PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ilmu Ad dilalah
Ilmu Ad-Dalalah merupakan salah satu
bagian dari tata bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa dan semantik.
Semantik diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna. Dalam bahasa Arab,
ilmu Ad-Dalalah terdiri atas dua kata, yaitu: ilmu dan Ad-Dalalah. Ilmu yang
berarti pengetahuan dan Ad-Dalalah yang berarti petunjuk atau makna. Jadi ilmu Ad-Dalalah
menurut bahasa adalah ilmu pengetahuan tentang makna. Secara terminologi
ilmu dalalah sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang telah berdiri
sendiri adalah ilmu yang mempelajari makna suatu bahasa, baik pada tatanan mufradat
(kosa kata) maupun pada tatanan tarakib (struktur).
“Dalalah” دلالة
atau
“dilalah” secara umum adalah:
الدلالة
هي فهم أمر من أمر آخر
“memahami sesuatu atas sesuatu yang lain”
Di
dalam ilmu Ad-dalalah ada juga ilmu al-rumuz (semiotik) yang mempelajari
tanda secara umum, baik terkait dengan bahasa atau non bahasa. Sementara ilmu Ad-Dalalah
mengkaji masalah tanda dalam bahasa. Dalam sistem semiotik, bahasa dibedakan ke
dalam tiga komponen, yaitu:
1.
Sintaksis, terkait
dengan lambang dan bentuk hubungan
2.
Semantik, terkait
dengan hubungan antar lambang dan dunia luar yang diacunya
3. Pragmatik,
terkait dengan hubungan antara pemakai bahasa dengan lambang dalam pemakaiannya.[1]
Kata sesuatu yang disebutkan pertama
disebut “madlul” (مدلول) (yang ditunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul
itu adalah “hukum” itu sendiri. Kata sesuatu yang disebut kedua kalinya disebut
“dalil” (دليل) (yang menjadi petunjuk).
Dalam hubungannya dengan hukum, dalil
itu disebut “dalil hikim. Secara terminologis, ‘ilm al-dalalah sebagai
salah satu cabang linguistik (‘ilm al-lughoh) yang berdiri sendiri yaitu
ilmu yang mempelajari tentang makna suatu bahasa, baik pada tataran mufradat
(kosa kata) maupun paa tatanan tarakib (struktur). Kata semantik
dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantiks) semula berasal dari bahasa Yunani, sema
(kata benda yang berarti “tanda”) atau “lambang". Kata kerjanya adalah
semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud
dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda
linguistik (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan
oleh Ferdinand de Saussure (Chaer, 2009:2) yaitu yang terdiri dari (1) komponen
yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen
yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini
adalah merupakan tanda dan lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya
adalah sesuatu yang berada diluar bahasa yang lazmi disebut referen atau hal yang
ditunjuk.
Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah
yang digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara
tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain,
bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa.
Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan
bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna
dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu.
B. Sejarah Lahirnya Ilmu Ad-Dilalah
Bahasa semenjak lama telah berhasil
menarik perhatian para pemikir, sebab bahasa adalah salah satu roda utama yang
menjalankan kehidupan manusia semenjak diciptakannya, baik dalam berfikir
terlebih lagi dalam hal berkomunikasi antar sesama manusia. Peranan bahasa tak
seorang pun akan memungkirinya. Dan dengan bahasa pula sejarah pun tecatatkan
dalam buku-buku. Bahkan kita-kitab suci yang dianggap sakral bagi umat-umat
terdahulu oleh manusia termaktubkan dengannya. Orang-orang Hindustan, sebagai
contoh, memiliki kitab suci, Weda yang tak lain juga merupakan sumber studi
bahasa dan daya ucap khususnya. Dan dari sinilah, sejarah permulaan bahasa
dianggap sebagai mata pelajaran dan studi. Namun, tak ada yang luput dari
perdebatan dan perselisihan terhadap sesuatau yang belum jelas secara pasti
keberadaannya atau kelahirannya. Demikian halnya dengan bahasa, sejarah
lahirnya pun menuai pedebatan. Banyak pendapa yang dilontarkan oleh para
saintis sejarah dan bahasa mengenai kapan dan dari mana awal kemunculan bahasa
di tengah manusia. Di antara sederetan pendapat itu, ada yang mengakatakan:
”keberadaan bahasa erat kaitannya dengan hubungan antara kata dan makna, sama
halnya eratnya hubungan antara api dan asap”. Jadi, Bahasan ad-dilalah pun lebih
fokus pada hubungan antara kata dan makna. Olehnya, ada dua sisi yang saling
kait-mengait dalam bahasan ini, hubungan antara kosakata dan kalimat dan
hubungan lafadz dan makna.
C.
Tinjauan Sejarah Ilmu Ad Dilalah
Pada
zaman Yunani para filusuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan hakikat
bahasa. Para filusuf tersebut telah sepakat bahwa bahasa adalah sistem tanda.
Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi
kehidupan manusia. Tetapi mengenai hakikat bahasa, apakah bahasa mirip realitas
atau tidak, mereka belum sepakat. Dua filusuf besar yang pemikirannya terus
berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles. Plato (lahir sekitar
427 SM - meninggal sekitar 347 SM) adalah seorang filsuf dan matematikawan
Yunani, penulis philosophical dialogues dan pendiri dari Akademi Platonik di
Athena sedangkan Aristoteles hidup pada tahun 384 SM.
1.
Masa Klasik
a). Masa Yunani Kuno
a). Masa Yunani Kuno
Secara historis, sejarah kajian makna sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Aristoteles
dilahirkan di kota Stagira, Macedonia, 384 SM. Ayahnya seorang ahli
fisika kenamaan. Pada umur tujuh belas tahun Aristoteles pergi ke Athena
belajar di Akademi Plato. Masa Aristoteles merupakan periode awal dari sejarah ilmu
ad-Dilalah dengan istilah semantik. Hubungan kata dan makna berupa ide atau
segala sesuatu yang ada merupakan salah satu pembicaraan yang terpenting pada
abad pertengahan. Aristoteles adalah pemikir yang menggunakan istilah makna
lewat batasan pengertian kata. Menurut Aristoteles kata adalah satuan terkecil
yang mengandung makna. Karena kata dan
makna memiliki hubungan yang sangat erat, seperti halnya api dan asap. Uraian
diatas memberikan gambaran bahwa cikal bakal munculnya semantik adalah sejak
masa Aristoteles, meskipun sebelumnya telah ada yang mengkaji makna untuk
hal-hal tertentu. Namun hal itu lebih banyak mengaruh pada filsafat yang
berkembang pesat pada saat itu.
Polemik
yang pernah dibahas oleh plato dalam pembicaraanya dengan gurunya Socrates
adalah hubungan antar kata dan makna. Menurut plato, ada perbedaan pendapat
apakah hubungan itu alami ataukah buatan menurut urf yang berlaku.
Aristoteles menjelaskan pendapat Plato berkaitan dengan bahasa dan
fenomena-fenomena bahasa bahwa hubungan antara kata dan makna merupakan
hubungan buatan atau urf. Bahasa itu adalah sistem lambang yang berwujud
bunyi, maka tentu ada yang dilambangkan. Yang dilambangkan itu adalah suatu
pengertian, konsep atau ide pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi.
Oleh karena lambang-lambang itu mengacu pada suatu konsep, idea tau pikiran
maka dapat dikaitkan bahwa bahasa itu merupakan makna. Lambang-lambang bunyi
bahasa yang bermakna itu di dalam bahasa berupa satuan-satuan bahasa yang
berwujud morfem, kata, frase, klausa, kalimat dan wacana. Karena bahasa itu bermakna,
maka segala ucapan yang tidak mempunyai makana dapat disebut bukan bahasa.
Plato
merupakan guru Aristoteles ia menyatakan bahwa bunyi-bunyi secara implisit juga
mengandung makna-makna tertentu namun studi bahasa yang banyak digunakan pada
masa itu hanya berkaitan dengan studi filsafat, masih sedikit yang membahas
tataran bunyi, tataran gramatika dan tataran makna bahkan bisa dikatakan belum
ada. Sistem bahasa itu bisa berupa lambang yang wujudnya berupa bunyi. Kata
bunyi sulit dibedakan dengan kata suara.
Secara
teknik menurut Kridalaksana ( 1983: 27 ) bunyi adalah kesan dari pusat saraf
sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena
perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Lalu yang dimaksud bunyi pada bahasa
atau yang termasuk lambang bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia. Jadi bunyi yang bukan
dihasilkan oleh alat ucap manusia tidak termasuk bunyi bahasa. Seperti teriak,
bersin, batuk-batuk dll.
b).
Hindustan
bahasa
sejak lama telah menjadi objek perhatian para pemikir, sebab bahasa adalah
salah satu roda utama dalam kehidupan manusia semenjak diciptakannya, baik
dalam berfikir maupun dalam berkomunikasi antar sesame manusia. Dengan adanya
bahasa sejarah tercatatkan dalam buku-buku. Bahkan kitab-kitab suci yang
dianggap sakral bagi umat-umat terdahulu oleh manusia termaktubkan denganya.
Orang-orang hindistan sebagai contoh, mereka memiliki kitab suci Weda yang
tidak lain merupakan sumber studi bahasa dan daya ucap khususnya. Dan dari
sinilah sejarah permulaan bahasa dianggap sebagai mata pelajaran dan studi.
Orang-orang Hindustan mencurahkan perhatian mereka kepada pembahasan semantik dari
para pemikir Yunani. Mereka mengkaji pembahasan-pembahasan yang berhubungan
dengan pemahaman yang alami tentang kata dan kalimat. Bahkan mereka mengkaji
sebagian besar problematika yang diungkapkan dalam linguistic modern dari
pembahasan-pembahasan semantik.
Diantara
tema-tema yang mereka bicarakan ialah:
1).
Hubungan antara kata dan makna
Tema
ini menjadi sasaran perhatian orang-orang Hindustan sebelum orang-orang Yunani.
Ada beberapa pendapat mereka seputar tema ini, diantara mereka ada yang
menerima ide tabayyun antara kata dan makna. Ada juga yang menjelaskan hubungan
antara kata dan makna dengan hubungan yang klasik dan alami.
2).
Jenis-jenis makna untuk suatu kata
Orang-orang
Hindustan mempelajari susunan yang berbeda untuk Sesutu yang membentuk makna
kata. Seperti :
-
Dalalah kata yang bermakna bentuk
seperti, tinggi
-
Dalalah kata yang bermakna peristiwa
atau perbuatan seperti,datang.[2]
2.
Masa Modern
Kegiatan para ilmuan di masa klasik dalam mengkaji makna belum bisa dikatakan sebagai kajian semantik, sebagi ilmu yang berdiri sendiri, akan tetapi kajian mereka itu merupakan embrio dari semantik. Baru di akhir abad ke-19, istilah “semantik” di Barat, sebagai ilmu yang berdiri sendiri ini dikembangkan oleh ilmuan Prancis, Michael Breal. Kajian semantik menjadi lebih terarah dan sistematis setelah tampilanya Ferdinand de Saussure dengan karyanya “Course de Linguistique Generale” (1916), ia lahir di Jenewa, 26 November 1857 meninggal di Vufflens le Chateau, 22 Februari 1913 pada umur 55 tahun. Ia dijuluki sebagai bapak linguistik modern. Ide-ide Saussure memiliki dampak besar pada pengembangan teori linguistik pada paruh pertama abad ke-20.
Kegiatan para ilmuan di masa klasik dalam mengkaji makna belum bisa dikatakan sebagai kajian semantik, sebagi ilmu yang berdiri sendiri, akan tetapi kajian mereka itu merupakan embrio dari semantik. Baru di akhir abad ke-19, istilah “semantik” di Barat, sebagai ilmu yang berdiri sendiri ini dikembangkan oleh ilmuan Prancis, Michael Breal. Kajian semantik menjadi lebih terarah dan sistematis setelah tampilanya Ferdinand de Saussure dengan karyanya “Course de Linguistique Generale” (1916), ia lahir di Jenewa, 26 November 1857 meninggal di Vufflens le Chateau, 22 Februari 1913 pada umur 55 tahun. Ia dijuluki sebagai bapak linguistik modern. Ide-ide Saussure memiliki dampak besar pada pengembangan teori linguistik pada paruh pertama abad ke-20.
Dua arus
pemikiran muncul secara independen satu sama lain, satu di Eropa, yang lain di
Amerika.
Dengan paruh kedua abad ke-20, banyak dari ide-ide Saussure berada di bawah
kritik berat. Ide linguistiknya dianggap penting dalam waktu mereka, tetapi
usang dan digantikan oleh perkembangan seperti linguistik kognitif. Bidang
linguistik bergeser fokusnya dari Saussure tunggal-kata analisis untuk analisis
kalimat secara keseluruhan. Belanda mencatat bahwa sampai tahun 1950-an
Saussure dinikmati legitimasi dalam linguistik. [3]
Ferdinand
de Saussere dijuliki sebagai bapak linguistik modern. Kajian de Saussure itu
selain didasarkan pada analisis struktur bahasa juga berdasarkan analisis
sosial, psikologis dan pemikiran. Terdapat dua konsep baru yang ditampilkan De
Saussure dan merupakan revolusi dalam bidang teori dan penerapan studi
kebahasaan. Kedua konsep itu adalah :
1. Linguistik
pada dasarnya merupakan studi kebahasaan yang fokus pada keberadaan bahasa itu
pada waktu tertentu sehingga studi yang dilaksanakan haruslah menggunakan
pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif. Sedangkan studi
tentang sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang
menggunakan pendekatan diakronis.
2. Bahasa
merupakan suatu totalitas yang didukung oleh berbagai elemen. Elemen yang satu
dengan yang lain saling ketergantungan dalam rangka membangun keseluruhanya.
Wawasan kedua ini, pada sisi lain juga menjadi akar faham linguistic
structural. Tokoh yang secara sungguh-sungguh berusaha mengadaptasi pendapat De
Saussure itu dalam bidang semantik adalah Trier's.
Setelah Ferdinand de Saussure, ada
juga ilmuan yang dianggap cukup memberikan corak, warna, dan arah baru dalam
kajian bahasa, yaitu Leonald Bloomfield. Dalam bukunya Languange, ia
dipengaruhi oleh aliran behaviorisme yang terdapat dalam psikologi, karena ia
menganggap bahwa bahasa merupakan tingkah laku dan makana tidak lain daripada
suatu kondisi yang di dalamnya orang mengungkapkan sebuah kata ayau kalimat dan
direspon oleh pendengar. Sehingga makna menurutnya kondisi atau respon. Tokoh
lain yang berjasa dalam dalam perkembangan linguistik, khususnya semantik
adalah Noam Chomsky, seorang tokoh aliran tata bahasa transformasi. Ia
menyatakan bahwa makna merupakan unsur pokok dalam analisis bahasa. Pikiran
memiliki hubungan langsung dengan simbol (lambang). Lambang tidak memiliki
hubungan yang arbitrer. Sehubungan dengan meaning, para pakar semantik bisa
menentukan fakta bahwa asal kata meaning (nomina) dari to mean (verba),
di dalamnya banyak mengandung meaning yang berbeda-beda. Para ahli
semantik sering tidak wajar memikirkan the meaning of meaning yang
diperlukan untuk pengantar studi semantik. Mereka sebenarnya cenderung
menerangkan semantik dalam hubunganya dengan ilmu lain, para ahli sendiri masih
memperdebatkan bahwa makna bahasa tidak dapat dimengerti atau tidak dapat
dikembangkan kecuali dalam makna nonlinguistik.[4]
Kajian
dilalah selanjutnya sebagaimana Kristoffer Nyrof mengkhususkan satu jilid yang
sempurna dari kitabnya "Dirasah Tarikhi Li Nahw al-Lughoh al-Faransiah"
ia mengkhususkan untuk perkembangan semantik. Gustaf Stern (1913),
mengembangkan kajian tentang makna dan perkembanganya. Pada tahun 1825, seorang
berkebangsaan Jerman C. Chr. Resign mengemukkan konsep baru tentang grammar
yang meliputi tiga unsure utama, yaitu:
1. Semasiologi,
ilmu tentang tanda
2. Sintaksis,
ilmu tentang kalimat
3. Etimologi,
ilmu tentang asal usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna.
3. Perkembangan Semantik Arab
Di Jazirah Arab, kemunculan ilmu dilalah ini sudah lama,
diperkirakan pada awal-awal abad. Ditandai dengan adanya perhatian yang besar
dari para saintis Arab. Adapun contoh konkritnya ialah pemberian titik dan
baris pada al-Qur’an. Menurut Anwar hal tersebut merupakan bagian cakupan dari
ilmu dilalah (semantik), dikarenakan al-Qur’an pada awalnya hadir tanpa titik
dan baris. Dan perubahan suatu kata, baik itu pemberian titik atau baris menjadikannya
beralih tugas, kemudian secara otomatis memiliki makna baru.
Tidak sebatas itu, studi bahasa yang dilakukan oleh para
saintis Arab. Al-Qur’an sebagai kitab yang kaya akan ilmu pengetahuan, ilmu
dilalah merupakan salah satu diantara perangkat untuk mengkaji al-Qur’an . Tahun
1883 merupakan masa kebangkitan ilmu ini, dimana seorang saintis bernama
Michelle Breal mengumumkan kelahiran suatu disiplin ilmu baru yang dalam
pembahasannya berfokus pada “makna/arti”. Yang disebut dengan semantik. Abu
Hatim al-Razi sebagai perintis perkembangan semantik, telah mengumpulkan
beberapa kata yang mengalami perkembangan semantik. Menurutnya perkembangan
semantik mengambil beberapa bentuk yaitu:
1. Makna
lama yang diwariskan
2. Lafal lama yang diberi makna baru
setelah datangnya Islam baik dalam bentuk perluasan makna, penyempitan maupun
pergeseran makna.
3. Lafal yang sama sekali baru baik
dari segi bangun katanya maupun maknanya yang tidak dikenal oleh orang Arab
sebelumnya.
4. Lafal
baru yang diserap dari bahasa asing
4. Perkembangan Semantik di Indonesia
Sebelum kita membahas tentang
semantik di Indonesia, kita akan mengulas
asal dari bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa
melayu yang secara resmi menjadi bahasa Indonesia pada saat sumpah pemuda, memiliki perkembangan yang
sangat cepat dan sebuah bahasa daerah yang memang sudah berfungsi sebagai
lingua panca di Nusantara menjadi suatu bahasa nasional, bahasa persatuan, dan
bahasa Negara. Studi yang serius mengenai bahasa Indonesia telah banyak
dilakukan orang, baik yang dilakukan sarjana bangsa Indonesia sendiri maupun
bangsa asing. Semua segi dan aspek kebahasan bahasa Indonesia telah di teliti
orang salah
satunya masalah Semantik. Pembicaraan khusus mengenai semantik bahasa Indonesia sejauh ini
yang ada barulah dari Slamet Mulyana (1964) dan D.P. Tampu bolon (1979).
Sedangkan yang dibuat Mansur pateda dan Aminuddin adalah bersifat umum teoritis
ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Mukhtar Umar, ‘Ilm al-Dilalah, Kairo: Alam al-Kutub, 1993
Betra
yunisol, Ilmu Ad Dilalah, Teori Sejarah Dan ilmu dilalah al farabi,
Padang, 2017
[2]Betra
yunisol, Ilmu Ad Dilalah, Teori Sejarah Dan ilmu dilalah al farabi,
Padang, 2017, hal. 14
[3] http://fikriainul.blogspot.co.id/2014/11/biografi-ferdinand-de-saussure.html
18 September 2017 jam 14.00
0 komentar:
Post a Comment