BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Fiqh Lughah dan Ilmu Lughah merupakan dua kajian epistimologi bahasa. Kedua disiplin ilmu bahasa ini diawali kata fiqh
dan ilm. Dua kata ini mengandung makna mengetahui dan memahami sesuatu.
Kemiripan pengertian secara etimologi membuat kedua
disiplin ilmu ini perlu diberi batasan yang jelas, khususnya dalam objek
kajiannya. Hal ini bertujuan agar kajian Fiqh Lughah tidak
berbaur dengan kajian Ilmu Lughah.
Setelah dilakukan kajian, ditemukan tiga ranah objek kajian Fiqh Lughah.
Pertama, kajian hubungan lafaz dengan lafaz. Ranah pertama ini membahas komparasi
dengan bahasa Semit dan Bahasa Arab.
Kedua, Kajian hubungan lafaz dengan makna. Ranah ini membahas tentang
makna yang dihasilkan oleh bunyi dan makna yang diperoleh dari aneka jenis
kamus.
Ketiga, kajian lafaz dalam penerapannya. Ranah ketiga ini membahas tentang gharib,
dakhil, maudhu’ (musytaq, murtajal, manhut, mulhaq, dan ma’dul), dan majaz.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa yang
dimaksud dengan kamus makna dan kamus lafadz?
2. Bagaimana
hubungann lafadz dengan penggunaan/penerapan (gharib dan dakhil)
3. Apa yang
dimaksud dengan maudhu’?
4. Apa yang
dimaksud dengan majaz?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kamus Makna (معاجم المعنى)
Kamus ini merupakan kamus yang disusun berdasarkan
susunan makna yang khusus. Berdasarkan urutan makna itulah disusun kata-kata
bahkan tarkibnya. Di antara contoh kamus ini adalah kitab Alfaz
karya Ibnu Sakkit, Tahzib Kitab Alfaz karya Atabrizi, Alfaz alkitabiyah karya
Hamzani, Mabadi Lughah karya Aliskafi, dan Almukhashash karya Ibnu Sayyiduh.
B.
Kamus Lafaz (معاجم
الألفاظ)
Kamus lafaz berbeda dengan kamus makna. Kamus ini
disusun berdasarkan susunan kata kemudian diberi maknanya. Penyusunan kamus
yang satu dengan yang lain terdiri atas beragam metoda. Setidaknya terdapat dua
jenis, yaitu penyusunan secara fonemik berdasarkan makhraj dan penyusunan
berdasarkan huruf hijaiyah[1].
1. Penyusunan secara fonemik
berdasarkan makhraj terdapat pada kamus seperti kamus Al-Ain karya Khalil,
Albari’ karya Alqali, Tahzibul Lughah karya Alazhary, Almuhith karya Shahib Ibn
Ibad.
2. Penyusunan berdasarkan huruf
hijaiyah sesuai urutan huruf. Pembagian penyusunannya akan diuraikan berikut
ini.
a)
Susunan
kata-katanya beraturan. Terkadang menggunakan taqlibul huruf seperti
pada kamus Aljamharah karya Ibn Duraid, dan dengan nizham tatabu daury
seperti kamus Maqayis Lughah karya Ibn Faris. Secara
rinci terlihat dalam table di bawah ini.
الحرف
|
البدء
|
الانتهاء
|
ب
|
بب
|
بأ
|
ت
|
تت
|
تب
|
Tabel 1: Kamus dengan susunan kata-kata yang
beraturan
b)
Susunan
kata-katanya tidak berpedoman kepada tertib kata. Jenis kamus ini terdapat dua
macam. Pertama, urutannya berdasarkan huruf awal kata seperti kamus Aljim karya
Asyaibani dan Asasul Balaghah karya Zamakhsyari, Almishbah karya Alfuyumi,
serta kamus-kamus moderen menggunakan susunan ini. Kedua, susunannya
berdasarkan huruf terakhir kata, seperti kamus Diwanul Adab karya Alfarabi dan
Lisanul Arab karya Ibn Manzur.
C. Hubungan Lafaz dengan Penggunaan
/ Penerapan (علاقة اللفظ بالاستعمال)
1. Gharib (غريب)
Gharib adalah kosa kata yang jarang atau tidak masyhur penggunaannya dalam
keseharian. Kata tersebut tidak diketahui kecuali setelah melewati kajian
tertentu. Ia dapat didefenisikan juga sebagai kosa kata asli bahasa Arab yang
tidak memakai kaidah bahasa Arab yang masyhur.
Kosa kata yang dipandang gharib ini ada kalanya diambil dari
Alquran, seperti yang terdapat dalam kitab Gharibul Quran karya Muarij Assudusy
dan Gharibul Quran karya Abu Hatim Assajastani. Ada yang diperoleh dari kitab
Hadis Nabi Muhammad SAW, seperti kitab yang dikarang oleh Abu Ubaidah, Alashmai
dan sebagainya.
Terdapat juga kitab yang memuat kata-kata gharib dari Alquran dan
Hadis, seperti pada kitab Gharibul Quran wa Gharibul Hadis karya Ibn Khurath,
Alharwi, dan Almadini. Disamping itu, ada yang diambil dari kalam orang Arab,
seperti pada kitab Gharibul Mushnif karya Ibn Salam, Gharibul Lughah dan Kitab
Gharibul Lughah wa Musykilul Quran karya Ibn Qutaibah.
2. Dakhil (دخيل)
Dakhil dalam definisi para linguis memiliki dua jenis, yaitu muarrab dan muwallad.
Adapun perbedaan dari dua jenis ini hanya sekitar waktu saja. Mana yang lebih
dahulu dan mana yang terjadi baru-baru ini. Meskipun pada hakikatnya memiliki
pengertian yang sama. Dua jenis itu akan dijelaskan berikut ini.
a)
Muarrab (معرب)
Muarrab dalam istilah Bahasa Indonesia sejajar dengan serapan. Muarrab adalah
proses menyerap kata asing dengan cara adaptasi berdasarkan aturan bahasa Arab
dan kebiasaan tutur kata orang Arab atau dengan cara adaptasi dari segi tashrif.
Sebagian linguis Arab ada yang tidak setuju dengan adanya serapan dalam
bahasa Arab. Alasan mereka adalah bahwa serapan menunjukkan
ketidakmurnian bahasa. Akan tetapi, mayoritas linguis telah sepakat bahwa
terjadinya serapan sebagai bentuk kedinamisan sebuah bahasa.
Di antara buktinya adalah bahwa dalam Alquran sendiri terdapat kata serapan
dari bahasa lain. Ketika Alquran diturunkan maka kata-kata itu menjadi bahasa
Arab, seperti kata الصراط, السندس, الاستبرق, القنطار, الدينار, dan sebagainya.
b) Muwallad (مولد)
Muwallad merupakan sisi lain dari muarrab. Pola muwallad ini
baru muncul pada Dinasti Abasiyah. Hal ini terjadi saat terjadinya penerjemahan
besar-besaran terhadap buku-buku asing. Para penerjemah telah berupaya membuat
padanan huruf yang tidak ditemukan dalam bahasa Arab yang mendekati fonem Arab.
Di antara huruf yang tidak
terdapat dalam bahasa Arab adalah huruf C yang ditulis dengan huruf ق, contoh: موسيقي (music), dan huruf V yang
ditulis dengan huruf ب atau و, seperti الأوستا (vista). Akan tetapi,
bagaimanapun juga hal ini tidak bisa dijadikan patokan, sebab Fiqh Lughah tidak
berfokus pada kaidah-kaidah.
Sebagai bukti, kita dapat
menemukan serapan secara adopsi langsung dari bahasa asing yang menyalahi
kaidah tashrif seperti التلفزيون (televisi).
Dari penjelasan ini dapat dipahami pembeda antara muarrab dengan
muwallad. Jika para pendahulu mengadakan muarrab --menyerap bahasa
asing tetapi disesuaikan dengan kaidah bahasa Arab-- untuk kemurnian bahasa,
maka para linguis moderen melakukan muwallad --memberikan kebebasan
dalam penyerapan bahasa asing-- tanpa terpaku kepada kaidah bahasa Arab
(serapan-adopsi) untuk kepentingan keilmuan.
Di antara kitab yang mengkaji tentang fenomena serapan ini adalah Kitab Ma
Warada fil Quran min Lughatil Qabail karya Ibn Salam Aljumha, Kitab Qasdu Sabil
fima fil Arabiyah minad Dakhil karya Dimasyqi, dan Almuarrab min Alfazil
Quranil Karim karya Syekh Hamzah Fathullah.[2]
C.
Maudhu’ (موضوع)
Dalam hal ini, ada beragam pertanyaan muncul dalam
benak kita tentang Fiqh Lughah. Di antaranya adalah kenapa kita juga membahas
tentang musytaq, murtajal, manhut, mulhaq, dan ma’dul dalam Fiqh
Lughah, di mana sudah kita pelajari pada nahwu dan atau ushul nahwi. Apa
perbedaan kajian pada kedua disiplin ilmu ini dan sebagainya.
Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah bahwa kajian
Fiqh Lughah terbatas pada penerapan dari semua istilah di atas. Lebih rinci
akan kita temukan dalam penjelasan di bawah ini.
1. Musytaq (مشتق)
Musytaq merupakan proses membuat sebuah kata yang diambil dari satu kata lain atau
lebih yang sesuai lafaz dan maknanya. Seperti kata طالب yang berasal dari kata طلب. Kajian Fiqh Lughah tidak
sekedar mencari apa asal dari kata itu serta kaidah-kaidahnya, seperti yang
dibahas dalam ranah Ilmu Lughah. Akan tetapi lebih mengkaji dan
mengamati kepada jenis dan perbedaan makna yang ditimbulkan oleh perbedaan
bentuk kata turunan tersebut.
2. Manhut (منجوت)
Manhut adalah sebuah kata yang diambil dari dua kata lain atau lebih. Kata ini
menjadi istilah tertentu. Di antara contoh manhut ini adalah البسملة yang berasal dari kata بسم الله.
3. Murtajal (مرتجل)
Murtajal adalah sebuah istilah baru yang muncul dari seorang yang
terpandang dan tinggi tingkat kafasihannya, dimana belum pernah ada istilah
tersebut sebelumnya.
4. Mulhaq (ملحق)
Mulhaq adalah menambah huruf dalam sebuah kata kemudian ditasrif berdasarkan
kaidah asalnya. Seperti ب, ل, ج, menjadi جلبب.
5. Ma’dul (معدول)
Fenomena ma’dul telah masyhur pada bahasa Arab. Wazan kata
terdapat dalam tasrif, namun ia tidak bisa ditasrif. Seperti kata عمر.[3]
D.
Majaz (مجاز)
اللفظ
المستعمل في غير ما وضع له
“Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya.”Seperti : singa untuk
laki-laki yang pemberani.
Maka keluar dari perkataan kami : (المستعمل) “yang digunakan” : yang tidak digunakan,
maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (في غير ما وضع له) “bukan pada asal peletakannya” :
Hakikat.Dan tidak boleh membawa lafadz pada makna majaznya kecuali dengan dalil
yang shohih yang menghalangi lafadz tersebut dari maksud yang hakiki, dan ini
yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai qorinah (penguat).
Dan disyaratkan benarnya penggunaan
lafadz pada majaznya : Adanya kesatuan antara makna secara hakiki dengan makna
secara majazi agar benarnya pengungkapannya, dan ini yang dinamakan dalam ilmu
bayan sebagai ‘Alaqoh (hubungan/ penyesuaian), dan ‘Alaqoh bisa berupa
penyerupaan atau yang selainnya.
Maka jika majaz tersebut dengan
penyerupaan, dinamakan majaz Isti’arah (استعارة),
seperti majaz pada lafadz singa untuk seorang laki-laki yang pemberani.
Dan jika bukan dengan penyerupaan,
dinamakan majaz Mursal (مجاز مرسل) jika majaznya dalam
kata, dan dinamakan majaz ‘Aqli (مجاز عقلي)
jika majaznya dalam penyandarannya.
Contohnya dari majaz mursal : kamu
mengatakan : (رعينا المطر) “Kami memelihara
hujan”, maka kata (المطر) “hujan” merupakan
majaz dari rumput (العشب).
Dan contohnya dari majaz ‘Aqli :
Kamu mengatakan : (أنبت المطر العشب)
“Hujan itu menumbuhkan rumput”, maka kata-kata tersebut seluruhnya menunjukkan
hakikat maknanya, tetapi penyandaran menumbuhkan pada hujan adalah majaz,
karena yang menumbuhkan secara hakikat adalah Allah ta’ala, maka majaz ini
adalah dalam penyandarannya.
Dan diantara majaz mursal adalah :
Majaz dalam hal penambahan dan majaz dalam hal penghapusan.
Mereka memberi permisalan majaz
dalam hal penambahan dengan firman Allah ta’ala :
ليس كمثله شئ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” (QS. Asy-Syuro : 11)
Maka mereka mengatakan : Sesungguhnya (الكاف) “huruf kaaf” adalah tambahan untuk
penguatan peniadaan permisalan dari Allah ta’ala.
Contoh dari majaz dengan penghapusan adalah firman Allah ta’ala :
وسئل القرية
“Bertanyalah kepada desa” (QS. Yusuf : 82)
Maksudnya : (واسأل أهل القرية)
“bertanyalah pada penduduk desa”, maka penghapusan kata (أهل) “penduduk” adalah suatu majaz, dan bagi majaz ada macam yang
sangat banyak yang disebutkan dalam ilmu bayan.[4]
Dan hanya saja disebutkan sedikit
tentang hakikat dan majaz dalam ushul fiqh karena penunjukan lafadz bisa jadi
berupa hakikat dan bisa jadi berupa majaz, maka dibutuhkan untuk mengetahui
keduanya dan hukumnya. Wallahu A’lam
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari uraian di atas dapat
dipahami perbedaan yang jelas antara Fiqh Lughah dengan Ilmu Lughah. Fiqh Lughah membahas tentang kosa
kata dan penerapannya, baik yang berkaitan dengan lafaz, makna, maupun penerapannya dalam kalimat. Fiqh Lughah tidak membahas struktur dan kaidah-kaidah bahasanya. Dengan kata lain, Fiqh
Lughah membahas sesuatu yang yang berubah-ubah (multi intrepertasi), tidak yang
tetap. Memahami objek kajian Fiqh Lughah menjadi salah
satu jalan agar terjaga dari pembauran dengan kajian Ilmu Lughah.
Hasil kajian ini dapat
dijadikan kajian awal bagi para peminat kajian linguistik untuk mengenal Fiqh
Lughah. Diharapkan lahirnya beragam kajian lain setelah pembaca menelaah
tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alhamd, Muhammad bin Ibrahim. 2005. Fiqh
Lughah. Riyadh: Dar Ibn Khuzaimah.
Hasan, Tamam. 2000. Al-Ushul.
Kairo: Alamul Kutub.
Manzhur, Ibn. t.t. Lisanul Arab. Beirut: Dar Shadir.
Yaqub, Emil Badi. 1982. Fiqh
Lughah Arabiyah Wa Khashaishiha. Beirut: Daru Tsaqafah Islamiyah.
[1] Alhamd, Muhammad bin Ibrahim, Fiqh
Lughah Riyadh: Dar Ibn Khuzaimah., Pustaka Setia,
Bandung, cet.1 1999, hal.221-222
0 komentar:
Post a Comment