BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Al-Qur’an
al-karim adalah wahyu ilahi yang diturunkan kepada penutup para nabi, Muhammad
ibn Abdullah SAW, baik secara lapaz, makna, maupun gaya bahasa, yang
ditulis dalam berbagai mushaf (kitab atau buku lengkap) dan diriwayatkan
dirinya secara mutawatir.[1][1]
Al-Qur’an merupakan sandaran Islam
yang senantiasa dinamis dan mukjizat abadi, yang mampu mengalahkan dan senantiasa mengalahkan
kekuatan manusia sepanjang sejarah kehidupan sejarah kehidupan umat manusia. Ia
merupakan aturan Islam yang mencakup seluruh aspek dasar kehidupan umat manusia
yang sesuai dengan fitrah manusia dan bersumber dari kedalaman hati nurani
manusia.
Al-Qur’an sendiri
memiliki kewibawaan yang tak tertandingi jika dibandingkan dengan kewibawaan umat
manusia. Ia sama sekali tidak tunduk terhadap kekuatan yang bathil, dan
sebaliknya, mampu menjadikan mereka tunduk dan menerima kepemimpinan al-Qur’an
yang adil dan bijaksana. Pada akhirnya, dengan mempelajari al-Qur’an, mereka
dapat menerima al-Qur’an dengan rasa cinta, kerinduan, dan kesucian.[2][2] Menurut
penulis al-Qur’an kitab suci satu-satunya yang dibaca orang banyak orang, baik
yang mengerti atau yang tidak mengerti
akan maknanya, karena dari al-Qur’an terlahir banyak cabang disiplin ilmu yang
bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, maka dengan adanya makalah sederhana
ini mudah-mudahan bisa lebih menambah khazanah dan wawasan kita dalam memahami
isi kandungan al-Qur’an. Dalam pembuatan makalah ini juga penulis tidak
mencantumkan jumlah dan bilangan ayat muhkam serta mutasyabihat menurut
pendapat ulama dikarenakan kurangnya referensi yang kami miliki dan juga tidak
adanya kesepakatan para ulama dalam menentukan jumlah bilangan ayat muhkam dan
mutasyabihat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AL-MUHKAM
AL-MUTASYABIH,
1. Al-Muhkam,
Muhkam berasal dari kata Ihkam yang bearti kekukuhan,
kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Sedangkan secara terminology muhkam
berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari
ayat-ayat lain. Contoh surat Al- Baqarah ayat 83 : øÎ)ur $tRõs{r& t,»sVÏB ûÓÍ_t/ @ÏäÂuó Î) w tbrßç7÷ès? wÎ) ©!$# Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $ZR$|¡ômÎ) Ïur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ6»|¡uKø9$#ur (#qä9qè%ur Ĩ$¨Y=Ï9 $YZó¡ãm (#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4q2¨9$# §NèO óOçFø©9uqs? wÎ) WxÎ=s% öNà6ZÏiB OçFRr&ur cqàÊÌ÷èB
Artimya : “Dan ketika kami mengambil janji dari
anak-anak Israel : tidak akan menyembah selain Allah, dan berbuat
kebaikankepada Ibu,Bapak dan kerabat dekat dan anak-anak-piatu dan orang- oarng
miskin, dan ucapkanlah kata yang baik kepada manusia, dan kerjakanlah
sembahyang dan bayarlah zakat, kemudian itu kamu berpaling kecuali sebagian
kecil dari padamu dan kamu tidak mengambil perduli”
Muhkam
menurut bahasa mempunyai arti yang banyak, seperti kekukuhan, keserupaan,
keseksamaan dan keserupaan. Namun, meskipun demikian dapat dikembalikan kepada
satu arti saja, yaitu alman’u (pencegahan). Adapun mutasyabihat menurut
pengertian bahasa biasanya dipergunakan untuk sesuatu yang menunjukan kepada
kesamaan di dalam keserupaan dan keraguan yang pada galibnya membawa
kepada kesamaran,[3][3]
2. Al-Mutasyabih
Kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh
yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada
kesamaran antara dua hal. Tasyahabad Isttabaha berarti dua hal
yang masing-masing menyerupai yang lainnya. Sedangkan secara terminology Al
Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, dan mempunyai banyak
kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan memerlukan
keterangan tertentu, atau Allah yang mengetahuinya. Contoh surat Thoha ayat 5 :
mÛ ÇÊÈ !$tB $uZø9tRr& y7øn=tã tb#uäöà)ø9$# #s+ô±tFÏ9 ÇËÈ wÎ) ZotÅ2õs? `yJÏj9 4Óy´øs ÇÌÈ WxÍ\s? ô`£JÏiB t,n=y{ uÚöF{$# ÏNºuq»uK¡¡9$#ur n?ãèø9$# ÇÍÈ ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ
Artinya. :(1.) Thaahaa[912]. (2.) Kami tidak
menurunkan Al Quran Ini kepadamu agar kamu menjadi susah; (3.) Tetapi sebagai
peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), (4) Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan
bumi dan langit yang Tinggi. (5.)
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy
Muhkam ayat
yang mengandung penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedangkan mutasyabih
adalah ayat yang mengandung pengertian bermacam-macam]. Muhkam
adalah ayat yang maknanya rasional, artinya dengan akal manusia saja pengertian
ayat itu dapat ditangkap. Tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian
yang tidak dapat dirasionalkan. Misalnya bilangan rakaat di dalam sholat lima
waktu. Muhkam adalah ayat yang nasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan
halal, haram, hudud, faraidh dan semua yang wajib di amalkan. Adapun mutasyabih
yaitu ayat yang padanya terdapat mansukh, dan qasam serta yang wajib di imani
tetapi tidak wajib diamalkan lantaran tidak tertangkapnya makna yang dimaksud.[4][4]
Al-Qur’an
seluruhnya muhkamah, jika yang dimaksud dengan kemuhkamahannya adalah susunan
lafal al-Qur’an dan keindahan Nazmnya. Sungguh sangat sempurna tidak ada
sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya, maupun dalam
segi maknanya.[5][5 Dengan
pengertian inilah Allah SWT menurunkan al-Qur’an sebagaimana ditegaskan dalam
firman-Nya: sebuah kitab yang telah dikokohkan ayat-ayat-Nya (Q.s. Hud: 11:1)
!9# 4
ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»t#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOÅ3ym AÎ7yz ÇÊÈ
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang
ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang
diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu” (Q.s Hud
[11]:1)[6][6]
Muhkam
menurut bahasa terambil dari ahkamutud debaaah wa ahkamad, artinya
melarang. Hukum yaitu pemisah antara dua hal. Hakim melarang orang dzolim dan
memisah dua orang yang bermusuhan. Membedakan yang hak dan yang bathil, yang
benar dan yang dusta. Mutasyabuh menurut bahasa terambil dari tasyabih,
yaitu yang satu diserupakan dengan yang satu lagi. Sabhatu artinya tidak
berbeda yang satu dan yang satu lagi.[7][7]
Pendapat
Ragihib Isfahani mengatakan bahwa mutasyabih adalah ayat yang sulit ditafsirkan
karena adanya kesamaran dengan yang lain, baik dari sisi lafazh seperti al-yadd,
al-‘ayn dan lain-lain.[8][8] Mutasyabih
dari segi makna adalah seperti sifat-sifat Allah SWT dan sifat-sifat hari
kiamat, sebab sifat-sifat tersebut tidak bisa kita vaktualisasikan karena tidak
tergambar di dalam jiwa dan bukan genus sehingga kita bisa merasakannya.[9][9]
Pendapat
Asham, muhkam adalah ayat yang dalilnya jelas, seperti dalil-dalil tentang
keesaan, kekuasaan, dan hikmah sementara mutasyabih adalah ayat yang
membutuhkan perenungan dan pemikiran untuk menjelaskannya.[10][10]
Dari
beberapa definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan
ayat muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya walaupun tanpa dijelaskan
dengan ayat-ayat yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat mutasyabihat
adalah ayat yang masih memerlukan penjelasan dari ayat yang lain karena masih
samar-samar.
B. Contah-Contoh Ayat Muhkam dan Mutasyabih
1. Contoh ayat muhkam
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
$pkr'¯»t â¨$¨Y9$# (#rßç6ôã$# ãNä3/u Ï%©!$# öNä3s)n=s{ tûïÏ%©!$#ur `ÏB öNä3Î=ö6s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇËÊÈ
Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang
Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,
2. Contoh ayat Mutasyabih
ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ
Artinya: “
yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas Arsy”.
@ä. >äóÓx« î7Ï9$yd wÎ) ¼çmygô_ur
Artinya: “ tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah Allah”. (Al-qashash: 88)
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Artinya: “Tangan-tangan Allah diatas tangan mereka”. (Al-Fath: 10)
C.
Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat
1.
Madzab
Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan
menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT sendiri. Mereka menyucikan Allah SWT
dari pengertian-pengertian lahir yang musahil Qur’an. diantara ulama yang masuk
dalam kelompok ini adalah Imam Malik bagi Allah SWT dan mengimaninya
sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an ketika ditanya tentang istiwa;
ia menjawab: Istiwa itu maklum,
sedangkan caranya diketahui, dan mempelajarinya bid’ah. Aku kira engkau adalah
orang yang tidak baik. Keluarkanlah ia dari tempatku.
Ibn
Ash-Shalah menjelaskan bahwa mazhab salaf ini dianut oleh generasi dan pemuka
umat Islam pertama. Mazhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para pemuka
fiqih. Kepada mazhab ini pulalah, para imam dan pemuka Hadis mengajak para
pengikutnya. Tidak ada seorang pun di antara para teolog dari kalangan kami
yang menolak mazhab ini.[11][11]
2.
Mazhab khalaf, yaitu para ulama
yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut
sifat-sifat Allah SWT sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran
Allah SWT. Imam Al-Haramain (w.478 H) pada mulanya termasuk mazhab ini, tetapi
kemudian menarik diri darinya. Dalam Ar- Risalah An-Nizamiyah, ia menuturkan
bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengikuti mazhab salaf sebab
mereka yang memperoleh derajat dengan cara tidak menyinggung ayat-ayat
mutasyabih. Untuk menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibn Daqiq Al-Id
mengatakan bahwa apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat
mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu di ingkari. Jika
dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawqquf (tidak membenarkan dan tidak pula
menyalahkannya) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu
dalam rangka mensucikan Allah SWT. Namun, bila arti lahir ayat-ayat itu dapat
di pahami melalui percakapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawqquf.
Ibn
Quthaibah (w.276 H ) menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah penakwilan. Pertama,
makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang di akui oleh mereka
yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa
Arab yang klasik, syarat yang dikemukakan ini lebih longgar dari pada syarat
kelompok Azh-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut
harus dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.[12][12]
C.
Hikmah Keberadaaan Ayat Mutasyabih Dalam al- Qur’an
Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat
mutasyabih di dalam al-Qur’an dan
ketidak mampuan akal untuk mengetahuinya adalah sebagai berikut:
1. Memperlihatkan
kelemahan akal manusia.
Akal sedang
dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah SWT
memberikan cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal merupakan anggota
badan paling mulia itu tidak di uji, tentunya seseorang yang berpengetahuan
tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri
kehambaannya.[13][13]
Ayat-ayat
mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah SWT karena
kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih
itu.[14][14] Menurut
penulis disini keimanan kita di uji apakah kita percaya atau tidak terhadap
ayat-ayat mutasyabih, karena ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang memang masih
samar-samar sehingga keimanan kita di uji kembali. Jika seluruh ayat al-Qur’an
terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka sirnalah ujian keimanan dan amal
perbuatan lantaran pengertian ayat-ayat yang jelas dan sebaliknya orang yang
tidak tahan uji terhadap cobaan maka mereka akan ingkar terhadap ayat-ayat
mutasyabihat.
2. Teguran bagi
orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih.
Sebagai cercaan terhadap orang yang
mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada
orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni tidak mengikuti hawa nafsunya untuk
mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata” rabbanaa la
tuzigh quluubana. [15][15]Mereka
menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu laduni. menurut penulis
disini Allah memberikan pujian bagi orang yang beriman karena keimanannya dan
memberikan petunjuk-Nya. Sementara bagi orang kafir yang suka mengotak-atik
ayat-ayat al-Qur’an Allah SWT akan tambah menyesatkan mereka. Adanya ayat
muhkam memudahkan manusia mengetahui maksud ayat tersebut dan menghayati untuk
diamalkan dalam kehidupan. Disisi lain, adanya mutasyabihat memotivasi manusia
untuk senantiasa menggunakan dalil akal di samping dalil naqal.
Allah SWT sengaja menjadikan
al-qur’an yang muhkam dan mutasyauh sebagai ajang uji coba atas keimanan
hamba-hamba-Nya. Orang yang benar keimanannaya sadr bahwa al-qur’an seluruhnya
dari sisi Allah SWT dan segala yang datang dari Allah SWT adalah haq dan tidak
tercampur dengan kebathilan atau hal yang bertentangan.
3. Memberikan pemahaman
absrak ilmiah kepada manusia melalui
pemahaman inderawi yang biasa
disaksikannya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh
manusia tatkala ia diberi gambaran inderawi terlebih dahulu. Dalam kasus
sifat-sifat Allah SWT, sengaja Allah SWT
memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal
sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, bahwa dirinya tidak sama dengan
hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan[16][16]. Menurut penulis adanya muhkam dan
mutasyabihat sebagai bukti kejelasan al-Qur’an yang memiliki mutu tinggi nilai
sasteranya, agar manusia meyakini bahwa itu bukan produk Muhammad SAW, tetapi
produk Allah SWT, agar mereka melaksanakan isinya. Kenapa Allah SWT memberikan
penggambaran diri-Nya? Hal itu dikarenakan agar manusia dapat memahami
ayat-ayat mutasyabihat tentang Allah SWT. Kita bisa mengambil sebuah contoh
dalam al-qur’an di katakana” yadullah fauqa aidihim” yang artinya tangan
Allah SWT di atas tangan mereka. Dalam memahami ayat tersebut kita tidak bisa
memahami secara tekstual tetapi harus di pahami secara tafsiri, tangan disana
kita artikan sebagai kekuasaan, sehingga artinya “ kekuasaan Allah SWT di atas
kekuasaan mereka.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Muhkam menurut terminologi
artinya suatu ungkapan yang maksud dan makna ungkapan lahirnya tidak mungkin
diganti atau diubah. Sedangkan
mutasyabihat adalah ungkapan yang makna lahirnya masih samar. Seperti yang
penulis ungkapan pada pengertian muhkam dan mutasyabihat pada pembahasan bab
pertama tadi, artinya penulis sepakat bahwa yang dimaksud dengan muhkam adalah
sebuah ayat yang maksudnya sudah dapat dipahami tanpa penafsiran lebih detil,
sementara yang dimaksud dengan mutasyabihat adalah ayat yang masih samar-samar
dan perlu penjelasan lebih detil supaya dalam memahami ayat lebih mudah.
Adapun pendapat ulama
mengenai ayat muhkam tidak ditemukan perbedaan yang sangat mendasar, sementara
dalam memahami ayat mutasyabihat para ulama sepakat bahwa dalam memahami ayat
tersebut membutuhkan perenungan dan pemikiran untuk menjelaskannya.
Diantara hikmah keberadaan
ayat muhkam dan mutasyabihat dalam al-Qur’an, adalah:
a. Memperlihatkan
kelemahan akal manusia.
b. Teguran bagi
orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih.
c. Memberikan
pemahaman abstrak ilmiah kepada manusia melalui pemahaman inderawi yang biasa
disaksikannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul,
Wahid, Ramli, Ulumul Qur’an, cet III, Jakarta: PT Raja Granfindo
Persada, 1996.
Al-Maragi,
Mustafa Ahmad, Tafsir Al-Maragi, Semarang: CV. Toha Putra Semarang,
1974.
Anwar,
Rosihon, Ulumul Qur’an, cet II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004.
Ash-Shiddieqy,TM,
Hasby, Ilmu-Ilmua al-Qur’an: Ilmu-Ilmu Pokok dalam Menafsir al-Qur’an,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.
Ayatullah M.
Bakir Hakim, Ulumul Quran, cet III terjemah oleh Nashirul haq dkk,
Jakarta: Al-huda, 1427.
Al-jurjani,
At-Ta’rift, Ath –Thaba’ah wa An-Naysr wa At-Tauzi, Jeddah, t.th.
Ahmad,
Denffer Von, Ilmu al-Qur’an; An Introduction to The Sciences of The
al-Qur’an, terjemah oleh Ahmad Nasir Budiman, Jakarta: Raja wali, 1988.
Chalik, H.
Chaerudji Abd, ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Diadit Media, 2007.
Marzuki,
Kamaluddin, Ulum al-Qur’an, Bandung: Remaja Rodaskarya,1994.
Quthan,
Mana’ul, Mabathist Fii Ulumil Qur’an, terjemah oleh Halimuddin, Jakarta:
Rieneke Cipta, 1995.
Shihab,
Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.
Shihab,
Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Syadali, H. Ahmad, dan Rofi’I, H. Ahmad, Ulumul
Qur’an, cet II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
[1][1] Ayatullah M. Bakir Hakim, Ulumul Quran, cet
III terjemah oleh Nashirul haq dkk, Jakarta: Al-huda, 1427, h.1
[5][5] Tengku Muhammad Hasby AS-Shiddieqy, Ilmu-ilmu
Al-qur’an: Ilmu-ilmu Pokok dam Menafsir Al-qur’an, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2002, h. 169.
[6][6] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an
dan Terjemahannya, Jakarta: PT Kumudasmoro Grafindo Persada, 1994, h.326.
[7][7] Mana’ul Qathan, Mabahits fii Ulumul
Qur’an, terjemah oleh Halimuddin, Jakarta: Rienike Cipta, 1995, h23.
0 komentar:
Post a Comment