Diajukan untuk Dipresentasikan dalam
Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Oleh:
YESI
YUARDANI
Dosen Pembimbing;
Zulfikri
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
HAJI DAN UMROH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI
1441 H/2020 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat
Allah swt atas limpahan rahmat dan anugrah darinya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang “Pendekatan Fenomenologi” ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah
kepada nabi Muhammad Saw beserta keluarga, sahabat dan seluruh orang yang
senantiasa mengikuti sunnah beliau.
Penulis sangat bersyukur
karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas pada mata kuliah
“Filsafat Ilmu.
Demikian yang dapat kami
sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. kami
mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah yang buat ini agar kedepannya
dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih banyak
terdapat kekurangannya, dan masih jauh dari kata sempurna.
Kerinci, 26 Desember 2020
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Pendekatan fenomenologis berusaha mempelajari dan memahami berbagai
gejala keagamaan sebagaimana apa adanya dengan cara membiarkan manifestasi-manifestasi
pengalaman agama berbicara bagi dirinya sendiri. Pendekatan ini muncul pada
akhir abad ke-20, terutama karena pengaruh filsafat yang dikembangkan Edmund
Husserl. Fenomenologi lahir dan diterapkan dalam studi agama sebagai suatu metode
penelitian ilmiah yang dilawankan dengan pendekatan-pendekatan teologis
B.
Rumusan
masalah
1.
Apa
yanng dimaksud dengan pendekatan fenomenologi?
2.
Siapa
tokoh fenomenologi dan pemikirannya?
3.
Apa
peran fenomenologi terrhadap filsafat ilmu?
4.
Bagaimana
pandangan islam terhadap fenomenologi?
C.
Tujuan
penulisan
Untuk
mengetahui dan mejelaaskan tentang:
1.
Pengertian
pendekatan fenomenologi
2.
Tokoh
fenomenologi dan pemikirannya
3.
Peran
fenomenologi terhadap filsafat ilmu
4.
Pandangan
islam terhadap fenomenologi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
pendekatan fenomenologi
Secara harfiah, fenomenologi berasal dari
kata pahainomenon dari bahasa Yunani yang berarti gejala atau segala sesuatu
yang menampakkan diri. Istilah fenomena dapat dilihat dari dua sudut pandang,
yaitu fenomena itu selalu menunjuk keluar dan fenomena dari sudut pandang
kesadaran kita. Oleh karena itu, dalam memandang suatu fenomena kita harus
terlebih dulu melihat penyaringan atau ratio, sehingga menemukan kesadaran yang
sejati.
Sejarah awal mula munculnya filsafat
fenomenologi berkembang pada abad ke-15 dan ke-16. Pada masa itu, terjadi
perubahan besar dalam diri manusia tentang perspektif dirinya di dunia ini.
Pada abad sebelumnya, manusia selalu memandang segala hal dari sudut pandang
Ketuhanan. Selanjutnya, terjadilah gelombang besar modernitas pada kala itu
yang mengubah sudut pandang pemikiran tersebut. Para filsuf banyak yang menolakdoktrin-doktrin Gereja
dan melakukan gerakan
reformasi yang disebut
sebagai masa pencerahan.
Paradigma ini muncul karena timbulnya
pemikiran manusia terhadap subjektivitas. Yang dimaksud dengan subjektivitas di
sini bukanlah antonim dari kata objektivitas. Subjek yang dimaksud merupakan
makna “aku” yang ada dalam diri manusia yang menghendaki, bertindak, dan
mengerti. Menurut Suseno dikutib
Mujib (2015) manusia hadir ke
dunia sebagai subjek yang memiliki kesadaran diri, tak hanya hadir
sebagai benda di dunia ini, melainkan sebagai subjek yang berpikir, berefleksi,
dan bertindak secara kritis dan bebas.
Fenomenologi ini berasal dari filsafat yang mengelilingi kesadaran manusia
yang dicetuskan oleh Edmund Husserl (1859—1938) seorang filsuf Jerman.
Pada awalnya teori ini digunakan pada ilmu-ilmu sosial. Menurut Husserl ada
beberapa definisi fenomenologi, yaitu: (1) pengalaman subjektif atau fenomenologikal,
dan (2) suatu studi tentang kesadaran dari
perspektif pokok dari seseorang.
Teori ini merupakan hasil dari perlawanan teori sebelumnya yang memandang sesuatu dari
paradigma ketuhanan. Jadi secara sederhana, fenomenologi diartikan sebagai sebuah
studi yang berupaya untuk menganalisis secara deskriptif dan introspektif
tentang segala kesadaran bentuk manusia dan pengalamannya baik dalam aspek
inderawi, konseptual, moral, estetis, dan religius. Lebih lanjut, Martin
Heidegger berpendapat tentang fenomenologi Husserl (dalam Mujib: 2015) bahwa
manusia tidak mungkin memiliki “kesadaran” jika tidak ada “lahan kesadaran”, yaitu suatu tempat,
panorama atau dunia
agar “kesadaran” dapat
terjadi di dalamnya
yang berujung pada eksistensi yang bersifat duniawi.
Fenomenologi
adalah pendekatan yang
dimulai oleh Edmund
Husserl dan dikembangkan oleh
Martin Heidegger untuk memahami atau
mempelajari pengalaman hidup
manusia. Pendekatan ini berevolusi sebuah metode penelitian kualitatif yang
matang dan dewasa selama beberapa dekade pada abad ke dua puluh. Fokus umum
penelitian ini untuk memeriksa/meneliti esensi atau struktur pengalaman ke
dalam kesadaran manusia (Tuffour: 2017).
Definisi
fenomenologi juga diutarakan
oleh beberapa pakar
dan peneliti dalam studinya. Menurut Alase (2017)
fenomenologi adalah sebuah metodologi kualitatif yang mengizinkan peneliti
menerapkan dan mengaplikasikan kemampuan
subjektivitas dan
interpersonalnya dalam proses penelitian eksploratori. Kedua, definisi yang
dikemukakan oleh Creswell dikutip Eddles-Hirsch (2015) yang menyatakan bahwa
penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian
yang tertarik untuk
menganalisis dan mendeskripsikan pengalaman sebuah
fenomena individu dalam dunia sehari-hari.[1]
Fenomenologi berusaha mencari pemahaman
bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka
intersubyektivitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita
dengan orang lain). (Kuswarno,2009:2) . Fenomenologi berasumsi bahwa
orang-orang secara aktif menginterpretasi pengelaman-pengelamannya dan mencoba
memahami dunia dengan pengelaman pribadinya (Littlejohn,2009:57). Fenomena yang
tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak dapat berdiri sendiri, karena ia
memiliki makna yang memerlukan penafsiran yang lebih lanjut. Tokoh-tokoh
fenomenologi ini diantaranya Edmund Husserl, Alfred Schutz dan Peter. L Berger
dan lainnya.[2]
Menurut Husserl, fenomenologi adalah
pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal atau suatu studi tentang
kesadaran dari perspektif pokok dari
seseorang. Fenomenologi memiliki riwayat cukup panjang dalam penelitian sosial,
termasuk psikologi, sosiologi, dan pekerjaan sosial. Fenomenologi adalah
pandangan berpikir yang menekankan pada fokus interprestasi dunia. Dalam hal
ini, para peneliti fenomenologi ingin memahami bagaimana dunia muncul kepada
orang lain.
B.
Tokoh
Fenomenologi dan Pemikirannya
Fenomenologi sebagai salah satu cabang
filsafat pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum
Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh
Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre
memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun
yang menjadi fokus eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk
sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar.[3]
Menurut Hegel, fenomena yang kita alami dan
tampak pada kita merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan runtutan konsep
kesadaran manusia serta bersifat relatif terhadap budaya dan sejarah. Husserl
menolak pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena budaya dan sejarah, namun
dia menerima konsep formal fenomenologi Hegel serta menjadikannya prinsip dasar
untuk perkembangan semua tipe fenomenologi: fenomenologi pengalaman adalah apa
yang dihasilkan oleh kegiatan dan susunan kesadaran kita.
Menurut Husserl, fenomena adalah realitas
sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan subyek
dengan realitas, karena realitas itu sendiri yang tampak bagi subyek. Dengan
pandangan seperti ini, Husserl mencoba mengadakan semacam revolusi dalam
filsafat Barat. Hal demikian dikarenakan sejak Descartes, kesadaran selalu
dipahami sebagai kesadaran tertutup, artinya kesadaran mengenal diri sendiri
dan hanya melalui jalan itu dapat mengenal realitas. Sebaliknya Husserl
berpendapat bahwa kesadaran terarah pada realitas, dimana kesadaran bersifat
intensional, yakni realitas yang menampakkan diri. Sebagai seorang ahli fenomenologi,
Husserl mencoba menunjukkan bahwa melalui metode fenomenologi mengenai
pengarungan pengalaman biasa menuju pengalaman murni, kita bisa mengetahui
kepastian absolut dengan susunan penting aksi-aksi sadar kita, seperti berpikir
dan mengingat, dan pada sisi lain, susunan penting obyek-obyek merupakan tujuan
aksi-aksi tersebut. Dengan demikian filsafat akan menjadi sebuah ilmu
setepat-tepatnya dan pada akhirnya kepastian akan diraih.
C.
Peran
Fenomenologi Terhadap Filsafat Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk
mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami
sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran
kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang
nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan
suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya
seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak
menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami
fenomena sebagaimana adanya: “Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya
sendiri).
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl
adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas
bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati.
Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga
seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan
cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang
sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala
sesuatu”.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah
yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan
eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda
keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga
berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh
dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya
terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar
natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl
menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda
(epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis
atau eksistensial objek kesadaran.
Dari pembahasan di atas dapat ditarik
kesimpulan[4]
bahwa fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat,
yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Terlepas
dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang
berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu
pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang selama ini dikesampingkan
oleh paradigma positivistik – saintistik.
Fenomenologi berusaha mendekati objek
kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka
oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum
fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat).
Hal ini tampaknya sejalan dengan ‘prinsip’ ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan
J.B Connant, yang dikutip oleh Moh. Muslih, bahwa: “The scientific way of
thinking requires the habit of facing reality quite unprejudiced by and any
earlier conceptions. Accurate observation and dependence upon experiments are
guiding principles.”
Studi
fenomenologi didasarkan pada premis konsepsi fenomena Kantian. Studi fenomenologi didasarkan pada
premis bahwa realitas terdiri atas objek dan
penampakan kejadian (fenomena) yang dicerap atau dimengerti oleh
kesadaran. Sebagai pergerakan filsafat, fenomenologi didirikan pada awal abad ke-20 oleh Edmund Husserl dan dikembangkan oleh lingkar
studi pengikut ide Husserlian di universitas di Göttingen dan Munich di Jerman
(Edith Stein, Eugen Fink, Martin
Heidegger, Max Scheler, Nicolai Hartmann, Roman Ingarden) dan khususnya di Prancis (Paul Ricœur, Emmanuel Levinas, Jean-Paul Sartre, Maurice
Merleau-Ponty) dan di
Amerika Serikat (Alfred Schütz, Eric Voegelin), meski diiringi dengan kritik yang
menjauhkannya dari ide awal Husserlian tanpa menghilangkan ide fondasi yang
melandasinya.[5]
D.
Pandangan
Islam Terhadap Fenomenologi
Kedua bentuk fenomenologi, yakni
fenomenologi esensial dan fenomenologi konkrit dapat digunakan dalam studi
Islam. Fenomenologi esensial meneliti Islam pada intisari keagamaannya, sumber
agama, nilai-nilai agama yang absolut dan universal terlepas dari ruang-waktu.
Dalam fenomenologi esensial, Islam ditangkap secara holistik-totalitas dan
langsung dengan menggunakan intuisi-keimanan. Dalam pandangan Barat, esensi
agama tidak dapat ditangkap dengan rasio karena rasio dalam tata kerjanya
cenderung memilah-milah realitas yang ditangkap. Rasio beranjak dari
premis-premis, berproses hingga dapat ditarik kesimpulan. Pandang Barat
tersebut dapat dibenarkan pada satu sisi karena ada nilai keagamaan yang “tak
terkatakan” tapi hanya dapat diresapkan. Kaum sufi misalnya mengatakan “Ana
al-haq”. Dalam pandangan kaum sufi, kalimat tersebut merupakan intisari agama
yang “tak terkatakan” namun kaum sufi mengungkapkannya sehingga menimbulkan
kontroversi di masyarakat.
Obyek studi fenomenologi esensial adalah
“dunia cita” atau dunia kebenaran absolut, sebagai hakikat keislaman. Pandangan
ini dapat dimaknai bersifat Platonik, tetapi dunia cita (dunia idea) menurut
Plato bersifat utopis sebagai impian yang tak kunjung tiba. Dunia cita dalam
pandangan Islam sebagai sumber inspirasi, sumber energi kreatif, spektrumnya
memancar ke dunia konkrit dan termanifes dalam seluruh dimensi kehidupan yang
mengimaninya. Esensi Islam sebagai dunia cita terbentuk seperti sebuah bangunan
piramida. Puncak tertinggi merupakan titik singgung antara manusia dengan
Tuhannya. Dengan menggunakan potensi qalbiah yang di dalamnya terdapat elemen
rasional. Alas terbawah adalah empirik-rasional dan empirik-sensual yang
bersinggungan langsung dengan realitas konkrit.
Berbeda dengan pandangan Kristen, Islam memandang
bahwa dalam beriman, rasio-empiris mempunyai peranan penting.[6]
Oleh sebab itu, dalam al-Quran banyak ayat yang memerintahkan guna mengamati
fenomena alam yang bertujuan untuk membentuk dan menambah kekokohan iman.
Al-Quran memerintahkan untuk mengamati penciptaan siang dan malam (3: 91-93),
pengamatan terhadap tumbuhtumbuhan (56: 64), hewan (88: 17), gunung, (88: 17)
angin (30:46), kilat (30: 24), air (30: 24), kejadian manusia (51: 21),
penciptaanya dari tanah (40: 67), menciptakannya bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa (4: 1), memerintahkan agar melakukan perjalan di atas bumi
untuk memperoleh berbagai pengetahuan (2: 137, 29: 20). Kesemua ayat tersebut
untuk memperkokoh iman dan mengembangkan ilmu pengetahuan agar hasil pengamatan
ilmiah itu juga berguna bagi kemaslahatan dan kesejahteraan manusia. Dalam
fenomenologi konkrit, Islam dipandang dalam wujud yang realitas sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan selainnya. Manifestasi Islam konkrit ini dilakukan dalam
studi empiris-induktif. Faktanya diambil dari dunia empirik dan data historis.
Dalam terapannya dapat digunakan berbagai metode fenomenologi, seperti
paradigma naturalistik, etnometodologi,19 dan interaksi simbolik.
Yang menarik pula dari Husserl adalah
argumennya mengenai pluralisme, bahwa setiap wujud (being) dan esensi mempunyai
kawasan atau wilayah tersendiri. Wilayah sebuah esensi atau entitas berada
berpengaruh terhadap esensi itu sehingga melahirkan esensi-esensi yang beragam
sesuai dengan konteksnya. Dengan demikian maka kebenaran menjadi majemuk.
M.A.W. Brouwer menjelaskan: “Setiap obyek (wujud) mempunyai cakrawala dalam dan
luar. Dalam setiap obyek saya bisa mengalami segisegi lain yang menjadi nyata
dalam aktivitas-aktivitas parsial (cakrawala dalam) dan saya mengalami benda
itu dalam suatu lingkaran (latar belakang) yang ikut menentukan benda itu
(cakrawala luar). Cakrawala semua pengamatan disebut dunia.”[7]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Secara
harfiah, fenomenologi berasal dari kata pahainomenon dari bahasa Yunani yang
berarti gejala atau segala sesuatu yang menampakkan diri. Istilah fenomena
dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu fenomena itu selalu menunjuk keluar
dan fenomena dari sudut pandang kesadaran kita. Oleh karena itu, dalam
memandang suatu fenomena kita harus terlebih dulu melihat penyaringan atau
ratio, sehingga menemukan kesadaran yang sejati.
2.
Sejarah
awal mula munculnya filsafat fenomenologi berkembang pada abad ke-15 dan ke-16.
Pada masa itu, terjadi perubahan besar dalam diri manusia tentang perspektif
dirinya di dunia ini. Pada abad sebelumnya, manusia selalu memandang segala hal
dari sudut pandang Ketuhanan. Selanjutnya, terjadilah gelombang besar
modernitas pada kala itu yang mengubah sudut pandang pemikiran tersebut. Para
filsuf banyak yang menolak doktrin-doktrin
Gereja dan melakukan
gerakan reformasi yang
disebut sebagai masa pencerahan.
3.
Fenomenologi adalah
pendekatan yang dimulai
oleh Edmund Husserl
dan dikembangkan oleh Martin
Heidegger untuk memahami
atau mempelajari pengalaman hidup manusia. Pendekatan ini
berevolusi sebuah metode penelitian kualitatif yang matang dan dewasa selama
beberapa dekade pada abad ke dua puluh. Fokus umum penelitian ini untuk
memeriksa/meneliti esensi atau struktur pengalaman ke dalam kesadaran manusia
(Tuffour: 2017).
4.
Tugas
utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan
realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas
dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut
ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu
membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai
pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
DAFTAR PUSTAKA
http//:www. Mengenal Lebih Dekat
Pendekatan Fenomenologi : Sebuah Pendekatan Kualitatisf.
(Diakses 26
Desember 2020.com
http//:www. Penelitian Kualitatif Pendektan Fenomenologi. (Diakses 26
Desember 2020).com
Engkus Kuswarno,
Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi:Konsepsi, Pedoman dan
Contoh Penelitiannya. (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009)
http//:www. Mengenal Pendekatan Fenomenologi.
(Dakses 26 Desember 2020).com
http//:www. Fenomenologi. (Diakses 26 Desember 2020).com
Lihat M.A.W. Brouwer, Psikologi
Fenomenologi, (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 22.
[1] http//:www. Mengenal
Lebih Dekat Pendekatan Fenomenologi : Sebuah Pendekatan Kualitatisf. (Diakses
26 Desember 2020.com
[2] http//:www. Penelitian
Kualitatif Pendektan Fenomenologi. (Diakses 26 Desember 2020).com
[3] Engkus Kuswarno, Metodologi Penelitian Komunikasi,
Fenomenologi:Konsepsi, Pedoman dan Contoh Penelitiannya. (Bandung: Widya
Padjadjaran, 2009), 34-45
[4] http//:www. Mengenal
Pendekatan Fenomenologi. (Dakses 26 Desember 2020).com
[5] http//:www.
Fenomenologi. (Diakses 26 Desember 2020).com
[6] http//:www. Pendekatan Fenomenologi Dalam Study Islam. (Diakses 26
Desember 2020).com
[7] Lihat M.A.W. Brouwer, Psikologi Fenomenologi, (Jakarta: Gramedia,
1983), h. 22.
0 komentar:
Post a Comment