نظرية تارخية عن الدلالة MAKALAH SEJARAH LAHIR DAN PERKEMBANGAN ILMU DALALAH












BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Ilmu Ad dilalah
Ilmu Ad-Dalalah merupakan salah satu bagian dari tata bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa dan semantik. Semantik diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna. Dalam bahasa Arab, ilmu Ad-Dalalah terdiri atas dua kata, yaitu: ilmu dan Ad-Dalalah. Ilmu yang berarti pengetahuan dan Ad-Dalalah yang berarti petunjuk atau makna. Jadi ilmu Ad-Dalalah menurut bahasa adalah ilmu pengetahuan tentang makna. Secara terminologi ilmu dalalah sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang telah berdiri sendiri adalah ilmu yang mempelajari makna suatu bahasa, baik pada tatanan mufradat (kosa kata) maupun pada tatanan tarakib (struktur).
“Dalalah” دلالة  atau “dilalah” secara umum adalah:
الدلالة هي فهم أمر من أمر آخر
memahami sesuatu atas sesuatu yang lain
Di dalam ilmu Ad-dalalah ada juga ilmu al-rumuz (semiotik) yang mempelajari tanda secara umum, baik terkait dengan bahasa atau non bahasa. Sementara ilmu Ad-Dalalah mengkaji masalah tanda dalam bahasa. Dalam sistem semiotik, bahasa dibedakan ke dalam tiga komponen, yaitu:
1.         Sintaksis, terkait dengan lambang dan bentuk hubungan
2.         Semantik, terkait dengan hubungan antar lambang dan dunia luar yang diacunya
3.    Pragmatik, terkait dengan hubungan antara pemakai bahasa dengan lambang dalam pemakaiannya.[1]

Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut “madlul” (مدلول) (yang ditunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri. Kata sesuatu yang disebut kedua kalinya disebut “dalil” (دليل) (yang menjadi petunjuk).
Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut “dalil hikim. Secara terminologis, ‘ilm al-dalalah sebagai salah satu cabang linguistik (‘ilm al-lughoh) yang berdiri sendiri yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna suatu bahasa, baik pada tataran mufradat (kosa kata) maupun paa tatanan tarakib (struktur).  Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantiks) semula berasal dari bahasa Yunani, sema (kata benda yang berarti “tanda”) atau “lambang". Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (Chaer, 2009:2) yaitu yang terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda dan lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada diluar bahasa yang lazmi disebut referen atau hal yang ditunjuk.
Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari  hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu.
B.       Sejarah Lahirnya Ilmu Ad-Dilalah
Bahasa semenjak lama telah berhasil menarik perhatian para pemikir, sebab bahasa adalah salah satu roda utama yang menjalankan kehidupan manusia semenjak diciptakannya, baik dalam berfikir terlebih lagi dalam hal berkomunikasi antar sesama manusia. Peranan bahasa tak seorang pun akan memungkirinya. Dan dengan bahasa pula sejarah pun tecatatkan dalam buku-buku. Bahkan kita-kitab suci yang dianggap sakral bagi umat-umat terdahulu oleh manusia termaktubkan dengannya. Orang-orang Hindustan, sebagai contoh, memiliki kitab suci, Weda yang tak lain juga merupakan sumber studi bahasa dan daya ucap khususnya. Dan dari sinilah, sejarah permulaan bahasa dianggap sebagai mata pelajaran dan studi. Namun, tak ada yang luput dari perdebatan dan perselisihan terhadap sesuatau yang belum jelas secara pasti keberadaannya atau kelahirannya. Demikian halnya dengan bahasa, sejarah lahirnya pun menuai pedebatan. Banyak pendapa yang dilontarkan oleh para saintis sejarah dan bahasa mengenai kapan dan dari mana awal kemunculan bahasa di tengah manusia. Di antara sederetan pendapat itu, ada yang mengakatakan: ”keberadaan bahasa erat kaitannya dengan hubungan antara kata dan makna, sama halnya eratnya hubungan antara api dan asap”. Jadi, Bahasan ad-dilalah pun lebih fokus pada hubungan antara kata dan makna. Olehnya, ada dua sisi yang saling kait-mengait dalam bahasan ini, hubungan antara kosakata dan kalimat dan hubungan lafadz dan makna.
C.           Tinjauan Sejarah Ilmu Ad Dilalah
Pada zaman Yunani para filusuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan hakikat bahasa. Para filusuf tersebut telah sepakat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia. Tetapi mengenai hakikat bahasa, apakah bahasa mirip realitas atau tidak, mereka belum sepakat. Dua filusuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles. Plato (lahir sekitar 427 SM - meninggal sekitar 347 SM) adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, penulis philosophical dialogues dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena sedangkan Aristoteles hidup pada tahun 384 SM.
1.      Masa Klasik
a). Masa Yunani Kuno
Secara historis, sejarah kajian makna sudah ada sejak zaman Yunani kuno.  Aristoteles dilahirkan di kota Stagira, Macedonia, 384 SM. Ayahnya seorang ahli fisika kenamaan. Pada umur tujuh belas tahun Aristoteles pergi ke Athena belajar di Akademi Plato. Masa Aristoteles merupakan periode awal dari sejarah ilmu ad-Dilalah dengan istilah semantik. Hubungan kata dan makna berupa ide atau segala sesuatu yang ada merupakan salah satu pembicaraan yang terpenting pada abad pertengahan. Aristoteles adalah pemikir yang menggunakan istilah makna lewat batasan pengertian kata. Menurut Aristoteles kata adalah satuan terkecil yang mengandung makna.  Karena kata dan makna memiliki hubungan yang sangat erat, seperti halnya api dan asap. Uraian diatas memberikan gambaran bahwa cikal bakal munculnya semantik adalah sejak masa Aristoteles, meskipun sebelumnya telah ada yang mengkaji makna untuk hal-hal tertentu. Namun hal itu lebih banyak mengaruh pada filsafat yang berkembang pesat pada saat itu.
Polemik yang pernah dibahas oleh plato dalam pembicaraanya dengan gurunya Socrates adalah hubungan antar kata dan makna. Menurut plato, ada perbedaan pendapat apakah hubungan itu alami ataukah buatan menurut urf yang berlaku. Aristoteles menjelaskan pendapat Plato berkaitan dengan bahasa dan fenomena-fenomena bahasa bahwa hubungan antara kata dan makna merupakan hubungan buatan atau urf. Bahasa itu adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, maka tentu ada yang dilambangkan. Yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, konsep atau ide pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi. Oleh karena lambang-lambang itu mengacu pada suatu konsep, idea tau pikiran maka dapat dikaitkan bahwa bahasa itu merupakan makna. Lambang-lambang bunyi bahasa yang bermakna itu di dalam bahasa berupa satuan-satuan bahasa yang berwujud morfem, kata, frase, klausa, kalimat dan wacana. Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak mempunyai makana dapat disebut bukan bahasa.
Plato merupakan guru Aristoteles ia menyatakan bahwa bunyi-bunyi secara implisit juga mengandung makna-makna tertentu namun studi bahasa yang banyak digunakan pada masa itu hanya berkaitan dengan studi filsafat, masih sedikit yang membahas tataran bunyi, tataran gramatika dan tataran makna bahkan bisa dikatakan belum ada. Sistem bahasa itu bisa berupa lambang yang wujudnya berupa bunyi. Kata bunyi sulit dibedakan dengan kata suara.
Secara teknik menurut Kridalaksana ( 1983: 27 ) bunyi adalah kesan dari pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Lalu yang dimaksud bunyi pada bahasa atau yang termasuk lambang bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap  manusia. Jadi bunyi yang bukan dihasilkan oleh alat ucap manusia tidak termasuk bunyi bahasa. Seperti teriak, bersin, batuk-batuk dll.

b). Hindustan
bahasa sejak lama telah menjadi objek perhatian para pemikir, sebab bahasa adalah salah satu roda utama dalam kehidupan manusia semenjak diciptakannya, baik dalam berfikir maupun dalam berkomunikasi antar sesame manusia. Dengan adanya bahasa sejarah tercatatkan dalam buku-buku. Bahkan kitab-kitab suci yang dianggap sakral bagi umat-umat terdahulu oleh manusia termaktubkan denganya. Orang-orang hindistan sebagai contoh, mereka memiliki kitab suci Weda yang tidak lain merupakan sumber studi bahasa dan daya ucap khususnya. Dan dari sinilah sejarah permulaan bahasa dianggap sebagai mata pelajaran dan studi. Orang-orang Hindustan mencurahkan perhatian mereka kepada pembahasan semantik dari para pemikir Yunani. Mereka mengkaji pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan pemahaman yang alami tentang kata dan kalimat. Bahkan mereka mengkaji sebagian besar problematika yang diungkapkan dalam linguistic modern dari pembahasan-pembahasan semantik.
Diantara tema-tema yang mereka bicarakan ialah:
1). Hubungan antara kata dan makna
Tema ini menjadi sasaran perhatian orang-orang Hindustan sebelum orang-orang Yunani. Ada beberapa pendapat mereka seputar tema ini, diantara mereka ada yang menerima ide tabayyun antara kata dan makna. Ada juga yang menjelaskan hubungan antara kata dan makna dengan hubungan yang klasik dan alami.
2). Jenis-jenis makna untuk suatu kata
Orang-orang Hindustan mempelajari susunan yang berbeda untuk Sesutu yang membentuk makna kata. Seperti :
-                                     Dalalah kata yang bermakna bentuk seperti, tinggi
-                                     Dalalah kata yang bermakna peristiwa atau perbuatan seperti,datang.[2]
2.      Masa Modern
         Kegiatan para ilmuan di masa klasik dalam mengkaji makna belum bisa dikatakan sebagai kajian semantik, sebagi ilmu yang berdiri sendiri, akan tetapi kajian mereka itu merupakan embrio dari semantik. Baru di akhir abad ke-19, istilah “semantik” di Barat, sebagai ilmu yang berdiri sendiri ini dikembangkan oleh ilmuan Prancis, Michael Breal. Kajian semantik menjadi lebih terarah dan sistematis setelah tampilanya Ferdinand de Saussure dengan karyanya “Course de Linguistique Generale” (1916), ia lahir di Jenewa, 26 November 1857 meninggal di Vufflens le Chateau, 22 Februari 1913 pada umur 55 tahun.  Ia dijuluki sebagai bapak linguistik modern. Ide-ide Saussure memiliki dampak besar pada pengembangan teori linguistik pada paruh pertama abad ke-20.
Dua arus pemikiran muncul secara independen satu sama lain, satu di Eropa, yang lain di Amerika. Dengan paruh kedua abad ke-20, banyak dari ide-ide Saussure berada di bawah kritik berat. Ide linguistiknya dianggap penting dalam waktu mereka, tetapi usang dan digantikan oleh perkembangan seperti linguistik kognitif. Bidang linguistik bergeser fokusnya dari Saussure tunggal-kata analisis untuk analisis kalimat secara keseluruhan. Belanda mencatat bahwa sampai tahun 1950-an Saussure dinikmati legitimasi dalam linguistik. [3]
Ferdinand de Saussere dijuliki sebagai bapak linguistik modern. Kajian de Saussure itu selain didasarkan pada analisis struktur bahasa juga berdasarkan analisis sosial, psikologis dan pemikiran. Terdapat dua konsep baru yang ditampilkan De Saussure dan merupakan revolusi dalam bidang teori dan penerapan studi kebahasaan. Kedua konsep itu adalah :
1.    Linguistik pada dasarnya merupakan studi kebahasaan yang fokus pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu sehingga studi yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif. Sedangkan studi tentang sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis.
2.    Bahasa merupakan suatu totalitas yang didukung oleh berbagai elemen. Elemen yang satu dengan yang lain saling ketergantungan dalam rangka membangun keseluruhanya. Wawasan kedua ini, pada sisi lain juga menjadi akar faham linguistic structural. Tokoh yang secara sungguh-sungguh berusaha mengadaptasi pendapat De Saussure itu dalam bidang semantik adalah Trier's.
Setelah Ferdinand de Saussure, ada juga ilmuan yang dianggap cukup memberikan corak, warna, dan arah baru dalam kajian bahasa, yaitu Leonald Bloomfield. Dalam bukunya Languange, ia dipengaruhi oleh aliran behaviorisme yang terdapat dalam psikologi, karena ia menganggap bahwa bahasa merupakan tingkah laku dan makana tidak lain daripada suatu kondisi yang di dalamnya orang mengungkapkan sebuah kata ayau kalimat dan direspon oleh pendengar. Sehingga makna menurutnya kondisi atau respon. Tokoh lain yang berjasa dalam dalam perkembangan linguistik, khususnya semantik adalah Noam Chomsky, seorang tokoh aliran tata bahasa transformasi. Ia menyatakan bahwa makna merupakan unsur pokok dalam analisis bahasa. Pikiran memiliki hubungan langsung dengan simbol (lambang). Lambang tidak memiliki hubungan yang arbitrer. Sehubungan dengan meaning, para pakar semantik bisa menentukan fakta bahwa asal kata meaning (nomina) dari to mean (verba), di dalamnya banyak mengandung meaning yang berbeda-beda. Para ahli semantik sering tidak wajar memikirkan the meaning of meaning yang diperlukan untuk pengantar studi semantik. Mereka sebenarnya cenderung menerangkan semantik dalam hubunganya dengan ilmu lain, para ahli sendiri masih memperdebatkan bahwa makna bahasa tidak dapat dimengerti atau tidak dapat dikembangkan kecuali dalam makna nonlinguistik.[4]
Kajian dilalah selanjutnya sebagaimana Kristoffer Nyrof mengkhususkan satu jilid yang sempurna dari kitabnya "Dirasah Tarikhi Li Nahw al-Lughoh al-Faransiah" ia mengkhususkan untuk perkembangan semantik. Gustaf Stern (1913), mengembangkan kajian tentang makna dan perkembanganya. Pada tahun 1825, seorang berkebangsaan Jerman C. Chr. Resign mengemukkan konsep baru tentang grammar yang meliputi tiga unsure utama, yaitu:
1.      Semasiologi, ilmu tentang tanda
2.      Sintaksis, ilmu tentang kalimat
3.      Etimologi, ilmu tentang asal usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna.
3. Perkembangan Semantik Arab
Di Jazirah Arab, kemunculan ilmu dilalah ini sudah lama, diperkirakan pada awal-awal abad. Ditandai dengan adanya perhatian yang besar dari para saintis Arab. Adapun contoh konkritnya ialah pemberian titik dan baris pada al-Qur’an. Menurut Anwar hal tersebut merupakan bagian cakupan dari ilmu dilalah (semantik), dikarenakan al-Qur’an pada awalnya hadir tanpa titik dan baris. Dan perubahan suatu kata, baik itu pemberian titik atau baris menjadikannya beralih tugas, kemudian secara otomatis memiliki makna baru.
Tidak sebatas itu, studi bahasa yang dilakukan oleh para saintis Arab. Al-Qur’an sebagai kitab yang kaya akan ilmu pengetahuan, ilmu dilalah merupakan salah satu diantara perangkat untuk mengkaji al-Qur’an . Tahun 1883 merupakan masa kebangkitan ilmu ini, dimana seorang saintis bernama Michelle Breal mengumumkan kelahiran suatu disiplin ilmu baru yang dalam pembahasannya berfokus pada “makna/arti”. Yang disebut dengan semantik. Abu Hatim al-Razi sebagai perintis perkembangan semantik, telah mengumpulkan beberapa kata yang mengalami perkembangan semantik. Menurutnya perkembangan semantik mengambil beberapa bentuk yaitu:
1. Makna lama yang diwariskan
2. Lafal lama yang diberi makna baru setelah datangnya Islam baik dalam bentuk perluasan makna, penyempitan maupun pergeseran makna.
3. Lafal yang sama sekali baru baik dari segi bangun katanya maupun maknanya yang tidak dikenal oleh orang Arab sebelumnya.
4. Lafal baru yang diserap dari bahasa asing

4. Perkembangan Semantik di Indonesia
Sebelum kita membahas tentang semantik di Indonesia, kita akan mengulas asal dari bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu yang secara resmi menjadi bahasa Indonesia pada saat sumpah pemuda, memiliki perkembangan yang sangat cepat dan sebuah bahasa daerah yang memang sudah berfungsi sebagai lingua panca di Nusantara menjadi suatu bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa Negara. Studi yang serius mengenai bahasa Indonesia telah banyak dilakukan orang, baik yang dilakukan sarjana bangsa Indonesia sendiri maupun bangsa asing. Semua segi dan aspek kebahasan bahasa Indonesia telah di teliti orang salah satunya masalah Semantik. Pembicaraan khusus mengenai semantik bahasa Indonesia sejauh ini yang ada barulah dari Slamet Mulyana (1964) dan D.P. Tampu bolon (1979). Sedangkan yang dibuat Mansur pateda dan Aminuddin adalah bersifat umum teoritis ilmiah.
     
















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mukhtar Umar, ‘Ilm al-Dilalah, Kairo: Alam al-Kutub, 1993
Betra yunisol, Ilmu Ad Dilalah, Teori Sejarah Dan ilmu dilalah al farabi, Padang, 2017









[1]أحمد مختار عمر، علم الدلالة، قاهرة: عالم الكتب، 1993،ص. 11
[2]Betra yunisol, Ilmu Ad Dilalah, Teori Sejarah Dan ilmu dilalah al farabi, Padang, 2017, hal. 14
[4]Op Cit., Betra Yunisol hal. 19  

Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment