MAQOMAT DAN AHWAL
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Kelompok Perkuliahan
AKHLAK TASAWUF
Disusun Oleh :
YESI YUARDANI : 3619095
NIFA YANTI
: 3619103
Dosen Pembimbing :
AHMAD AMIN
JURUSAN MANAJEMEN HAJI DAN UMRAH (MHU-D)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
IAIN BUKITTINGG 2019 M / 1441 H
DAFTAR ISI
COVER
DAFTAR
ISI
BAB
I
PENDAHULUAN..................................................................................................
3
A. Latar
Belakang............................................................................................
3
B. Rumusan
Masalah.......................................................................................
3
C. Tujuan.........................................................................................................
3
BAB
II
PEMBAHASAN....................................................................................................
4
A. Pengertian maqomat dan ahwal..................................................................
4
B. Persamaan dan perbedaan maqomat dan ahwal..........................................
5
C. Konsep zuhud, wara’, tawakal, sabar, dan ridha.........................................
5
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Tinjauan analitis terhadap tasawuf
menunjukkan bagaimana para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki
suatu konsepsi tentang jalan menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan
latihan-latihan (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang
dikenal dengan maqam (tingkatan) kepada Allah dan hal (keadaan), yang berakhir
dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat ma’rifat pada umumnya banyak
dikejar oleh para sufi diwujudkan melalui amalan-amalan dan metode-metode
tertentu yang disebut tariqhat, atau jalan dalam rangka menemukan pengenalan
Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku
dikalangan sufi.
B. Rumusan
masalah
1. Apa yang dimaksud dengan maqomat dan ahwal
2. Apa persamaan dan perbedaan maqomat dan
ahwal
3. Apa konsep zuhud, wara’, tawakal, sabar,
dan ridha
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian maqomat dan ahwal
2. Mengetahui persamaan dan perbedaan antara
maqomat dan ahwal
3. Mengetahui konsep zuhud, wara’, tawakal,
sabar, dan ridha
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Maqomat dan Ahwal
1. Maqomat
Maqomat adalah tingkatan seorang hamba di hadapannya tidak lain
merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap, inilah yang membedakannya
dengan keadaan spiritual (hal) yang yang bersifat sementara.[1]
Pembicaraan
tasawuf tidak terlepas juga dengan pembicaraan tentang derajat-derajat
kedekatan seseorang sufi kepada tuhannya. Tingkatan atau derajat dimaksud dalam
kalangan sufi diistilahkan dengan maqam. Semakin tinggi jenjang kesufian maka
semakin dekat pula sufi tersebut kepada Allah swt.
Istilah maqam dikalangan para sufi kadang kala disebut dengan ungkapan
jamaknya yaitu maqamat. Menurut al-Qusyairi yang dimaksud dengan maqam adalah
hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki
hamba tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala
kewajiban.[2]
Dari kedua pendapat diatas, dapat dipahami bahwa maqam adalah kedudukan
seseorang yang menunjukkan kedekatannya kepada Allah swt. Posisi tersebut tidak
diperoleh begitu saja, tetapi harus melalui proses yang sungguh-sungguh. Dengan
kata lain, dapat juga dipahami bahwa proses yang dilalui oleh para sufi untuk
mencapai derajat tertinggi harus melalui maqam-maqam yang banyak, dari maqam
paling rendah sampai tertinggi.
2. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai
keadaan mental yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya. Hal ini merupakan anugerah dan rahmat dari tuhan.
Al-Sarraj, sebagai sufi yang hidup lebih dulu dari pada sufi diatas,
memandang bahwa ahwal adalah “apa-apa yang bersemayam di dalam kalbu dengan
sebab dzikir yang tulus”. Ada yang mengatakan bahwa hal adalah dzikir yang
lirih (khafiy), sebagaimana hadis nabi yang menyatakan bahwa sebaik-baik dzikir
adalah yang lirih (khayr al-dzikir al-khafy). Dalam pandangan al-Sarraj, hal
(ahwal) tidak diperoleh melalui ibadah, riyadhah, dan mujahadah sebagaimana
maqamat, melainkan anugerah dari Allah swt.
Jika dirunut sejarahnya, konsep tentang maqomat dan ahwal sesungguhnya
telah ada pada masa awal-awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang dua
konsep penting dalam tasawuf ini adalah Ali bin Abi Thalib: ketika ia ditanya
tentang iman, ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat pondasi: kesabaran
(shabr), keyakinan (yaqin), keadilan (‘adl) dan perjuangan (jihad). Senada
dengan pandangan ini, tokoh pertama yang juga membahas tentang ahwal adalah
Zunnun al-Mishri (w. 796 M – 861 M), sementara Sari al-Saqati (w. 253 M – 867
M) merupakan sudi pertama yang menyusun maqomat dan menjelaskan tentang ahwal.[3]
B. Persamaan
dan perbedaan antara maqomat dan ahwal
1. persamaan
Merupakan inti kajian dan ajaran tasawuf,
dapat dialami oleh setiap sufi.
2. perbedaan
maqomat merupakan tingkatan seorang hamba di hadapan
tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya. Artinya
maqomat merupakan hasil usaha manusia, sedangkan ahwal adalah suatu kondisi
atau keadaan jiwa yang diberikan Allah kepada seseorang hamba, tanpa harus
dilakukan suatu latihan oleh orang tersebut.
C. Konsep
Zuhud, Wara’, Tawakal, Sabar dan Ridho
1. Zuhud
Menurut bahasa, zuhud ialah meninggalkan sesuatu dan berpaling darinya,
tanpa kecenderungan dan keinginan padanya, juga bermakna : meremehkan dan
merendahkannya. Sebagian ulama sufi juga memaknai zuhud sebagai meninggalkan
segala kesenangan fana duniawi demi kebahagiaan abadi ukhrawi.[4]
Abu Nasr as-Sarraj menguraikan tiga level zuhud. Pertama, para
pemula. mereka adalah orang yang tangannya kosong dari kepemilikan, sebagaimana
hatinya juga kosong dari apa yang kosong ditangannya. Ini sesuai dengan jawaban
al-junaid rahimallah tatkala ditanya tentang zuhud, “Zuhud adalah
kosongnya tangan dari pemilikan, dan kosongnya hati dari ketamakan”. Sari
as-Saqhati rahimallah ditanya tentang zuhud, maka ia menjawab,
“hendaknya hati seseorang kosong dari apa yang tak ada di tangannya”.
Kedua, adalah
orang-orang yang sanggup mengaktualisasikan kebenaran secara hakiki dalam
berzuhud. Kelompok kedua ini adalah sebagaimananyang diungkapkan oleh Ruwaim
bin Ahmad tatkala ditanyatentang zuhud, “Zuhud adalah meninggalkan kepentingan-kepentingan
nafsu dari seluruh bagian yang ada di dnuia.” Ini adalah zuhud orang-orang yang
sanggup mengaktualisasikan kebenaran secara hakiki.
Ketiga, adalah
mereka yang tahu dan yakin, bahwa andaikan seluruh dunia ini menjadi miliknya
sebagai suatu yang halal, dan tidak bakal dihisap di akhirat nanti serta tidak
mengurangi sedikitpun kedudukan mereka disisi Allah. Tentu zuhud mereka adalah
dari sesuatu (dunia) yang sejak Allah menciptakannya dia tidak pernah
melihatnya.[5]
2. Wara’
Wara’ yaitu menjauhi atau meninggalkan segala hal belum jelas halal dan
haram nya serta orang yang menjaga marwah (harga diri). Hal ini berlaku dalam
segala hal atau aktifitas kehidupan manusia seperti makanan, minuman, pakaian,
pembicaraan, perjalanan dan lain-lain.
Dan dalam pengertian sufi al-wara’adalah meninggalkan segala yang di
dalamnya terdapat keraguan antara halal dan haram (syubhat). Sikap menjauhi
diri dari yang syubhat ini sejalan dengan hadis nabi yang berbunyi :
Artinya:
Barangsiapa
yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia terbebas dari yang
haram.(HR. Bukhari).
Hadis tersebut menunjukkan bahwa syubhat lebih dekat pada yang haram.
Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, atau memakannya.
Oranng yang demikian akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dan ilham
dari tuhan.
3. Tawakkal
Dalam syariat Islam diajarkan bahwa tawakal dilakukan segala daya dan
upaya dan ikhtiar dijalankannya. Tasawuf menjadikan maqam tawakal sebagai
wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan hati manusia agar tidak
memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah.
Tawakal merupakan keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada
Allah swt. Serta berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan
kekuatan. Dikatakan oleh sejumlah kaum sufi bahwa barangsiapa yang hendak
melaksanakan tawakal dengan sebenar-benarnya hendaknya ia menggali kubur di
situ melupakan dunia dan penghuninya, artinya tawakal mencerminkan penyerahan
diri manusia kepada Allah swt.[6]
Al-Qusairy lebih lanjut mengatakan bahwa tawakal tempatnya di dalam
hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat
dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan
hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi
kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah.[7]
4. Sabar
Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry,
sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak
Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup
walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi.
Di kalangan sufi sabar diartikan sabar dalam menjalankan
perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangannya dan dalam menerima
segala percobaan-percobaan yang ditimpakannya pada diri kita. Sabar dalam
menunggu datangnya pertolongan Allah. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak
menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Sikap sabar sangat dianjurkan dalam
ajaran al-Qur’an. Allah berfirman :
فَاصْبِرْ
كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ…
Artinya :
“Maka bersabarlah kamu seperti
orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dan
rasul-rasul dan jangan lah kamu meminta disegerakan
(azab) bagi mereka.
(QS. Al-Ahqaf,46:35).
Menurut Ali bin Abi Thalib bahwa sabar itu
adalah bagian dari iman sebagaimana kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari
jasad
5. Ridha
Rela (ridha) berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang
dianugerahkan Allah swt. Orang yang rela mampu menerima dan melihat hikmah dan
kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap
ketentuannya.
Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang
qada dan qadar Allah. Menerima qada dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan
perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan
senang dan gembira.[8]
Menurut Abdul Halim Mahmud, ridha mendorong manusia berusaha sekuat
tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan rasulnya. Sebelum mencapainya ia
harus menerima dan merelakan akibatnya dengan apa pun yang disukai Allah.
Manusia biasanya merasa sukar menerima keadaan-keadaan yang biasa
menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat dan
kedudukan, kematian dan lain-lain yang dapat bertahan dari berbagai cobaan itu
hanyalah orang-orang yang telah memiliki sifat ridha. Selain itu ia juga rela
berjuang atas jalan Allah, rela menghadapi segala kesukaran, rela membela
kebenaran, rela berkorban harta, jiwa dan lainnya. Semua itu bagi sufi
dipandang sebagai sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi
bahkan dianggap sebagai ibadah semata-mata karena mengharapkan keridhoan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Zaprulkhan. 2016. Ilmu Tasawuf Sebuah
kajian Tematik. Jakarta:PT Rajagrafindo Persada
Nasution, Bangun, Nasution.2015. Akhlak
Tasawuf. Jakarta:PT Rajagrafindo Persada
Nata,Abuddin. 2011. Akhlak Tasawuf.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/substantia/article/download/4920/3243
[1] Ahmad Bangun
Nasution,Rayani Hanum Siregar, Akhlak tasawuf, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2015, hal.47
[2] https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/substantia/article/download/4920/3243
[3] Ahmad Bangun
Nasution,Rayani Hanum Siregar, Akhlak tasawuf, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2015, hal.54
[4] Zaprulkhan,Ed. Nuran
Hasanah,Ilmu Tasawuf Sebagai Kajian Tematik,PT Rajagrafindo
Persada,Jakarta, 2016, hal.49
[5] Ibid…hal.49-50
[6] Ahmad Bangun
Nasution,Rayani Hanum Siregar, Akhlak tasawuf, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2015, hal.51
[7] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal.202
[8] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal.203
0 komentar:
Post a Comment