MAKALAH SEJARAH DAN ASAL USUL FILSAFAT ISLAM








BAB I
PENDAHULUAN
A.           LATAR BELAKANG
Penamaan filsafat Islam, malahirkan argumentasi yang berbeda-beda seperti ada yang mengatakan nama yang tepat adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab, sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan nama-nama lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam. Penamaan filsafat Islam, malahirkan argumentasi yang berbeda-beda seperti ada yang mengatakan nama yang tepat adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab.
Pada awal perkembangan pemikiran di dunia Islam, teologi telah mendominasi hampir di seluruh bangunan pemikiran Islam. Akan tetapi, pada perkembangan berikutnya, tampillah corak pemikiran filsafat yang berupaya memberikan pencerahan pada pola perkembangan pemikiran Islam. Hubungan filsafat dan agama, sejak masa kemunculan dan perkembangan filsafat di dunia Islam telah menjadi topik sentral paradoksal atau isu yang utama yang telah menghasut para teolog untuk menyerang para filosof dan telah menciptakan bayangan hitam di atas seluruh upaya pemfilsafatan di negara-negara Muslim.
Terkait dengan hal diatas maka perlu di ungkapkan pengertian dari filsafat islam, kemudian sejarah kemunculan filsafat islam.
B.            RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian filsafat islam?
  1. Bagaimana sejarah munculnya filsafat islam?
C.           TUJUAN
D.    Mengetahui pengertian filsafat islam.
  1. Mengetahui sejarah munculnya filsafat islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A.           PENGERTIAN FILSAFAT ISLAM
Para penulis sejarah filsafat berasumsi bahwa orang yang pertama memakai kata filsafat adalah Pytahagoras (497 SM), sebagai reaksi terhadap orang-orang cendekiawan pada masanya yang menamakan dirinya “ahli pengetahuan”.[1]
Filsafat islam merupakan gabungan dari dua kata , yaitu filsafat dan islam. Secara etimologi, filsafat filsafat berasal dari bahasa yunani yaitu kata philein dan philos dan shopia. Kata philein atau philos berarti cinta (love), tapi dalam makna  yang luas yakni berupa hasrat ingin tau sseseorang terhadap kebijaksanaan, ilmu pengetahuan atau kebenaran. Sedangkan kata shopia berarti kebijaksanaan (wisdom). Sehinga secara sederhana filasaat adalah mencintai kebijaksanaan (the love of wisdom).[2]
Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut “philosophos” atau “failosuf” dalam ucapan Arab-nya. Pecinta pengetahuan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan  hidupnya, atau dengan perkataan lain, orang yang mengabdikan dirinya kepada pengetahuan. [3]
Kemudian, orang Arab memindahkan kata yunani philosphia ke dalam bahasa Arab menjadi falsafa. Hal ini sesuai dengan tabian susunan kata-kata Arab dengan pola fa ‘alala dan fi’lal. Karena itu, kata benda dari kata kerja falsafa seharusnya falsafah dan filsfat.[4]
Secara terminologi, filsafat merupakan kontemplasi atau mempelajari pertayaan penting – penting mengenai eksistensi kehidupan yang berakhir dengan pencerahan dan pemahaman (illumination and understanding) sebuah fisi yang mengenai keseluruhan.
Dengan begitu, kata filsafat mengisaratkan dua kutub yaitu kutub aktivitas ( ditunjuk kata kerja philein ) yang mengungkapkan aspirasi keterarahan kepada sasaran yang belum dimiliki secara utuh dan kutub  yang objek yang ada padanya pikiran manusia mengarahkan diri, yaitu kebijaksanaan, atau kenenaran ( yang ditunjuk kata benda shopia ).
Sementara itu, kata Islam secara semantik berasal dari akar kata salima yang berarti menyerah, tunduk, dan selamat. Islam artinya menyerahan diri kepada Allah swt, dengan menyerahkan diri kepadanya maka akan memperoleh keselamatan dan kedamaian. Dalam pengertian menyerah, maka semua makhluk ciptaan Allah swt, gunung, udara, air, cahaya, dan bahkan setan pada hakikatnya adalah Islam. Dalam artian tunduk dan menyerahkan kepada penciptanya, pada hukum-hukum yang sudah di tetapkan dan berlaku pada dirinya, sebagai sunnatullah (termasuk hukum alam).
Jadi filsafat Islam, islamic philoshopy, pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak Islam. Islam menempati sebagi sifat, corak, dan karakter dari filsafat. Filsafat Islam bukan tentang islam bukan the philoshophy of Islam. Filsafat Islam artinya berpikir dengan bebas dan radikal namun tetap berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak, serta karakter yang menyelamatkan dan memberi kedamaian hati..[5]
Filsafat Islam dapat diketahuui melalui lima cirinya sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi sifat dan coraknya, filsafat Islam berdasar pada ajaran Islam yang bersumberkan Al-quran dan Hadis. Dengan sifat dan coraknya yang demikian itu, filsafat Islam bededa dengan filsafat Yunani atau Filsafat Barat pada umummra yang semata-mata mengandalkan akal pikiran (rasio). Kedua, dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya, filsafat Islam mencakup pembahasan bidang fisika atau alam raya yang selanjutnya disebut bidang kosmologi; masalah ketuhanan dan hal-hal lain yang bersifat non materi, yang selanjumya disebut bidang metafisika; masalah kehidupan di dunia, kehidupan di akhirat;  masalah ilmu pengetahuan, kebudayaan dan lain sebagainya; kecuali masalah zat Tuhan. Ketiga, dilihat dari segi datangnya, filsafat Islam sejalan dengan perkembangan ajaran Islam itu sendiri, tepatnya ketika bagian dari ajaran  Islam memerlukan penjelasan secara rasional dan filosofis; Keempat, dilihat  dari segi yang mengembangkannya, filsafat Islam dalam arti materi pemikiran  filsafatnya, bukan kajian sejarahnya, disajikan oleh orang-orang yang beragama Islam, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn  Tufail, lbn Bajjah. Kelima, dilihat dari segi kedudukannya, filsafat Islam  sejajar dengan bidang studi keislaman lainnya seperti fiqih, ilmu kalam,  tasawuf, sejarah kebudayaan Islam dan pendidikan Islam.
B.            SEJARAH MUNCULNYA FILSAFAT ISLAM
Awal mula ilmu-ilmu datang dari luar teristimewa ilmu pengetahuan dari Yunani, baru terjadi pada masa-masa Abbasyah, sedangkan ilmu yang dinamakan filsafat baru muncul pada masa tenggang waktu setelah abad sesudah itu, kemungkinan sekali masa itu adalah sejak harun ar-Rasyid menjadi Khalifah.[6]
Berbagai teori telah dikemukakan mengenai asal mula filsafat Islam oleh orang orang-orang yang tahu maupun sebaliknya, atau bahkan menganggap tidak perlu mempelajari sumber aslinya. Satu diantara teori-teori tersebut menyatakan bahwa filsafat Islam lahir berkat masuknya pemikiran Yunani kedalam pemikiran Arab. Dikatakan hanya melalui melalui penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan yang berbahasa Yunani kedalam bahasa Arablah kaum muslimin dirangsang dan dipaksa untuk berpikir, oleh karena banyak ajaran dan kepercayaan yang sampai kepada bangsa Arab melalui karya-karya itu yang bertentangan dengan dasar-dasar agama Islam. Tidak dapat disangkal bahwa ajaran yang dianut oleh Plato dan muridnya Aristoteles bertentangan dengan al-Qur’an dan tidak dapat diterima oleh umat Islam.[7]
Terdapat beberapa pandangan berbeda mengenai matriks filsafat Islam. Pandangan pertama menyatakan bahwa filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno: “It is Greek philosophy in Arabic garb”, kata Renan, De Boer, Gutas, dan lain-lain. Artinya, menurut mereka tidak ada yang baru, istimewa atau hebat sama sekali dari filsafat Islam karena seluruhnya berasal dari Yunani mulai sistem ontologi, epistemologi, psikologi, hingga kosmologinya.
Pandangan kedua mengatakan filsafat Islam memang lahir dari dalam, hasil ijtihad intelektual Muslim sendiri. Akan tetapi pemicunya datang dari luar, sehingga filsafat Islam itu dikatakan muncul sebagai reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain yang telah berkembang pada waktu itu. Pandangan ini disuarakan oleh Maimonides, seorang padri Yahudi asal Andalusia: “Ketahuilah olehmu bahwa semua yang dilontarkan oleh orang Islam –pemikir Mutazilah maupun Asyariyah mengenai masalah-masalah [teologi] ini adalah pandangan-pandangan yang didasari pada sejumlah proposisi, yaitu proposisi-proposisi yang sumbernya buku-buku orang Yunani dan Syria yang berusaha menyanggah pendapat-pendapat para filsuf dan berusaha mematahkan pernyataan-pernyataan mereka.”
Ketiga adalah pandangan revisionis yang melihat filsafat Islam sebagai hasil kegiatan intelektual yang wujud sejak kurun pertama Islam. Perbincangan tentang kemahakuasaan dan keadilan Tuhan serta kaitannya dengan kebebasan dan tanggung jawab manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat Islam yang ketika itu masih disebut kalâm. Pandangan revisionis ini diwakili antara lain oleh M.M. Sharif dan Alparslan Acikgenc. Menurut mereka, filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan berhenti dengan kematian Ibnu Rusyd. Sebagai produk dialektika unsur-unsur internal umat Islam itu sendiri, bangunan filsafat Islam dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Qur’an yang menduduki posisi sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum Muslim.[8]
Merupakan suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari proses penerjemahan teks-teks Yunani tersebut.[9]
Dari sumber yang berbeda dijelaskan Munculnya filsafat Islam jika ditilik dari sejarahnya, maka akan ditemukan dua faktor pendorong, baik yang dari Islam sendiri (internal) maupun yang dari luar (eksternal).
faktor internal yang mendorong munculnya filsafat Islam tak lain dan tak bukan adalah al-Qur’an, yang di dalamnya terdapat ayat yang menyuruh manusia untuk berpikir.[10]
Dalam upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an tersebut, minimal ada tiga model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Di sini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaian-nya secara langsung dalam teks.[11]
Adapun faktor eksternal yang mendorong munculnya filsafat Islam adalah adanya penerjemahan buku-buku bahasa Yunani ke bahasa Arab.[12]
Yang berawal dari persentuhan dunia Islam dengan peadaban-peradaban dari luar. Persentuhan dengan peradaban luar tersebut dimulai sejak Alexander Agung mengalahkan Darius pada tahun 331 sebelum Kristus di Arbela, sebelah timur Tigris. Alexander Agung memiliki kebijakan politik untuk menyatukan peradaban Yunani dan Persia. Ini dibuktikan dengan pakaian yang dipakainya model Persia dan pengiring-pengiringnya dari orang-orang Persia. Ia juga kawin dengan puteri Darius, Statira, dan menganjurkan para jenderal dan prajuritnya kawin dengan orang-orang Persia. Sebagai hasilnya, 24 orang jenderal dan 10.000 prajurit kawin dengan wanita-wanita Persia di Susa. Ia juga menata pemukiman sedemikian rupa, di mana orang Yunani dan Persia bisa berinteraksi.16 Setelah Alexander meninggal, kerajaannya terpecah menjadi tiga, yaitu Kerajaaan Macedonia di Eropa, Kerjaaan Ptolemeus di Mesir dengan Alexandria (Iskandariah) sebagai ibukotanya, dan Kerajaaan Seleucid (Seleucus) di Asia dengan kota-kota penting di Antioch (Antakia) di Siria (Suriah), Seleucia (Selopsia) di Mesopotamia, dan Bactra (sekarang: Balkh) di Persia di sebelah timur. Dua kerajaan terakhir ini (Ptolemeus dan Seleucus) meneruskan kebijakan politik Alexander untuk menyatukan peradaban Yunani dan Persia. Upaya ini tidak berhasil. Namun, kebijakan politik tersebut sempat berpengaruh terhadap beberapa di daerah. Di Mesir dan Syria, bahasa Yunani masih digunakan sesudahnya masuknya Islam. Penggunaan bahasa Yunani diganti dengan bahasa Arab pada abad ke-7 M pada masa ‘Abd al-Mâlik bin Marwân (685-705 M), khalifah Dinasti Umayyah ke-5. Kota Alexandria (Iskandariah), Antioch (Antakia), dan Bactra (Balkh) kemudian menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada abad ke-3 M, kota-kota ini memainkan peranan penting perkembangan filsafat Yunani bersama dengan kota Jundishapur yang letaknya tidak jauh dari Baghdad, Irak. Di kota Jundishapur ini ketika Islam berkuasa masih ditemukan suatu akademi dan rumah sakit.17 Ketika Dinasti ‘Abbasiyyah dipimpin oleh Hârûn al-Rasyîd, kontak dunia Islam dengan filsafat tetap berlangsung. Ia belajar di Persia di bawah asuhan Yahyâ bin Khâlid ibn Barmak. Keluarga Barmak adalah keluarga yang gemar dengan filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani mulai dilakukan. Yang berawal dari persentuhan dunia Islam dengan peadaban-peradaban dari luar. Persentuhan dengan peradaban luar tersebut dimulai sejak Alexander Agung mengalahkan Darius pada tahun 331 sebelum Kristus di Arbela, sebelah timur Tigris. Alexander Agung memiliki kebijakan politik untuk menyatukan peradaban Yunani dan Persia. Ini dibuktikan dengan pakaian yang dipakainya model Persia dan pengiring-pengiringnya dari orang-orang Persia. Ia juga kawin dengan puteri Darius, Statira, dan menganjurkan para jenderal dan prajuritnya kawin dengan orang-orang Persia. Sebagai hasilnya, 24 orang jenderal dan 10.000 prajurit kawin dengan wanita-wanita Persia di Susa. Ia juga menata pemukiman sedemikian rupa, di mana orang Yunani dan Persia bisa berinteraksi.16 Setelah Alexander meninggal, kerajaannya terpecah menjadi tiga, yaitu Kerajaaan Macedonia di Eropa, Kerjaaan Ptolemeus di Mesir dengan Alexandria (Iskandariah) sebagai ibukotanya, dan Kerajaaan Seleucid (Seleucus) di Asia dengan kota-kota penting di Antioch (Antakia) di Siria (Suriah), Seleucia (Selopsia) di Mesopotamia, dan Bactra (sekarang: Balkh) di Persia di sebelah timur. Dua kerajaan terakhir ini (Ptolemeus dan Seleucus) meneruskan kebijakan politik Alexander untuk menyatukan peradaban Yunani dan Persia. Upaya ini tidak berhasil. Namun, kebijakan politik tersebut sempat berpengaruh terhadap beberapa di daerah. Di Mesir dan Syria, bahasa Yunani masih digunakan sesudahnya masuknya Islam. Penggunaan bahasa Yunani diganti dengan bahasa Arab pada abad ke-7 M pada masa ‘Abd al-Mâlik bin Marwân (685-705 M), khalifah Dinasti Umayyah ke-5. Kota Alexandria (Iskandariah), Antioch (Antakia), dan Bactra (Balkh) kemudian menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada abad ke-3 M, kota-kota ini memainkan peranan penting perkembangan filsafat Yunani bersama dengan kota Jundishapur yang letaknya tidak jauh dari Baghdad, Irak. Di kota Jundishapur ini ketika Islam berkuasa masih ditemukan suatu akademi dan rumah sakit.17 Ketika Dinasti ‘Abbasiyyah dipimpin oleh Hârûn al-Rasyîd, kontak dunia Islam dengan filsafat tetap berlangsung. Ia belajar di Persia di bawah asuhan Yahyâ bin Khâlid ibn Barmak. Keluarga Barmak adalah keluarga yang gemar dengan filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani mulai dilakukan. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi untuk membeli manuskrip.[13]
Proses penerjemahannya awal dimulai pada masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M). Namun, pada masa ini buku-buku yang diterjemahkan lebih berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan, dan dokumentasi dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Setelah itu, kemudian buku-buku yang berkaitan dengan ilmu- ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia, dan antropologi.
Proses penerjemahan atas pemikiran filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab kemudian baru benar-benar dilakukan secara serius setelah masa pemerintahan Bani Abbas, khususnya pada masa kekuasaan khalifah al-Makmun (811-833 M). Di antara mereka yang dikenal berjasa dalam usaha-usaha penerjemahan ini, antara lain, adalah oleh orang-orang seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki (767-803 M), Yuhana ibn Masawaih (777-857 M), dan Hunain ibn Ishaq (809-873 M).[14]
Masuknya filsafat ke dunia Islam berkaitan dengan keinginan umat Islam untuk membekali argumen-argumen keagamaan mereka dengan basis rasional. Kaum Muslim ketika itu menghadapi kalangan non-Muslim di daerah-daerah kekuasaan baru yang menyerang Islam dengan argumenargumen rasional filosofis. Untuk kepentingan itu, mereka mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani dinilai oleh mereka memiliki titik-temu dengan penghargaan yang juga tinggi oleh Islam terhadap akal.[15]
Program penerjemahan atas buku-buku filsafat Yunani tersebut dilakukan secara masal dan gencar karena memang adanya kebutuhan akan hal itu
Ada beberapa hal yang harus diperhatian. Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti hanya meniru atau mengikuti semata. Harus dipahami bahwa suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang lain tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles misalnya, jelas murid Plato tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para filsuf Muslim. Al-Farabi  dan Ibnu Rusyd misalnya, walau banyak dilhami oleh pemikiran filsafat Yunani, tetapi itu tidak menghalanginya untuk mempunyai pandangannya sendiri yang tidak sama dengan filsafat Yunani.
Kedua, bahwa ide, gagasan, atau pemikiran adalah ekspresi dan hasil dari proses komunikasi sang tokoh dengan kondisi sosial lingkungannya.[16] Artinya, sebuah ide, gagasan, atau pengetahuan tidak bisa lepas dari akar sosial, tradisi, dan keberadaan seseorang yang melahirkan ide atau pemikiran tersebut. Pemikiran filsafat Yunani dan Islam lahir dari keyakinan, budaya dan kondisi sosial yang berbeda.
Ketiga, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah lebih dahulu ada dan mapan dalam tradisi keilmuan muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan sejak masa kekuasaan Bani Umaiyah (661-750 M), tapi baru diterjemahkan secara massal pada masa dinasti Abbasiyah (750-1258 M), khususnya pada masa khalifah al-Makmun (811-833 M). Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi)Seperti bidang fiqh  Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbât}) dengan istilah-istilah seperti istihsân, istihlâh, qiyâs, dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fikih yang melahirkan metode istinbât dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767 -820 M) dan Ibnu Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.[17]


BAB III
PENUTUP
A.           KESIMPULAN
1.      Secara etimologi, filsafat filsafat berasal dari bahasa yunani yaitu kata philein dan philos dan shopia. Kata philein atau philos berarti cinta (love), Sedangkan kata shopia berarti kebijaksanaan (wisdom). Sehinga secara sederhana filasaat adalah mencintai kebijaksanaan (the love of wisdom).
Secara terminologi, filsafat merupakan kontemplasi atau mempelajari pertayaan penting – penting mengenai eksistensi kehidupan yang berakhir dengan pencerahan dan pemahaman (illumination and understanding) sebuah fisi yang mengenai keseluruhan.
Filsafat islam artinya berpikir dengan bebas dan radikal namun tetap berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak, serta karakter yang menyelamatkan dan memberi kedamaian hati.
2.      Meski diakui bahwa filsafat Yunani memberikan pengaruh besar pada perkembangan filsafat Islam, tetapi filsafat Islam tidak didasarkan atas filsafat Yunani, sebab; (1) berguru tidak berarti menunjukkan pengulangan, (2) setiap pemikiran tidak lepas dari konteks budaya masing-masing, dan (3) kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional Islam telah lebih dahulu mapan sebelum datangnya filsafat Yunani.
faktor internal yang mendorong munculnya filsafat Islam tak lain dan tak bukan adalah al-Qur’an, yang di dalamnya terdapat ayat yang menyuruh manusia untuk berpikir. Adapun faktor eksternal yang mendorong munculnya filsafat Islam adalah adanya penerjemahan buku-buku bahasa Yunani ke bahasa Arab
Dari sumber yang berbeda dijelaskan Munculnya filsafat Islam jika ditilik dari sejarahnya, maka akan ditemukan dua faktor pendorong,yaitu faktor internal tak lain dan tak bukan adalah al-Qur’an, Adapun faktor eksternal yang mendorong munculnya filsafat Islam adalah adanya penerjemahan buku-buku bahasa Yunani ke bahasa Arab.



DAFTAR PUSTAKA

Sirajuddin zar, filsafat islam, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2004)
Zaprul khan, filsafat islam; sebuah kajian tematik, (jakarta : Rajagrafindo persada, 2014)
Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat islam, (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1996),
Harun nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan bintang , 1973)
Fachri Syamsudn, dasar-dasar filsafat islam, (jakarta: the minang kabau foundation, 2005)
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Terj. Hasan Basari, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989)
Syamsuddin Arif, “Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi”. Jurnal TSAQAFAH. Vol. 10, No. 1,  Mei 2014
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Terj. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali, 1988)
Hadariansyah, Pengantar Filsafat IslamMengenal Filusuf-filusuf Muslim dan Filsafat Mereka, (Banjarmasin: Kafusari Press, 2012)
A. Khudori Soleh, “Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam”. Jurnal TSAQAFAH. Vol. 10, No. 1, Mei 2014,
Karel A. Steenbrink, Metodologi Penelitian Agama Islam di Indonesia: Beberapa Petunjuk Mengenai Penelitian Naskah Melalui Syair Agama dalam Beberapa Melayu dari Abad 19, (Semarang: LP3M IAIN Walisongo Semarang, 1985)
Wardani, Filsafat Islam Sebagai Filsafat Humanis-Profetik, (Banjarmasin: IAIN ANTASARI PRESS, 2014)






[1] Sirajuddin zar, filsafat islam, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2004), h.3
[2] Zaprul khan, filsafat islam; sebuah kajian tematik, (jakarta : Rajagrafindo persada, 2014), h.3
[3] Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat islam, (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1996), h.3
[4] Harun nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan bintang , 1973)cet. I, h. 7
[5] Zaprul khan, filsafat islam; sebuah kajian tematik, 4-5
[6] Fachri Syamsudn, dasar-dasar filsafat islam, (jakarta: the minang kabau foundation, 2005), h. 8
[7] Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Terj. Hasan Basari, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 30.         
[8] Syamsuddin Arif, “Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi”. Jurnal TSAQAFAH. Vol. 10, No. 1,  Mei 2014, h. 11-13
[9] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Terj. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali, 1988), 8.
[10] Hadariansyah, Pengantar Filsafat IslamMengenal Filusuf-filusuf Muslim dan Filsafat Mereka, (Banjarmasin: Kafusari Press, 2012), h. 4.
[11] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9        
[12] Hadariansyah, Pengantar Filsafat IslamMengenal Filusuf-filusuf Muslim dan Filsafat Mereka, 7
[13] Wardani, Filsafat Islam Sebagai Filsafat Humanis-Profetik, (Banjarmasin: IAIN ANTASARI PRESS, 2014), h.74-75
[14] A. Khudori Soleh, “Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam”. Jurnal TSAQAFAH. Vol. 10, No. 1, Mei 2014, h.71
[15] Wardani, Filsafat Islam Sebagai Filsafat Humanis-Profetik,75
[16] Karel A. Steenbrink, Metodologi Penelitian Agama Islam di Indonesia: Beberapa Petunjuk Mengenai Penelitian Naskah Melalui Syair Agama dalam Beberapa Melayu dari Abad 19, (Semarang: LP3M IAIN Walisongo Semarang, 1985),h. 4
[17] A. Khudori Soleh, “Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam”.h. 67-68

Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment