BAB I
PENDAHULUAN
A.. Latar
Belakang Masalah Tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi
kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara Rububiyah, Uluhiyah, dan
Asma’ wa sifat. Tauhid sendiri berasal dari Bahasa Arab “
wahhada-yuwahhidu-tauhiidan”, artinya mengesakan atau menunggalkan dari sekian
banyak yang ada. Adapun ilmu tauhid adalah ilmu yang mempelajari mengenai
kepercayaan tentang Tuhan dengan segala segi-seginya, yang berarti termasuk
didalamnya soal wujud-Nya, ke-Esaan-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Syeh M. Abduh
mengatakan bahwa, ilmu tauhid (ilmu kalam) adalah ilmu yang membicarakan wujud
Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada
pada-Nya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada-Nya; membicarakan tentang
Rosul, untuk menetapkan keutusan mereka, sifat-sifat yang boleh
dipertautkankepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada
mereka (Hanafi, 2003: 2). Pada dasarnya manusia dari sejak lahir berada dalam
fitrahnya yaitu, bertauhid. Namun sesuai perkembangan lingkungan dan orang
tuanyalah yang menentukan selanjutnya. Banyak orang yang beriman namun tanpa
didasari pengetahuan yang memadai. Mereka beribadah namun ada saja yang masih
menyimpang dari ketauhidannya. Apalagi mereka yang berada di penjuru kampung yang
masih banyak mempercayai pohon-pohon yang besar, batu-batuan yang besar, dan
lain sebagainya. Berangkat dari uraian diatas kami berupaya untuk menjelaskan
mengenai ilmu tauhid dan perangkatnya.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut.
1) Apa
pengertian tauhid dan ilmu tauhid?
2) Bidang
pembahasan apa saja dalam ilmu tauhid?
3) Apa saja
tingkatan tauhid itu?
4) Bagaimana Tingkatan ilmu tauhid di antara
ilmu yang lain?
C. Manfaat Penulisan Adapun manfaat penulisan
makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan khazanah mengenai ketauhidan
dan perangkat-perangkatnya.
D. Metode Penulisan Makalah ini disusun dengan
mengumpulkan referensi kajian pustaka dari buku dan dari alat elektronik
bertaraf Internasional yaitu internet.
BAB II
PEMBAHASAN PENGERTIAN ILMU TAUHID, BIDANG
PEMBAHASAN ILMU TAUHID, TINGKATAN TAUHID DAN KEUTAMAAN MEMPELAJARI ILMU TAUHID
A Pengertian
Tauhid dan Ilmu Tauhid
Tauhid merupakan masdar/kata benda dari kata
yang berasal dari bahasa arab yaitu “wahhada-yuwahhidu-tauhiidan” yang artinya
menunggalkan sesuatu atau keesaan. Yang dimaksud disini adalah mempercayai
bahwa Allah itu esa. Sedangkan secara istilah ilmu Tauhid ialah ilmu yang
membahas segala kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil dalil keyakinan
dan hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah itu esa.
Menurut Syeh M, Abduh, ilmu tauhid (ilmu kalam) ialah ilmu yang membicarakan
tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang
boleh ada pada-Nya; membicarakan tentang Rosul, untuk menetapkan keutusan
mereka, sifat-sifat yang boleh dipertautkan kepada mereka, dan sifat-sifat yang
tidak mungkin terdapat pada mereka. (Hanafi, 2003: 2). Ilmu tauhid adalah sumber
semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling utama. Allah
SWT berfirman: فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq)
melainkan Allah.” (Q.S. Muhammad: 19) Seandainya ada orang tidak mempercayai
keesaan Allah atau mengingkari perkara-perkara yang menjadi dasar ilmu tauhid,
maka orang itu dikatagorikan bukan muslim dan digelari kafir. Begitu pula
halnya, seandainya seorang muslim menukar kepercayaannya dari mempercayai keesaan
Allah, maka kedudukannya juga sama adalah kafir. Perkara dasar yang wajib
dipercayai dalam ilmu tauhid ialah perkara yang dalilnya atau buktinya cukup
terang dan kuat yang terdapat di dalam Al Quran atau Hadis yang shahih. Perkara
ini tidak boleh dita’wil atau ditukar maknanya yang asli dengan makna yang
lain. (http://orgawam.wordpress.com/2012/11/07/definisi-tauhid-dan-ilmu-tauhid/).
B. Penamaan Ilmu Tauhid:
Ilmu Tauhid
juga disebut;
1) Ilmu
‘Aqa’id: ‘Aqdun artinya tali atau pengikat. ‘Aqa’id adalah bentuk jama’ dari
‘Aqdun. Disebut ‘Aqa’id, karena didalamnya mempelajari tentang keimanan yang
mengikat hati seseorang dengan Allah, baik meyakini wujud-Nya, ke-Esaan-Nya
atau kekuasaan-Nya.
2) Ilmu
Kalam: kalam artinya pembicaraan. Disebut ilmu kalam, karena dalam ilmu ini
banyak membutuhkan diskusi, pembahasan, keterangan-keterangan dan hujjah
(alasan) yang lebih banyak dari ilmu lain.
3) Ilmu
Ushuluddin: Ushuluddin artinya pokok-pokok agama. Disebut Ilmu Ushuluddin,
karena didalamnya membahas prinsip-prinsip ajaran agama, sedang ilmu yang
lainnya disebut furu’ad-Din (cabang-cabang agama), yang harus berpijak diatas
ushuluddin. 4) Ilmu Ma’rifat: ma’rifat artinya pengetahuan. Disebut ilmu
ma’rifat, karena didalamnya mengandung bimbingan dan arahan kepada kepada umat
manusia untuk mengenal khaliqnya. (Zakaria, 2008:1)
C.
Sebab-sebab dinamakan ilmu kalam ialah karena:
1) Persoalan
yang terpenting diantara pembicaraan-pembicaran masa-masa pertama Islam ialah
Firman Tuhan (Kalam Allah), yaitu Qur’an apakah azali atau non-azali. Karena
itu keseluruhan isi Ilmu kalam dinamai dengan salah satu bagian yang
terpenting.
2) Dalam
Ilmu Kalam ialah dalil-dalil akal pikiran di mana pengaruhnya tampak jelas pada
pembicaraan ulama-ulama kalam, sehingga mereka kelihatan sebagai ahli bicara.
Dalil Naqli (Qur’an dan Hadits) baru dipakai sesudah mereka menetapkan
kebenaran persoalan dari segi akal pikiran.
3)
Pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat.
Untuk dibedakan dengan logika, maka pembuktian-pembuktian tersebut dinamai
“Ilmu Kalam”. (Hanafi, 2003: 5)
D. Hakikat Tauhid Seluruh manusia terlahir ke
dunia ini dalam keadaan fitrahnya, yakni bertauhid. Sebagaimana yang di
terangkan dalam ayat Q. S. Ar-Rum: 30.
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Islam; sesuai fitrah Allah
disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan
menusia tidak mengetahui.” (Q.S. ar-Rum:30) Manusia pada dasarnya memerlukan
suatu bentuk kepercayaan kepada sesuatu yang gaib, sebab itulah ia disebut
makhluk religius, yaitu makhluk yang memiliki bawaaan primordial (azali) untuk
beragama dan percaya kepada Tuhan. Inilah fitrah manusia yang secara otomatis
memiliki potensi bertuhan sejak kelahirannya. Rasulullah saw. Bersabda:
Artinya: “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Kedua
oangtua nyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (H.R.
Bukhari dan Muslim). Untaian kata-kata tauhid dalam Islam dinyatakan dalam
kalimat “laa ilaaha ilallaah”, Allah sebagai satu-satunya Tuhan. E. Implikas
Tauhid Tauhid dalam Islam yang diekspresikan dengan kalimat “laa ilaaha
ilallah” merupakan titik tolak untuk membebaskan belenggu. Tauhid ini pula yang
membebaskan manusia dari belenggu manusia lainnya, dari penyembahan terhadap
rasio dan mental, serta dari sikap hidup materialistis. Tauhid juga membebaskan
manusia dari kependetaan dan hiruk pikuk dunia. Jadi, tauhid mengandung
pengertian bahwa manusia tidak membutuhkan apa-apa selain Allah, sehingga
seseorang yang beriman diberi kemulyaan dan kepuasan sebagai hamba yang bebas
dan benar-benar terhormat. Sudah jelaslah bahwa konsep tauhid “laa ilaaha
ilallaah” mempunyai implikasi begitu revolusioner berupa pembebasan. Ia meniadakan
otoritas, apapun bentuknya, untuk berhubungan dengan Allah swt. Sehingga
manusia terbebas dari perbudakan mental dan penyembahan sesama makhluk. Allah
swt., sudah jelas dekat dengan siapapun. Firman Allah
Artinya :
“dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka
sesungguhnya
Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia berdosa
kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi perintah-Ku, agar mereka memperoleh
kebenaran. (Q.S. al-Baqarah: 186) Inilah diantara hakikat tauhid “laa ilaaha
ilallaah”. Apabila setiap orang mempunyai tauhid yang benar dan memahami
tentang dirinya yang bebas dari belenggu apapun selain Allah swt., maka
seharusnya ia dapat bekerja dan berkarya lebih baik tanpa gangguan
pemikiran-pemikiran khurafat dan takhayul yang justru menghalangi etos kerja
dan karya bagi kehidupan manusia. (Ismail, 2008: 10-23) F. Bidang Pembahasan
Ilmu Tauhid Tauhid mempunyai beberapa pembahasan diantaranya ada 6 yakni: 1)
Iman kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah hanya untuk-Nya
tanpa sekutu apapun bentuknya. 2) Iman kepada rasul-rasul Allah para pembawa
petunjuk ilahi, mengetahui sifat-sifat yang wajib dan pasti ada pada mereka
seperti jujur dan amanah, mengetahui sifat-sifat yang mustahil ada pada mereka
seperti dusta dan khianat, mengetahui mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan
mereka, khususnya mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan Nabi Muhammad saw. 3) Iman
kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul sebagai
petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang sejarah manusia yang panjang. 4) Iman
kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan, dan hubungan mereka dengan
manusia di dunia dan akhirat. 5) Iman kepada hari akhir, apa saja yang
dipersiapkan Allah sebagai balasan bagi orang-orang mukmin (surga) maupun
orang-orang kafir (neraka). 6) Iman kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana
yang mengatur dengan takdir-Nya semua yang ada di alam semesta ini. Allah swt
berfirman: z`tB#uä ãAqߧ9$# !$yJÎ/ tAÌRé& Ïmøs9Î) `ÏB ¾ÏmÎn/§ tbqãZÏB÷sßJø9$#ur 4 <@ä. z`tB#uä «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâurç Artinya: “Rasul telah beriman
kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula
orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS: Al-Baqarah: 285) Rasulullah saw.
ditanya tentang iman, lalu beliau pun menjawab; أنْ
تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ
وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. Artinya: “Iman
adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.”
(HR. Muslim). G. Tingkatan Tauhid Baik tauhid maupun kemusyrikan ada tingkatan
dan tahapannya masing-masing. Sebelum kita melewati semua tahap dalam tauhid,
kita belum dapat menjadi pengikut atau ahli tauhid (muwahhid) yang sejati.
Adapun tingkatan tauhid adalah sebagai berikut. v Tauhid Zat Allah Yang dimaksud dengan tauhid
(keesaan) Zat Allah adalah, bahwa Allah Esa dalam Zat-Nya. Kesan pertama
tentang Allah pada kita adalah, kesan bahwa Dia berdikari. Dia adalah Wujud
yang tidak bergantung pada apa dan siapa pun dalam bentuk apa pun. Dalam bahasa
Al-Qur'an, Dia adalah Ghani (Absolut). Segala sesuatu bergantung pada-Nya dan
membutuhkan pertolongan-Nya. Dia tidak membutuhkan segala sesuatu. Allah
berfirman: * $pkr'¯»t â•$•Z9$# ÞOçFRr& âä!#ts)àÿø9$# n<Î) «!$# ( ª!$#ur uqèd ÓÍ_tóø9$# ßÏJysø9$# ÇÊÎÈ Hai
manusia, kamulah yang membutuhkan Allah. Dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya
(tidak membutuhkan apa pun) lagi Maha Terpuji. (QS. Fâthir: 15) Kaum filosof
menggambarkan Allah sebagai eksis sendiri, atau sebagai wujud yang
eksistensinya wajib. Kesan kedua tentang Allah pada setiap orang adalah, bahwa
Allah adalah Pencipta. Dialah Pencipta dan sumber final dari segala yang ada.
Segala sesuatu adalah "dari-Nya". Dia bukan dari apa pun dan bukan
dari siapa pun. Menurut bahasa filsafat, Dia adalah "Sebab Pertama".
Inilah konsepsi pertama setiap orang tentang Allah. Setiap orang berpikir
tentang Allah. Dan ketika berpikir tentang Allah, dalam benaknya ada konsepsi
ini. Kemudian dia melihat apakah sebenarnya ada suatu kebenaran, kebenaran yang
tidak bergantung pada kebenaran lain, dan yang menjadi sumber dari segala
ke¬benaran. Kaidah bahwa sesuatu yang ada selalu menjadi bagian dari spesies,
hanya berlaku pada ciptaan atau makhluk saja. Misal, jika sesuatu itu bagian
dari spesies manusia, maka dapat dibayangkan bahwa sesuatu itu adalah anggota
dari spesies manusia ini. Namun untuk Wujud Yang Ada Sendiri, kita tidak dapat
membayangkan seperti itu. Dia berada di luar semua pikiran seperti itu. Karena
kebenaran yang ada Sendiri itu satu, maka sumber dan tujuan alam semesta hanya
satu. Alam semesta bukanlah berasal dari berbagai sumber, juga tidak akan
kembali ke berbagai sumber. Alam semesta berasal dari satu sumber dan satu
kebenaran. Dengan kata lain, alam semesta memiliki satu pusat, satu kutub dan
satu orbit. Hubungan antara Allah dan alam semesta adalah hubungan Pencipta dan
makhluk, yaitu hubungan sebab dan akibat, bukan jenis hubungan antara sinar dan
lampu, atau antara kesadaran manusia dan manusia. Namun demikian,
ketidakterpisahan Allah dari alam semesta tidaklah berarti bahwa Dia bagi alam
semesta adalah seperti sinar bagi lampu atau seperti kesadaran bagi tubuh.
Kalau demikian halnya, maka Allah merupakan efek dari alam semesta, bukan sebab
dari alam semesta, karena sinar adalah efek dari lampu. Begitu pula,
ketidakterpisahan Allah dari alam semesta tidaklah berarti bahwa Allah, alam
semesta dan manusia memiliki orientasi yang sama, dan semuanya eksis dengan
kehendak dan semangat yang sama. Semua ini adalah sifat makhluk yang adanya
karena sesuatu yang lain v Tauhid
dalam Sifat-sifat Allah Tauhid Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa
Zat dan Sifat-sifat Allah identik, dan bahwa berbagai Sifat-Nya tidak terpisah
satu sama lain. Tauhid Zat artinya adalah menafikan adanya apa pun yang seperti
Allah, dan Tauhid Sifat-sifat-Nya artinya adalah menafikan adanya pluralitas di
dalam Zat-Nya. Allah memiliki segala sifat yang menunjukkan kesempurnaan,
keperkasaan dan ke-indahan, namun dalam Sifat-sifat-Nya tak ada segi yang
benar-benar terpisah dari-Nya. Keterpisahan zat dari sifat-sifat dan
keterpisahan sifat-sifat dari satu sama lain merupakan ciri khas keterbatasan
eksistensi, dan tak mungkin terjadi pada eksistensi yang tak terbatas.
Pluralitas, perpaduan dan keterpisahan zat dan sifat-sifat tak mungkin terjadi
pada Wujud Mutlak. Seperti Tauhid zat Allah, tauhid sifat-sifat Allah merupakan
doktrin Islam dan salah satu gagasan manusiawi yang paling bernilai, yang
semata-mata mengkristal dalam mazhab syiah. Disini kami kutipkan sebuah kalimat
dalam khotbah pertama “Nahj al-balaghah” yang membenarkan sekaligus menjelaskan
gagasan ini : “segala puji bagi Allah. Tak ada ahli pidato ahli bicara pun yang
dapat memuji-Nya dengan memadai. Rahmat dan berkah-Nya tak dapat di hitung oleh
ahli hitung sekalipun. Yang paling perhatian sekalipun tak dapat menyembah
dengan semestinya. Dia tak dapat di mengerti sepenuhnya, sekalipun luar biasa
kecerdasan tersebut sifat-sifat-Nya tak dibatasi oleh pembatas apapun. Tak ada
kata yang yang dapat menggambarkan-Nya dengan utuh.” Seperti kita tahu, dalam
kalimat di atas digarisbawahi ketidakterbatasan sifat-sifat Allah. Dalam
khotbah itu juga, setelah beberapa kalimat, Iman ali bin abi thalib as berkata:
“sebenar-benar ketaatan kepada-Nya artinya adalah menafikan pengaitan
sifat-sifat kepada-Nya, karena pihak yang dikaiti sifat menunjukan bahwa pihak
tersebut beda dengan sifat yang dikaitkan kepada-Nya, dan setiap sifat-Nya
menujukan bahwa sifat tersebut beda dengan pihak tersebut. Barang siapa
mengaitkan sifat kepada Allah berarti dia menyamakan-Nya (dengan sesuatu), dan
barang siapa menyamakan-Nya” (Lihat Nahj al-balaghah, khotbah 1,
hal.137.ISP.1984) Dalam kaliamat pertama ditegaskan bahwa Allah memiliki
sifat-sifat (yang sifat-sifat Nya tak di batasi oleh batas-batas). Dalam
kalimat kedua juga ditegaskan bahwa Dia memiliki sifat-sifat, namun
diperintahkan untuk tidak mengaitkan sifat-sifat kepada Nya. Redaksi
kalimat-kalimat ini menunjukkan bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya tak
terbatas seperti halnya ketakterbatasan diri-Nya sendiri, bahwa Sifat-sifat
yang dimiliki-Nya identik dengan Zat-Nya, dan sifat-sifat yang tak dimiliki-Nya
adalah sifat-sifat yang terbatas dan terpisah dari Zat-Nya dan terpisah satu
sama lain. Dengan demikian, Tauhid dalam Sifat-sifat Allah artinya adalah
mengakui bahwa Zat Allah dan Sifat-sifat-Nya adalah satu. v Tauhid dalam Perbuatan Allah Arti
Tauhid dalam perbuatan-Nya adalah mengakui bahwa alam semesta dengan segenap
sistemnya, jalannya, sebab dan akibatnya, merupakan perbuatan Allah saja, dan
terwujud karena kehendak-Nya. Di alam semesta ini tak satu pun yang ada
sendiri. Segala sesuatu bergantung pada-Nya. Dalam bahasa Al-Qur'an, Dia adalah
pemelihara alam semesta. Dalam hal sebab-akibat, segala yang ada di alam
semesta ini bergantung. Maka dari itu, Allah tidak memiliki sekutu dalam
Zat-Nya, Dia juga tak memiliki sekutu dalam perbuatan-Nya. Setiap perantara dan
sebab ada dan bekerja berkat Allah dan bergantung pada-Nya. Milik-Nya sajalah
segala kekuatan maupun kemampuan untuk berbuat. Manusia merupakan satu di
antara makhluk yang ada, dan karena itu merupakan ciptaan Allah. Seperti
makhluk lainnya, manusia dapat melakukan pekerjaannya sendiri, dan tidak
seperti makhluk lainnya, manusia adalah penentu nasibnya sendiri. Namun Allah
sama sekali tidak mendelegasikan Kuasa-kuasa-Nya kepada manusia. Karena itu
manusia tidak dapat bertindak dan berpikir semaunya sendiri, "Dengan kuasa
Allah aku berdiri dan duduk. " Percaya bahwa makhluk, baik manusia maupun
makhluk lainnya, dapat berbuat semaunya sendiri, berarti percaya bahwa makhluk
tersebut dan Allah sama-sama mandiri dalam berbuat. Karena mandiri dalam
berbuat berarti mandiri dalam zat, maka kepercayaan tersebut bertentangan
dengan keesaan Zat Allah (Tauhid dalam Zat), lantas apa yang harus dikatakan
mengenai keesaan perbuatan Allah (Tauhid dalam Perbuatan). È@è%ur ßôJptø:$# ¬! Ï%©!$# óOs9 õÏGt #V$s!ur óOs9ur `ä3t ¼ã&©! Ô7ΰ Îû Å7ù=ßJø9$# óOs9ur `ä3t ¼ã&©! @Í<ur z`ÏiB ÉeA%!$# ( çn÷Éi9x.ur #MÎ7õ3s? ÇÊÊÊÈ Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang
tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak
mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dan kehinaan. Karma itu, agungkanlah Dia
dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. (QS. al-Isrâ': 111) v Tauhid dalam Ibadah Tiga tingkatan
Tauhid yang dipaparkan di atas sifatnya teoretis dan merupakan masalah iman.
Ketiganya harus diketahui dan diterima. Namun Tauhid dalam ibadah merupakan
masalah praktis, merupakan bentuk "menjadi". Tingkatan-tingkatan
tauhid di atas melibatkan pemikiran yang benar. Tingkat keempat ini merupakan
tahap menjadi benar. Tahap teoretis tauhid, artinya adalah memiliki pandangan
yang sempurna. Tahap praktisnya artinya adalah berupaya mencapai kesempurnaan.
Tauhid teoretis artinya adalah memahami keesaan Allah, sedangkan tauhid praktis
artinya adalah menjadi satu. Tauhid teoretis adalah tahap melihat, sedangkan
tauhid praktis adalah tahap berbuat. Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang
tauhid praktis, perlu disebutkan satu masalah lagi mengenai tauhid teoretis.
Masalahnya adalah apakah mungkin mengetahui Allah sekaligus dengan keesaan
Zat-Nya, keesaan Sifat-sifat-Nya dan keesaan perbuatan-Nya, dan jika mungkin,
apakah pengetahuan seperti itu membantu manusia untuk hidup sejahtera dan
bahagia; atau dan berbagai tingkat dan tahap tauhid, hanya tauhid praktis saja
yang bermanfaat. Sejauh menyangkut kemungkinan mendapat pengetahuan seperti
itu, sudah kami bahas dalam buku kami "Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode
Realisme". Apakah pengetahuan seperti itu bermanfaat atau justru sebaliknya,
itu tergantung pada konsepsi kita sendiri mengenai manusia, kesejahteraan dan
kebahagiaannya. Gelombang pemikiran materialistis di zaman modern ini bahkan
menyebabkan kaum yang beriman kepada Allah menganggap tak banyak manfaatnya
masalah-masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tentang Allah. Mereka
memandang masalah-masalah seperti itu sebagai semacam manuver mental dan
pelarian dari problem-problem praktis kehidupan. Namun seorang Muslim yang
percaya bahwa realitas manusia bukanlah realitas jasmaninya saja, namun
realitas sejati manusia adalah realitas spiritualnya dan bahwa hakikat roh
manusiawi adalah hakikat pengetahuan dan kesuciannya, tahu betul bahwa apa yang
disebut sebagai tauhid teoretis itu sendiri, selain merupakan dasar dari tauhid
praktis, merupakan kesempumaan psikologis yang paling tinggi tingkatannya.
Tauhid ini mengangkat manusia, membawa manusia menuju Kebenaran Ilahiah, dan
membuat manusia menjadi sempurna. Sisi manusiawi manusia ditentukan oleh
pengetahuannya tentang Allah. Pengetahuan manusia bukanlah sesuatu yang
terpisah dari manusia itu sendiri. Semakin tahu manusia itu tentang alam
semesta, sistemnya dan asal-usulnya, semakin berkembang sisi manusiawi manusia
tersebut, yang lima puluh persen substansi sisi manusiawi itu berupa pengetahuan.
Dari sudut pandang Islam, khususnya ajaran Syiah, tak ada keraguan sedikit pun
bahwa tujuan sisi manusiawi itu sendiri adalah mengetahui tentang Allah, tak
soal dengan efek praktis dan sosialnya. Sekarang kita bahas masalah tauhid
praktis. Tauhid praktis atau tauhid ibadah, artinya adalah hanya menyembah atau
beribadah kepada Allah saja. Dengan kata lain, tulus ikhlas dalam beribadah
kepada Allah. Kemudian akan kami jelaskan bahwa dari sudut pandang Islam,
ibadah ada tingkatan-tingkatannya. Tingkatannya yang sangat jelas adalah
menunaikan ritus-ritus yang berkaitan dengan penyucian dan pengagungan Allah.
Kalau ritus-ritus seperti itu dilakukan untuk selain Allah, artinya adalah
keluar total dari Islam. Namun demikian, dari sudut pandang Islam, ibadah bukan
hanya tingkatan yang ini saja. Setiap bentuk orientasi spiritual dan menerima
sesuatu sebagai ideal spiritual, maka hal itu tergolong ibadah. Al-Qur'an
memfirmankan: |M÷uäur& Ç`tB xsªB$# ¼çmyg»s9Î) çm1uqyd |MRr'sùr& ãbqä3s? Ïmøn=tã ¸xÅ2ur ÇÍÌÈ Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai Tuhannya. (QS. al-Furqân: 43) Dengan demikian tauhid
praktis atau tauhid ibadah, artinya adalah menerima Allah saja sebagai yang
layak untuk ditaati tanpa pamrih, memandang hanya Dia saja yang menjadi ideal
dan arah perilaku, dan menolak selain-Nya serta menganggap selain-Nya tidak
layak ditaati tanpa pamrih, atau tidak layak untuk dijadikan ideal. Tauhid
ibadah artinya adalah tunduk kepada Allah saja, bangkit untuk-Nya saja, dan hidup
untuk-Nya saja, serta mati untuk-Nya saja. (Nabi Ibrahim berkata):
"Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang mendptakan langit
dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk
orang yang mempersekutukan Tuhan"... Tauhid Nabi Ibrahim ini merupakan
Tauhid praktis atau Tauhid ibadah. Inilah yang divisualisasikan oleh iman ini:
"La ilaha illallah" (tiada Tuhan selain Allah). (Muthahhari,
Murtadha. 2002: 69-73) H. Kedudukan Ilmu Tauhid di Antara Semua Ilmu Kemuliaan
suatu ilmu tergantung pada kemulian tema yang dibahasnya. Ilmu kedokteran lebih
mulia dari teknik perkayuan karena teknik perkayuan membahas seluk beluk kayu
sedangkan kedokteran membahas tubuh manusia. Begitu pula dengan ilmu tauhid,
ini ilmu paling mulia karena objek pembahasannya adalah sesuatu yang paling
mulia. Adakah yang lebih agung selain Pencipta alam semesta ini? Adakah manusia
yang lebih suci daripada para rasul? Adakah yang lebih penting bagi manusia
selain mengenal Rabb dan Penciptanya, mengenal tujuan keberadaannya di dunia,
untuk apa ia diciptakan, dan bagaimana nasibnya setelah ia mati? Apalagi ilmu
tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan
paling utama. Karena itu, hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardhu ‘ain bagi
setiap muslim dan muslimah sampai ia betul-betul memiliki keyakinan dan
kepuasan hati serta akal bahwa ia berada di atas agama yang benar. Sedangkan
mempelajari lebih dari itu hukumnya fardhu kifayah, artinya jika telah ada yang
mengetahui, yang lain tidak berdosa. Allah swt. berfirman, فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ “Maka ketahuilah,
bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membaca dan menganalisis
makna tauhid, pembagian tauhid, arti pentingnya mempelajari tauhid, dan
kewajiban tauhid, penulis dapat menarik kesimpulan: kewajiban kita layaknya
manusia hanya menyembah kepada Allah SWT saja. Allah swt telah menciptakan
untuk manusia berbagai prasarana berupa alam semesta ini. Semua itu untuk
mewujudkan peribadatan kepada-Nya. Allah juga membantu mereka untuk mewujudkan
peribadahan tersebut dengan limpahan rizki. Sedangkan Allah tidak membutuhkan
imbalan apa pun dari para makhluk-Nya. Sesungguhnya tauhid tertanam pada jiwa
manusia secara fitroh. Namun asal fitroh ini dirusak oleh bujuk rayu setan yang
memalingkan dari tauhid dan menjerumuskan ke dalam syirik. Para setan baik dari
kalangan jin dan manusia bahu-membahu untuk menyesatkan umat dengan
ucapan-ucapan yang indah. Sehingga dari hal tersebut dapat di ambil kesimpulan
bahwa makna tauhid adalah asal yang terdapat pada fitroh manusia sejak
dilahirkan. Aplikasi Tauhid bahwasanya berilmu dan mengetahui serta mengenal
tauhid itu adalah kewajiban yang paling pokok & utama sebelum mengenal yang
lainya serta beramal (karena suatu amalan itu akan di terima jika tauhidnya
benar).
B. Saran
Dengan penulisan makalah ini
diharapkan pembaca dapat :
• Memperoleh pengetahuan yang lebih luas
tentang tauhid
• Lebih mendekatkan diri kepada Allah
• Meyakini bahwa hanya Allah lah
yang esa
DAFTAR PUSTAKA
M, Hanafi. 2003. Pengantar Teologi
Islam. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru. Zakaria, A. 2008. Pokok-pokok Ilmu
Tauhid. Garut: IBN AZKA Press. Ismail, Roni. 2008. Menuju Hidup Islam.
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Muthahhari, Murtadha. 2002. Manusia dan Alam
Semesta. Jakarta: PT. Lentera basritama. Suhermawan, Agus. 2012. Pengertian
Ilmu Tauhid. [online]. Tersedia:
http://www.kucoba.com/2012/10/pengertian-ilmu-tauhid.html. [09 Februari 2013].
Orgawam. 2012. Definisi Tauhid dan Ilmu Tauhid. [online]. Tersedia:
http://orgawam.wordpress.com/2012/11/07/definisi-tauhid-dan-ilmu-tauhid/. [09
Februari 2013] Hendratno. 2008. Mengenal Ilmu Tauhid. [online]. Tersedia:
http://www.dakwatuna.com/2008/07/824/mengenal-ilmu-tauhid/. [09 Februari 2013]
0 komentar:
Post a Comment