MAKALAH LANDASAN ONTOLOGI ILMU

Diajukan untuk Dipresentasikan dalam

Mata Kuliah Filsafat Ilmu

 


Oleh:

 

 

YESI YUARDANI

 

 

Dosen Pembimbing;

 

Zulfikri

 

 

 

PROGRAM STUDI MANAJEMEN HAJI DAN UMROH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI

1441 H/2020 M

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi membahas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir. Ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu.

Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari suatu pengetahuan dengan jalan melakukan pengamatan ataupun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan atau penelitiannya tersebut. Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional.

B.     Rumusan masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan ontologi?

2.      Apa landasan ontologi?

3.      Apa saja cabang dari ontologi?

4.      Apa yang dimaksud dengan metafisika ontologi?

C.    Tujuan penulisan

Untuk mengetahui dan mejelaaskan tentang:

1.      Pengertian ontologi

2.      Landasan ontologi

3.      Cabang ontologi

4.      Metafisika ontologi

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ontologi

Kata ontologi berasal dari perkataan yunani, yaitu Ontos: being, dan Logos:logic. Jadi, ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan) atau ilmu tentang yang ada. Ontologi diartikan sebagai suatu cabang metafisika yang berhubungan dengan kajian mengenai eksistensi itu sendiri. Ontologi mengkaji sesuai yang ada, sepanjang sesuatu itu ada.[1]

Clauberg menyebut ontologi sebagai “ilmu pertama,” yaitu studi tentang yang ada sejauh ada. Studi ini dianggap berlaku untuk semua entitas, termasuk Allah dan semua ciptaan, dan mendasari teologi serta fisika. Pertanyaan yang berhubungan obyek apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi), bagaimana cara mengetahui pengetahuan tersebut (epistemologi), dan apa fungsi pengetahuan tersebut (aksiologi).[2]

Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Kajian tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis adalah Thales, Plato, dan Aristoteles. Thales, misalnya, melalui perenungannya terhadap air yang ada di mana-mana, ia sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan “substansi terdalam” yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Yang penting bagi kita sesungguhnya bukanlah ajarannya yang mengatakan air itulah asal mula segala sesuatu, melainkan pendiriannya bahwa “mungkin sekali segala sesuatu berasal dari satu substansi belaka.”

Muhadjir (2001 : 57), mengemukakan bahwa objek telaah ontologi adalah yang ada, studi tentang yang ada, dan tidak terikat oleh suatu perwujudan tertentu. Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada.

Objek material ontologi adalah yang ada, artinya segala-galanya, meliputi yang ada sebagai wujud konkrit dan abstrak, indrawi maupun tidak indrawi.  Objek formal ontologi adalah memberikan dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia dan Tuhan. Titik tolak dan dasar ontologi adalah refleksi terhadap kenyataan yang paling dekat yaitu manusia sendiri dan dunianya.  Ontologi berusaha untuk mengetahui esensi  terdalam dari “yang ada. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan “Apakah saya ini tidak berbeda dengan batu karang.

Dengan demikian ontologi berarti suatu usaha intelektual untuk mendeskripsikan sifat-sifat umum dari kenyataan; suatu usaha untuk memperoleh penjelasan yang benar tentang kenyataan; studi tentang sifat pokok kenyataan dalam aspeknya yang paling umum sejauh hal itu dapat dicapai; teori tentang sifat pokok dan struktur dari kenyataan. Ontologi merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat tentang apa yang dikaji atau hakikat realitas yang ada yang memiliki sifat universal.

Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:

Ø  Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak.

Ø  Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.

B.     Landasan Ontologis

Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn).

Ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris. Secara sederhana objek kajian ilmu ada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek kajian ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pacaindera manusia. Dalam batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti batu-batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan , hewan atau manusia itu sendiri. Berdasarkan hal itu maka ilmu ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris, di mana objek-objek yang berbeda di luar jangkaun manusia tidak termasuk di dalam bidang penelaahan keilmuan tersebut.

Obyek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap dunia empiris.

Suriasumantri (2003: 110), menjelaskan bahwa ilmu merupakan salah satu usaha manusia untuk memperkaa dirinya. Ilmu dapat diartikan sebuah sistem yang melahirkan sebuah kebenaran.

Ilmu merupakan keseluruhan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan logis. Ilmu bukanlah sekedar kumpulan fakta, melainkan pengetahuan yang mempersyaratkan objek, metode, tori, hukum, atau prinsip. (Afifuddin, 2011: 31)

Jika kita mempertanyakan apa batas kerja ilmu atau batas penjelajahan ilmu maka bisa dijelaskan bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari sesuatu yang bukan dari pengalaman manusia, maka ilmu tidak bekerja di luar batas kerjanya seperti keyakinan surga dan neraka. Pada prinsipnya ilmu sendiri dalam kehidupan manusia sebagai alat pembantu untuk bisa membongkar berbagai problem manusia dalam batas pengalamannya.

Ilmu membatasi lingkup penjelajahan pada batas pengalaman manusia. Metode yang dipergunakan dalam menyusun ilmu telah teruji kebenarannya secara empiris. Dalam perkembangannya kemudian maka muncul banyak cabang ilmu yang diakibatkan karena proses kemajuan dan penjelajahan ilmu yang tidak pernah berhenti. Dari sinilah kemudian lahir konsep “kemajuan” dan “modernisme” sebagai anak kandung dari cara kerja berpikir keilmuan. Ahli ontologi menggunakan beberapa pertanyaan mendasar tentang keberadaan sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang paling ideal. Pertanyaan-pertanyaan utama dalam ontologi adalah:

1.Atas dasar apakah ”sesuatu” itu dikatakan sebagai ”ada”?

2.Jika ”sesuatu” itu dikatakan ”ada”, bagaimana cara mengelompokkannya?

Kedua pertanyaan tersebut telah mendorong dilakukannya upaya untuk membagi entitas-entitas yang melekat pada ”sesuatu” menjadi kelompok atau kategori. Karena jumlah entitas sangat banyak, maka daftar kategori yang dibuat juga beragam. Untuk mempermudah kita menemukan kategori yang diinginkan, kategori-kategori yang ada disusun dan dihubungkan dalam bentuk skema. Aplikasi dari kategorisasi entitas dapat dilihat dalam ilmu perpustakaan dan IT.

Konsep-konsep yang berkembang dalam ontologi ilmu dapat dirangkum menjadi 5 konsep utama, yaitu :

1.      Umum (universal) dan Tertentu (particular)

Umum (universal) adalah sesuatu yang pada umumnya dimiliki oleh sesuatu, misalnya: karakteristik dan kualitas. “Umum” dapat dipisahkan atau disederhanakan melalui cara-cara tertentu. Sebagai contoh, ada dua buah kursi yang masing-masing berwarna hijau, maka kedua kursi ini berbagi kualitas ”berwarna hijau” atau ”menjadi hijau”.

2.      Substansi (substance) dan Ikutan (accident)

Substansi adalah petunjuk yang dapat menggambarkan sebuah obyek, atau properti yang melekat secara tetap pada sebuah obyek. Jika tanpa properti tersebut, maka obyek tidak ada lagi. Ikutan (accident) dalam filsafat adalah atribut yang mungkin atau tidak mungkin. Menurut Aristoteles, ”ikutan” adalah kualitas yang dapat digambarkan dari sebuah obyek. Misalnya: warna, tekstur, ukuran, bentuk dsb.

3.      Abstrak dan Kongkrit

Abstrak adalah obyek yang ”tidak ada” dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi ”ada” pada sesuatu yang tertentu, contohnya: ide, permainan tenis (permainan adalah abstrak, sedang pemain tenis adalah kongkrit).
Kongkrit adalah obyek yang ”ada” pada ruang tertentu dan mempunyai orientasi untuk waktu tertentu. Misalnya: awan, badan manusia.

4.      Esensi dan eksistensi

Esensi adalah adalah atribut atau beberapa atribut yang menjadi dasar keberadaan sebuah obyek. Atribut tersebut merupakan penguat dari obyek, jika atribut hilang maka obyek akan kehilangan identitas. Eksistensi (existere: tampak, muncul. Bahasa Latin) adalah kenyataan akan adanya suatu obyek yang dapat dirasakan oleh indera.

5.      Determinisme dan indeterminisme

Determinisme adalah pandangan bahwa setiap kejadian (termasuk perilaku manusia, pengambilan keputusan dan tindakan) adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian kejadian-kejadian sebelumnya. Indeterminisme merupakan perlawanan terhadap determinisme. Para penganut indeterinisme mengatakan bahwa tidak semua kejadian merupakan rangkaian dari kejadian masa lalu.

C.    CABANG ONTOLOGI

Ontologi pengetahuan adalah suatu ajaran tentang hakikat yang ada berdasarkan kepercayaan yang benar yang diperoleh dari informasi yang masuk akal ataupun common sense. Ontologi pengetahuan atau bagian metafisika yang umum, membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh yang mengkaji persoalan – persoalan, seperti hubungan akal dengan benda, hakikat perubahan, pengertian tentang kebebasan, dan lainnya.[3] Dalam pandangan ontologi terdapat beberapa pandangan – pandangan pokok pemikiran, diantaranya :

1.      Monoisme : Paham ini menganggap bahwa hakikat yang berasal dari kenyataan adalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik berupa materi maupun rohani. Paham ini terbagi menjadi dua aliran :

a.       Materialisme, Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu – satunya fakta yang hanyalah materi, sedangkan jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri.

b.      Idealisme, Sebagai lawan dari materialisme yang dinamakan spritualisme. Idealisme berasal dari kata “Ideal” yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak terbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat ini hanyalah suatu jenis dari penjelmaan ruhani.

2.      Dualisme : Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sembernya, yaitu hakikat materi dan ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Menurut aliran dualisme ini materi maupun ruh merupakan sama – sama hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi. Kedua macam hakikat tersebut masing – masing bebas dan berdiri sendiri, sama – sama azali dan abadi, hubungan keduanya menciptakan kehidupan di alam ini. Tokoh paham ini adalah Descater (1596 – 1650 SM) yang dianggap sebagai bapak Filosofi modern).

3.      Pluralisme : Paham ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme tertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Tokoh aliran ini pada masa Yunani kuno adalah Anaxagoras dan Empedcoles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api dan udara.

4.      Nihilisme : Berasal dari bahasa Yunani yang berarti nothing atau tidak ada. Istilah nihilisme dekenal oleh Ivan Turgeniv dalam novelnya Fadhers an Children yang di tulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno, yaitu pandangan Grogias (483 – 360 SM) yang memberikan tiga propersi tentang realitas yaitu :

·         Pertama, tidak ada satupun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada.

·         Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak diketahui, ini disebabkan penginderaan itu tidak dapat di percaya, penginderaan itu sumber ilusi.

·         Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.

Selanjutnya dalam paham nihilisme ini menyatakan bahwa dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas  manusia. Aliran ini tidak mengakui validitas alternatif positif. Dalam pandangan nihilisme, tuhan sudah mati. Manusia bebas berkehendak dan berkreativitas.

5.      Agnotisisme : Aliran agnotisme menganut paham bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat batu, air, api, dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat sesuatu yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya. Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun ruhani, kata agnotisisme berasal dari bahasa Grick. Ignotos yang berarti tidak tahu (unknow), Gno artinya tahu (know). Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara kongkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dikenal.

 

D.    Metafisika Ontologi

Istilah metafisika berasal dari akar kata meta dan fisika. Meta berarti sesudah, selain, atau dibalik. Fisika berarti nyata atau alam fisik. Metafisika berarti sesudah dibalik yang nyata, dengan kata lain metafisika adalah cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan hal-hal dibelakang gejala – gejala yang nyata yang sangat mendasar yang berada diluar pengalaman manusia. Metafisika mengkaji segala sesuatu secara komprehensif. Menurut Asmoro Achmadi (2005 : 14), metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat keluarbiasaan (beyond nature).

 Metafisika mempelajari manusia, namun yang menjadi objek pemikirannya bukanlah manusia dengan segala aspeknya, termasuk pengalamannya yang dapat ditangkap oleh indera. Metafisika mempelajari manusia melampaui atau diluar fisik manusia dan gejala – gejala yang dialami manusia. Metafisika mempelajari siapa manusia, apa tujuannya, dari mana asal manusia, dan untuk apa hidup di dunia ini. Jadi metafisika mempelajari manusia jauh melampaui ruang dan waktu. Begitu juga pembahasan tentang kosmos maupun tuhan, yang dipelajari adalah hakikatnya, di luar dunia fenomenal (dunia gejala).[4]

Metafisika ini dibagi menjadi dua:

1.      Metafisika umum

Metafisika umum ini sering di sebut dengan ontologi berbicara tentang hakikat yang ada, hakikat yang ada ini dibagi menjadi tiga kategori: 

a.       ontologi yang ada dalam angan-angan

Misalnya pada alam barzah, manusia belum pernah merasakan ataupun melihat namun manusia mempunyai angan-angan tentang alam barzah.

b.      ontologi yang ada dalam kemungkinan

Misalnya pada zaman dahulu mengharapkan bisa terbang kemudian terciptalah pesawat terbang.

c.       ontologi yang ada dalam kenyataan 

Yaitu fakta yang dapat di tangkap oleh panca indra

2.      Metafisika khusus

Ini di bagi menjadi tiga, yaitu:

a.       Kosmologi 

Kosmologi memiliki arti membicarakan tentang dunia, alam, dan ketertiban. Dalam filsafat kosmologi ini di bagi menjadi dua yaitu filsafat mekanisme ( memandang realitas sebagai mesin yang berjalan otomatis karena sudah diatur oleh alam) dan filsafat organisme (memandang realitas ini sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibagi).[5]

b.      Antropologi

Merupakan bagian metafisika khusus yang mempersoalkan tentang manusia, apa hakikat manusia itu?

c.       Theologi

Membicarakan tentang tuhan dari segi akal, ini di bagi menjadi tujuh macam, yaitu:

·         Theisme ( mempercayai tuhan yang merupakan pencipta alam raya ini dan yang mengatur alam raya ini(

·         monotheisme ( meyakini bahwa tuhan yang ada dalam alam raya ini hanya ada satu)  

·         Thinitheisme ( mengajarkan bahwa tuhan itu ada tiga, dan ketiganya itu memiliki tugas dan fungsi masing-masing)

·         politheisme (menyatakan bahwa tuhan itu ada banyak)

·         pantheisme ( menyatakan tuhan adalah segala yang ada pada alam, tuhan dan alam itu tidak ada jaraknya)

·         Atheisme ( aliran yang tidak mempercayai adanya tuhan)

·         Agnotisisme ( aliran yang berada di tengah-tengan antara aliran theisme dan atheisme)

Objek kajian ontologi dan metafisika

Objek kajian ontologi adalah yang ada dalam individu maupun yang ada pada umum yang tidak terbatas. Sedangkan objek kajian formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas, objek kajian material filsafat ontologi itu sebagai sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Yang di kaji dalam ontologi alam dan manusia itu hakikat alam dan manusia sehingga menghasilkan ilmu sosial dan ilmu alam.

Objek metafisika itu pengalaman manusia yang telah di abstrakan seperti ketertiban, nilai manusi, sebenarnya kita sudah mempelajari metafisika seperti waktu SD dulu kita mempelajari ilmu matematika, karena ilmu matematika merupakan dalil dari metafisika. 

Contoh lain seperti aristothales (bapak filsuf pertama) yang beranggapan bahwa unsur alamnitu adalah air karena air merupakan sumber kehidupan manusia, sedangkan Anaximander murid dari Aristothales ini beranggapan bahwa unsur alam ini adalah udara karwna udara juga termasuk sumber kehidupan. Kedua pemikiran tersebut diambil dari akal bukan melalui agama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1.      Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Kajian tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis adalah Thales, Plato, dan Aristoteles. Thales, misalnya, melalui perenungannya terhadap air yang ada di mana-mana, ia sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan “substansi terdalam” yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Yang penting bagi kita sesungguhnya bukanlah ajarannya yang mengatakan air itulah asal mula segala sesuatu, melainkan pendiriannya bahwa “mungkin sekali segala sesuatu berasal dari satu substansi belaka.”

2.      Ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris. Secara sederhana objek kajian ilmu ada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek kajian ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pacaindera manusia. Dalam batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti batu-batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan , hewan atau manusia itu sendiri. Berdasarkan hal itu maka ilmu ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris, di mana objek-objek yang berbeda di luar jangkaun manusia tidak termasuk di dalam bidang penelaahan keilmuan tersebut.

3.      Ontologi pengetahuan adalah suatu ajaran tentang hakikat yang ada berdasarkan kepercayaan yang benar yang diperoleh dari informasi yang masuk akal ataupun common sense. Ontologi pengetahuan atau bagian metafisika yang umum, membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh yang mengkaji persoalan – persoalan, seperti hubungan akal dengan benda, hakikat perubahan, pengertian tentang kebebasan, dan lainnya

4.      Metafisika mempelajari manusia, namun yang menjadi objek pemikirannya bukanlah manusia dengan segala aspeknya, termasuk pengalamannya yang dapat ditangkap oleh indera. Metafisika mempelajari manusia melampaui atau diluar fisik manusia dan gejala – gejala yang dialami manusia. Metafisika mempelajari siapa manusia, apa tujuannya, dari mana asal manusia, dan untuk apa hidup di dunia ini. Jadi metafisika mempelajari manusia jauh melampaui ruang dan waktu. Begitu juga pembahasan tentang kosmos maupun tuhan, yang dipelajari adalah hakikatnya, di luar dunia fenomenal (dunia gejala).

 

DAFTAR PUSTAKA

Fatkhul Mubin, Jurnal “Filsafat Modern : Aspek Ontologi, Aaspek Epistimologis, dan Aspek Aksiologis”

Muhammad Kristiawan, Filsafat pendidikan; The choice is yours, (Yogyakarta: Valia Pustaka, 2016)

Irsadi Farista, “Ontologi Pengetahuan”, Wordpress, 18 Februari 2013

Firdatun Nasihah, “Ontologi dan Metafisika”, Kompassiana, 02 April 2020

 



[1]Fatkhul Mubin, Jurnal “Filsafat Modern : Aspek Ontologi, Aaspek Epistimologis, dan Aspek Aksiologis”

[2] Muhammad Kristiawan, Filsafat pendidikan; The choice is yours, (Yogyakarta: Valia Pustaka, 2016), hal. 141.

[3] Irsadi Farista, “Ontologi Pengetahuan”, Wordpress, 18 Februari 2013

[4] Irsadi Farista, “Ontologi Pengetahuan”, Wordpress, 18 Februari 2013

[5] Firdatun Nasihah, “Ontologi dan Metafisika”, Kompassiana, 02 April 2020

Share on Google Plus

About Epal Yuardi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment