makalah Perkembangan Psikologi Agama


Perkembangan Psikologi Agama
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi  Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah
 PSIKOLOGI AGAMA
Disusun Oleh Kelompok : I
1.     Eval Yuardi          Nim: 07.255 .13

2.  Umi Khairi            Nim: 07.248.13

Dosen Pembimbing :
Harmalis, S.Psi

MAHASISWA JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA ARAB (PBA) IV
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KERINCI
TAHUN AKADEMIK 2014/2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang masalah
Psikologi agama sebagai cabang ilmu yang tergolong masih baru, telah memberikan konstribusi positif terhadap penelitian agama yang ada pada saat ini.
Salah satu cara yang digunakan oleh para peneliti untuk mengetahuai pengaruh agama terhadap kehidupan mereka adalah dengan ilmu psikologi agama.
Pada makalah ini penulis berusaha untuk mengungkapkan kapan munculnya psikologi agama dan perkembangannya sampai saat ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Perkembangan Psikologi Agama?
2.      Apa saja Metode-Metode dalam Psikologi Agama?
3.      Bagaimana Psikologi agama dalam Islam



                                               BAB II                        
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA
A.    Sejarah Perkembangan Psikologi Agama
Untuk menetapkan secara pasti kapan psikologi agama mulai dipelajari memang terasa agak sulit. Baik dalam kitab suci, maupun sejarah tentang agama-agama tidak terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walaupun tidak secara lengkap, ternyata permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama banyak dijumpai melalui informasi kitab suci agama maupun sejarah agama.
Perjalanan hidup Sidharta Gautama dari seorang putra raja Kapilawastu yang bersedia mengorbankan kemegahan dan kemewahan hidup untuk menjadi seorang pertapa menunjukkan bagaimana kehidupan batin yang dialaminya dalam kaitan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Proses perubahan arah keyakinan agama ini mengungkapkan pengalaman keagamaan yang mempengaruhi diri tokoh Agama Budha. Dan proses itu kemudian dalam psikologi agama disebut dengan konversi agama.
Sidharta Gautama yang putra raja itu, sejak kecil sudah hidup dalam lingkungan istana yang serba mewah. Tetapi ketika usia remaja, saat melihat kehidupan masyarakat, Sidharta menyaksikan segala bentuk penderitaan manusia dari yang tua, sakit, dan orang yang meninggal dunia. Pemandangan seperti itu tak pernah dilihat Sidharta sebelumnya. Dari dialog dengan pengawalnya, Sidharta berkesimpulan bahwa kehidupan manusia penuh dengan penderitaan, mengalami usia lanjut, sakit, dan akhirnya mati.
Segala yang disaksikan oleh Sidharta itu kemudian membatin dalm dirinya, hingga pada suatu malam ia keluar dari istana dan meninggalkan segala kemewahan hidup. Ia mengansingkan diri menjadi pertapa, hingga kemudian memberi arah baru dalam kehidupan selanjutnya. Sidharta Gautama mengalami konversi agama dari pemeluk agama Hindu menjadi pendakwah agama baru, yaitu agama Budha. Sidharta kemudian dikenal sebagai Budha Gautama.[1]
Proses yang hampir serupa dilukiskan pula dalam Al-Qur’an tentang cara nabi Ibrahim a.s memimpin umatnya untuk bertauhid kepada Allah. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) berkata:
“Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya taidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian, tatkala dia melihat bulan terbit: dia berkata : “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaki, pastilah aku temasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala is melihat Matahari terbit dia berkata: “ Inilah Tuhanku. Ini yang lebih besar” maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (QS 6:76-78)
Perumpamaan ini melukiskan bagaimana proses konversi terjadi, walaupun dalam informasi kitab suci tersebut dikiaskan kepada Ibrahim a.s yang berusaha meyakinkan pengikutnya tentang kekeliruan meraka menyembah benda-benda alam, yang hakikatnya hanyalah sebagai cipataan dan tak layak disembah.
Berdasarkan sumber Barat para ahli psikologi agama menilai bahwa  kajian mengenai psikologi agama mulai populer sekitar akhir abad ke-19. Sekitar masa itu psikologi yang semakin berkembang digunakan sebagai alat untuk kajian agama. Kajian semacam itu dapat membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berpikir, dan mengemukakan perasaan keagamaan.(Robert H. Thouless, 1992: 1).
Menurut Thouless, sejak terbitnya buku The Varieties of Religion Experience tahun 1903, sebagai kumpulan dari materi kuliah William James di empat Universitas di Skotlandia, maka langkah awal dari kajian psikologi Agama mulai diakui para ahli dan dalam jangka waktu tiga puluh tahun kemudian, banyak buku-buku lain diterbitkan sejalan dengan konsep-konsep serupa.
Sejak itu, kajian – kajian tentang psikologi agama tampaknya tidak hanya terbatas pada masalah-masalah yang menyangkut kehidupan keagamaan secara umum, melainkan juga masalah-masalah khusus. J.B. Pratt misalnya, mengkaji tentang kesadaran beragama melalui bukunya The Religious Conciousness (1920) dan AJ. Appasamy dan BH. Streeter menulis tentang masalah yang menyangkut kehidupan penganut agama hindu dengan bukunya The Shadu (1921).
Ditanah air sendiri tulisan mengenai psikologi agama ini baru dikenal sekitar tahun 1970-an. Yaitu oleh Prof. Dr. Zakiah Drajat dan Prof. Dr. A. Mukti Ali.[2]
B.      Metode- Metode dalam Psikologi Agama
Sebagai disiplin ilmu yang otonom dan empiris, psikilogi agama juga memiliki metode penelitian ilmiah melalui kajian-kajian terhadap fakta-fakta berdasarkan data yang terkumpul dan dianalisis secara objektif.[3]
Dalam meneliti ilmu jiwa agama menggunakan sejumlah metode yang  dapat digunakan sebagai berikut:[4]
1.    Dokumen Pribadi (Personal Document)
Metode ini digunakan untuk mempelajari bagaimana pengalaman dan kehidupan batin seseprang dalam kaberagamaannya. Cara yang dapat ditempuh oleh peneliti adalah mengumpulkan dokumen pribadi orang perorang, baik dalam bentuk otobiografi, biografi, tulisan, ataupun catatan-catatan yang dibuatnya.
2.    Kuesioner dan wawancara
Metode kuesioner maupun wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang lebih banyak dan mendalam secara lansung kepada responden.
3.    Tes (Test)
Tes digunakan untuk mempelajari tingakah laku keagamaan seseorang dalam kondisi tertentu. Untuk memperoleh gambaran yang di inginkan biasanya diperlukan bentuk tes yang sudah disusun secara sisitematis.
4.    Experimen
Teknik experimen digunakan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku keagamaan seseorang melalui perlakuan khusus yang sengaja dibuat.
5.    Observasi melalui pendekatan Sosiologi dan Antropologi
Penelitian ini dilakukan dengn menggunakan data sosiologi dengan mempelajari sifat-sifat manusiawi orang per orang atau kelompok.
6.    Studi agama berdasarkan pendekatan antropologi budaya
Cara ini digunakan dengan membandingkan antara tindak keagamaan (upacara, ritus) dengan menggunakan pendekatan psikologi.
7.    Pendekatan terhadap perkembangan
Teknik ini digunakan untuk meneliti mengenai asal-usul dan perkembangan aspek psikologi manusia dalam hubungannya dengan agama yang dianut. Cara yang digunakan antara lain, melalui pengumpulan dokumen, catatan-catatan, riwayat hidup. Cara ini yang digunakan oleh Sigmund Freud E.B. Taylor dan juga Frans Boas.
8.    Metode Klinis dan Proyektivitas
Dalam pelaksanaannya, metode ini memanfaatkan cara kerja klinis. Penyembuhan dilakukan dengan cara menyelaraskan hubungan antara jiwa dan agama.
9.    Metode umum proyektivitas
Metode ini berupa penelitian dengan cara menyadarkan sejumlah masalah yang mengandung makna tertentu. Selanjutnya peneliti memerhatikan reaksi yang yang muncul dari responden.
10.  Apresepsi Nomotatik
Caranya dengan menggunakan gambar-gambar yang samar. Melalui gambar-gambar yang diberikan, orang yang diteliti diharapkan dapat mengenal dirinya. Selain gambar, khusus untuk anak-anak biasanya diberikan boneka untuk membantu mengenal anggota keluarganya pemberian gambar atau boneka diharapkan akan membantu orang untuk membentuk ide baru yang dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi penelitian.
11.    Studi Kasus (Case Study)
Studi kasus dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen, catatan, hasil wawancara atau lainnya untuk kasus-kasus tertentu.
12.    Survei
Metode ini biasanya digunakan dalm penelitian social dan dapat digunakan untuk tujuan penggolongan manusia dalam hubungannya dengan pembentukan organisasi dalam masyarakat.
C.    Psikologi Agama dalam Islam
Secara terminologis, memang psikologi agama tidak dijumpai dalam kepustakaan Islam klasik, karena latar belakang sejarah perkembangannya bersumber dari literatur Barat dan dikalangan ilmuan Barat yang mula-mula menggunakan sebutan psikologi agama adalah Edwin Diller Starbuck, melalui karangannya Psycholigy of Religion yang terbit tahun 1899. Namun hal ini tidak berarti bahwa diluar itu studi yang berkaitan dengan psikologi agama belum pernah dilakukan oleh para ilmuan non barat.[5]
            Meskipun dikalangan ilmuan Muslim kajian-kajian dalam psikologi agama mulai dilakukan secara khusus sekitar pertengahan abad ke-20, namun permasalahan yang ada sangkut pautnya dengan kajian ini sudah berlansung sejak awal perkembangan Islam. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai konsep ajaran Islam yang dapat dijadikan acuan dalam studi  psikologi agama.
Sudah sejak lama Al-Qur’an menginformasikan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki sosok diri yang terbentuk dari unsur fisik dan non fisik. Secar anatomis, pemahaman unsur fisik tak jauh berbeda dari konsep manusia menurut pandangan ilmuan Barat, meskipun dalam pengertian khusus konsep Islam tentang manusia lebih rinci.
Dalam pengertian umum, Al-quran menyebut manusia sebagai Bani Adam. Konsep ini untuk menggambarkan nilai-nilai universal yanga da pada diri setiap manusia tanpa melihat latar belakang perbedaan jenis kelamin, ras, dan suku bangsa ataupun aliran kepercayaan masing-masing.  Bani adam menggmbarkan tentang kesamaan dan persamaan manusia yang tampak  lebih ditekankan pada aspek fisik.
Selanjutnya manusia menurut pandangan Islam juga dipandang sebagai makhluk psikis. Dari sudut pandang ini, pemahaman manusia berdasarkan aspek psikis ini sama sekali berbeda dengan pandangan ilmuan Barat. Umumnya, pemahaman Barat tentang aspek psikis manusia terbatas pada unsur-unsur cognisi ruh dan akal merupakan potensi manusia yang dapat dikembangkan. Tetapi yang jelas unsur-unsur psikis manusia itu menurut konsep Islam senantiasa dihubungkan dengan nilai-nilai Agama.
Meskipun unsur ruh yang menjadi bagian dari psikis hanya dijelaskan melalui informasi yang sangat terbatas, namun ruh dapat diartikan sebagai unsur psikis yang mengisyaratkan manusia mempunyai kecendrungan yang berbeda-beda.[6] Kemudian unsur akal  merupakan unsur psikis manusia yang mencakup dorongan moral untuk melakukan kebaikan dan menghindarkan  kesalahan karena adanya kemampuan manusia untuk berfikir dan memahami persoalan.[7]
Beranjak dari pendekatan konsep Islam tentang manusia, terungkap bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang memiliki hubungan makhluk-khalik secara fitrah. Untuk menjadikan hubungan tersebut berjalan norlmal maka manusia dianugerahkan berbagai potensi yang dipersiapkan untuk kepentingan pengaturan hubungan tersebut.
Jika dikaji secara cermat sebenarnya permasalahan yang berkaitan dengan psikologi agama memang sudah ada sejak permulaan pengembangan Islam. Tetapi karena ajaran agama Islam merupakan ajaran yang berpusat pada upaya pembentukan akhlak yang mulia dalam upaya memenuhi tuntutan agar dapat menjadi pengabdi Allah yang patuh, maka Islam cenderung dilihat dari aspek ajaran yang tunggal, yaitu agama.





BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Untuk menetapkan secara pasti kapan psikologi agama mulai dipelajari memang terasa agak sulit. Baik dalam kitab suci, maupun sejarah tentang agama-agama tidak terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walaupun tidak secara lengkap, ternyata permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama banyak dijumpai melalui informasi kitab suci agama maupun sejarah agama.
Terdapat berbagai metode-metode dalam psikologi agama, yaitu:
1.      Dokumen Pribadi (Personal Document)
2.      Kuisioner dan wawancara
3.      Tes
4.      Ekperimen
5.      Observasi melalui pendekatan sosiologi dan antropologi
6.      Studi berdasarkan pendekatan antropologi budaya
7.      Pendekatan terhadap perkembangan
8.      Metode klinis dan proyektivitas
9.      Metode umum proyektivitas
10.  Apresepsi nomotatik
11.  Studi kasus
12.  Survei




DAFTAR KEPUSTAKAAN
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2007 
Shihab M. Quraish, Tafsir Al-Manah, Jakarta: Pustaka Kartini 1994

Syamsul Arifin Bambang, Psikologi Agama, Bandung: Pustaka Setia 2008
         


           


[1] Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2007.h. 28
[2] Ibid.,h.30
[3] Bambang Samsul Arifin, Psikologi Agama, Bandung:Pustaka Setia 2008, h.20
[4] Ibid,.h.21
[5] Jalaluddin,.Op.cit.h.45
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Manah, Jakarta: Pustaka Kartini 1994.h.14
[7] Ibid.,h.14
Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

1 komentar: