه عن غيره  .              
“An-Najwa” adalah  nama untuk perkataan yang tersembunyi di   mana engkau berbisik-bisik dengan sahabat engkau seolah-olah engkau mengangkatkan suara dari lainnya. Contoh lain adalah من الأرض  ة ةالنجو, Dan dinamakan pembicaraan Allah Ta’ala dengan Nabi  Musa As. Munajah, karena perkataannya tersembunyi dari lainnya.
Sedangkan Sirru (السر  ) adalah:إخفاء الشيء في النفس     As-Sirru” adalah menyembunyikan sesuatu dalam diri/ jiwa. Dan jika tersembunyi disebabkan tutup atau di belakang dinding itu bukanlah dinamakan sir (سر  ).
 سري عند فلانويقال, ia menginginkan sesuatu itu tersembunyi dalam dirinya, dan tidak dikatakan:  اي عندهنجو
النجوى terbentuk dalam jumlah, sesuatu yang ia bisikkan berupa perkataan. Sedangkan السر adalah pemahaman maknanya. Terkadang-kadang ada sir pada ghairu ma’ani yaitu majaz, seperti:
فعل هذا سرا .وقد أسر الأمر . Dan An-Najwa tidak ada terjadi kecuali melalui perkataan.
3)     Perbedaan antara al-Ikhtira’ ( الإختراء) dengan al-Ibtida’ (الإبتداء  )
Al-Ibtida’ adalah mewujudkan sesuatu yang belum ada padanan semisalnya sebelum itu. Dikatakan abda’a fulan, jika dia mendatangkan sesuatu yang asing. Dikatakan pula abda’ahullahu, maka dia adalah mubdi’ dan badi’ ( yang menciptakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya). Sebagaian orang mengkhususkan makna alibtida’ sebagai : mewujudkan ( sesuatu ) tanpa sesuatu sebab. Sedangkan Al-Ikhtira’ adalah mewujudkan ( sesuatu ) tanpa bahan dari sesuatu yang lain.
4)     Perbedaan antara Al-bar’u dan Al –khalqu.
Al-bar’u adalah memilah atau membeda-bedakan bentuk (fisik) mereka mengatakan bara’allahu al-khalqa artinya allah memililah atau membeda-bedakan bentuk makhluknya. Sedangkan al –khalqu secara bahasa berarti menentukan ukuran atau mengatur bentuk. Dikatakan : khalaqtul adim ( saya mengatur kulit ) jika saya mengaturnya menjadi sepatu atau benda lainnya. Dikatakan khaliqa ats-tsaubu dan akhlaqa ats-tsaubu ( baju menjadi usang ) jika tidak tersisa dari baju itu selain bentuknya saja.
5)     Perbedaan antara al-‘amal dengan al-Ja’lu.
Al-‘amal adalah mengadakan pengaruh/ efek pada sesuatu. Dikatakan fulan ya’malu ath-thiina khazafan ( si fulan mengerjakan tanah menjadi forselen). Sedangkan al-Ja’lu adalah mengubah bentuknya dengan mengadakan suatu pengaruh/ efek padanya dan juga dengan selainnya.
6)     Perbedaan antara al-Fathru dan al-Fi’lu.
Al-Fathru adalah menampakkan sesuatu yang baru dengan mengeluarkannya dari ketiadaan kepada keberadaan/ wujud, seakan-akan dibelah sehingga menjadi terlihat. Seperti: Tafaththara asy-syajar, bila dia terbelah dengan (mengeluarkan) daun-daunan; fathartul inaa’a artinya saya memecahkan wadah itu; fatharallahu al-khalqa artinya Allah menampakkan makhluk dengan mengadakan mereka, sebagaimana tampaknya dedaunan bila pohon membelah dirinya (sehingga dedaunan bersemi darinya). Sedangkan Al-Fi’lu adalah ungkapan yang menyatakan sesuatu yang didapati dalam suatu keadaan dimana sebelumnya hal itu telah diatur, baik berasal dari suatu sebab tertentu maupun tidak.
7)     Perbedaan antara al-Kasbu (usaha) dan al-Khalqu.
            Al-kasbu adalah perbuatan yang kembali kepada pelakunya sendiri, entah bermanfaat atau membahayakan. Sebagian orang mengatakan bahwa al-Kasbu adalah apa yang terjadi melalui latihan dan perlakuan tertentu. Dan al-Khalqu sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.

1.     Pengertian Al-Furuq al-Lughawiyah
Istilah al-Furuq al-Lughawiyah ini merupakan sebuah istilah yang terbentuk dan tersusun dari penggabungan dua kata, yaitu kata al-Furuq dan kata al-Lughah. Kata al-Furuq( الفروق ) adalah bentuk jama’ taksir dari kata al-Farq( الفرق ) yang berarti al-Fashli wa al-Tamyiz (memisahkan dan membedakan). Dikatakan:  فرق بين المتشابهين      فلان (Fulan menjelaskan sisi perbedaan antara dua hal yang serupa).
Sedangkan kata al-Lughah secara etimologi berasal dari susunan tiga huruf hijaiyyah. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ia terdiri  huruf ل, غ , و, ada pula yang mengatakan bahwa ia berasal dari huruf, ي     . , غ     ل
Ibnu Manzhur melihat bahwa kata lagha-yalghu-laghwan wa laghan secara bahasa memiliki arti sesuatu yang gugur dan tidak diperhitungkan atau tidak  memiliki manfaat sedikitpun. Baik berupa ucapan maupun hal lainnya.
Imam Al-Azhary mengatakan  bahwa kata al-laghwu, al-lagha atau al-laghwa berarti sebuah ucapan yang tidak berasal dari dalam hati dan tidak terniat untuk mengucapkannya.
Al-Laghwu dalam masalah sumpah sebagaimana tertera dalam firman Allah SWT:225.
 Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun[140].                                                                                       
Halim berarti penyantun, tidak segera menyiksa orang yang berbuat dosa.
Imam an-Nawawi menjelaskan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:
إذا قلت أنصت و الإمام يخطب فقد لغوت . رواه أبو داود
Artinya: Jika engkau mengatakan “diamlah” ketika imam sedang berkhutbah maka sesungguhnya engkau telah melakukan  al-laghw. (H.R. Abu Daud).
Bahwa yang dimaksud dengan al-laghwa pada hadits ini adalah perkataan yang bathil, tidak dibenarkan, tidak wajar, merusak ibadah dan tertolak.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kata al-Lughah secara etimology berarti sesuatu yang jujur, tidak diperhitungkan, bathil, rusak, menyimpang dan tidak memberi manfaat, baik dari perkataan maupun hal lainnya.
Adapun secara terminologi, Imam al-Jurjaniy menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata al-Lughah adalah:
ما يعبر بها كل قوم عن أغراضهم.
"Adalah ungkapan yang digunakan setiap kelompok kaum untuk mengutarakan maksud dan tujuan mereka.
Demikian juga Ibnu Jinni mendefinisikan kata al-lughah, dia mengatakan bahwa al-lughah itu adalah:
أصوات يعبر بها كل قوم من أغراضهم
“Yaitu suara yang digunakan suatu kaum untuk mengutarakan    maksud dan tujuan mereka”.
Sedangkan Ibrahim Anis mendefinisikan al-lughah (اللغة   ) yaitu:
عرفي لرموز صوتية يستغلها الناس في الإتصال بعضهم ببعض .نظام
“Susunan adat (‘uruf) untuk rumus suara yang dipergunakan oleh manusia dalam berhubungan satu sama lain”.
Kata al-Lughawiyyah merupakan bentuk na’at dari kata al-Furuq yang berada sebelumnya. Ia merupakan na’at jamid dengan cara menambahkan huruf ya nisbah pada akhir katanya.
Dengan menggabungkan pengertian dari dua kata di atas dapat kita jelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Furuq al-Lughawiyyah adalah perbedaan yang terdapat pada beberapa kata alam satu bahasa serta perbedaan pemakaiannya yang kelihatan serupa atau berdekatan dari segi makna, sehingga dapat menghantarkan seseorang kepada keputusan bahwa sebagian kata merupakan penjelasan atau pengkhususan bagi kata lain yang berdekatan makna dengannya.
Sedangkan pengertian Dalalah/ Dilalah ( الدلالة ) ada dua istilah yang harus dipahami yaitu al-Dal ( الدال ) dan al-Madlul ( المدلول ). Al-Dal adalah Lafazh, Al-Madlul adalah Makna Lafazh.
Contoh: الصلاة  (shalat) ini namanya al-dal, dan madlulnya adalah adalah do’a (makna bahasa/ lughawi).
Dengan melihat dari pengertian di atas maka dalalah adalah:
الدلالة هي فهم امر من امر ويسمى الأمر الاول مدلولا والامر الثانى دالا
“Dalalah adalah proses pemahaman sesuatu dari sesuatu yang lain, sesuatu yang pertama disebut madlul (yang ditunjuk), sedangkan yang kedua disebut dal (yang menunjuk).
Al-Jurjaniy mendefinisikan dilalah: 10
الدلالة هي كون الشيء بحالة يلزم من العلم به العلم بشيء آخر ،و الشيء الأول هو الدال ،  و الثاني هو المدلول                                                            
  Dilalah adalah keadaan sesuatu dengan hal yang melazimi dari ilmu, yang dengan ilmu itu juga melazimi sesuatu yang lain. Sesuatu yang pertama disebut al-Dal, dan sesuatu yang kedua disebut al-Madlul.
B.     Pengertian Dalalah | Macam-Macam Dalalah
Secara bahasa kata “دلا لـة” adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “دل- يـدل” yang berarti menunjukan dan kata dilâlah sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan. Adapun menurut istilah sebagaimana disebutkan oleh Quthub Mustafa Sanu bahwa yang dimaksud dengan dilâlah adalah ;
كـون الشـئ بـحـالـة يـلـزم مـن الـعـلم بـه الـعـلم بشـئ أخـر.
Dilâlah itu ialah keadaan sesuatu yang dapat memastikan untuk mengetahui yang lainnya.
  1. Pengertian Dalalah.
Secara umum dalalah berarti memahami sesuatu atas sesuatu. Kata ‘sesuatu’ yang disebutkan pertama disebut madlul berarti ‘yang ditunjuk’. Adapun hubungannya dengan hukum, yang disebut madlal adalah hukum itu sendiri. Kata ‘sesuatu’ yang kedua disebut dalil, bermakna ‘yang diberi petunjuk’. Dalam kaitannya dengan hukum, dalil itu disebut ‘dalil hukum’.
Dalam ilmu ushul fikih dapat ditegaskan bahwa dalalah adalah pengertian yang ditunjuk oleh suatu lafadh kepada makna tertentu pembahasan tentang dilalah memiliki peranan penting dalam ilmu logika dan ushul fiqih. Dalam berfikir dengan pola dilala tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup menggunakan petunjuk dan isyarat yang ada. Pola berfikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berfikir dilalah.
Dengan kata lain, dilâlah itu ialah penunjukan suatu lafal nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil nash.  Dilâlah lafal  itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukan oleh suatu lafal  nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat berikut ini:
وَاَحَـلَّ اللهُ الْـبَـيْـعَ وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا … (البـفـرة ٢:٢٧٥)                 
Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’.
Dilalah atau penunjukkan yang dapat dipahami dari ayat ini adalah bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba’ itu hukumnya haram, karena makna atau pengertian inilah yang segera dan mudah ditangkap oleh akal seseorang.Pembahasan tentang dilâlah ini sangat penting dalam ilmu ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Menurut Amir Syarifuddin.[17] bahwa untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berpikir secara dilâlah.
2.     Sejarah Munculnya Istilah al-Furuq al-Lughawiyah        
Istilah al-Furuq al-Lughawiyah ini muncul sebagai reaksi terhadap perselisihan pendapat tentang adanya taraduf (persamaan makna kata) dalam bahasa Arab. Taraduf adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan satu benda yang memiliki banyak nama. Menurut bahasa taraduf (synonyme) berarti kata yang berbeda lafazhnya namun memiliki makna yang sama atau pemakaian yang bermacam-macam kata untuk suatu pengertian.  Taraduf berasal dari kata ردف setimbangan  تفاعل dengan makna musyarakah. Sedangkan menurut istilah, taraduf memiliki beberapa pengertian. Diantaranya:
a.      Menurut al-Jurjani ada beberapa definisi taraduf, yaitu:
·       Taraduf ialah sesuatu yang berarti satu tetapi maknanya banyak.
·       Taraduf ialah suatu ungkapan yang memiliki satu pemahaman.
Al-Jurjani menyebutkan bahwa hal ini dinamakan taraduf karena ia memiliki nama yang banyak untuk menunjukkan satu makna.
b.     Menurut Imam Fakhruddin, taraduf ialah lafazh tunggal yang memiliki satu pengertian. Pendapat lain mengatakan bahwa taraduf ialah satu makna dan berbeda lafazhnya.
Dalam menyingkapi perbedaan pandangan seputar keberadaan taraduf ini dalam bahasa Arab dan dalam al-Qur’an para pakar linguistik Arab terbagi menjadi dua kelompok yang berseberangan pendapat, ada yang menyetujui dan mengakui bahwa taraduf adalah bukti kekayaan kosa kata Arab. Dan yang mengingkari keberadaannya sehingga mereka melahirkan sebuah kajian baru sebagai tandingannya, mereka namakan dengan istilah al-Furuq al-Lughawiyyah (perbedaan pemakaian kata dan maknanya dalam bahasa.). Salah seorang tokohnya yang terkenal adalah Abu Hilal al-Askari dalam kitabnya “Mu’jam al-Lughawiyyah.
3.     Biografi Abu Hilal Al-Askari
Abu Hilal al-Askari adalah salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam ilmu bahasa, sastra serta ilmu-ilmu lain yang banyak ia tuangkan dalam karya-karyanya. Al-Askari secara detail menjelaskan tentang adanya perbedaan antara dua kata berbeda yang mempunyai arti satu. Nama lengkap beliau adalah Al-Hasan bin ‘Abdillah bin Sahl bin Sa’id bin Yahya bin Mihran Abu Hilal al-‘Askari,  dinisbahkan kepada “Askari Mukaram” dari Kuri al- Ahwazi . seorang ahli bahasa di zamannya. Karangan beliau sangat banyak, ini semua menunjukkan kehebatannya dalam beberapa ilmu, khususnya ilmu sastra dan bahasa. Diantaranya karangan beliau adalah: al-Talkhis fil-Lughah, Mu’jam fil-Lughah, al-Has ‘ala Thalabi al-‘Ilmi, Kitab al-Shina’ataini: al-Nazham wan-Natsar (Kitab termasyhur diantara kitab-kitabnya), Syarah al-Himasah, al-Awail, al-Farqu Baina al-Ma’aniy, Al-Furuqu fil Lughah, dan lain-lainnya. Dapat kita baca dalam kitab al-Furuqu al-Lughawiyah.
Tahun wafatnya tidak diketahui secara persis, namun beliau  diketahui masih hidup sampai tahun 395 H (1005 M). Sedang penyusun Furuq al-Lughat adalah Sayyid Nuruddin bin Sayyid Ni’matullah al-Jaza’iri, wafat tahun 1158 H.
4.     Hal-hal yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Makna Pada Beberapa Lafazh yang Kelihatannya Memiliki Makna yang Serupa.
Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya perbedaan makna kata dan perbedaan pemakaiannya di dalam bahasa Arab, diantaranya :
a)     Perbedaan pada tarkib huruf yang dimiliki oleh beberpa lafazh yang berdekatan makna, seperti kata رجس yang berkaitan dengan amaliyyah dan نجس yang berkaitan dengan zat.
b)     Perbedaan pada keberadaan mad yang ada di beberapa kata, seperti perbedaan makna جاء yang berarti datang dengan pelan, dan kata أتى yang berarti datang dengan segera.
c)     Perbedaan pada shighat dari satu lafazh yang sama, seperti lafazh أنزل yang bermakna ta’diyah fi daf in wahid, dan lafazh نزل yang bermakna ta’diyah taktsiriyyah.
d)     Perbedaan pada dalalah yang dimiliki oleh masing-masing lafazh, seperti kata  الظهر  صلاة  yang berarti ibadah ritual umat Islam dengan kata  الصلاة النبى  على yang berarti rahmat.
e)     Perbedaan pada idiom kata, seperti kataفى   رغب yang berarti suka danعن   رغب yang berarti benci.
5.     Beberapa Contoh Tentang al-Furuq al-Lughawiyah dan Cakupan Dalalahnya.
Contoh-contoh tentang al-Furuq al-Lughawiyah dan cakupan dalalahnya telah beliau jelaskan dalam karangan beliau yaitu kitab “Al-Furuq al-Lughawiyah yang mencakup 30 bab dilaliyah. Diantara contoh-contoh tersebut adalah:
1)     Perbedaan antara الدعاء  dan اانداء
النداء هو رفع الصوت بماله معنى                                                
“Al-Nida’” adalah mengangkat/ meninggikan suara dengan tidak ada baginya makna.
Dan orang Arab berbicara kepada sahabatnya:  ناد معي karena itu ia menyeru dengan suara, artinya  أبعد له  (lebih jauh baginya). Sedangkan :  الدعاء adalah:
 برفع الصوت و خفضه                                                                        
“Doa” adalah mengangkat/ meninggikan suara dan merendahkannya. Contoh: دعوته من بعيد  (Aku menyerunya dari jauh), dan   في نفسي  الله  دعو ت (Aku berdo’a kepada Allah dalam diriku). Dan tidak dikatakan orang  ناديته في نفسي
2)     Perbedaan antara Najwa (  النجوى ), dan Sirru (  السر   )
النجوى اسم للكلام الخفي الذي تناجي به صاحبك كأنك ترفعه عن غيره  .             
“An-Najwa” adalah  nama untuk perkataan yang tersembunyi di            mana engkau berbisik-bisik dengan sahabat engkau seolah-olah engkau mengangkatkan suara dari lainnya. Contoh lain adalah من الأرض  ة ةالنجو, Dan dinamakan pembicaraan Allah Ta’ala dengan Nabi  Musa As. Munajah, karena perkataannya tersembunyi dari lainnya.
Sedangkan Sirru (السر  ) adalah:       إخفاء الشيء في النفس       “As-Sirru” adalah menyembunyikan sesuatu dalam diri/ jiwa. Dan jika tersembunyi disebabkan tutup atau di belakang dinding itu bukanlah dinamakan sir (سر  ).
 سري عند فلانويقال, ia menginginkan sesuatu itu tersembunyi dalam dirinya, dan tidak dikatakan:  اي عندهنجو النجوى
terbentuk dalam jumlah, sesuatu yang ia bisikkan berupa perkataan. Sedangkan السر adalah pemahaman maknanya. Terkadang-kadang ada sir pada ghairu ma’ani yaitu majaz, seperti:
فعل هذا سرا .وقد أسر الأمر .
 Dan An-Najwa tidak ada terjadi kecuali melalui perkataan.
3)     Perbedaan antara al-Ikhtira’ ( الإختراء) dengan al-Ibtida’ (الإبتداء  )
Al-Ibtida’ adalah mewujudkan sesuatu yang belum ada padanan semisalnya sebelum itu. Dikatakan abda’a fulan, jika dia mendatangkan sesuatu yang asing. Dikatakan pula abda’ahullahu, maka dia adalah mubdi’ dan badi’ ( yang menciptakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya). Sebagaian orang mengkhususkan makna alibtida’ sebagai : mewujudkan ( sesuatu ) tanpa sesuatu sebab. Sedangkan Al-Ikhtira’ adalah mewujudkan ( sesuatu ) tanpa bahan dari sesuatu yang lain.
4)     Perbedaan antara Al-bar’u dan Al –khalqu. Al-bar’u adalah memilah atau membeda-bedakan bentuk (fisik) mereka mengatakan bara’allahu al-khalqa artinya allah memililah atau membeda-bedakan bentuk makhluknya. Sedangkan al –khalqu secara bahasa berarti menentukan ukuran atau mengatur bentuk. Dikatakan : khalaqtul adim ( saya mengatur kulit ) jika saya mengaturnya menjadi sepatu atau benda lainnya. Dikatakan khaliqa ats-tsaubu dan akhlaqa ats-tsaubu ( baju menjadi usang ) jika tidak tersisa dari baju itu selain bentuknya saja.
5)     Perbedaan antara al-‘amal dengan al-Ja’lu.
Al-‘amal adalah mengadakan pengaruh/ efek pada sesuatu. Dikatakan fulan ya’malu ath-thiina khazafan ( si fulan mengerjakan tanah menjadi forselen). Sedangkan al-Ja’lu adalah mengubah bentuknya dengan mengadakan suatu pengaruh/ efek padanya dan juga dengan selainnya.
6)     Perbedaan antara al-Fathru dan al-Fi’lu.
 Al-Fathru adalah menampakkan sesuatu yang baru dengan mengeluarkannya dari ketiadaan kepada keberadaan/ wujud, seakan-akan dibelah sehingga menjadi terlihat. Seperti: Tafaththara asy-syajar, bila dia terbelah dengan (mengeluarkan) daun-daunan; fathartul inaa’a artinya saya memecahkan wadah itu; fatharallahu al-khalqa artinya Allah menampakkan makhluk dengan mengadakan mereka, sebagaimana tampaknya dedaunan bila pohon membelah dirinya (sehingga dedaunan bersemi darinya). Sedangkan Al-Fi’lu adalah ungkapan yang menyatakan sesuatu yang didapati dalam suatu keadaan dimana sebelumnya hal itu telah diatur, baik berasal dari suatu sebab tertentu maupun tidak.
7)     Perbedaan antara al-Kasbu (usaha) dan al-Khalqu.
Al-kasbu adalah perbuatan yang kembali kepada pelakunya sendiri, entah bermanfaat atau membahayakan. Sebagian orang mengatakan bahwa al-Kasbu adalah apa yang terjadi melalui latihan dan perlakuan tertentu. Dan al-Khalqu sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.
Dalalah atau petunjuk lafaz memiliki beberapa macam, hanya saja dalam pembagiannya tidak ada kesepakatan yang sama dari ulama ushul fikih, sehingga terdapat beberapa pendapat dalam pembagian dilalah tersebut, dan menurut ulama Hanafiyah dalalah dibagi dalam empat bagian.
1.      Dalalah ibarah al-nas
Yang dimaksud dengan Ibârat al-Nash ialah:
عــبـارة الـنـص هـي دلا الـكلآ م عــلى الـمـعـنـى الـمـقـصود مـنـه ا مـا أصالـة أوتــبـعـا
Ibarat nash ialah petunjuk kalimat (lafal) kepada pengertian yang dikehendaki sesuai dengan apa yang dituturkan langsung oleh kalimat itu sendiri[18]
Definisi lain, sebagaimana diungkapkan oleh Quthub Mustafa Sanu adalah:
عــبـارة الـنـص هـي دلا لـة الـفــظ عــلى مـا كان الـكلا م مـسـوقـا لآجـلـه أصا لـة أ و تـبـعـا وعـلـم قـبـل الـتـأ مـل أن ظا هـر اللـفـظ يـتـنـا ولـه.
Ibarat al-Nash ialah petunjuk lafal yang didasarkan pada susunan kalimatnya sendiri secara langsung dan ia dapat diketahui dengan mudah dan jelas yang tercakup di dalamnya.
Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa, Ibârat al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu sendiri. Sebagai contoh Firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat 275 berikut ini.
وَاَحَـلَّ اللهُ  الْبَــيْـعَ وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا
Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’
Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ayat ini arti asalnya adalah menjelaskan antara jual beli dan riba’ itu dua hal yang berbeda atau tidak sama. Kemudian ayat ini diartikan pula bahwa jual beli itu boleh dan riba’ itu haram.Kedua pengertian ini dipahami atau diperoleh dari petunjuk susunan lafal yang terdapat dalam ayat.
Menurut arti istilah (terminologi) ulama ialah Petunjuk lafaz kepada sesuatu arti atau hukum yang dimaksud untuk  arti asli maupun arti tab’i dikatakan demikian karena petunjuk lafaz tersebut ditunjukkan pada arti zhahirnya saja (zahiru al-nas) atau bermakna tekstualnya saja. Sebagaimana dikatakan Badran Abul Aini : dalalah ibarah al-nas ialah petunjuk lafaz pada artinya yang cukup jelas baik dimaksud sebagai arti asli maupun arti tab’i.
Oleh sebab itu ibarat al-nas mencakup semua lafaz-lafaz yang sudah jelas maknanya seperti;
–          Al-zhahir
–          Al-nas
–          Al-muhkam
–          Al-mufassar
Karena semua lafaz-lafaz tersebut jelas maknanya dan tidak lagi membutuhkan faktor luar dalam memahami maksud maknanya.Dengan demikian lafaz dalam dalalah ibarah al-nas bukanlah petunjuk lafaz kepada arti yang tidak jelas dan bukan pula petunjuk lafaz kepada arti yang tersurat. Sehingga dalam memahaminya tidak perlu mencari arti yang tersembunyi pada lafaz tersebut karena telah memiliki kejelasan makna.
Dalalah ibarah al-nas dalam ayat tersebut di atas menunjukkan dua arti, yakni arti asli dan arti tab’i. Adapun yang menjadi arti asli yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas dari ayat tersebut di atas yaitu bahwa ‘jual beli tidak sama dengan riba’. Arti ini dikatakan sebagai arti asli, karena mula-mula dimaksudkan dengan susunan lafaz nas adalah untuk  menolak asumsi bahwa jual beli sama dengan riba seperti yang disebutkan pada ayat sebelumnya
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.
Sedangkan arti tab’i yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas adalah bahwa hukum jual beli adalah halal dan hukum riba adalah haram. Arti ini disebut dengan arti tab’i. Karena merupakan arti lain dari ayat tersebut yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas.
Menurut Abd. Wahab Khallaf, sighat nas dalam QS. al-Baqarah (2): 275, menunjukkan dengan dalalah yang jelas atas dua makna, yang masing-masing makna dikehendaki dari susunan kalimatnya, yaitu pertama, meniadakan persamaan antara jual beli dengan riba, kedua bahwasannya hukum jual beli dihalalkan dan hukum riba diharamkan. Kedua makna itu dipahami dari susunan kalimat nas tersebut dan dimaksudkan dari susunannya, akan tetapi makna yang pertama dikehendaki secara asal dari susunannya, karena ayat tersebut dikemukakan untuk  membantah opini orang-orang kafir yang mengatakan bahwasannya jual beli itu adalah seperti riba, sedangkan makna yang kedua dimaksudkan dari susunan kalimatnya secara mengikut, karena sesungguhnya penafian persamaan diikuti dengan penjelasan hukum masing-masing dari kedua duanya, sehingga dari perbedaan hukum tersebut diambil kesimpulan bahwasannya kedua hal tersebut tidaklah sama. Kalau sekiranya Allah mencukupkan pada makna yang dikehendaki dari susunan kalimatnya saja secara asal. Niscaya Allah mengatakan, ….padahal jual beli itu tidaklah seperti riba.
Contoh firman QS al-Hasyr (59) 7
Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;
Arti asli yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas ialah apa yang diberikan Rasul dari harta rampasan ketika dilakukan pembagian maka terimalah dan yang dilarang bagimu dari harta rampasan itu maka tinggalkanlah. Arti ini dikatakan sebagai arti asli karena susunan lafaz dalam ayat tersebut terkait dengan pembagian harta rampasan perang sebagaimana yang diterangkan sebelumnya.
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
Sedangkan arti tab’i yang dapat dipahami dengan dalalah al-nas dari ayat tersebut adalah wajib taat kepada Rasulullah pada setiap yang diperintahkan dan yang dilarang.
2.      Isyarah al-nas
Yang dimaksud dengan Isyarat al-Nash ialah ;
هـى الـد لا لـة اللـفــظ عـلى حـكم لـم يـقـصد أصا لـة ولا تـبـعـا ولكـنـه لازم للـمـعـنى الذى سـيـق الـكلا م لا فـاد تـه.
Isyarat dan al-nash ialah penunjukkan lafal atas suatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan langsung oleh lafal nash tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan diungkapkan untuk itu[19]
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa isyârat al-nash itu sesungguhnya adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya.Tegasnya, isyârat al-nash itu ialah dilâlah lafal yang didasarkan atas arti yang tersirat, bukan atas dasar yang tersurat. Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Baqarah, ayat 233:
وَعَـلَى الْمَوْلُوْدِ لَــهُ رِزْقُــهُـنَّ وَكِـسْـوَتُهُـنَّ بِالْمَعْـرُوْفِ … (البقـرة / ۲ :۲۳۳)
Dan kewajiban Ayah (suami) memberi nafkah dan pakaian dengan layak kepada isteri …
menurut arti istilah (terminology) ulama ushul adalahPetunjuk lafaz kepada arti atau hukum yang dipahami dengan jalan mengambil kelaziman dari arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas.
Secara ibarat Nash pengertian yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa Ayah (suami) wajib mengayomi isteri-isteri mereka berupa pemberian nafkah dan pakaian, bahkan tempat tinggal secara layak dan patut (ma’ruf). Menurut Amir Syarifuddin[20]bahwa ungkapan “المولودلـه” yang diartikan dengan ayah adalah sebagai pengganti kata “الاب” dalam ayat di atas. Akan tetapi mengapa Allah menggunakan kata “المولود له” dalam ayat ini.Dalam pandangan para Mujtahid tentu ada maksud yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa. Ungkapan “المولود له” adalah terdiri dua unsur kata, yaitu “المولود”yang arti dasarnya adalah “anak yang dilahirkan, dan kata “له” yang  berarti “untuknya” dan kata “له” itu sendiri dimaksud-kan di sini adalah ayah. Sehingga “ungkapan” “المولود له” arti asalnya “anak untuk ayah”. Oleh karena itu, ungkapan lafal “المولود له” mengandung arti lain. Selain dari arti yang disebutkan, yaitu anak adalah milik ayah dan oleh karenanya anak-anak yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Pengertian yang disebut terakhir ini merupakan “Isyarat” yang dapat ditangkap dibalik susunan lafal nash.
Menurut Abu Zahrah dilalah ibarah al-nas yaitu dengan menyimpulkan satu hukum dari arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas. Contoh ini dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah (2): 236:
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.
Arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas ialah boleh mentalak istri  yang belum digauli serta belum ditentukan maharnya. Dari arti tersebut dapat disimpulkan hukum lain bahwa perkawinan tanpa ditentukan maharnya terlebih dahulu adalah sah. Karena talaknya sah maka pernikahannya juga sah karena talak yang sah itu dari pernikahan yang sah. Hukum ini dapat dipahami dari istilah isyarah al-nas karena hukum itu tidak tertera dalam ayat tetapi merupakan suatu kelaziman baik secara akal maupun kebiasaan.
3.      Dalalah al-nas Dilâlat al-Nash ini disebut juga dengan dilâlat al-dilâlat. Adapun yang dimaksud dengan dilâlat al-dilâlat adalah
دلا لـة الـنص هـى دلا لـة الـكلا م عـلـى ثـبـوت حـكـم المنصوص عـلـيه المـسـكـوت عـنـه لا شـتــراكهـما فى عـلـة الحكم التى يـمكـن فـهـمهـا بـمجـرد فـهـم اللـغـة مـن غـيـر احـتـيـاج الى نـظـرواجـتـهـا د
Dilalat Nash ialah petunjuk lafal atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan Nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena antara kedua yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat pertautan ‘illat, dimana pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah, yang cukup dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan daya nalar[21]
Menurut Romli, Dalalah al-Nash adalah penunjuk lafal nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapatnya persamaan ‘illat antara keduanya.
Contoh: Untuk maksud ini dapat dilihat dalam surat al-Isra’ ayat 23 berikut ini :
فَلأَ تَـقُـلْ لَــهُـمَا أُ فٍّ وَلَا تَـنْـهَرْهُـمَا..
Maka janganlah kamu mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tuamu dan jangan pula kamu hardik mereka berdua
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita “tidak boleh” atau “dilarang” mengucapkan kata-kata “ah” atau “cis” dan menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah “menyakitkan” perasaan kedua orang tua. Ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada perbuatan misalnya “memukul” atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya yang pada dasarnya membawa akibat yang sama yaitu menyakitkan orang tua baik perasaan maupun fisik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apapun perbuatan atau tindakan yang dilakukan, selain ucapan “ah” atau hardikan yang dapat menyakiti kedua orang tua adalah  dilarang dan mengakibatkan seseorang berdosa kepada Allah SWT.
menurut istilah ulama usul adalah Petunjuk lafaz kepada berlakunya suatu hukum yang disebut oleh lafaz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumya oleh suatu lafaz karena ada persamaan makna yang dipahami oleh ahli bahasa bahwa itu adalah illah yang menjadi sebab adanya hukum itu.
Perlu dijelaskan bahwa illah dalalah al-nas adalah jelas dan dapat dipahami dari susunan kalimat atau bahasa dari nas itu sendiri dan bukan illah yang dihasilkan dari ijtihad. Atas dasar ini ulama membedakan antar dalalah al-nas dengan qiyas. Ilah dalalah al-nas dapat dipahami dari lafaz atau dari sisi bahasa. Sementara Ilah dalam qiyas tidak bisa dipahami kecuali dengan jalan ijtihad. Namun demikian imam Syafi’i  menyamakan antara dalalah al-nas dengan qiyas karena hukum dihasilkan oleh keduanya berdasarkan dengan illah.Contoh;
 ketika Allah swt melarang suatu perbuatan, maka bukan sekedar perbuatan itu yang dilarang, tapi yang lebih penting lagi adalah apa yang ditimbulkan setelah pekerjaan itu dilakukan atau kesan apa yang ditimbulkan setelah pekerjaan itu terjadi, apakah menimbulkan manfaat atau mudarat, mafsadat atau mashlahat dari akibat inilah muncul suatu hukum, wajib, haram dan lain-lain.
Contoh firman Allah swt QS. Al-Isra (17) 23
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
Maka lafaz ‘ah’ atau  al-ta’fif satu ungkapan untuk  menyatakan ketidak senangan atau penolakan kita atas perintah orang lain dan ucapan itu dapat menyakiti hati atau perasaan orang lain, sementara dalam pandangan Islam menyakiti perasaan  sama hukumnya dengan menyakiti badan, bahkan terkadang dampaknya lebih besar lagi, apalagi kalau yang melakukan itu adalah anak kepada orang tuanya. Ini dipahami dari pemahaman bahasa semata tanpa ada unsur ijtihad di dalamnya.
Demikian pulalah kalimat memukul dari sisi bahasa kata ‘memukul’ adalah kata yang sudah dipahami oleh semua orang baik bentuknya maupun tujuannya, dan tujuannya adalah untuk  memberikan rasa sakit seseorang baik fisik maupun perasaan dan lebih menyakitkan lagi jika kalau itu dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya; maka memahami makna dan tujuannya tidak membutuhkan ijtihad, hanya dipahami dari sisi bahasa dan asar yang ditimbulkannya.
Contoh lain firman Allah swt QS. An-Nisa (5) : 10
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Arti ayat yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas adalah haram makan harta anak yatim secara zhalim sedangkan illah larangan yang diambil dari ayat tersebut adalah karena perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap harta  anak yatim, yang mana ia tidak mampu melawan tindakan pelanggaran itu dan illah ini sama akibatnya pada perbuatan-perbuatan yang tidak disebut oleh ayat di atas, seperti membakar, menenggelamkan dan seterusnya, karena akibatnya sama  yaitu melenyapkan harta anak yatim, maka dengan dalalah al-nas perbuatan perbuatan tersebut juga sebagai perbuatan melanggar hukum.
4.      Dalalah al-Iqtida’a
Dilâlah al-Iqtidhâ’al- nash’ ini disebut juga dilâlat al-qtidlâ’. Yang  maksud dengan iqtidhâ’al- nash ialah:
اقـتـضاء الـنـص هى دلا لـة الكلآ م عـلى مـسـكوت عـنـه يـتـو قــف عـلـيه صدق الكلآ م.
Iqtidla’ al-nash ialah penunjukan lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang sebenarnya tergantung kepada yang tidak disebutkan.[22]
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa suatu petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash. Menurut Romli, Iqtida’ al-Nash adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya. Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Ma’idah, ayat 3 berikut ini:
حُـرِّمَتْ عَـلَيْـكُمُ الْـمَـيْـتَــةَ وَالدَّمَ وَلَحْـمَ الْـخِـنْـزُيْـرِ…
Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi
Pengertian ayat ini belum jelas.Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata dari luar teks.Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau memanfaatkan darah dan daging babi.Sebab keharaman tanpa hubungan dengan perbuatan manusia tidak ada manfaatnya.
Petunjuk lafaz terhadap suatu makna yang dipahami dari makna yang ditakdirkan kepada berlakunya suatu hukum sebagaimana yang dimaksudkan oleh al-syari.  Kebenaran dan kesahihan makna tersebut sangat tergantung kepada makna yang ditakdirkan itu baik secara syara maupun secara akal.
Contoh sabda Rasulullah saw Diangkat dari umatku, kesalahan, dan lupa dan apa yang dipaksakan atasnya.
Secara zahir hadis ini menunjukkan bahwa, kesalahan, sifat lupa dan dipaksa, tidak akan menimpa seseorang, tetapi ini bertentangan dengan kenyataan karena manusia bukanlah  makhluk yang ma’sum.
Begitupulah ketika manusia melakukan sesuatu karena lupa atau dipaksa, maka sesungguhnya pekerjaan itu tidaklah diangkat atau dihapus karena pekerjaan itu tetap ada.Oleh sebab itu apa yang dikhabarkan Rasul saw kepada kita menyalahi kenyataan, tetapi Rasulullah tidak pernah mengucapkan kecuali kebenaran, maka dapat dipahami bahwa disitu ada makna yang harus ditakdirkan supaya makna menjadi sempurna.
A.     Perbedaan Metode-metode menurut Mazhab Hanafi
Dalam pandangan ulama ushul, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah “ibârat al-nash, kemudian menyusul isyârat al-nash dan setelah itu baru  dilâlat al-nash  dan yang terakhir adalah iqtidlâ’ al-nash. Sebagaimana dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban7. bila terjadi perlawanan hukum yang didasarkan pada ibârat al-nash dengan suatu ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan isyârat nash, maka ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibârat al-nash lebih didahulukan dari pada isyârat al-nash. Begitu pula jika terjadi pertentangan ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibârat nash atau isyârat nash dengan dilâlat al-nash, maka lebih didahulukan salah satu dari keduanya dari pada dilâlat al-nash. Bila terjadi pertentangan antara dilâlat al-nash dengan iqtidlâ’ al-nash, maka dilâlat al-nash lebih didahulukan atas iqtidlâ’ al-nash. Sebagai contoh adalah firman Allah: Surat al-Baqarah ayat 178 berikut ini:
يـَاَيُّـهَـاالَّـذِ يْـنَ امَـنِـوْا كُـتِـبَ عَـلَـيْـكُـمُ الْـقِـصَاصُ فِى الْـقَـتْـلَى
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu (melaksanakan qishash dalam pembunuhan
Ayat ini dilihat dari segi ibârat nash menunjukkan wajibnya melaksanakan qishash bagi pembunuh sengaja. Kemudian Firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 93 berikut ini:
وَمَـنْ يَـقْـتُـلْ مُـؤْ مِـنًـا مُـتَـعَـمُّـدًا فَـجَـزَاؤُهُ جَـهَـنَّـمَ خـَالُـدٌا فِـيْـهـَا وَغَـضِـبَ اللهُ عَـلَـيْـهِ وَلَـعَـنَّـهُ وَاَعَـدَّ لَـهُ عَـذَا بًـا عَـظِـيْـمًـا” ( النساء/ ٤:۹۳)
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah akan murka dan melaknatnya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya.
Ayat ini dengan cara isyârat menunjukkan batas ketiadaan wajibnya qishash bagi pembunuh sengaja. Oleh sebab itu, ayat ini berlawanan dengan ayat sebelumnya yang secara ibârat nash mewajibkan qishash atas pembunuhan sengaja. Karena itu, ketetapan suatu ketentuan hukum dengan ibârat nash lebih diutamakan dari isyârat nash, yaitu dalam hal ini wajibnya qishash bagi pembunuhan sengaja.
















C.    PENUTUP

Al-Furuq al-Lughawiyah lahir sebagai reaksi terhadap ketidak sepakatan  para ahli bahasa Arab tentang keberadaan taraduf  dalam bahasa Arab dan dalam al-Qur’an. Kajian tentang al-Furuq al-Lughawiyah dapat mengantarkan seseorang kepada makna yang sebenarnya yang dimiliki oleh masing-masing kata.
Dengan mempelajari al-Furuq al-Lughawiyah ini dapat membantu kita menemui perbedaan mendasar yang dimiliki oleh masing-masing kata dalam bahasa Arab dan dalam al-Qur’an, sesuai dengan dalalahnya.
Dari contoh-contoh yang telah dijelaskan di atas dapat kita pahami bahwa jika ada dua kata yang berbeda tapi berdekatan arti maka maknanya tetap harus berbeda. Jadi memang tidak ada kata-kata yang benr-benar mempunyai arti yang sama persis. Sehingga tidak selalu memungkinkan digunakan untuk sebuah konteks kalimat yang sama.

Apakah Anda pernah kebingungan membedakan antara hasan, khair, ma’ruf, dan birr, karena semua diterjemahkan dengan arti “baik”  Atau, apa bedanya qira’ah, tilawah dan tartil, sebab ketiganya dialih bahasakan sebagai “membaca”.
Jika Anda tertarik dan memerlukan perbedaan-perbedaan halus diantara berbagai istilah Arab yang terkesan sama tersebut, maka Anda bisa menemukannya dalam Mu’jam al-Furuq al-Lughawiyah (kamus perbedaan-perbedaan kebahasaan), sebuah “kamus” yang digabungkan oleh Syaikh Baitullah Bayyat dan tim peneliti Muassasah an-Nasyr al-Islami dari dua karya serupa, yaitu al-Furuq al-Lughawiyah karya Abu Hilal al-‘Askary dan Furuqu al-Lughat karya Sayyid Nuruddin bin Sayyid Ni’matullah al-Jaza’iri. Dalam pengantar edisi gabungan disebutkan pula sebagian nama anggota tim peneliti tsb, yaitu Syaikh ‘Ali ath-Thabathaba’iy, Syaikh Riyadh ar-Rawi, dan Abu Haidar al-Jawahiri.
Kitab ini telah dicetak secara terbatas di Qum, Iran, pada 1412 H, setebal 630 halaman, dalam 1 jilid saja, dan di dalamnya memuat 2.362 entri berupa kelompok kata yang sebenarnya berbeda-beda maknanya namun mempunyai kemiripan dalam banyak segi. Sebagaimana umumnya kamus, kitab ini disusun secara alfabetis. Pada entri pertama, disajikan perbedaan antara al-aatsim ( الآثم ) dengan al-atsiim ( الأثيم ), dan pada entri terakhir dikemukakan perbedaan antara al-yaum ( اليوم ) dengan an-nahar ( النهار ).
Nama lengkap penyusun al-Furuq al-Lughawiyah adalah Abu Hilal al-Hasan bin ‘Abdullah bin Sahl bin Sa’id Ibnu Yahya bin Mihran al-‘Askari, seorang ahli bahasa di zamannya. Tahun wafatnya tidak diketahui secara persis, namun beliau diketahui masih hidup sampai tahun 395 H (1005 M). Sedang penyusun Furuq al-Lughat adalah Sayyid Nuruddin bin Sayyid Ni’matullah al-Jaza’iri, wafat tahhun 1158 H.
Kitab yang pertama sebenarnya memiliki format penyusunan yang berbeda dengan bentuk gabungannya. Maka, dilatari format aslinya yang agak sukar dipergunakan, sementara isinya sangat penting, Syekh Baitullah Bayyat pun berinisiatif mengedit ulang karya tersebut dan mengurutkannya secara alfabetis. Ada lima hal yang beliau pegang dalam proses tersebut, yaitu: (1) membiarkan kandungan aslinya tetap terjaga sebagaimana semula, kecuali muqaddimah yang sengaja dibuang; (2) membuang perulangan, dan jika terjadi perulangan, maka cukup diberikan rujukan kepada entri yang mengulangnya, baik sebelum maupun sesudahnya; (3) tidak memperhatikan akar kata dalam mengurutkan entrinya; (4) merujukkan ayat-ayat yang disitir di dalamnya; (5) berpegang kepada naskah lain yang diterbitkan oleh Maktabah Bashiratiy.
Pada pengantar edisi gabungan ini, dinyatakan pentingnya mengetahui perbedaan-perbedaan kebahasaan yang menjadi pokok kajiannya, sbb: “…diantara ilmu-ilmu penting dalam bahasa Arab yang sangat diperhatikan oleh para pakar bahasa, baik di zaman klasik maupun modern, adalah ilmu tentang perbedaan-perbedaan kebahasaan, yakni ilmu yang memilah perbedaan kosakata-kosakata yang maknanya saling berdekatan dan terkesan sama (sinonim) jika dilihat secara sepintas. Inilah persoalan yang mendorong para pakar bahasa di masa silam untuk menyusun kitab-kitab tersendiri yang mengulas topik tersebut…”
Tentu saja, seperti umumnya kamus-kamus klasik, isinya cukup detil. Jika Anda menginginkan pemahaman yang utuh terhadap pengertian berbagai istilah yang sekilas mirip, maka Anda harus tekun dan cukup sabar memahami setiap entri yang terkait dengannya, yang menyebar di beberapa tempat. Tetapi, Anda tidak perlu khawatir, karena entri-entri terkait tersebut sudah diberikan rujukan nomornya, sehingga cukup mudah ditelusuri. Dan, jika istilah-istilah yang berbeda namun maknanya sangat dekat tersebut sudah Anda temukan, lalu Anda bandingkan satu sama lain, Anda pun akan memahami keindahan bahasa Arab. Pada gilirannya, Anda pun akan mengerti mengapa bahasa Arab terpilih sebagai bahasa Al-Qur’an.
Untuk memberi gambaran lebih baik, berikut ini kami kutipkan contoh-contoh analisis perbedaan makna kata yang disajikan di dalamnya. Kami memilih kosakata-kosakata yang biasanya diterjemahkan dengan “menciptakan, menjadikan, mengadakan, mewujudkan” dalam bahasa Indonesia, yaitu: khalaqa, bara’a, dzara’a, fathara, ansya’a, ikhtara’a, bada’a, dan dari sini pula akar kata dari asma-asma Allah: al-khaliq, al-bariy, al-badi’, dll. Ada juga beberapa kata lain yang maknanya sangat dekat dengan istilah-istilah diatas, yaitu ja’ala, kasaba, fa’ala, dan ‘amila.
Untuk menambah wawasan makna, Anda dapat pula meneliti penggunaan masing-masing istilah diatas dalam Al-Qur’an. Misalnya, kata dzara’a disebutkan dalam surah al-A’raf: 179; lalu fathara dalam pembukaan surah Fathir, dst.











DAFTAR PERPUSTAKAAN
Al ‘Arabiyah, Mujamma’al Lughah, al-Mu’jam al Wasith, Mesir: Maktabah al-
            Syuruq al-Mishriyyah, 2004

Abi Daud, Shahih Sunan, Kuwait: Dar al-Gharas, 2002, Jilid IV
Abdul ‘Alim al-Barkawiy, Abdul Fathah, Madkhal Ila ‘Ilmi al-Lughah al-Hadits,
Kairo: Darul Kutub, 2002, Cet. Ke- 3

Al-Dayah, Fayaz, Ilmu al-Dalalah al-Araby Baina al-Nazhariyy wa al-Tathbiqi,
Dar al-Fikr, 1996

Al-Hamid, Muhammad bin Ibrahim, Fiqh al-Lughah, Riyadh: Darul Ibnu
Khuzaimah, 1986

Abi Hilal al-Askari, Al-Imam al-Adib al-Lughawiy ditahqiq oleh ‘Imad Zakiy al-
Barudiy, Al-Furuqu al-Lughawiyah, Kairo: Dar al-Taufiqiyah lil Turas, 2010

Al-Sya’rawiy, Muhammad Mutawalla, Tafsir al-Sya’rawiy, Kairo: Dar al-Fajr,
2001

Manzhur, Ibnu, Lisan al-Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif, tt
Muhammad Ibn Ahmad al-Azhari, Abu Manshur, Tahzib al-Lughah, Kairo: al-
            Dar al-‘Ilmiyyah, tt, Jilid VIII

Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhim Abadi, Abu al-Thaib, ‘Aun al-Ma’bud
            Syarh Sunan Abi Daud, Madinah: Maktabah Salafiyah, 1968, Jilid III

Usman Ibnu Jinni, Abu al-Fath, al-Khashaish, Kairo: Maktabah al-‘Ilmiyyah,
            1996

Ya’kub, Amil Badi’, Fiqh al-Lughat al-‘Arabiyah, Beirut: Darul Tsaqafah
Islamiyah, 1998

Aryfatmawati. /2011/hakikat-makna-sebagai-objek-semantik.html
digilib.uin-suka.1129



[1] Mujamma’al Lughah al ‘Arabiyah, al-Mu’jam al Wasith, (Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Mishriyyah, 2004), h. 715
[2] Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), h. 4049
[3] Abu Manshur Muhammad Ibn Ahmad al-Azhari, Tahzib al-Lughah, (Kairo: al-Dar al-‘Ilmiyyah, tt), Jilid VIII, h. 197
[4] Shahih Sunan Abi Daud, (Kuwait: Dar al-Gharas, 2002), Jilid IV, h. 275
[5] Abu al-Thaib Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, (Madinah: Maktabah Salafiyah, 1968), Jilid III, h. 461
[6] Abu al-Fath Usman Ibnu Jinni, al-Khashaish, (Kairo: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1996), h. 33
[7] Abdul Fathah Abdul ‘Alim al-Barkawiy, Madkhal Ila ‘Ilmi al-Lughah al-Hadits,(Kairo: Darul Kutub, 2002), Cet. Ke- 3, h. 19

[8] Aryfatmawati.blogspot.com/2011/hakikat-makna-sebagai-objek-semantik.html
[9] Fayaz al-Dayah, Ilmu al-Dalalah al-Araby Baina al-Nazhariyy wa al-Tathbiqi, (Dar al-Fikr, 1996), h. 8
[10] Fayaz al-Dayah, Ilmu al-Dalalah al-Araby Baina al-Nazhariyy wa al-Tathbiqi, (Dar al-Fikr, 1996), h. 8

[11] Amil Badi’ Ya’kub, Fiqh al-Lughat al-‘Arabiyah, (Beirut: Darul Tsaqafah Islamiyah, 1998), h. 174
[12] Muhammad bin Ibrahim al-Hamid, Fiqh al-Lughah, (Riyadh: Darul Ibnu Khuzaimah, 1986), h. 197

[13] Al-Imam al-Adib al-Lughawiy Abi Hilal al-Askari ditahqiq oleh ‘Imad Zakiy al-Barudiy, Al-Furuqu al-Lughawiyah, (Kairo: Dar al-Taufiqiyah lil Turas, 2010), h. 5
[14] Al-Imam al-Adib al-Lughawiy abi Hilal al-‘Askari, Ibid., h. 6
[15] digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1129
[16] Fayaz al-Dayah, Ilmu al-Dilalah al-Arabiy, Op. Cit., h. 25-26
[17].Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta : PT.Logos Wacana Ilmu, 2001), 126.

[18] Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1984), 20.

[19] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Juz I, (Beirut Libanon; Dar al-Fikr, 1986), 349.

[20] Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir : Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah,1965), 363-364.
[21] Ibid, Amir Syarifuddin., 13.

[22] Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir : Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah, 1965), 367-368.

Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment