PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebuah bahasa, termasuk bahasa Arab,
pada awalnya bermula dari bahasa lisan (lughah al-nutq) yang digunakan
para pemakai bahasa untuk berkomunikasi dengan sesamanya, sebelum pada tahap
selanjutnya, bahasa itu dikodifikasi atau dibukukan dalam bentuk bahasa tulis
(lughah kitabah) yang kemudian banyak orang menyebutnya dengan istilaah kamus/mu’jam.
Dalam bab berikut, pemakalah akan
menjelaskan tentang Mu’jam ‘Arab dan hubungannya dengan perkembangan
semantik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Perkembangan Mu’jam Arab?
2.
Apa Hubungan mu’jam dengan
perkembangan semantik?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui Perkembangan Mu’jam Arab.
2.
Untuk
mengetahui Hubungan mu’jam dengan perkembangan
Semantik.
BAB II
MU’JAM ARAB DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN SEMANTIK
A.
Perkembangan Mu’jam Arab
Mu’jam Arab merupakan
sekumpulan kosa kata bahasa yang disertai penjelasanya, interpretasi atau
penafsiran maknanya yang disusun secara sistematis, baik berdasarkan huruf
hijaiyyah (lafal) atau tema-temanya (makna). [1]Jika kita
mengkaji tentang mu’jam Arab, berarti kita mengkaji ulang kitab Lisan Arab dan
Asas al-Balaghah, di antaranya:
1.
Proses
tarnsformasi dari makna yang konkrit ke makna yang abstrak
Huruf (ط , ب , ع) pada lisan Arab yaitu والطبيعة الطبع
artinya karakter dan watakyang dimiliki oleh manusia. Sedangkan
makna abstrak yang terdapat pada kata الطبع yaitu bekas di tanah dan lainya. Sedangkan firman Allah SWT
“Allah memberi tanda dalam hati orang kafir atau mencapnya sehingga tidak dapat
menangkap kebaikan”. Adapun kata طبع القلب adalah menodainya dengan kotoran. Adapun makna asal dari kata طبع lobang yang terdapat banyyak pada pedang. Sedangkan pendapat
Zamakhsyari pada kitab Asasi Balaghah hal ini adalah majaz pada kalimat طبع الله على قلب الكافر dan sesungguhnya si fulan mempunyai
karakter tamak: akhlak yang buruk dan kebiasaan tamak merupakan akhlak yang
buruk.
Sedangkan pada lisan Arab juga
terdapat kata الطبع dengan sukun, artinya الختم dengan berharkat artinya الدنس dan asal kata الطبع adalah kotor atau najis yang menutup pedang kemudian
diibaratkan dengaan menyerupai dosa-dosa dan keburukan.
Huruf (ط , ب ، ن) pada lisan Arab yaitu النبط yang artinya air yang keluar dari lobang sumur apabila digali.
Kataالماء أنبطا artinya mengeluarkan air dan bertumpu padanya. Dan kata الاستنباط artinya mengeluarkan. Berkata al-Zujjaj bahwa makna kata ويستنبطون dalam bahasa adalah يستخرجون (mengeluarkan) dan asal
katanya adalah النبط , yaitu air yang dikeluarkan dari
sumur yang digali.
Di dalam Hadits من
غدا من بيته ينبط علما فرشت له الملائكة أجنحتها
“siapa yang keluar untuk menuntut ilmu maka malaikat mengembangkan
sayapnya” atau dalam artian malaikat membantunya. Asal kata نبط pada hadits adalah mengeluarkan air. Sedangkan di dalam Asas
al-Balaghah kata نبط dalam majas yaitu laki-laki itu tidak mendapati nonatnya
sebagai orang yang mulia.
2.
Bukti-Bukti
perkembangan semantik dari makna khusus ke makna umum, dari makna sempit ke makna luas.
Hal ini bisa dilihat dari penggunaan istilah-istilah perkembangan
mu’jam dan bahasa secara umum. Pergeseran jenis ini untuk memperjelas konsep
yang bersifat abstrak sehingga seakan-akan dapat diraba, dicium, didengar,
dilihat, dan dirasakan.
Huruf (ع, ي, ر) pada lisan arab adalah العير merupakan mu’annas dari kata القافلة. kata العير juga dinamakan unta yang membawa makanan. Kata العير tidak memiliki bentuk mufrad. Dikatakan juga mengandung makna الحمير قافلة. Kemudian kata itu terus berkembang
sehingga setiap قافلة dinamakn العير.
Huruf (ع، ي، ن) pada lisan Arab yaitu عين
الرجل منظر mata seorang laki-laki untuk
melihat. Mata digunakan untuk melihat baik untuk laki-laki atau pun perempuan.
Dinamakan dengan demikian karena sesungguhnya dia melihat dengan matanya. Dan
ini dilalahnya memindahkan makan khusus ke umum, yaitu yang mengarah ke
mudzakar kecuali hukumnya mu’annas. Ibnu sa’idah berkata “menurut saya ini
adalah qiyas, bahwa orang yang memandangnya kata itu khusus maka hukumnya
adalah mu’annas. Dan orang yang memandangnya itu umum, maka hukumnya adalah
mudzakkar dan keduanya telah dibahas oleh sibawaih.
Huruf (و, ح,
ض) pada kamus lisan Arab يتضحون أي يتغدون artinya mereka makan siang. Pada hadits salamah bin Aku’ بينا
نحن نتضحى
مع رسول الله صلى الله عليه وسلم أي نتغدى artinya makan
siang. Asal dalam kalimat, bahwasanya orang arab berjalan malam menaiki unta
mereka. Apabila mereka melewati sebidang tanah di dalamnya terdapat banyak
rumput, mereka berkata: apakah kalian tidak member makan ruwaida
dan bersikap lembut kepada unta sampai dia makan di padang rumput, kemudian
member makan unta di tempatnya sampai dia kenyang, kemudian luaslah makananya.
Seperti contoh: yaitu setiap orang yang sarapan pada pagi hari adalah makan
pada waktu pagi. Sebagai contohnya makan siang dan makan malam, yaitu pada
waktu siang dan malam.[2]
3.
Dari
bukti-bukti Takhsis (spesifikasi/penyempitan makna)
Takhsis yaitu perubahan makna dari sebuah kata yang pada salnya
menunjuk atau memiliki beberapa makna yanh sifatnya umum, berubah menjadi kata
yang memiliki makna khusus.[3] Contoh,
kata الحريم
(istri) merupakan hasil dari penyempitan makna atas kata النساء.[4]
Dayah mengemukakan dalam kitabnya, bahwa pada lisan Arab idgham
(الإدغام) yaitu memasukan huruf
ke dalam huruf yang lain. Dalam perkembanganya idgham itu digunakan untuk kata
yang bermakna memasukan teli ke dalam hidung binatang ternak (kuda).
Al-Azhari mengatakan kata Idgham terambil dari huruf di
atas. Dia berkata bahwa isytiqaq termasuk mengidghamkan huruf. Kesuanya
tidak ada yang mendasar dan dia merupakan kalam nahwu saja.
Pada kitab asas al-balaghah ادغام
اللجام في فم الفرس “memasukan tali ke dalam
mulut kuda” artinya memasukanya . dan bentuk majasnya memasukan satu huruf ke
dalam huruf yang lain.
Di sini kita melihat istilah (اشتقاق) dan
(مأخوذ من هذا) menunjukan kepada kita istilah yang mendalam
yang digunakan yaitu (كلامها
بعتيق), Jadi disana terdapat kata-kata lama dan kata-kata baru, keduanya
mempunyai hubungan.
4.
Transpormasi
makna diantaranya tempat pemakaiannya atau wilayah penggunaannya.
Huruf ( ط،
ن، ب ) pada lisan Arab yaitu الطنب
والطّنب yaitu pemakaiannya sama yang artinya mengikat
pinggang dan baju kebesaran, contohnya dalam hadits : مابين
طنبي المدينة أحوج مني إليها “dua hal yang ada di kota
Madinah sangat saya butuhkan”, artinya antara pinggirnya. Kata الطُّنْبُ bentuk jamak dari sudut kemah tetapi digunakan dalam bentuk
semua sudut.
Pada kitab asas al-Balaghah kata itu
merupakan majaz, yaitu هذه شجرة طويل الأطناب, maksud الأطناب disini adalah ranting. Selain itu ada kalimat وشدَّ
الله المفاصل بالأطناب “ Allah
menguatkan hal yang terpisah dengat الأطناب, yaitu tulang.
Jelaslah bahwa terhadap tanda-tanda
ahli bahasa dalam Lisan Arab dan kitab asas al-Balaghahbahwa transpormasi
adalah menggunakan المشابهة والاستعارة. Dan Zamakhsyari banyak mengumpulkan penggunaan tentang majaz
yaitu pada perkembangan transpormasi makna dan tidak menetapkan baris yang
dimulai dari sudut kemah.
Huruf (ت،
ث، ث) pada lisan Arab الرَّث
والرَّثَةُ والرثيب benda yang kurang
bernilai. Kata الرِّيْثَةُ artinya kelompok manusia yang lemah
dan rendah. Pada asas al-Balaghah termasuk majaz, yaitu dibawa dari perang
dalam keadaan lemah. Perkataan yang tidak bernilai dan tidak benar.
Huruf (ض, ي,
ح) dalam lisan
Arab الحيض berarti wanita haid,
sedangkan dalam kitab اللغة
مقاييس haid itu bermakna (شجرة) السمرة حاضت ketika yang keluar darinya adalah
air warna merah. Sementara dalam asas al-Balaghah makna haid dalam
bentuk majaznya adalah dikenal dengan darah.
Dari contoh di atas dapat
disimpulkan bahwa ada perpindahan makna dalam wilayahpenggunaanya seperti kata
haid yang awalnya digunkan untuk menuunjukan air dari pohon juga digunaakan
untuk wanita yang sedang haid. Karena cairan yang keluar sama-sama berwarna
merah.
Ibnu fris berkata kata يرق menurutnya mematikan dua makna asal yaitu لمعنا شيء pancaran cahaya yang dimiliki suatu benda. Semua makna selain
dua makna itu adalah majaz.[5]
Dari penjelasan di atas jelas bahwa
ada perkembangan Dalalah yang terjadi. Dan itu menunjukkan adanya perubahan dan
perkembangan pada mu’jam Arab.
B.
Hubungan Mu’jam Arab dengan Perkembangan Semantik
George munan pernah mengingatkan
bahwa perlu kiranya memisahkan kajian semantic dengan kajian leksikografi
ketika megkaji unsur kata yang terdapat di dalam mu’jam. Sebagaimana juga
dirasa perlu untuk memisahkan kajianya dengan kajian leksikologi, yaitu kajian
yang membahas tentang teori untuk menetapkan dasar-dasar kajian leksikografi
serta langkah-langkahnya. Sedangkan leksikografi adalah kajian tentang teknik
penyusunan mu’jam. Serta analisa bahasa yang berkaitan dengan teknik-teknik
tersebut. Dari sini dapat dibedakan antara peneliti mu’jam yangmengkaji
tentang persoalan-persoalan yangberkaitan dengan mu’jam dan penulis/penyusun mu’jam
yang berperan dalam mu’jam tersebut. Dalam sejarahnya, leksikografi dan
leksikologi muncul pada zaman yang berbeda. Leksikografi muncul pada tahun 1765 M. [6] dengan
demikian, leksikografi lebih dulu muncul dibandingkan dengan leksikologi.
Al-Kahlil Ibnu Ahmad seorang ulama
Arab klasik yang hidup di abad ke dua dan telah memberikan kontribusi dalam
bidang nahwu, sharf, ‘arudh, dan mu’jam telah pernah menyusun
sebuah mu’jam yang ia beri Nama Mu’jam al-‘Ain. Selanjutnya pada
abad ke empat didapati Abu ‘Ali al-Qaliy yang telah menyusun sebuah Mu’jam
yang ia namakan dengan al-Bari.
Penyuunan mu’jam merupakan
sebuah usaha memelihara nilai-nilai luhur yang dimiliki bahasa Arab fusha.
Usaha semacam ini dapat membantu keutuhan bentuk kosa kata yang dimilki oleh bahasa
Arab tersebut dimana ia berusaha merangkum segala bentuk syi’ir dan
berita-berita jahiliy, berusaha untuk mendalami bahasa al-Qur’an dan
menjelaskan gharibnya. Sebagian pakar mengatakan bahwa tafsir ibnu Abbas
merupakan cikal bakal lahirnya Mu’jam Arab yang semulanya bernama Tafsir
gharib al-Qur’an. Namun orang yang pertama kali mempopulerkan istilah Gharib
al-Qur’an ini adalah Abu Sa’id Aban bin Rabah al-Bakri pada tahun 141 H.
Aktivitas penyusunan mu’jam
ini terus berkembang dalam menguatkan pilar-pilar bahasa fusha. Para pemerhati
bahasa arab pada mulanya menyusun mu’jam berdasarkan kebutuhan
masyarakat saat itu dan berpedoman kepada nash-nash al-Qur’an dan hadits serta
karya sastra klasik.
Karya mu’jam Arab hingga abad
ke empat, sangat kaya dengan lafaz-lafaz yang fasih dan makna yang dimilikinya.
Searah perkembangan mu’jam ini bermula ketika para periwayat bahasa pada abad I
hijriyah melakukan perjalanan ke pedalaman negeri Arab yang
memiliki bahasa murni dan jauh dari pergeseran serta percampuran dengan non
Arab. Selanjutnya mereka mulai membukukan penemuan-penemuan bahasa yang mereka
dapatkan berupa riwayat ataupun hakikat sya’ir-sya’ir, berita, khitabah, dan
bahasa-bahasa yang masyhur. Kemudian mereka pun melakukan penelusuran terhadap kelompok kelompok Arab yang
telah mewarisi peninggalan-peninggalan bahasa dari para pendahulu mereka. Dalam
hal ini mereka sering melakukan perjalanan ke negri Iraq.
Hanya saja pada abad ini penyusunan mu’jam
belum menggunakan bab dan belum tersusun menurut semestinya seperti yang
dialakukan oleh abu Zaid al-Anshariy. Kemudian muncul sesudah abad ini beberaoa
tulisan-tulisan singkat yang telah tersusun menurut makna atau huruf yang
dimiliki setiap kata.
Adapun mu’jam yang cukup luas
pertama kali disusun pada akhir abad kedua adalah kitab al-‘Ain karangan
khalil bin Ahmad. Kemudian diikuti oleh berbagai karangan seputar kajian ini
yang disusun menrut makna dan lafaz-lafaz yang berkaitan dengan satu benda
konkrit seperti tumbuhan, hewan, dan benda mati ataupun hal-hal yang bersifat
abstrak.
Abad ke empat hijriyah merupakan
abad keemasan bagi usaha penyusunan kamus Arab yang tersusun menurut lafaz dan
makna yang ia miliki. Seperti kitab Jamharat al-Lughah karangan Ibnu
Duraid (321 H), kitab al-Barri karangan Abu Aliy al-Qaliy (356 H), kitab Tahzib
al-Lughah karangan Abu Mansur Muhammad bin Ahmad al-Azhari (370 H), kitab Al-Mu’jam
wa Maqayis al-Lughah karangan Ahmad ibn Fariz (395 H).
Bentuk penyusuna mu’jam pada
awalnya berdasarkan makhraj huruf dan timbangan sharaf tsulatsi, ruba’I, dan
khumasi, I’lal, tadh’if, taqlib seperti kitab al-‘Ain karangan khalil.
Selanjutnya mu’jam Arab ini disusun berdasarkan susunan huruf
terakhirnya seperti kitab lisanul Arabiy karangan ibnu Manzhur, dan kemudian kembali
disusun berdasarkan abjad hijaiyyah.[7]
Dengan demikian, dengan berjalanya
waktu, bahasa akan selalu berkembang dan mengalami perubahan dan perkembangan
makna. Dan ini diaplikasikan ke dalam mu’jam, pada mu’jam akan terlihat
bagaimana makna dan perkembangan dari suatu kata.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Perkembangan
mu’jam Arab ditandai dengan :
a.
Proses
tarnsformasi dari makna yang konkrit ke makna yang abstrak.
b.
Bukti-Bukti
perkembangan semantik dari makna khusus ke makna umum, dari makna sempit ke makna luas.
c.
Dari
bukti-bukti Takhsis (spesifikasi/penyempitan makna).
d.
Transpormasi
makna diantaranya tempat pemakaiannya atau wilayah penggunaannya.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa
ada perkembangan Dalalah yang terjadi. Dan itu menunjukkan adanya perubahan dan
perkembangan pada mu’jam Arab.
2. Dengan berjalanya waktu, bahasa akan selalu berkembang dan mengalami
perubahan dan perkembangan makna. Dan ini diaplikasikan ke dalam mu’jam,
pada mu’jam akan terlihat bagaimana makna dan perkembangan dari suatu
kata.
B.
Saran
Pemakalah mengharapkan dan
menyarankan kepada pembaca agar mencintai dan mempelajari bahasa secara
mendalam, mau membaca serta mempelajari kajian bahasa terutama kajian semantik
atau ilmu makna. Hal ini bertujuan agar bisa mengidentifikasi makna kata dan
padanannya terutama mampu mengetahui tentang ilmu Perkamusan
(mu’jam/leksikologi).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Dayah, Fayiz, Ilmu Dalalah Arabiyah, Bairut : Darul Fikri Ma’asir,
2006
Ibrahim, Rajab ‘Abd al-Jauhar, al-Madkhal ila Ta’allumuni
al-‘Arabiyah. Dar al-Afah
al-‘Arabiyah
Taufiqurrohman, Leksikalogi Bahasa Arab, Malang: UIN-Malang
Press, 2008
[1] Rajab ‘Abd al-Jauhar, al-Madkhal ila Ta’allumuni
al-‘Arabiyah. (Dar al-Afah al-‘Arabiyah), hal. 248
[2] Fayiz
Dayah, Ilmu al-Dalalah al-‘Arabiy; al-Nazariyah wa al-Thatbiq. (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1996), hal. 225-229
[4]Taufiqurrohman, Leksikologi Bahasa Arab,. (Malang:UIN-Malang
Press, 2008), hal. 115
[7] Ibid, hal.
205-216
0 komentar:
Post a Comment